Ciuman-ciuman yang dilayangkan Zeline mendadak terjeda. Zeline tak bisa menyembunyikan raut kagetnya sat Om Firman menerangkan ciri-ciri perempuan baru yang menarik dipandang baginya. Terus bercerita soal betapa wajah perempuan itu terlihat begitu polos. Cantik seperti berlian yang hanya butuh sentuhan tangan pengrajin agar mengkilap.
Cerita Om Firman terus berlanjut sampai-sampai tak menghiraukan Zeline di pangkuannya yang tertegun tak percaya. Bukan. Zeline bukan cemburu karena ternyata Om Firman tertarik pada perempuan lain. Bukan juga karena taku kehilangan sumur mata pencahariannya.
Zeline termangu karena alasan yang jelas. Siapa juga yang tak kenal dengan perangai Om Friman si hidung belang? Hampir semua dosen di kampus tahu gelagat pria ini di balik layar. Laki-laki yang masih tidak juga puas meski sudah punya dua istri. Tetap jajan perempuan sembarangan di luar.
Zeline cuma satu dari entah berapa perempuan lainnya yang pernah diajak tidur Om Firman. Ada
Tubuh gemuknya, rambut yang tumbuh di dada. Wajah menua yang sudah muncul keriput di beberapa bagian itu tampak lebih lelah dari biasanya. Meski harum aroma tubuhnya jauh lebih segar dari sebelum ia mandi.Zeline tak benar-benar tahu apa yang sedang laki-laki itu pikirkan. Haru pelukan dan ucapan terima kasih romantis tadi nyatanya tak bertahan lama. Belum ada satu menit berselang suasana yang terjadi di dalam kamar apartemen Om Firman mendadak berubah lagi.Bukan. Bukan Zeline yang kembali teringat akan betapa peliknya keadaan yang sedang ia hadapi. Melainkan Om Firman yang tertunduk lesu. Wajahnya terlihat sedang memikirkan banyak hal. Atau mungkin, satu hal yang tak bisa ia ubah sekeras apapun ia berusaha.“Sayang kenapa?” Pupil mata Zeline membundar sempurna.Tapi seperti kebanyakan pria saat ditanya kenapa, Om Firman hanya menggelengkan kepala. “Nggak papa kok, Zel.” Ditutup dengan senyum lebar yang terkesan dipaksakan.“Zeline ambilin minum ya.”Perempuan itu berdiri, melepas ta
“Itu terdengar menyeramkan sayang. Jangan yah, plissss ,....!!!” pinta Zeline. Sorot matanya mengiba memohon pada Om Firman dengan raut wajah memelas.“Oh ayolah sayang. Tidak, itu tidak menyeramkan kok. Kita hanya belum pernah melakukannya, itu kenapa terkesan menyeramkan,” jawab Om Firman. Tangannya bergerak melingkar ke pinggang ramping Zeline.Merayu gadis itu agar mau memenuhi fantasinya. Hanya pada Zeline ia bisa memohon. Dua istri yang ia nikahi mana mungkin memenuhi permintaan fantasinya. Tiga kali menikah, tiga kali pula Om Firman menemukan perempuan yang tidak tahu diri. Perempuan-perempuan yang maunya dinafkahi besar-besaran tanpa peduli apa yang Om Firman mau dan coba.Alasan kenapa petualangan ranjang laki-laki satu ini belum jua berakhir salah satunya adalah itu. Hanya dengan perempuan-perempuan seperti Zeline semua fantasi dan maunya terpenuhi.Zeline hanya bisa diam tak bergeming. Masih menatap Om Firman de
Zeline mulai mencari cara untuk membalikkan keadaannya. Tidak lucu kalau harus kalah sama orang yang jauh lebih tua di ronde pertama. Zeline harus segera menemukan cara sebelum energi dan tenaganya banyak terkuras seiring permainan Om Firman yang semakin beringas.Dimulai dengan mengalihkan tangannya. Tangan yang tadi menekan kepala Om Firman itu melonggar. Jemarinya menyisir rambut laki-laki yang sudah mulai beruban tipis itu. Menjambaknya lembut, seperti memijat, hingga kemudian menarik dari dadanya.Agar tidak protes, Zeline buru-buru menyergap bibir yang tadi bermain di dadanya itu dengan ciuman lagi. Bibir mereka bertaut lagi. Meski tangan Om Firman masih dengan gemas bermain di dua bukit kembarnya, tapi paling tidak Zeline tidak tersiksa oleh lidah Om Firman lagi.Di tengah ciuman panjang itu tangan Zeline turun. Gerakan pinggulnya berhenti. Digantikan tangannya saat ia tiba di sana. Mengocok pelan, naik turun mengikuti ciuman dan lenguhan di bibir mereka.
