Share

Tamu Dadakan

Penulis: Tika Pena
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-22 12:29:26

"Baik. Aku pergi sekarang juga!" Kutinggalkan Mas Arfan melangkah cepat dan berlari kecil menaiki tangga. Tidak peduli dia yang tertegun setelah mendengar jawaban tegasku. 

Di kamar mengeluarkan koper dan membuka lemari. Aku sudah ingin pergi sejak dia jujur malam itu. Baju-baju kumasukkan asal dengan hati perih dan rasa tak menentu. Mas Arfan keterlaluan. Menyuruhku pergi demi perempuan itu. 

Tetes air mata jatuh di pipi teringat Bapak. Maafkan, Nabila, Pak. Jika sekarang kembali ke rumah Bapak. Semoga tidak mengganggu kesehatan Bapak. Kuseka kasar tangisku dengan telapak tangan. 

Koper ditutup dan menurunkannya dari tempat tidur. Mas Arfan terdiam melihatku saat menuruni tangga. Sedangkan Saskia tersenyum senang sambil merangkul lengannya manja.  Aku menunduk tidak mau melihat keduanya. 

"Saya pamit, Mas. Nanti Mas Arfan nyusul untuk menjatuhkan talak di hadapan orang tua saya." Setelah itu, tanpa menunggu jawabannya aku keluar. Melangkah dengan berat hati dan perasaan yang hancur. Sebisa mungkin menahan isak tangis tidak ingin diketahui mereka. Sudah takdirku dan pernikahan ini harus berakhir cepat. Seperti ini lebih baik dari pada kehadiranku tidak dianggap dan terus diabaikan. Ditambah ada perempuan lain. 

Tepat saat mencapai hendel pintu langkahku tertahan, mendengar suara kencang Mas Arfan. "Apa? Papa mau ke sini sekarang? Lagi di jalan? Sama Mama?!" Aku berbalik melihatnya yang panik. Lelaki itu lalu tertuju padaku. Menutup teleponnya dan melangkah.

Aku menggeleng dan buru-buru keluar. Biar, biar sekalian orang tuanya tau ada perempuan lain di sini dan aku telah pergi diusirnya. Biar mereka tau anaknya ini tidak sebaik yang mereka kira. 

"Tunggu, Nabila!" Aku terus berjalan cepat membawa koper ke jalan. Mas Arfan mengejarku tidak dihiraukan teriakan Saskia memanggilnya. 

Langkah Mas Arfan yang lebar dan lebih cepat berhasil menangkap pergelanganku. "Jangan pergi, Nabila." 

"Lepas, Mas!"

"Ayo, kembali ke rumah."

"Aku tidak mau. Urus saja perempuan itu!" 

"Oke, aku ngaku salah. Aku minta maaf. Jangan pergi." 

"Kenapa? Takut orang tua kamu tau? Takut kamu jadi miskin dan tidak dapat warisan?"

Mas Arfan mengusap wajah dan membuang napas kasar. "Pulang, Nabila. Ayo!" 

"Tidak!" Dia merebut pegangan koperku hingga terlepas. Kemudian mengangkat tubuhku begitu saja. "Mas! Apaan kamu? Turunkan aku!" 

Mas Arfan tidak mendengarkan, berbalik membawaku sambil menggeret koper. Bukankah dia sakit dan lemas badannya mengapa bisa membawaku seperti ini? Tubuhku seolah kapas ringan di pundaknya. Aku takut menatap bawah. "Mas, hentikan!" Kupukul-pu-kul dia dan mencubitnya supaya menurunkanku. 

"Aw! Ah!" Mas Arfan hanya mengaduh tapi tidak berhenti berjalan dan malah semakin kencang menahan tubuhku di atasnya. 

"Turunkan aku. Turunkan!" 

"Kamu tidak boleh pergi dan tetap akan bersamaku." Dia semakin melangkah cepat membawa diriku. 

