"Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku.
"Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku.
"Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar.
Aku mendengkus.
"Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku.
Dia menunduk dan mengangguk pelan.
"Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya."
"Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring.
"Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sama Papi. Tidak sepertiku, yang selalu membantah keinginan mereka. Apalagi ... ah sudahlah."
"Kalau kamu bisa memberikanku seratus juta setiap bulan, baru kamu pantas bersanding denganku," ujarku menyindir. Kulihat dia tersenyum miris dan menghela napas kasar.
"Kalau seandainya ada laki-laki kaya raya yang suka sama kamu, tapi sebenernya dia penipu, lalu aku ... yang hanya pengamen tapi halal, kamu mau pilih yang mana?"
"Aku gak akan milih penipu. Aku sudah memilih seseorang yang baik dan mapan seperti Mas Rangga, tapi kamu malah hancurin semuanya," sindirku. Rimba kembali tersenyum miring.
"Rimba!" panggilku.
Lelaki itu menoleh.
"Kenapa kamu melakukan hal itu? Kenapa kamu menghancurkan pernikahan kakakmu sendiri?"
Dia terdiam sesaat.
"Mmh ... aku suka sama kamu. Aku iri sama Kak Rangga yang bisa memiliki kamu."
Aku mendengkus kesal.
"Heh, hanya karena alasan itu, kamu membuat kami berpisah? Hanya karena itu kamu hancurkan hidupku? Kamu memang bajingan tanpa perasaan!" Aku memukuli lengannya tanpa henti. Dia hanya diam tak melawan.
Sebuah tendangan dari dalam perut membuatku meringis kesakitan. Sial! Anak.sama bapak selalu kompak bikin kesel.
"Lho, Lin, kamu kenapa lagi?" tanyanya sambil memegangi pundakku. Aku meringkuk agar rasa sakitnya sedikit berkurang. Namun, bayi ini malah semakin berontak. Ya ampuun ... sakitnya.
Selain sering menendang, sekarang rasa gerah semakin menyiksa. Membuatku semakin membenci anak ini.
"Aku benar-benar ingin kalian mati saja!"
"Tenang, Lin. Baca doa. Apa mungkin sudah saatnya lahiran ya?" tanyanya khawatir.
Entahlah, mungkin juga memang sudah waktunya anak ini lahir. Rasanya benar-benar sakit. Perutku seakan diremas-remas. Aku tidak bisa berpikir.
"Kita ke rumah sakit aja, ya, Lin. Aku takut kamu kenapa-napa. Mana Papa dan Mama kamu lagi ga ada."
Perutku semakin melilit. Aku pasrah saat Rimba membopongku ke mobil. Dengan kecepatan tinggi dia menjalankan mobil, bagai orang kesetanan.
Aku meringis merasakan sakit yang semakin melilit di perut.
"Diam kamu bayi sialan! Kenapa kamu gak bisa diem!" Aku menjerit-jerit, sementara Rimba semakin kencang menjalankan mobilnya.
"Berdoa, Lin. Jangan mengumpat terus. Nanti sakitnya makin terasa kalau kamu marah-marah terus," ucapnya.
"Ini semua gara-gara kamu!" teriakku padanya. Sesekali tangan kirinya mengelus perutku. Aku mengatur napas karena rasa melilitnya semakin terasa.
Rasanya perjalanan ke rumah sakit ini terasa begitu lama. Mungkin karena aku ingin segera sampai di sana.
Akhirnya mobil berbelok juga ke gerbang UGD. Setelah sampai di pintu UGD, Rimba langsung turun dan mungkin untuk meminta perawat membawakan brankar untukku.
Benar saja, tak lama dia membuka pintu mobil dan membopongku ke brankar.
Tempat tidur beroda itu didorong ke dalam sebuah ruangan. Seorang perawat menanyai Rimba. Lelaki itu bilang jika aku mungkin akan segera melahirkan.
Perawat itu memeriksa kondisiku, lalu pergi beberapa saat dan kembali dengan seorang perawat lainnya mendekatiku.
Rupanya wanita yang datang belakangan itu adalah bidan. Dia memeriksa tensi dan juga jalan lahir.
"Iya, ini sudah ada pembukaan. Kita tunggu sampai bukaannya lengkap," ujar Bidan itu.
Aku meminta perawat agar menyiapkan sebuah ruangan VIP untukku. Aku tidak ingin menunggu di ruangan senpit dan berbagi seperti ini.
Sekali lagi Rimba menegurku, karena aku seenaknya memesan ruangan VIP.
"Kamu gak usah takut. Papaku yang akan membayarkan tagihannya nanti," jawabku. Terlihat raut kecewa dari wajahnya.
"Bukan begitu, Lin. Kamu itu sekarang tanggung jawabku, bukan lagi tanggung jawab papamu. Kamu harus mau menyesuaikan dengan kemampuanku," ujarnya pelan.
"Kalau aku gak mau, gimana?" jawabku ketus diselingi rintihan.
Lagi-lagi dia menghela napas kasar.
