Share

Bab 10

"Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku.

"Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku.

"Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar.

Aku mendengkus.

"Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku.

 Dia menunduk dan mengangguk pelan.

"Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya."

"Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring.

"Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sama Papi. Tidak sepertiku, yang selalu membantah keinginan mereka. Apalagi ... ah sudahlah."

"Kalau kamu bisa memberikanku seratus juta setiap bulan, baru kamu pantas bersanding denganku," ujarku menyindir. Kulihat dia tersenyum miris dan menghela napas kasar.

"Kalau seandainya ada laki-laki kaya raya yang suka sama kamu, tapi sebenernya dia penipu, lalu aku ... yang hanya pengamen tapi  halal, kamu mau pilih yang mana?"

"Aku gak akan milih penipu. Aku sudah memilih seseorang yang baik dan mapan seperti Mas Rangga, tapi kamu malah hancurin semuanya," sindirku. Rimba kembali tersenyum miring.

"Rimba!" panggilku.

Lelaki itu menoleh.

"Kenapa kamu melakukan hal itu? Kenapa kamu menghancurkan pernikahan kakakmu sendiri?"

Dia terdiam sesaat.

"Mmh ... aku suka sama kamu. Aku iri sama Kak Rangga yang bisa memiliki kamu."

Aku mendengkus kesal.

"Heh, hanya karena  alasan itu, kamu membuat kami berpisah? Hanya karena itu kamu hancurkan hidupku? Kamu memang bajingan tanpa perasaan!" Aku memukuli lengannya tanpa henti. Dia hanya diam tak melawan.

Sebuah tendangan dari dalam perut membuatku meringis kesakitan. Sial! Anak.sama bapak selalu kompak bikin kesel.

"Lho, Lin, kamu kenapa lagi?" tanyanya sambil memegangi pundakku. Aku meringkuk  agar rasa sakitnya sedikit berkurang. Namun, bayi ini malah semakin berontak. Ya ampuun ... sakitnya.

Selain sering menendang, sekarang rasa gerah semakin menyiksa. Membuatku semakin membenci anak ini.

"Aku benar-benar ingin kalian mati saja!"

"Tenang, Lin. Baca doa. Apa mungkin sudah saatnya lahiran ya?" tanyanya khawatir.

Entahlah, mungkin juga memang sudah waktunya anak ini lahir. Rasanya benar-benar sakit. Perutku seakan diremas-remas. Aku tidak bisa berpikir.

"Kita ke rumah sakit aja, ya, Lin. Aku takut kamu kenapa-napa. Mana Papa dan Mama kamu lagi ga ada."

Perutku semakin melilit. Aku pasrah saat Rimba membopongku ke mobil. Dengan kecepatan tinggi dia menjalankan mobil, bagai orang kesetanan.

Aku meringis merasakan sakit yang semakin melilit di perut.

"Diam kamu bayi sialan! Kenapa kamu gak bisa diem!" Aku menjerit-jerit, sementara Rimba semakin kencang menjalankan mobilnya.

"Berdoa, Lin. Jangan mengumpat terus. Nanti sakitnya makin terasa kalau kamu marah-marah terus," ucapnya.

"Ini semua gara-gara kamu!" teriakku padanya. Sesekali tangan kirinya mengelus perutku. Aku mengatur napas karena rasa melilitnya semakin terasa.

Rasanya perjalanan ke rumah sakit ini terasa begitu lama. Mungkin karena aku ingin segera sampai di sana.

Akhirnya mobil berbelok juga ke gerbang UGD. Setelah sampai di pintu UGD, Rimba langsung turun dan mungkin untuk meminta perawat membawakan brankar untukku.

Benar saja, tak lama dia membuka pintu mobil dan membopongku ke brankar.

Tempat tidur beroda itu didorong ke dalam sebuah ruangan. Seorang perawat menanyai Rimba. Lelaki itu bilang jika aku mungkin akan segera melahirkan.

Perawat itu memeriksa kondisiku, lalu pergi beberapa saat dan kembali dengan seorang perawat lainnya mendekatiku.

Rupanya wanita yang datang belakangan itu adalah bidan. Dia memeriksa tensi dan juga jalan lahir.

"Iya, ini sudah ada pembukaan. Kita tunggu sampai bukaannya lengkap," ujar Bidan itu.

Aku meminta perawat agar menyiapkan sebuah ruangan VIP untukku. Aku tidak ingin menunggu di ruangan senpit dan berbagi seperti ini.

Sekali lagi Rimba menegurku, karena aku seenaknya memesan ruangan VIP.

"Kamu gak usah takut. Papaku yang akan membayarkan tagihannya nanti," jawabku. Terlihat raut kecewa dari wajahnya.

"Bukan begitu, Lin. Kamu itu sekarang tanggung jawabku, bukan lagi tanggung jawab papamu. Kamu harus mau menyesuaikan dengan kemampuanku," ujarnya pelan.

"Kalau aku gak mau, gimana?" jawabku ketus diselingi rintihan.

Lagi-lagi dia menghela napas kasar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sin Sin
knp buka bab gratis: iklan gagal diakses?coba lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status