"Baik. Aku pergi sekarang juga!" Kutinggalkan Mas Arfan melangkah cepat dan berlari kecil menaiki tangga. Tidak peduli dia yang tertegun setelah mendengar jawaban tegasku.
Di kamar mengeluarkan koper dan membuka lemari. Aku sudah ingin pergi sejak dia jujur malam itu. Baju-baju kumasukkan asal dengan hati perih dan rasa tak menentu. Mas Arfan keterlaluan. Menyuruhku pergi demi perempuan itu. Tetes air mata jatuh di pipi teringat Bapak. Maafkan, Nabila, Pak. Jika sekarang kembali ke rumah Bapak. Semoga tidak mengganggu kesehatan Bapak. Kuseka kasar tangisku dengan telapak tangan. Koper ditutup dan menurunkannya dari tempat tidur. Mas Arfan terdiam melihatku saat menuruni tangga. Sedangkan Saskia tersenyum senang sambil merangkul lengannya manja. Aku menunduk tidak mau melihat keduanya. "Saya pamit, Mas. Nanti Mas Arfan nyusul untuk menjatuhkan talak di hadapan orang tua saya." Setelah itu, tanpa menunggu jawabannya aku keluar. Melangkah dengan berat hati dan perasaan yang hancur. Sebisa mungkin menahan isak tangis tidak ingin diketahui mereka. Sudah takdirku dan pernikahan ini harus berakhir cepat. Seperti ini lebih baik dari pada kehadiranku tidak dianggap dan terus diabaikan. Ditambah ada perempuan lain. Tepat saat mencapai hendel pintu langkahku tertahan, mendengar suara kencang Mas Arfan. "Apa? Papa mau ke sini sekarang? Lagi di jalan? Sama Mama?!" Aku berbalik melihatnya yang panik. Lelaki itu lalu tertuju padaku. Menutup teleponnya dan melangkah.Aku menggeleng dan buru-buru keluar. Biar, biar sekalian orang tuanya tau ada perempuan lain di sini dan aku telah pergi diusirnya. Biar mereka tau anaknya ini tidak sebaik yang mereka kira. "Tunggu, Nabila!" Aku terus berjalan cepat membawa koper ke jalan. Mas Arfan mengejarku tidak dihiraukan teriakan Saskia memanggilnya. Langkah Mas Arfan yang lebar dan lebih cepat berhasil menangkap pergelanganku. "Jangan pergi, Nabila." "Lepas, Mas!""Ayo, kembali ke rumah.""Aku tidak mau. Urus saja perempuan itu!" "Oke, aku ngaku salah. Aku minta maaf. Jangan pergi." "Kenapa? Takut orang tua kamu tau? Takut kamu jadi miskin dan tidak dapat warisan?"Mas Arfan mengusap wajah dan membuang napas kasar. "Pulang, Nabila. Ayo!" "Tidak!" Dia merebut pegangan koperku hingga terlepas. Kemudian mengangkat tubuhku begitu saja. "Mas! Apaan kamu? Turunkan aku!" Mas Arfan tidak mendengarkan, berbalik membawaku sambil menggeret koper. Bukankah dia sakit dan lemas badannya mengapa bisa membawaku seperti ini? Tubuhku seolah kapas ringan di pundaknya. Aku takut menatap bawah. "Mas, hentikan!" Kupukul-pu-kul dia dan mencubitnya supaya menurunkanku. "Aw! Ah!" Mas Arfan hanya mengaduh tapi tidak berhenti berjalan dan malah semakin kencang menahan tubuhku di atasnya. "Turunkan aku. Turunkan!" "Kamu tidak boleh pergi dan tetap akan bersamaku." Dia semakin melangkah cepat membawa diriku. Di dalam rumah aku diturunkan. Mas Arfan memegangi kuat tanganku takut aku kabur. Membuat Saskia cemburu dan marah melihatnya. "Kenapa perempuan itu dibawa lagi ke sini? Biarkan saja dia pergi, Mas." Dia mendorong bahuku supaya menjauh. Namun, Mas Arfan malah merangkulku. "Dengarkan aku Saskia. Sekarang kamu pulang.""Tidak mau, Mas.""Kamu dengarkan tadi Papa aku nelfon? Mau ke sini. Cepat kamu pergi." "Mas, aku belum lama di sini. Kita kan