Share

Pulang

"Maaf, Bu. Arfan baru bisa nyusul Nabila ke sini." 

"Iya, tidak apa-apa. Kamu orang sibuk Ibu ngerti." 

Rupanya Mas Arfan nekat ke rumah orang tuaku meski tengah malam. Aku mendengar suaranya dari dalam kamar.  

"Diminum teh-nya, Fan. Mumpung masih anget."

"Iya, Bu. Terimakasih." 

"Sudah makan? Kalau belum Ibu ada sayur dan lauknya. Ibu bisa angetin."

"Udah, Bu. Nggak usah." 

"Nabila ada di kamarnya, tadi katanya kurang enak badan."

"Oh, ya, Bu. Arfan memang belum sempat membawa ke dokter. Kalau gitu Arfan temuin Nabila dulu. Silakan Ibu istirahat. Maaf, sudah mengganggu."

"Iya, silahkan. Bawa saja tehnya."

"Iya, Bu."

Aku buru-buru meringkuk. Sudah menyimak obrolan mereka. Pintu kamar dibuka Mas Arfan. Terdengar suara gelas ditaruh. Aku yakin itu teh manisnya. 

"Bila." Dia menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa?" 

Mau tidak mau aku membuka mata. Melihatnya sudah duduk di sisiku. 

"Aku nggak tau kamu sakit. Kamu nggak bilang."

"Memangnya kalau bilang kamu peduli?" 

Lelaki itu diam. Aku membuang pandangan memiringkan tubuh kembali. 

"Aku habis dari rumah Saskia." Dan aku sudah tahu itu. Ke mana lagi memangnya, kalau bukan pergi ke rumah perempuan itu? Jadi, percuma aku bilang pun. Dia pasti akan tetap menemui Saskia. Mana mau menemaniku? 

"Kenapa kamu ke sini? Takut rahasiamu aku bongkar, iya?"

"Sudahlah, Nabila, kamu tidur saja." 

Aku mendengus dan terdiam. Malah jadi sulit tidur karna kedatangannya. Tidak menyangka dia akan ke sini. Aku sudah berpikir dia tidak akan peduli. 

"Aku kira kamu tidak jadi pergi." Nyatanya aku di sini. Dia pikir aku tidak berani keluar malam sendirian? Dan karna aku pergi dia terpaksa harus meninggalkan Saskia. Karna mencemaskan rahasianya. 

"Ibu masih memperlakukanku baik. Terimakasih kamu masih menjaga aman rahasia tersebut. Aku yakin kamu tidak akan melakukan itu." 

"Bagaimana kalau ternyata aku mengatakan semuanya?" balasku cepat setelah terdiam beberapa saat. Aku tersentak Mas Arfan membalikkan tubuhku begitu saja menghadapnya. 

"Kamu tidak akan melakukan itu." Lelaki itu merunduk di atasku menatapku intens.

"Jangan terlalu percaya diri!" Aku menepis dua tangannya dari bahu, menjauh lagi. Dia duduk tegap dan malah tersenyum dengan manis, menambah tampan wajahnya. Aku melengos kembali dan merasakan pipi memerah karna ditatap seperti itu seakan menggodaku. Dia tidak takut setelah di sini, seakan aku bisa dikendalikan untuk tidak berbuat apapun.

"Kamu dingin? Katanya meriang, mau aku peluk?" Mas Arfan ikut merebahkan tubuh dan memelukku. 

"Apaan, Mas!" 

"Kamu tidak usah hawatir. Saskia sudah melayaniku dengan baik." 

Aku muak dan jijik mendengarnya. 

"Kamu belum mandi?"

"Mandi apa?"

"Mandi dari hadas besar!"

"Oh, dikeramas maksudmu? Belum." 

"Singkirkan tubuh kotormu dariku!" Tubuhnya kujauhkan sampai Mas Arfan terjatuh dari ranjang. Aku tidak sudi disentuhnya dalam keadaan junub! Dan pastinya lengket keringat. 

"Kenapa memangnya?" Dia menatapku jengkel seraya berdiri.

"Mandi sana. Sekarang juga!"

"Ini tengah malam, Nabila. Dingin."

"Aku tidak peduli. Pokoknya kamu harus mandi. Kamu juga pasti belum solat isya." 

Dia diam sedikit menunduk. Benar ucapanku, lelaki itu belum salat. "Dengar aku, Mas. Kamu mandi. Bersihkan diri kamu dan solat. Kamu bisa mandi air hangat." 

"Aku mau tidur. Aku capek."

"Mas! Kamu mau aku membangunkan seluruh orang rumah dan mengatakan semuanya?" ancamku. Mas Arfan baru berbaring buru-buru bangun lagi. 

"Nabila, jangan macam-macam kamu. Baik, aku mandi sekarang!" Dia beranjak mengambil handuk di lemari lalu keluar membuka pintu. Aku menghela napas lega, tapi juga merasa perih mengetahui dia ke sini sehabis bergumul dengan Saskia. 

*** 

Pagi-pagi sekali ibu sudah selesai memasak. Aku menghampirinya yang baru menaruh mangkuk sayur di meja. Lauk sudah tersedia di sana. Termasuk air minum dan piring. 

