Aku menerima pesan dari Mas Rangga. Dia mengajakku berlibur ke pantai untuk beberapa hari. Duh rasanya memang sudah lama sekali aku tidak berlibur, sejak kehamilan yang tak pernah aku harapkan itu. Aku benar-benar menutup diri dari dunia luar.Aku menyusun beberapa baju ke dalam tas besar. Kacamata, sunblock, topi dan kain pantai jangan lupa. Hmm, sepertinya akan sangat menyenangkan nanti. Aku bahkan sudah tidak sabar. Aku anggap ini sebagai bulan madu yang tertunda.Aku lihat Rasya tertawa renyah saat Rimba menggodanya. Rimba menggelitik dan mengajak ngobrol anak itu. Aku bisa dengar Rasya menjawab dengan celoteh yang belum jelas."Rasya ganteng, kecayangan Papa. Mau ke mana ini?" ujar Rimba dengan suara yang dibuat manja. Aku mendelik ke arahnya. Rasya tertawa dan tangannya menjulur minta digendong. Ternyata mereka begitu dekat. Aku merapikan dandanan sejenak sebelum pergi. Penampilanku sudah sempurna. Aline sudah kembali menjadi Aline si Cantik Jelita. "Kamu mau ke mana lagi, Lin
Malam harinya kami berjalan-jalan di tepi pantai setelah sebuah makan malam romantis disiapkan oleh Mas Rangga. Aku benar-benar tidak bisa lepas darinya. Aku bergelayut manja sepanjang menyusuri pasir dengan deburan ombak yang tak pernah berhenti menemani. Seperti hatiku yang tak pernah berhenti berdebar cepat saat bersamanya.Sekitar pukul sepuluh kami kembali ke vila. Aku ke kamar dan mengecek ponsel yang sengaja tidak aku bawa. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari Rimba juga Mama. Ada apa sih, mereka ini? Ganggu orang aja!Sebuah pesan di aplikasi hijau masuk atas nama Mama juga Rimba.[Kamu di mana? Cepat pulang, Rasya panas] Pesan dari Rimba.[Lin, cepet pulang. Rasya sakit]Pesan dari Mama.Halah, anak itu sakit. Dia kan ada bapaknya yang bisa diandelin, kenapa malah cari aku? Huh, dasar rese!Aku melempar ponsel itu ke kasur."Kenapa, Sayang?" tanya Mas Rangga yang tiba-tiba saja masuk ke kamar."Mmh, itu katanya Rasya sakit," jawabku grogi."Anak kamu?" tanyanya yang memb
Aku mengotak-atik berkas di hadapan. Begitu banyak utang yang harus kubayar, sementara penghasilan dari perusahaan ini sudah tidak mampu menutupinya.Sialan! Jika tidak secepatnya dapat kucuran dana, bisa bangkrut usahaku. Belum lagi kebutuhan hidupku yang selangit."Bagaimana?" tanya Papi dari kursi rodanya."Sudah di ujung tanduk, Pi. Aku gak tau lagi mau gimana.""Kamu salah, sih, pake ngelepasin perempuan itu. Bodoh kamu Rangga. Sekarang udah diambil sama adikmu, kamu gak bisa berbuat banyak." Papi mencak-mencak di kursi rodanya.Memang bener sih, aku terlalu terburu-buru, tapi ... aku males banget kalau harus punya istri bekas si Rimba. Dari kecil aku selalu nomor satu. Pintar, tampan dan selalu membuat Mami, Papi bangga. Mana pernah aku dapat barang bekas.Bukan hanya masalah Rimba saja, sebetulnya pacarku juga marah saat tahu aku berniat menikahi Aline, padahal sudah kujelaskan kalau aku menikahi wanita itu hanya karena ingin uangnya."Hentikan juga kebiasaan judimu itu! Habisl
"Aku juga tidak menginginkan mas kawin yang mahal. Cukup seperangkat alat sholat, itu sudah cukup," ujarnya lagi.Bagus. Sesuai dengan isi kantongku saat ini. Aku memang sedang tidak bisa mengeluarkan uang yang banyak.Aline memintaku untuk datang kembali pada papanya. Walaupun malas dan takut, aku terpaksa melakukannya. Aline berjanji akan membantuku meyakinkan papanya itu agak merestui kembali hubungan kami.Dengan sedikit rasa takut, akhirnya aku mendatangi rumah itu. Aline sudah menungguku di teras depan. Kami memang sudah janjian. Dia pun sudah mengatakan pada papanya, bahwa aku akan datang.Dengan mulut yang sedikit bergetar, aku mengulangi kata-kata itu. Bahwa aku ingin melamar putri Darwis untuk menjadi istriku kembali.Aku bisa melihat sorot mata tidak suka pada wajahnya. Namun, dia mana bisa menolak keinginan anak semata wayangnya. Aku merasa jumawa.Darwis pun menerima lamaranku, walaupun pada awalnya dia mencecarku dengan kalimat-kalimat menyakitkan karena telah meninggal