belum--""Nanti." Mas Arfan menyela cepat perkataannya. "Mas juga kangen, tapi sekarang nggak bisa. Kamu pulanglah dulu." Dia berkata lembut membujuk. Aku muak. Hendak melepaskan diri, tapi dia menahan kuat pergelanganku lagi. Saskia menggeleng-geleng kecil menanggapinya dan berubah sendu serta matanya mengembun. Mas Arfan melengos darinya. Aku tahu lelaki itu tidak tega dan tidak rela melainkan terpaksa menyuruhnya pergi. "Mbak, ajak istri dan anak saya pulang." Pembantu yang setia menemani Saskia ke mana pun pergi dan tengah menggendong anaknya mendekat. "Baik, Pak. Mari, Non." "Mas." Perempuan itu memelas."Pulanglah. Papa Mamaku akan ke sini." "Aku juga ingin berkumpul sama orang tua kamu, Mas.""Nanti. Pasti bisa." "Mas." Perempuan itu mendekat memeluk Mas Arfan erat. Lelaki itu pun membalasnya, menyentuh dengan satu tangan karna satu tangannya yang lain masih menggenggamku kuat. Keduanya lalu berlepas. Mas Arfan mencium pipi dan kening Saskia, aku melengos, tidak suka dan sakit hati melihatnya. Kutarik tangan darinya agar bisa menjauh, tapi lelaki itu tetap bisa menahanku. Sampai aku meringis karna cekalannya begitu kuat di pergelangan. "Lepas, Mas," desisku menatap tajam ia. "Tidak akan kulepaskan," balasanya pelan dan sama menekan ucapan. Kemudian dia melihat perempuan itu menjauh. Ke luar rumah. Mas Arfan mengikutinya sambil membawaku lagi. Melangkah lebar sampai kakiku terseretnya. Di luar, dua sejoli itu saling bersitatap lagi. "Aku pergi." "Hati-hati." Saskia lalu melihatku. "Awas, kamu. Jangan sentuh suamiku!" Aku berpaling tidak sudi melihat ataupun menanggapi ucapannya. Apa dia buta? Mas Arfan sendiri yang menahanku. Lihat, bahkan dia tidak melepasku, membawaku lagi ke sini setelah aku berniat pergi. Dia juga suamiku, bukan hanya suaminya! Tapi dia tidak menyadarinya. "Savia, baik-baik sama Mama, ya, Sayang. Nanti ketemu Papa lagi." Mas Arfan kini bicara pada anak kecil itu, tidak tahu apa yang dia lakukan karna aku masih berpaling pada pemandangan lain. Sampai terdengar mesin mobil dihidupkan barulah aku tertuju ke depan. Saskia sudah di kursi kemudi di temani pembantu dan anak kecil di sampingnya. Memundurkan mobil pelan ke jalan dan pergi. Tepat setelah kepergiannya, mobil lain datang berhenti di halaman. Rupanya mereka orang tua Mas Arfan. Suamiku menghela napas lega dan menyambutnya dengan senyum. Tamu dadakan kami sudah datang. "Wah, wah ... kompak sekali kalian ada di sini." Papa berkata sumringah. "Iya dan romantis," sahut mama dengan ekspresi sama. Bagaimana tidak? Kami jadi terlihat kompak dan mesra. Keduanya menghampiri kami. "Bagaimana Arfan, kesehatan kamu?""Seperti yang Papa lihat, Arfan baik-baik aja.""Syukurlah. Mama hawatir dengar kamu demam. Tadinya kalau masih sakit kita ke dokter.""Tidak perlu, Ma. Aku udah nggak apa-apa." "Nabila sudah gerak cepat membantumu, kamu harusnya berterimakasih sama dia. Kalau dibiarkan kamu pasti masih demam sampai sekarang." Mas Arfan melirikku. "Oh, iya, Ma. Ini semua berkat bantuan istriku yang cantik dan baik ini. Makasi, ya, Sayang." Tersenyum ia dan ramah menatapku. Padahal hanya sandiwara! Mas Arfan mempersilakan keduanya masuk. Aku mengekori di belakang seraya tak henti melihat tanganku yang terus digenggam. Tidak ada Saskia, aku diperlakukan manis olehnya di