Di dalam rumah aku diturunkan. Mas Arfan memegangi kuat tanganku takut aku kabur. Membuat Saskia cemburu dan marah melihatnya. 

"Kenapa perempuan itu dibawa lagi ke sini? Biarkan saja dia pergi, Mas." Dia mendorong bahuku supaya menjauh. Namun, Mas Arfan malah merangkulku. 

"Dengarkan aku Saskia. Sekarang kamu pulang."

"Tidak mau, Mas."

"Kamu dengarkan tadi Papa aku nelfon? Mau ke sini. Cepat kamu pergi." 

"Mas, aku belum lama di sini. Kita kan belum--"

"Nanti." Mas Arfan menyela cepat perkataannya. "Mas juga kangen, tapi sekarang nggak bisa. Kamu pulanglah dulu." Dia berkata lembut membujuk. Aku muak. Hendak melepaskan diri, tapi dia menahan kuat pergelanganku lagi. Saskia menggeleng-geleng kecil menanggapinya dan berubah sendu serta matanya mengembun. Mas Arfan melengos darinya. Aku tahu lelaki itu tidak tega dan tidak rela melainkan terpaksa menyuruhnya pergi.  

"Mbak, ajak istri dan anak saya pulang." 

Pembantu yang setia menemani Saskia ke mana pun pergi dan tengah menggendong anaknya mendekat. "Baik, Pak. Mari, Non." 

"Mas." Perempuan itu memelas.

"Pulanglah. Papa Mamaku akan ke sini." 

"Aku juga ingin berkumpul sama orang tua kamu, Mas."

"Nanti. Pasti bisa." 

"Mas." Perempuan itu mendekat memeluk Mas Arfan erat. Lelaki itu pun membalasnya, menyentuh dengan satu tangan karna satu tangannya yang lain masih menggenggamku kuat. 

Keduanya lalu berlepas. Mas Arfan mencium pipi dan kening Saskia, aku melengos, tidak suka dan sakit hati melihatnya. Kutarik tangan darinya agar bisa menjauh, tapi lelaki itu tetap bisa menahanku. Sampai aku meringis karna cekalannya begitu kuat di pergelangan. 

"Lepas, Mas," desisku menatap tajam ia. 

"Tidak akan kulepaskan," balasanya pelan dan sama menekan ucapan. Kemudian dia melihat perempuan itu menjauh. Ke luar rumah. Mas Arfan mengikutinya sambil membawaku lagi. Melangkah lebar sampai kakiku terseretnya. Di luar, dua sejoli itu saling bersitatap lagi. 

"Aku pergi." 

"Hati-hati." 

Saskia lalu melihatku. "Awas, kamu. Jangan sentuh suamiku!" 

Aku berpaling tidak sudi melihat ataupun menanggapi ucapannya. Apa dia buta? Mas Arfan sendiri yang menahanku. Lihat, bahkan dia tidak melepasku, membawaku lagi ke sini setelah aku berniat pergi. 

Dia juga suamiku, bukan hanya suaminya! Tapi dia tidak menyadarinya.  

"Savia, baik-baik sama Mama, ya, Sayang. Nanti ketemu Papa lagi." Mas Arfan kini bicara pada anak kecil itu, tidak tahu apa yang dia lakukan karna aku masih berpaling pada pemandangan lain. 

Sampai terdengar mesin mobil dihidupkan barulah aku tertuju ke depan. Saskia sudah di kursi kemudi di temani pembantu dan anak kecil di sampingnya. Memundurkan mobil pelan ke jalan dan pergi. 

Tepat setelah kepergiannya, mobil lain datang berhenti di halaman. Rupanya mereka orang tua Mas Arfan. Suamiku menghela napas lega dan menyambutnya dengan senyum. Tamu dadakan kami sudah datang. 

"Wah, wah ... kompak sekali kalian ada di sini." Papa berkata sumringah.  

"Iya dan romantis," sahut mama dengan ekspresi sama. Bagaimana tidak? Kami jadi terlihat kompak dan mesra. Keduanya menghampiri kami. 

