Share

Bab 10

last update Last Updated: 2022-06-30 18:27:32

"Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku.

"Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku.

"Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar.

Aku mendengkus.

"Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku.

 Dia menunduk dan mengangguk pelan.

"Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya."

"Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring.

"Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sama Papi. Tidak sepertiku, yang selalu membantah keinginan mereka. Apalagi ... ah sudahlah."

"Kalau kamu bisa memberikanku seratus juta setiap bulan, baru kamu pantas bersanding denganku," ujarku menyindir. Kulihat dia tersenyum miris dan menghela napas kasar.

"Kalau seandainya ada laki-laki kaya raya yang suka sama kamu, tapi sebenernya dia penipu, lalu aku ... yang hanya pengamen tapi  halal, kamu mau pilih yang mana?"

"Aku gak akan milih penipu. Aku sudah memilih seseorang yang baik dan mapan seperti Mas Rangga, tapi kamu malah hancurin semuanya," sindirku. Rimba kembali tersenyum miring.

"Rimba!" panggilku.

Lelaki itu menoleh.

"Kenapa kamu melakukan hal itu? Kenapa kamu menghancurkan pernikahan kakakmu sendiri?"

Dia terdiam sesaat.

"Mmh ... aku suka sama kamu. Aku iri sama Kak Rangga yang bisa memiliki kamu."

Aku mendengkus kesal.

"Heh, hanya karena  alasan itu, kamu membuat kami berpisah? Hanya karena itu kamu hancurkan hidupku? Kamu memang bajingan tanpa perasaan!" Aku memukuli lengannya tanpa henti. Dia hanya diam tak melawan.

Sebuah tendangan dari dalam perut membuatku meringis kesakitan. Sial! Anak.sama bapak selalu kompak bikin kesel.

"Lho, Lin, kamu kenapa lagi?" tanyanya sambil memegangi pundakku. Aku meringkuk  agar rasa sakitnya sedikit berkurang. Namun, bayi ini malah semakin berontak. Ya ampuun ... sakitnya.

Selain sering menendang, sekarang rasa gerah semakin menyiksa. Membuatku semakin membenci anak ini.

"Aku benar-benar ingin kalian mati saja!"

"Tenang, Lin. Baca doa. Apa mungkin sudah saatnya lahiran ya?" tanyanya khawatir.

Entahlah, mungkin juga memang sudah waktunya anak ini lahir. Rasanya benar-benar sakit. Perutku seakan diremas-remas. Aku tidak bisa berpikir.

"Kita ke rumah sakit aja, ya, Lin. Aku takut kamu kenapa-napa. Mana Papa dan Mama kamu lagi ga ada."

Perutku semakin melilit. Aku pasrah saat Rimba membopongku ke mobil. Dengan kecepatan tinggi dia menjalankan mobil, bagai orang kesetanan.

Aku meringis merasakan sakit yang semakin melilit di perut.

"Diam kamu bayi sialan! Kenapa kamu gak bisa diem!" Aku menjerit-jerit, sementara Rimba semakin kencang menjalankan mobilnya.

"Berdoa, Lin. Jangan mengumpat terus. Nanti sakitnya makin terasa kalau kamu marah-marah terus," ucapnya.

"Ini semua gara-gara kamu!" teriakku padanya. Sesekali tangan kirinya mengelus perutku. Aku mengatur napas karena rasa melilitnya semakin terasa.

Rasanya perjalanan ke rumah sakit ini terasa begitu lama. Mungkin karena aku ingin segera sampai di sana.

Akhirnya mobil berbelok juga ke gerbang UGD. Setelah sampai di pintu UGD, Rimba langsung turun dan mungkin untuk meminta perawat membawakan brankar untukku.

Benar saja, tak lama dia membuka pintu mobil dan membopongku ke brankar.

Tempat tidur beroda itu didorong ke dalam sebuah ruangan. Seorang perawat menanyai Rimba. Lelaki itu bilang jika aku mungkin akan segera melahirkan.

Perawat itu memeriksa kondisiku, lalu pergi beberapa saat dan kembali dengan seorang perawat lainnya mendekatiku.

Rupanya wanita yang datang belakangan itu adalah bidan. Dia memeriksa tensi dan juga jalan lahir.

"Iya, ini sudah ada pembukaan. Kita tunggu sampai bukaannya lengkap," ujar Bidan itu.

Aku meminta perawat agar menyiapkan sebuah ruangan VIP untukku. Aku tidak ingin menunggu di ruangan senpit dan berbagi seperti ini.

Sekali lagi Rimba menegurku, karena aku seenaknya memesan ruangan VIP.

"Kamu gak usah takut. Papaku yang akan membayarkan tagihannya nanti," jawabku. Terlihat raut kecewa dari wajahnya.

"Bukan begitu, Lin. Kamu itu sekarang tanggung jawabku, bukan lagi tanggung jawab papamu. Kamu harus mau menyesuaikan dengan kemampuanku," ujarnya pelan.

"Kalau aku gak mau, gimana?" jawabku ketus diselingi rintihan.

Lagi-lagi dia menghela napas kasar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sin Sin
knp buka bab gratis: iklan gagal diakses?coba lagi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 197

    Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 196

    “Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 195

    Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 194

    Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 193

    “Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 192

    Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status