hadapan orang tuanya. "Loh, kok ada koper di sini? Koper siapa ini?" Mas Arfan melebarkan mata mendengar pertanyaan Papa. Aku juga. Pegangan koper itu Mas Ambil. "Tadinya kami mau liburan, iya kan, Sayang?" Dia merengkuh bahuku. "Liburan? Bulan madu maksudnya?" Kulihat Mas Arfan mengangguk kaku menanggapi mama. "Oh, iya, kamu kan sejak menikah tidak liburan honeymoon. Malah sibukin kerja, kasian Nabila. Sudah seharusnya kamu mengajaknya pergi." Aku tersenyum terhibur melihat suamiku kini kebingungan. Salahmu, Mas, berucap tanpa dipikir."Memangnya mau berangkat kapan? Sudah siap begini. Destinasi mana yang kalian tuju?" ujar papa. Membuat Mas Arfan sekarang sedikit panik. Mungkin takut ketahuan bohong. Pusing kan kamu, Mas? Jadi melebar kemana-mana. Aku semakin terhibur menontonnya."Kami baru siap-siap aja. Belum memutuskan akan ke mana. Mungkin lusa." Terus saja kamu cari-cari alasan, Mas. "Ya ampun, Arfan ... Mama kira besok kamu mau berangkat.""Enggak, Ma. Aku kan baru sehat." "Lagian, baru habis sakit kok udah siap-siap aja. Sabar dulu lah, Fan. Kalau soal senang-senang sama istri di rumah juga bisa. Bukan begitu, Ma?" Mama mengangguk mantap mengiyakan suaminya. Mereka tertawa kecil melihat Mas Arfan jadi tampak malu dan memerah wajahnya. Tersudutkan. Aku ikut tersenyum lebar. Rasakan kamu, Mas. "Oh, ya. Kami mau menginap di sini. Tidak apa-apa kan?" Mas Arfan terkejut mendengarnya. "Oh, ya, tentu saja boleh," ucapnya tegas tapi juga terlihat ragu. "Kami tidak mengganggu kan?" "Tidak, Pa. Arfan sama sekali tidak keberatan, senang Papa sama Mama mau ke sini." Lelaki itu dapat menguasai wajahnya kembali menjadi tenang dan tampak meyakinkan. "Kalau begitu kami tidur di kamar mana, Arfan? Dan kalian sendiri tidur di kamar mana?""Di atas." "Di bawah."Aku dan Mas Arfan menjawab berbarengan. Setelahnya kami saling melirik karna tidak kompak. "Kok? Di mana sebenarnya kamar kalian?" Wajah Mas Arfan berubah menegang."Kok?" Mama Papa seketika keheranan. "Di mana sebenarnya kamar kalian?" "Kamarnya di atas!" "Kamarnya di bawah!" Kami menjawab berbarengan lagi tapi masih tidak satu tujuan. Tadi Mas Arfan menyebut kamarnya di bawah sekarang menyebutkan kamarku di atas. Pun sebaliknya, aku menyebutkan kamarnya. Berkebalikan dengan sebelumnya yang menyebut kamar masing-masing. Orang tua Mas Arfan terdiam semakin terheran-heran. Aku dan Mas Arfan kembali saling melirik. "Maksudnya, kami kadang tidur di kamar atas, kadang di kamar bawah, bukan begitu, Sayang?" "Oh, i-iya, Ma, Pa." Aku jadi menjawab gugup karna Mas Arfan kali ini merengkuh pinggangku mesra. "Ooh." Mama Papa lalu tertawa. "Kalian ... ya ampuun."Suamiku pun ikut tersenyum dan menghela napas lega. Kamu masih aman, Mas!***"Jangan deket-deket, Mas." Aku sedikit menjauhkan kepala Mas Arfan karna dekat sekali dengan kepalaku. "Apa sih, kamu?" sahutnya kesal. "Itu udah ada guling, Mas. Jangan lewatin batas guling." Kami terpaksa tidur