"Ibu sudah selesai? Maaf, Bila nggak bantu."

"Tidak apa-apa. Bagaimana badan kamu sekarang?"

"Aku lebih enakkan, Bu." 

"Pasti karna ada suamimu." 

Aku mengeryit tidak paham. "Maksud Ibu?" 

"Ya karna ada yang menemani, kamu tidak akan kedinginan jadinya. Kamu bisa minta dipeluk," jawabnya sambil tersenyum. 

"Ah, Ibu." Aku jadi malu. Padahal, tidak begitu. Kami tampak harmonis sekali di mata ibu. Sampai mempunyai pikiran seperti itu. Bagaimana kalau tahu kami hanya pura-pura?

"Yasudah, makan dulu. Nanti minum obat. Ajak sekalian suamimu." 

Aku mengangguk kecil. Berbalik menemui Mas Arfan. Lelaki itu sedang mengobrol bersama bapak dan Nizar di ruang depan. Aku memperhatikannya yang leluasa bicara serta ramah. Orang tidak akan curiga dia sedang menyembunyikan sesuatu. Benar-benar pandai akting. 

"Bukannya dari sore ke sininya. Jadi lebih banyak waktu. Nggak harus buru-buru pergi." Bapak sama berkata ramah pada menantunya itu. 

"Iya, Pak. Ada urusan. Nanti Arfan bisa ke sini lagi. Jengukin Bapak. Semoga Bapak lekas sembuh. Kalau perlu sesuatu jangan ragu minta sama Arfan. Pasti Arfan bantu." Bapak sampai tertawa kecil menanggapi ucapannya. Mungkin saking senang suamiku bicara begitu. Lalu mengelus dadanya seperti lega atas sesuatu. Meski tubuh itu terlihat ringkih dan lemah, tapi terpancar rona bahagia di matanya. Adikku juga tersenyum menatap kagum kakak iparnya itu.

Andai bapak tau ... aku menggeleng tak sanggup membayangkan. Mas Arfan tidak sebaik itu, Pak. 

"Mas makan dulu." Mas Arfan menoleh dan pamit pada bapak menghampiriku. Aku juga menawari bapak dan Nizar untuk makan bersama kami. "Kalian makanlah dulu." Bapak menjawabku sambil tersenyum. "Kamu kurang sehat Bapak tau. Arfan sudah mengatakannya. Jangan lupa minum obat."

"Bapak juga jangan lupa minum obat." Lelaki paruh baya dengan rambut beruban di balik peci putih yang dikenakannya itu mengangguk kecil. Kami pun berlalu. 

Hanya berdua menikmati makan, tanpa obrolan sampai selesai. Ibu tidak ada di ruangan ini pergi menemani bapak. Mas Arfan menghampiriku saat aku ke kamar.

"Kita berangkat. Kamu mau pulang kan?" tanyanya setelah menutup pintu. 

"Bagaimana kalau aku masih mau di sini?" 

"Kamu harus ikut aku jangan di sini lama-lama." Dia menatapku tak suka. 

"Biarkan aku di sini dulu. Pula ini di rumah orang tuaku sendiri. Bukan di rumah siapa-siapa." 

"Pulang, Nabila. Rumah jangan dibiarkan kosong!"

"Kamu juga sering meninggalkan rumah!" Aku balas menatapnya tak suka karna sudah egois dan dengan bicara nada tinggi sama seperti dirinya. "Bahkan sampai berhari-hari. Kamu sering meninggalkanku. Membiarkan sendirian. Tanpa kabar. Kamu pikir aku betah jika terus begitu? Apalagi dalam keadaan badanku kurang sehat." Mataku tiba-tiba memanas, sedih rasanya. Tapi aku tidak mau menangis di hadapannya. Hanya menatap kecewa dan amarah yang terpancar. Dia sering meninggalkanku. Tapi ketika aku pergi dia tidak suka. Menuntut pulang secepatnya. 

"Aku masih mau di sini, Mas." Berbalik membiarkan lelaki itu tertegun atas keluh kesahku. Sejak menikah aku belum menginap di sini lagi. Sikapnya yang tak acuh memicu kuat ingin pulang. 

Dia pikir aku penjaga rumahnya? Atau hanya pembantu yang disuruh menginap setiap hari di sana. Yang tidak boleh jauh-jauh dan tidak boleh lama pergi. Aku istrimu, tapi kamu lebih buruk memperlakukanku dari pada pembantu. Pembantu saja diberi kabar saat majikannya pergi atau saat tidak pulang. Pembantu tidak dicuekkan terus menerus. Tapi yang kudapatkan lebih-lebih dari itu. 

"Maafkan aku." Mas Arfan memelukku dan berkata lembut. Gantian aku kini yang tertegun. Menatap pada tangannya di perutku.

"Tapi aku ingin kamu pulang. Aku janji setelah ini aku akan kasih kabar ketika sedang di luar." 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nadhira Eira
Kasihan nabila
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, kapan si nabila ini cerdas dikit njing. dasar sama dg binatang g punya otak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status