Aline POVSengaja aku menawarkan harga segitu padanya. Agar harga dirinya semakin jatuh. Dari mana pula, dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kecuali jika dia minjem sama kakaknya.Cih, pake acara nangis segala. Bikin aku jengkel aja.Jujur, sebenernya aku juga merasa kasihan dengan anak itu, tapi aku telanjur benci dengan bapaknya. Apalagi saat kulihat bayi itu mirip sekali dengan bapaknya, bertambahlah rasa benciku padanya.Ya Tuhan, seandainya saja anak itu perempuan, dan mirip aku, pasti aku tidak akan sebenci itu pada anakku sendiri. Tapi ... ya Tuhan ... dia plek ketiplek banget sama bapaknya. Pantesan, saat hamil dulu aku begitu menyukai bau tubuhnya. Apa itu pengaruh ya? Ah, aku gak peduli.Ataukah karena aku begitu membenci Rimba, hingga bayi itu begitu mirip dengan dia? Bukankah kata orang kalau benci suka jadi mirip?Satu syarat lagi, aku mau memberikan ASI, tapi dengan menggunakan pompa ASI. Aku tidak mau menyusuinya secara langsung. Aku tidak mau kalau sampai merasa
"Kasian, ini, nangisnya udah kejer-kejer begini." Rimba menawar. Aku mencebik kesal. Ya sudahlah, mungkin akan lebih gampang juga jika aku langsung menyusuinya sekali-kali."Ya sudah, sini," ujarku padanya. Wajah Rimba tampak semringah. Dia lalu menyerahkan bayi yang baru berumur tiga minggu itu padaku. Aku risi dan kaku. Kok bisa ya, dia laki-laki tapi menggendong bayi dengan nyaman? Aku aja merasa kerepotan."Begini, Lin," katanya sambil membetulkan posisi tubuhku juga Rasya. Ada benernya juga. Posisiku sekarang jauh lebih nyaman.Aku mulai membuka baju bagian atas. Terlihat Rasya langsung mengemut payudaraku. Rimba melihat kami dengan tatapan haru."Heh, sana jauh-jauh. Mau ngintip, ya, kamu?" tuduhku. Dia melengos."Kita ini kan suami istri, Lin. Tidak ada batasan aurat," sanggahnya."Itu kan menurutmu, buatku, kamu itu bukan siapa-siapa!""Ya sudah, aku tunggu di luar saja kalau kamu gak suka aku di sini." Dia berbalik. Aku hanya bisa mendelik kesal. Rasya menyedot dengan kuat,
Hanya dalam waktu sebulan, tubuhku sudah mulai kembali langsing. Demi ini semua aku sama sekali tidak mengonsumsi karbohidrat. Olahraga pun hampir tiap hari kulakukan. Tak masalah, yang penting aku bisa kembali langsing dan cantik.Hari ini, jadwal pilates, sekalian aku mau ke salon. Rambut dan kukuku rasanya sudah tidak beraturan.Walau dengan make up tipis, itu sudah bisa menonjolkan kecantikanku. Tentu saja aku percaya diri, karena aku memang sudah cantik dari lahir. Sungguh. Aku tidak sedang bercanda sama kalian.Kecantikanku ini menurun dari Mama. Mataku bulat besar dengan bulu yang lentik. Hidungku mancung, bibir yang mungil ditambah kulitku yang kuning cerah.Baru saja aku mau mengambil tas selempang, terdengar tangisan Rasya dari boks bayinya. Aku hanya bisa mendengkus kesal. Ke mana si Rimba?"Rimbaaa!" teriakku dari kamar. Dia tak juga kunjung datang. Menyebalkan! Mana jadwal pilates sebentar lagi dimulai. Aku menengok jam yang melingkar di tangan. Bikin repot aja, nih, oran
Sambil lewat, aku melihat-lihat koleksi terbaru di toko baju dengan merek ternama. Sudah berapa lama aku tidak ke sini?Aku melangkah masuk, disambut anggukan dan senyuman hangat dari gadis pelayan toko.Aku susuri lorong yang terpisah karena deretan baju yang tergantung memanjang. Begitu fokusnya, hingga tanpa sadar aku menabrak seseorang yang juga sedang melihat-lihat koleksi baju di sini.Mataku membulat dan berbinar saat kulihat siapa dia. Kejadian dulu terulang lagi. Aku menabrak tubuhnya di mal ini."Aline?""Mas Rangga?"Pandangan kami bertemu. Sungguh cinta ini masih begitu besar padanya. Dia makin terlihat gagah juga tampan. Pakaiannya yang selalu rapi dengan rambut klimisnya, membuatku jatuh cinta berkali-kali."Ngapain kamu di sini?" tanyanya padaku."Emmh, lagi lihat-lihat, Mas. Apa kabar, Mas?" sapaku sedikit grogi. Ya Tuhan, untung saja aku baru dari salon. Seandainya saja kami bertemu dalam keadaan aku sedang kucel, mati, aku! Mana dia selalu terlihat sempurna."Baik. G