"Bagaimana Arfan, kesehatan kamu?"

"Seperti yang Papa lihat, Arfan baik-baik aja."

"Syukurlah. Mama hawatir dengar kamu demam. Tadinya kalau masih sakit kita ke dokter."

"Tidak perlu, Ma. Aku udah nggak apa-apa." 

"Nabila sudah gerak cepat membantumu, kamu harusnya berterimakasih sama dia. Kalau dibiarkan kamu pasti masih demam sampai sekarang." 

Mas Arfan melirikku. "Oh, iya, Ma. Ini semua berkat bantuan istriku yang cantik dan baik ini. Makasi, ya, Sayang." Tersenyum ia dan ramah menatapku. Padahal hanya sandiwara! 

Mas Arfan mempersilakan keduanya masuk. Aku mengekori di belakang seraya tak henti melihat tanganku yang terus digenggam. Tidak ada Saskia, aku diperlakukan manis olehnya di hadapan orang tuanya. 

"Loh, kok ada koper di sini? Koper siapa ini?" 

Mas Arfan melebarkan mata mendengar pertanyaan Papa. Aku juga. Pegangan koper itu Mas Ambil. "Tadinya kami mau liburan, iya kan, Sayang?" Dia merengkuh bahuku. 

 

"Liburan? Bulan madu maksudnya?" Kulihat Mas Arfan mengangguk kaku menanggapi mama. "Oh, iya, kamu kan sejak menikah tidak liburan honeymoon. Malah sibukin kerja, kasian Nabila. Sudah seharusnya kamu mengajaknya pergi." Aku tersenyum terhibur melihat suamiku kini kebingungan. Salahmu, Mas, berucap tanpa dipikir.

"Memangnya mau berangkat kapan? Sudah siap begini. Destinasi mana yang kalian tuju?" ujar papa. Membuat Mas Arfan sekarang sedikit panik. Mungkin takut ketahuan bohong. Pusing kan kamu, Mas? Jadi melebar kemana-mana. Aku semakin terhibur menontonnya.

"Kami baru siap-siap aja. Belum memutuskan akan ke mana. Mungkin lusa." Terus saja kamu cari-cari alasan, Mas. 

"Ya ampun, Arfan ... Mama kira besok kamu mau berangkat."

"Enggak, Ma. Aku kan baru sehat." 

"Lagian, baru habis sakit kok udah siap-siap aja. Sabar dulu lah, Fan. Kalau soal senang-senang sama istri di rumah juga bisa. Bukan begitu, Ma?" Mama mengangguk mantap mengiyakan suaminya. 

Mereka tertawa kecil melihat Mas Arfan jadi tampak malu dan memerah wajahnya. Tersudutkan. Aku ikut tersenyum lebar. Rasakan kamu, Mas. 

"Oh, ya. Kami mau menginap di sini. Tidak apa-apa kan?" 

Mas Arfan terkejut mendengarnya. "Oh, ya, tentu saja boleh," ucapnya tegas tapi juga terlihat ragu. 

"Kami tidak mengganggu kan?" 

"Tidak, Pa. Arfan sama sekali tidak keberatan, senang Papa sama Mama mau ke sini." Lelaki itu dapat menguasai wajahnya kembali menjadi tenang dan tampak meyakinkan. 

"Kalau begitu kami tidur di kamar mana, Arfan? Dan kalian sendiri tidur di kamar mana?"

"Di atas." 

"Di bawah."

Aku dan Mas Arfan menjawab berbarengan. Setelahnya kami saling melirik karna tidak kompak. 

"Kok? Di mana sebenarnya kamar kalian?" 