"Maaf, Bu. Arfan baru bisa nyusul Nabila ke sini." "Iya, tidak apa-apa. Kamu orang sibuk Ibu ngerti." Rupanya Mas Arfan nekat ke rumah orang tuaku meski tengah malam. Aku mendengar suaranya dari dalam kamar. "Diminum teh-nya, Fan. Mumpung masih anget.""Iya, Bu. Terimakasih." "Sudah makan? Kalau belum Ibu ada sayur dan lauknya. Ibu bisa angetin.""Udah, Bu. Nggak usah." "Nabila ada di kamarnya, tadi katanya kurang enak badan.""Oh, ya, Bu. Arfan memang belum sempat membawa ke dokter. Kalau gitu Arfan temuin Nabila dulu. Silakan Ibu istirahat. Maaf, sudah mengganggu.""Iya, silahkan. Bawa saja tehnya.""Iya, Bu."Aku buru-buru meringkuk. Sudah menyimak obrolan mereka. Pintu kamar dibuka Mas Arfan. Terdengar suara gelas ditaruh. Aku yakin itu teh manisnya. "Bila." Dia menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa?" Mau tidak mau aku membuka mata. Melihatnya sudah duduk di sisiku. "Aku nggak tau kamu sakit. Kamu nggak bilang.""Memangnya kalau bilang kamu peduli?" Lelaki itu diam. Aku
"Enggak, Mas." Tangan itu kulepas dari perut. Dia bilang tidak akan menyentuhku tapi dia sendiri yang seenaknya menyentuh. Tidak bisa dipercaya ucapanmu!"Aku mau menginap lagi di sini. Masih ingin menemani Bapak. Sudah lama aku baru ke sini lagi.""Ternyata kamu keras kepala, Nabila." Raut wajah Mas Arfan berubah dingin lagi. Setelah kemauannya tidak kuturuti. "Kamunya mikir, dong, Mas. Jangan cuma bisanya berkata manis di depan orang tuaku saja. Tapi saat anaknya mau menjenguknya hanya diberi waktu sedikit!""Kamu tidak takut dosa menolakku? Aku suamimu yang harus kamu patuhi!""Kamu yang tidak takut dosa, Mas. Membohongi semua orang. Kamu tidak usah keterlaluan mengaturku. Niatmu saja salah menikahiku!" "Aku akan memberimu imbalan setelah itu. Jadi, tidak usah merasa rugi.""Sudah, Mas. Lebih baik kamu pergi. Aku mau menginap sehari lagi di sini.""Terserah. Mau tidak pulang pun. Semaumu saja!" Aku terhenyak dia merespon seperti itu. Lalu berbalik membuka pintu dan keluar melang
"Dasar mes-um!" Kujauhi pintu setelah mengunci. "Nabila!" Tidak peduli dia mengumpat lagi di luar sana. Tidak peduli besok bertemu dengannya akan bagaimana. Temui saja Saskia! Tuntaskan hasratmu bersamanya. Menyesal pergi ke dapur. Hanya membuat sakit mata.Melangkah gontai menuju tempat tidur. Memikirkannya yang sekarang begitu ingin menyentuhku. Tidak seperti awal-awal menikah bisa menjaga jarak. Duduk termenung di sisi ranjang. Apa istimewanya Saskia, Mas? Sampai-sampai kamu menggilainya. Apa karna dia sangat cantik dan tinggi seperti model? Memiliki tubuh ideal sesuai maumu, begitukah Mas? Atau karna penampilannya yang seksi? Yang memperlihatkan paha, tangan, leher mulusnya dengan memakai dress pendek atau hotpant. Perih diperut terasa lagi. Aku sampai gagal mengambil makanan dan lupa setelah melihat kemesraan mereka. Membuka tas teringat ada makanan, mengeluarkan sebungkus roti dan satu teh kotak. Memakannya dengan pikiran kemana-mana. ***Besoknya pagi-pagi sarapan sudah ter
"Savia anak Mas Arfan!" balas Saskia menjerit kembali. "Kamu menipu Mas Arfan dengan mengatakan anaknya. Padahal Ayah sebenarnya bukanlah Mas Arfan!" tekanku lagi tegas. "Mas, dia fitnah aku!" Perempuan itu meraung duduk di bawah. Menangis seperti anak tantrum. Mas Arfan melotot ke arahku. "Savia anakku." Anak itu direbut paksa olehnya. Memeluk lehernya dan masih menangis. Ruangan menjadi riuh. "Bukan, Mas. Lihat, dia tidak mirip!" "Savia memang tidak mirip denganku. Tapi mirip Saskia, cantik seperti Mamanya." "Meski mirip Mamanya sekali pun. Setidaknya ada sedikit saja mirip Papanya, tapi Savia tidak. Perhatikan, Mas. Saskia hanya memanfaatkanmu!" "Cukup, Nabila. Kamu jangan asal bicara!" "Kamu jangan bod-oh, Mas!""Aku tidak bod-oh dan percaya.""Apa yang membuat kamu percaya, apa yang membuat kamu yakin itu anak kamu? Kamu harus melakukan tes DNA, Mas!" Lelaki itu pergi tidak menjawabku. Diiringi tatapan hawatir Saskia yang masih terisak-isak.Tidak lama Mas Arfan datang l