Setelah akad yang diadakan di kediamanku, seperti dulu, aku diboyong Mas Rangga untuk tinggal di rumahnya. Awalnya aku tidak mau, karena tidak ingin bertemu lagi dengan Rimba. Namun, Mas Rangga meyakinkanku jika lelaki berandalan itu sudah tidak pernah kembali lagi ke rumah. Akhirnya aku pun menerima ajakannya.Saat menjejakan kaki di rumah ini lagi, jujur, ada sedikit rasa takut yang menghampiri. Aku kembali teringat peristiwa setahun lalu yang mengakibatkan trauma besar dalam hidupku."Ayo, Sayang, kenapa malah melamun?" ajak Mas Rangga saat kami sudah berada di ambang pintu. Aku tersenyum padanya."Iya, Mas."Aku mengikuti langkah kaki suamiku, kembali ke rumah ini. Laki-laki yang akan menjadi tempatku berbagi suka dan duka. Aku bahagia menjadi istri dari orang yang aku cintai.Saat hendak masuk ke dalam kamar itu, aku kembali teringat kejadian mengerikan itu. Aku memejamkan mata, berusaha untuk melupakannya. Aku menggeleng kuat.Tidak! Tidak! Semua itu sudah berlalu. Kini aku aka
Dia langsung menyambar benda pipih itu."Halo. Apa? Segawat itu? Ah iya, ok sebentar lagi aku ke sana. Tunggu saja," ucapnya pada seseorang di telepon."Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran."Ah, itu ... bahan baku datang. Di gudang tidak ada orang yang bisa nerima barangnya, karena sebagian belum aku bayar. Kamu tunggu dulu di sini, ya. Aku janji akan segera kembali," ucapnya terburu-buru. Aneh. Masa iya tidak ada yang bisa handle pekerjaan seperti itu. Kenapa juga barangnya datang malam-malam?"Kenapa malem-malem datangnya? Terus pembayarannya tidak bisa besok saja ditransfer?" tanyaku menyelidik."Ah, itu ... emh ... supliernya agak primitif sih, dia hanya terima uang cash," lanjutnya sambil memasukan ponsel ke saku celana."Kamu tidur dulu saja, ya, Sayang. Nanti kalau aku kembali, aku bangunin kamu. Bye, Sayang," ucapnya sambil mengecup keningku sekilas dan berlalu.Aneh. Kenapa kejadian ini terulang lagi? Dia meninggalkanku di saat malam pertama kami.Aku mendengkus kesal. Persiapan
Selang setengah jam, pesananku datang. Aku segera menerima dan membayar semuanya.Mami dan Papi sudah menunggu di meja makan sambil menikmati secangkir kopi. Mencium aroma kopi, aku kembali teringat dengan Rasya. Saat kehamilannya dulu, aku begitu menyukai aroma itu. Entah kenapa ada rasa perih saat mengingatnya. Apakah aku memang sayang pada anak itu?"Cepet, Lin, Papi sudah kelaparan, nih," ujar Mami dari meja makan. Aku bergegas mengambil empat piring dari dapur dan segera menyajikan nasi goreng itu. Wanginya menguar membuat lapar.Mas Rangga turun dari lantai atas dengan pakaian yang baru. Sepertinya dia sudah mandi, karena wajahnya terlihat segar."Sarapan dulu, Mas," tawarku. Dia mengangguk sambil menarik kursi dan duduk di sana."Bikinkan teh hangat juga buat Rangga, Lin," titah Mami di sela suapannya. Aku yang hendak duduk, segera bangkit lagi dan kembali ke dapur untuk menyiapkan secangkir teh. Setelah siap, aku kembali ke meja makan dan menaruh cangkir itu di depan Mas Rangg
Tubuhku benar-benar lelah karena seharian ini bekerja. Tanganku sudah nggak indah lagi rasanya. Apalagi tadi tiba-tiba tetangga ada yang mengirim ikan hidup buat Mami. Dan dengan entengnya Mami menyuruhku buat mebgurus ikan itu hingga mateng. Oh, shit! Kalau bukan ibu mertua, rasanya sudah ingin kulemparkan saja ikan itu ke mukanya. Perasaan dulu dia selalu bersikap baik padaku, tapi sekarang? Ah, kenapa dia seperti ingin menjadikan aku seorang kacung di sini? Sialan memang!Ikan-ikan hidup itu menggelepar ke sana kemari, membuatku menjerit ketakutan saat membersihkannya. Dia melihatku dari ambang pintu sambil tertawa. Membuat aku geram saja.Membantu saja tidak, malah ngetawain! Gak ada akhlak emang.Dapur menjadi kotor karena ikan itu berlompatan. Aku mengejarnya seperti mengejar hantu, saking licinnya. Napasku tersengal karena cape dan kesal. Ternyata sesulit itu membersihkan ikan.Belum lagi saat menggorengnya. Aku menjerit ketakutan saat tubuh ikan itu bersatu dengan minyak pana