Wajah Mas Arfan berubah menegang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERNYATA AKU WANITA KEDUA   Extra Part 3

    "Nabila?"Saat membuka mata yang kulihat hanyalah Mas Arfan. Menyebut namaku beberapa kali, sembari menyentuh telapak tangan. Melihat sekitar ternyata aku sedang terbaring di sebuah ruangan. Aku mengeryit saat hendak bangun. "Diam saja dulu kalau masih pusing." Mas Arfan membantu merebahkan tubuhku lagi. "Kamu tadi pingsan," ucapnya lagi lembut dan menatapku teduh. "Kamu anemia. Tensi darah hanya sembilan puluh per enam puluh. Selain itu ...." "Aku kenapa, Mas?" selaku tidak sabar menanti ucapannya selesai. Takut ada sakit serius di tubuhku. Mas Arfan malah tersenyum dan tampak berbinar matanya. Digenggamnya lagi tanganku erat. "Kamu hamil," ucapnya sumringah. "Aku hamil?"Dia mengangguk semangat. "Kata dokter iya, ketahuan dari tes darah ada kadar HCG di situ. Pertanda janin tumbuh." Ya Allah, pantas tamu bulanan tidak datang-datang. Ternyata tumbuh embrio di rahimku. Tidak mengira bakal langsung jadi padahal belum lama berhenti minum Pil KB. "Ada anak aku. Kamu harus mau kembal

  • TERNYATA AKU WANITA KEDUA   Extra Part 2

    "Maafkan kami, Pak Rasyid, Bu Nafa ... tidak memberitahukan sebelumnya, kalau Arfan mempunyai istri simpanan." Mama membuka percakapan setelah kami berkumpul. Diliriknya Mas Arfan yang tertunduk dalam. "Kami tidak bermaksud menipu." Papa melanjutkan pembicaraan. "Kami memang berniat menjadikan Nabila menantu bukan semata-mata mempermainkan.""Saya menyukai Nabila dengan pribadinya yang baik, sedangkan Saskia bukan wanita baik-baik, mendekati Arfan hanya untuk tujuan yang salah." Gantian Mama yang berbicara kembali. "Sebelum bersama Arfan dia sudah menjalin hubungan lebih dulu dengan laki-laki lain, bahkan anak yang dikandungnya pun anak laki-laki itu. Tapi karna sudah terpengaruh kuat Arfan tidak bisa melihat kebenarannya. Saya menikahkan dengan Nabila untuk menjauhkan dari dua orang jahat seperti mereka. Percaya Nabila pasangan yang tepat untuk Arfan." Orang tuaku sama-sama menarik napas dalam. Tapi masih tidak bicara sepatah kata pun. Mama melirik pada Mas Satya. "Kami sadar, apa

  • TERNYATA AKU WANITA KEDUA   Extra Part

    "Saskiaa." Mas Arfan terus memeluk tubuh tidak bernyawa itu. Dua tahun dia hidup bersamanya, menemani siang menemani malam, menemani makan, menemani tidur, berbagi hangat tubuh, sekarang telah pergi begitu saja. Tanpa adanya penyakit yang menggerogoti. Hilang dihabisi orang lain. Meninggalkan rasa pilu amat dalam. Rasa kecewanya yang besar setelah tahu semua hal buruk tersembunyi, tertepis saat dia pergi untuk selamanya. Bagaimana pun sosok itu pernah mewarnai hidupnya. Membuat semangat, membuat bahagia, dan sudah menyelamatkan nyawa meski kecelakaan itu sengaja. Daniel memang ingin membunuhnya. Saskia bisa kuat menemani tanpa direstui dan hanya disembunyikan dari publik. Mas Satya menghampiriku. Mengusap-usap bahu. Aku pun berbalik menghadapnya tidak kuat melihat Mas Arfan dan Saskia lagi. Dia merangkul membenamkan kepalaku di dadanya. Saskia diurusi di kediamannya. Banyak tetangga melayat. Juga ada beberapa saudaranya, mereka tampak sedih melihat kepergiannya yang mengenaskan. A