Keesokan harinya sepulang dari apartemen Om Firman, Zeline terpaksa harus memaksakan dirinya yang lelah ke kampus karena hari ini adalah hari terakhir pendaftaran ulang.“Loh kok cepet?” tukas Layla begitu meemukan motor Zeline sudah terparkir di rumah lagi setelah baru beberapa menit pamitan padanya pergi ke kampus.“Iya nih,” balas Zeline sambil melepas helm yang ia kenakan. Tampak rambut halus mengembang terawat miliknya jatuh terurai berantakan karena helm. Tergerai menutupi sebagian garis wajahnya. “Udah selesai cuman ngisi form aja, nggak sampai yang rumit diterangin segala macem kok.”Padahal Layla sudah pasti tidak akan tahu apa yang terjadi sebenarnya. Zeline sendiri juga sudah pasti tak akan bercerita tentang apa yang terjadi tadi di kampus. Zeline tak mungkin bilang pada Layla kalau semua berkasnya sudah dibereskan Om Firman termasuk biaya kuliah.Saat ke kampus t
Alana dan Zeline berkejaran, memutari ruang tengah. Alana yang kini jadi geli karena Zeline mengaku bahwa dirinya lesbian. Dan Zeline yang tak puas-puas menggoda Alana. Terus mengejar perempuan itu, bahkan hingga keluar ruang tengah masuk dapur, tembus teras. Belum puas Alana, berlari lagi lebih jauh hingga ke jalan raya.Hingga suara teriakan geli perempuan itu terdengar semakin mengecil, semakin jauh. Meninggalkan Layla yang masih duduk tenang di kursinya, sampai akhirnya bosan sendiri.Ia berdiri, mengambil piring kotor milik Zeline dan Alana yang tergeletak di atas meja. Berjalan menuju sudut dapur dekat kamar mandi di mana ada wastafel yang sekaligus tempat cucian piring kotor. Hanya karena terbiasa di rumah, Layla langsung mencuci setumpuk piring itu. Tak mau pekerjaannya makin berat karena banyaknya piring kotor nanti.“Dasar dua orang itu. Main-main mulu kalau lagi berdua kayak gitu,” gumam Layla geleng-geleng kepala. Ia masih dihantui perasa
“Lu pergi hari ini?” Alana beringsut. Setelah cukup lama tidur tak mengerjakan apa pun di atas kasur. Hanya mengobrol dengan Layla, scrolling media sosial yang tidak ada ujungnya.Sore jatuh, menggantikan pagi dan siang hari ini yang dihabiskan Zeline di rumah bercanda dengan Alana dan Layla. Siapa yang menyangka persabatan di antara mereka bertiga terjalin secepat itu. Mereka punya humor dan selera bercanda yang sama. Zeline tak perlu merasa sungkan atas semua tingkah usilnya karen Alana dan Layla sudah pasti langsung mengerti.“Iya nih, gue juga jadi heran. Kamu, eh maksudnya lu.” Layla meringis. Lidahnya masih kaku dengan dua kata ‘Lo Gue’. “Lo ke mana aja sih, tiap jam segini selalu ngilang nggak tau ke mana. Pulang-pulang pagi,” tandas Layla yang duduk menjajari Alana. Bersandar di pintu lemari, beralas kasur lantai tipis yang sekaligus alas tidur bagi mereka.“Ada deh,” jawab Zeline singkat. Tubuh
Dingin udara apartemen mewah ini kembali menyentuh kulit Zeline. Lampu gantung dengan rangkaian kaca bermotif berlian memendarkan sinar jingga yang lembut. Turun, bercampur dengan lampu putih yang tak kalah cerah. Hinggap di lapisan kulit Zeline.Gadis itu, masih jadi satu-satunya orang yang mengisi kamar apartemen kosong ini. Tadi setibanya di apartemen Zeline baru sadar kalau Om Firman mengiriminya pesan sedang keluar sebentar mengurusi beberapa usaha yang baru dirintisnya.Zeline duduk di sofa, menyimak televisi yang menyajikan berita di depannya. Masih dengan kemeja kotak-kotak kebesaran yang ia kenakan sejak dari rumah. Bedanya, celana levi’s itu sudah tanggal.Menyisakan celana pendek yang hanya mampu menutupi pangkal pahanya. Lebih panjang ujung kemejanya daripada celana putih pendek itu. Wajahnya yang cantik dibalut bedak tipis. Tak lupa lipstik merah menyala, dan parfum khas kesukaannya.Bosan dengan televisi di hadapannya, Zeline mengangka
“Sa‐sayang, are you–““Serious?” potong Om Firman cepat sembari menyeriangai penuh kemenangan. Bayangan yang tercetak di wajahnya dari sorot lampu apartemen menambah kesan seram pria sugar daddy Zeline tersebut. “Yes I’am. Aku tak pernah lebih serius dari ini, sayang.”Mata Zeline terbelalak, alisnya terangkat. Kerongkongannya mendadak mengering, lidahnya kelu. Hiam bola matanya bergetar nanar menelisik mata laki-laki di sebelahnya. “Tapi sayang ...,” rengek Zeline.Suara rengekan tertahannya sudah seperti seekor rusa yang lehernya telah dicengkeram kuat taring singa. Zeline ingin berteriak melayangkan protes tak terima. Tapi di saat yang sama, realita bahwa ia di tempat ini hanya bekerja jadi teman tidur Om Firman mencekik lehernya.Om Firman hanya tersenyum, menatap sendu wajah gadis itu. Menelusuri garis wajah Zeline dengan jari-jari besarnya. “Zeline-Zeline, kau sepertinya lupa dengan a