Aku menerima pesan dari Mas Rangga. Dia mengajakku berlibur ke pantai untuk beberapa hari. Duh rasanya memang sudah lama sekali aku tidak berlibur, sejak kehamilan yang tak pernah aku harapkan itu. Aku benar-benar menutup diri dari dunia luar.Aku menyusun beberapa baju ke dalam tas besar. Kacamata, sunblock, topi dan kain pantai jangan lupa. Hmm, sepertinya akan sangat menyenangkan nanti. Aku bahkan sudah tidak sabar. Aku anggap ini sebagai bulan madu yang tertunda.Aku lihat Rasya tertawa renyah saat Rimba menggodanya. Rimba menggelitik dan mengajak ngobrol anak itu. Aku bisa dengar Rasya menjawab dengan celoteh yang belum jelas."Rasya ganteng, kecayangan Papa. Mau ke mana ini?" ujar Rimba dengan suara yang dibuat manja. Aku mendelik ke arahnya. Rasya tertawa dan tangannya menjulur minta digendong. Ternyata mereka begitu dekat. Aku merapikan dandanan sejenak sebelum pergi. Penampilanku sudah sempurna. Aline sudah kembali menjadi Aline si Cantik Jelita. "Kamu mau ke mana lagi, Lin
Malam harinya kami berjalan-jalan di tepi pantai setelah sebuah makan malam romantis disiapkan oleh Mas Rangga. Aku benar-benar tidak bisa lepas darinya. Aku bergelayut manja sepanjang menyusuri pasir dengan deburan ombak yang tak pernah berhenti menemani. Seperti hatiku yang tak pernah berhenti berdebar cepat saat bersamanya.Sekitar pukul sepuluh kami kembali ke vila. Aku ke kamar dan mengecek ponsel yang sengaja tidak aku bawa. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari Rimba juga Mama. Ada apa sih, mereka ini? Ganggu orang aja!Sebuah pesan di aplikasi hijau masuk atas nama Mama juga Rimba.[Kamu di mana? Cepat pulang, Rasya panas] Pesan dari Rimba.[Lin, cepet pulang. Rasya sakit]Pesan dari Mama.Halah, anak itu sakit. Dia kan ada bapaknya yang bisa diandelin, kenapa malah cari aku? Huh, dasar rese!Aku melempar ponsel itu ke kasur."Kenapa, Sayang?" tanya Mas Rangga yang tiba-tiba saja masuk ke kamar."Mmh, itu katanya Rasya sakit," jawabku grogi."Anak kamu?" tanyanya yang memb
Aku mengotak-atik berkas di hadapan. Begitu banyak utang yang harus kubayar, sementara penghasilan dari perusahaan ini sudah tidak mampu menutupinya.Sialan! Jika tidak secepatnya dapat kucuran dana, bisa bangkrut usahaku. Belum lagi kebutuhan hidupku yang selangit."Bagaimana?" tanya Papi dari kursi rodanya."Sudah di ujung tanduk, Pi. Aku gak tau lagi mau gimana.""Kamu salah, sih, pake ngelepasin perempuan itu. Bodoh kamu Rangga. Sekarang udah diambil sama adikmu, kamu gak bisa berbuat banyak." Papi mencak-mencak di kursi rodanya.Memang bener sih, aku terlalu terburu-buru, tapi ... aku males banget kalau harus punya istri bekas si Rimba. Dari kecil aku selalu nomor satu. Pintar, tampan dan selalu membuat Mami, Papi bangga. Mana pernah aku dapat barang bekas.Bukan hanya masalah Rimba saja, sebetulnya pacarku juga marah saat tahu aku berniat menikahi Aline, padahal sudah kujelaskan kalau aku menikahi wanita itu hanya karena ingin uangnya."Hentikan juga kebiasaan judimu itu! Habisl
"Aku juga tidak menginginkan mas kawin yang mahal. Cukup seperangkat alat sholat, itu sudah cukup," ujarnya lagi.Bagus. Sesuai dengan isi kantongku saat ini. Aku memang sedang tidak bisa mengeluarkan uang yang banyak.Aline memintaku untuk datang kembali pada papanya. Walaupun malas dan takut, aku terpaksa melakukannya. Aline berjanji akan membantuku meyakinkan papanya itu agak merestui kembali hubungan kami.Dengan sedikit rasa takut, akhirnya aku mendatangi rumah itu. Aline sudah menungguku di teras depan. Kami memang sudah janjian. Dia pun sudah mengatakan pada papanya, bahwa aku akan datang.Dengan mulut yang sedikit bergetar, aku mengulangi kata-kata itu. Bahwa aku ingin melamar putri Darwis untuk menjadi istriku kembali.Aku bisa melihat sorot mata tidak suka pada wajahnya. Namun, dia mana bisa menolak keinginan anak semata wayangnya. Aku merasa jumawa.Darwis pun menerima lamaranku, walaupun pada awalnya dia mencecarku dengan kalimat-kalimat menyakitkan karena telah meninggal