Setelah menjalani kontraksi selama beberapa jam, Aline akhirnya melahirkan seorang bayi mungil yang sehat. "Bayinya laki-laki, Lin," ucap Rimba. Aline menoleh sekilas, lantas kembali memejamkan matanya. "Lin, kamu gak mau lihat anakmu? Dia mirip aku," ucap Rimba pelan. Wajahnya berbinar saat melihat sang buah hati. Aline melengos."Bayinya segera disusui ya, Bu, biar tidak kuning, jadi bisa cepat pulang," ucap seorang perawat yang menyerahkan bayi pada Rimba. Lelaki itu mengangguk. Bagi mungil itu mulai merengek. "Lin, Adek haus kayaknya. Susuin dulu, ya," pinta Rimba sambil menimang bayinya. Aline segera membalikkan badannya. Tangisan bayi itu semakin keras. Namun, sepertinya Aline tak tergugah hatinya. Dia menutup kedua telinganya dengan tangan. "Berisiikkk! Aku cape, mau tidur!" teriaknya. Untung saja mereka ada di ruang VIP. "Lin, apa kamu gak kasian? Lihat, dia mencari kamu," bujuk Rimba. "Kasih susu formula aja kalau kamu emang kasian sama dia," jawab Aline ketus. "Lin,
Aline POVSengaja aku menawarkan harga segitu padanya. Agar harga dirinya semakin jatuh. Dari mana pula, dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kecuali jika dia minjem sama kakaknya.Cih, pake acara nangis segala. Bikin aku jengkel aja.Jujur, sebenernya aku juga merasa kasihan dengan anak itu, tapi aku telanjur benci dengan bapaknya. Apalagi saat kulihat bayi itu mirip sekali dengan bapaknya, bertambahlah rasa benciku padanya.Ya Tuhan, seandainya saja anak itu perempuan, dan mirip aku, pasti aku tidak akan sebenci itu pada anakku sendiri. Tapi ... ya Tuhan ... dia plek ketiplek banget sama bapaknya. Pantesan, saat hamil dulu aku begitu menyukai bau tubuhnya. Apa itu pengaruh ya? Ah, aku gak peduli.Ataukah karena aku begitu membenci Rimba, hingga bayi itu begitu mirip dengan dia? Bukankah kata orang kalau benci suka jadi mirip?Satu syarat lagi, aku mau memberikan ASI, tapi dengan menggunakan pompa ASI. Aku tidak mau menyusuinya secara langsung. Aku tidak mau kalau sampai merasa
"Kasian, ini, nangisnya udah kejer-kejer begini." Rimba menawar. Aku mencebik kesal. Ya sudahlah, mungkin akan lebih gampang juga jika aku langsung menyusuinya sekali-kali."Ya sudah, sini," ujarku padanya. Wajah Rimba tampak semringah. Dia lalu menyerahkan bayi yang baru berumur tiga minggu itu padaku. Aku risi dan kaku. Kok bisa ya, dia laki-laki tapi menggendong bayi dengan nyaman? Aku aja merasa kerepotan."Begini, Lin," katanya sambil membetulkan posisi tubuhku juga Rasya. Ada benernya juga. Posisiku sekarang jauh lebih nyaman.Aku mulai membuka baju bagian atas. Terlihat Rasya langsung mengemut payudaraku. Rimba melihat kami dengan tatapan haru."Heh, sana jauh-jauh. Mau ngintip, ya, kamu?" tuduhku. Dia melengos."Kita ini kan suami istri, Lin. Tidak ada batasan aurat," sanggahnya."Itu kan menurutmu, buatku, kamu itu bukan siapa-siapa!""Ya sudah, aku tunggu di luar saja kalau kamu gak suka aku di sini." Dia berbalik. Aku hanya bisa mendelik kesal. Rasya menyedot dengan kuat,
Hanya dalam waktu sebulan, tubuhku sudah mulai kembali langsing. Demi ini semua aku sama sekali tidak mengonsumsi karbohidrat. Olahraga pun hampir tiap hari kulakukan. Tak masalah, yang penting aku bisa kembali langsing dan cantik.Hari ini, jadwal pilates, sekalian aku mau ke salon. Rambut dan kukuku rasanya sudah tidak beraturan.Walau dengan make up tipis, itu sudah bisa menonjolkan kecantikanku. Tentu saja aku percaya diri, karena aku memang sudah cantik dari lahir. Sungguh. Aku tidak sedang bercanda sama kalian.Kecantikanku ini menurun dari Mama. Mataku bulat besar dengan bulu yang lentik. Hidungku mancung, bibir yang mungil ditambah kulitku yang kuning cerah.Baru saja aku mau mengambil tas selempang, terdengar tangisan Rasya dari boks bayinya. Aku hanya bisa mendengkus kesal. Ke mana si Rimba?"Rimbaaa!" teriakku dari kamar. Dia tak juga kunjung datang. Menyebalkan! Mana jadwal pilates sebentar lagi dimulai. Aku menengok jam yang melingkar di tangan. Bikin repot aja, nih, oran