"Hmmph. Hmmph!" Tubuhku dibawa mundur dan tidak bisa mengeluarkan suara. Sampai di balik bangunan barulah dilepas. Aku melotot menyadari siapa. "Mas Satya?!" ujarku histeris. Antara kaget dan senang ternyata orang yang dikenal. "Ssst!" Mas Satya menaruh jari telunjuk di bibirnya sendiri. "Seharusnya kamu jangan dulu menghubungi Arfan. Kita harus mempunyai bukti dulu." Ponsel yang masih tersambung dengan Arfan dimatikannya dan diserahkan padaku. "Seharusnya kamu rekam dan vidiokan percakapan Saskia. Bukan main telepon orang." "Yasudah kita vidiokan sekarang kalau begitu." "Telat. Saskia sudah pergi. Lihat saja." Aku melangkah cepat ke depan lagi, benar saja mobil dua orang itu sudah tidak ada. "Sejak kapan?""Saskia mendengar saat kamu menelepon Arfan asal kamu tahu. Jadi percuma tindakkanmu itu. Yang ada Arfan tidak percaya dan menganggap kamu mengada-ngada." "Kenapa tidak direkam sama Mas Satya?" "Saya baru datang. Tadinya mau ke rumah Arfan. Kamu berhasil kabur?" Aku mengangg
Ibu dan Bapak memasuki mobil bersiap pulang. Aku membantu menutupkan pintu dengan sedikit tidak rela. "Padahal, Ibu menginap lagi saja di sini," tawarku pada Ibu. "Nanti ke sini lagi. Kami harus pulang." Ibu mengelus pipiku sekilas dari jendela yang terbuka. Bapak duduk bersandar di sampingnya. Tersenyum seolah berkata dia baik-baik saja, agar aku tidak usah hawatir. Tapi aku melihatnya dengan tatapan prihatin. Niatku untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan kuurungkan. Tidak mau membuat keadaannya memburuk. Bagaimana kalau tiba-tiba terkena serangan jantung? Lalu ... ah, aku tak sanggup membayangkan. "Kamu baik-baik sama Arfan," pesan Ibu. "Dia suami yang baik." Kulihat lelaki itu tengah mengobrol dengan supir taksi online yang telah dipesannya. "Antarkan mertua saya dengan baik sampai rumah," ucapnya. "Siap, Pak." Supir itu membalas. Kebetulan dia orang yang sama dengan yang mengantarku ke sini kemarin. Mas Arfan menyerahkan uang ongkos lebih dulu pun de
"Kamu apaan?! Tidak seharusnya melakukan itu." Kemeja Mas Satya jadi kotor oleh cairan hitam kopi. Lelaki itu menatap tajam Mas Arfan seraya mengepalkan tangan. "Beraninya kamu keluar menemui laki-laki lain." Mengabaikan kemarahannya Mas Arfan terus menyudutkanku. "Dia sodaramu, Mas. Dan kami tidak melakukan apa-apa." Kukeluarkan tisu dalam tas membersihkan baju Mas Satya dengan cepat. Tapi baru sebentar Mas Arfan menarikku lagi. "Tinggalkan dia ikut bersamaku!" Tidak peduli pada tindakkannya. Juga orang sekitar yang berkasak-kusuk melihat. Lelaki itu membawaku pergi. "Jangan menyakiti, Nabila!" seru Mas Satya melihat langkahku yang terseret. "Mas Satya! Maafkan, Mas." Aku sangat tidak enak padanya. Sudah diperlakukan buruk. "Kamu tidak usah minta maaf padanya!" sentak Mas Arfan. Sambil terus membawaku.Mas Satya tidak terlihat lagi di mataku karna aku sudah dibawa jauh dan kini telah ada dalam mobil. Terkejut pintu ditutup kencang saat Mas Arfan duduk di kursi kemudi. Dia melir