  • TERNYATA AKU WANITA KEDUA   Berakhir

    "Bedebah!"Mas Arfan langsung menghampiri laki-laki yang sibuk memakai bawahan. Menonjok wajahnya hingga beberapa kali. Aku dan Mas Satya masuk. "Mas, jangan Mas!" Kini Mas Arfan beralih pada Saskia, yang sibuk menutupi tubuh dengan selimut setelah tadi berada di atas laki-laki itu sama-sama bertelanja-ng bulat. Menampar keras pipinya, sampai terjerembab di bawah. Tidak puas Mas Arfan berjongkok menamparnya lagi kedua kali. Aku meringis melihatnya. "Diam kamu Daniel!" Mas Satya sudah bergerak cepat menahan lelaki itu. Menodongkan senjata api di kepalanya sehingga tidak bisa berkutik. "Ternyata kamu biangnya. Anak dari musuh keluarga Dhanurendra!" Dhanurendra nama belakang Mas Arfan, juga merupakan nama belakang Papa.Laki-laki bernama Daniel itu sengaja menjadikan Saskia sebagai umpan untuk membuat bangkrut Mas Arfan dengan mengambil hartanya. Dan akan memakmurkan perusahaannya sendiri. "Mas ... Ini semua tidak seperti yang kamu lihat." Saskia memeluk lutut kakinya. Sudah tertangka

  • TERNYATA AKU WANITA KEDUA   Penggerebekkan

    "Mas! Kamu berbuat mesra dengan Nabila?!" Lagi, suara Saskia melengking di telingaku. Tapi suaranya kecil di pendengaran Mas Arfan dan tidak jelas. Hingga lelaki itu tidak terganggu. "Awas kamu, Mas!!!" Dia mengira Mas Arfanlah yang menerima telepon. Aku terkejut saat ponsel direbut. Menatap Mas Arfan tegang hawatir akan marah. Ternyata dia malah mematikan sepihak. Lalu melempar asal ponsel ke seprai. "Mas?" "Aku tidak ingin diganggu." Lalu menyibukkan diri merasai tubuhku kembali. Staminanya yang kuat mampu menerbangkanku lagi. Hingga ke paling puncaknya. Usai berhubungan Mas Arfan langsung tertidur nyenyak. Aku sudah membersihkan diri dan memakai pakaian lengkap. Perlahan menjauhinya ke luar kamar. Mencari udara segar dan berkomunikasi dengan Mas Satya ditemani secangkir minuman hangat di sebuah kedai. Di Bandung aku tidak terlalu buta arah dan lebih leluasa karna memakai bahasa sehari-hari tidak seperti di luar negeri. Bersama kakak sepupu suami aku banyak bercerita. "Aku sud

  • TERNYATA AKU WANITA KEDUA   Di Rumahnya

    "Sini, Mas, rambutmu aku ambil. Atau mau ganti dengan tes darah atau air liur?" tawarku pada Mas Arfan yang kini ada di sampingku. "Sudah. Rambut saja. Ambil sedikit.""Oke." Gunting di tangan kuarahkan pada rambutnya dan memotong sedikit. "Segini, Mas, cukup." Rambut itu kuperlihatkan. Mas Arfan tidak protes dan aku memasukkannya dalam plastik kecil. "Sekarang tinggal rambut Savia, ya, Mas." Lelaki itu mengangguk kecil. Ah ... aku senang dia manut begini. Demi bisa menikmati tubuhku lagi, demi bisa aku hamil, juga demi bisa dapat warisan, dia akhirnya rela menurunkan ego. Dasar laki-laki, kalah sama nafsu sendiri. Kami sampai di depan rumah Saskia di komplek sederhana. Aku mematung begitu turun dari mobil. Selama menikah dengannya baru tahu tempat tinggal istri sirinya itu. Pantas Saskia sangat mengingkan rumah yang tengah aku tempati dengan Mas Arfan, dia ingin lebih leluasa dari rumah minimalisnya ini. Aku yakin ini juga rumah pemberian Mas Arfan. Belum bisa memberikan rumah me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status