Sambil lewat, aku melihat-lihat koleksi terbaru di toko baju dengan merek ternama. Sudah berapa lama aku tidak ke sini?Aku melangkah masuk, disambut anggukan dan senyuman hangat dari gadis pelayan toko.Aku susuri lorong yang terpisah karena deretan baju yang tergantung memanjang. Begitu fokusnya, hingga tanpa sadar aku menabrak seseorang yang juga sedang melihat-lihat koleksi baju di sini.Mataku membulat dan berbinar saat kulihat siapa dia. Kejadian dulu terulang lagi. Aku menabrak tubuhnya di mal ini."Aline?""Mas Rangga?"Pandangan kami bertemu. Sungguh cinta ini masih begitu besar padanya. Dia makin terlihat gagah juga tampan. Pakaiannya yang selalu rapi dengan rambut klimisnya, membuatku jatuh cinta berkali-kali."Ngapain kamu di sini?" tanyanya padaku."Emmh, lagi lihat-lihat, Mas. Apa kabar, Mas?" sapaku sedikit grogi. Ya Tuhan, untung saja aku baru dari salon. Seandainya saja kami bertemu dalam keadaan aku sedang kucel, mati, aku! Mana dia selalu terlihat sempurna."Baik. G
Aku menerima pesan dari Mas Rangga. Dia mengajakku berlibur ke pantai untuk beberapa hari. Duh rasanya memang sudah lama sekali aku tidak berlibur, sejak kehamilan yang tak pernah aku harapkan itu. Aku benar-benar menutup diri dari dunia luar.Aku menyusun beberapa baju ke dalam tas besar. Kacamata, sunblock, topi dan kain pantai jangan lupa. Hmm, sepertinya akan sangat menyenangkan nanti. Aku bahkan sudah tidak sabar. Aku anggap ini sebagai bulan madu yang tertunda.Aku lihat Rasya tertawa renyah saat Rimba menggodanya. Rimba menggelitik dan mengajak ngobrol anak itu. Aku bisa dengar Rasya menjawab dengan celoteh yang belum jelas."Rasya ganteng, kecayangan Papa. Mau ke mana ini?" ujar Rimba dengan suara yang dibuat manja. Aku mendelik ke arahnya. Rasya tertawa dan tangannya menjulur minta digendong. Ternyata mereka begitu dekat. Aku merapikan dandanan sejenak sebelum pergi. Penampilanku sudah sempurna. Aline sudah kembali menjadi Aline si Cantik Jelita. "Kamu mau ke mana lagi, Lin
Malam harinya kami berjalan-jalan di tepi pantai setelah sebuah makan malam romantis disiapkan oleh Mas Rangga. Aku benar-benar tidak bisa lepas darinya. Aku bergelayut manja sepanjang menyusuri pasir dengan deburan ombak yang tak pernah berhenti menemani. Seperti hatiku yang tak pernah berhenti berdebar cepat saat bersamanya.Sekitar pukul sepuluh kami kembali ke vila. Aku ke kamar dan mengecek ponsel yang sengaja tidak aku bawa. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari Rimba juga Mama. Ada apa sih, mereka ini? Ganggu orang aja!Sebuah pesan di aplikasi hijau masuk atas nama Mama juga Rimba.[Kamu di mana? Cepat pulang, Rasya panas] Pesan dari Rimba.[Lin, cepet pulang. Rasya sakit]Pesan dari Mama.Halah, anak itu sakit. Dia kan ada bapaknya yang bisa diandelin, kenapa malah cari aku? Huh, dasar rese!Aku melempar ponsel itu ke kasur."Kenapa, Sayang?" tanya Mas Rangga yang tiba-tiba saja masuk ke kamar."Mmh, itu katanya Rasya sakit," jawabku grogi."Anak kamu?" tanyanya yang memb
Aku mengotak-atik berkas di hadapan. Begitu banyak utang yang harus kubayar, sementara penghasilan dari perusahaan ini sudah tidak mampu menutupinya.Sialan! Jika tidak secepatnya dapat kucuran dana, bisa bangkrut usahaku. Belum lagi kebutuhan hidupku yang selangit."Bagaimana?" tanya Papi dari kursi rodanya."Sudah di ujung tanduk, Pi. Aku gak tau lagi mau gimana.""Kamu salah, sih, pake ngelepasin perempuan itu. Bodoh kamu Rangga. Sekarang udah diambil sama adikmu, kamu gak bisa berbuat banyak." Papi mencak-mencak di kursi rodanya.Memang bener sih, aku terlalu terburu-buru, tapi ... aku males banget kalau harus punya istri bekas si Rimba. Dari kecil aku selalu nomor satu. Pintar, tampan dan selalu membuat Mami, Papi bangga. Mana pernah aku dapat barang bekas.Bukan hanya masalah Rimba saja, sebetulnya pacarku juga marah saat tahu aku berniat menikahi Aline, padahal sudah kujelaskan kalau aku menikahi wanita itu hanya karena ingin uangnya."Hentikan juga kebiasaan judimu itu! Habisl