MasukSetelah mereka selesai makan malam yang penuh semangat, sebab untuk pertama kalinya keduanya makan enak. Parman dan Ibu Sarti duduk bersebelahan di ruang tengah rumah panggung yang sederhana, aroma hangat dari sisa makan malam masih menggantung di udara.
Nasi putih pulen yang baru saja habis disantap, ikan bakar tawes dan bawal yang gurih, serta sayur segar yang tersisa menjadi saksi kebersamaan mereka malam itu. Wajah Ibu Sarti berseri-seri, sorot matanya penuh harap dan kehangatan yang jarang terlihat selama ini. “Besok kamu mau memancing lagi, Parman?” Tanyanya dengan nada lembut, seolah ingin memastikan masa depan mereka yang belum pasti. Parman mengangguk penuh semangat, senyum lebarnya mengembang menandakan harapan yang membara dalam dadanya. “Tentu, Mak. Aku akan terus memancing. Hari ini sudah terbukti, dua kantong plastik besar ikan hasil tangkapanku. Doain saja, mudah-mudahan ini jadi jalan hidup kita,” jawabnya yakin, matanya berbinar penuh tekad. Suasana hening sejenak, hanya suara jangkrik dan angin malam yang menemani, membalut harapan sederhana tapi kuat antara ibu dan anak di bawah cahaya remang lampu minyak. Selesai mereka mengobrol rencana masa depan walau baru rencana dalam angan, namun dengan kegigihan Parman dan terbukti hari itu mampu menghasilkan uang lumayan banyak, Ibu Sarti memiliki harapan besar. Ibu Sarti telah masuk ke kamarnya dan tak lama Parman pun segera melangkah pelan ke dalam kamar yang remang diterangi lampu patromak kecil. Jam di dinding berdentang tepat pukul sepuluh malam saat ia menutup pintu dengan lembut, berusaha mengusir penat setelah seharian memancing. Tubuhnya yang lelah merebah di atas kasur tipis beralas kain lusuh, matanya menatap kosong ke sudut ruangan yang sederhana itu—dinding bercat kusam, rak kayu itu kini terisi joran pancing yang sudah membuatnya hoki, dan foto keluarga yang mulai pudar warnanya. Dalam benaknya, terbayang lautan luas yang tak pernah habis memberi ikan, setiap hari membawa hasil melimpah yang bisa mengubah nasibnya. Bayangan rumah impian dengan atap genteng merah dan halaman hijau mulai menari-nari, mengisi ruang kosong dengan semangat baru yang tiba-tiba membara. Parman menarik napas panjang, merasakan harapan yang perlahan mengusir lelahnya. Rasa rindu akan kehidupan lebih baik membuncah, membuatnya tersenyum tipis meski matanya mulai berat. Perlahan, pandangannya mengabur, mengantar dirinya ke alam mimpi—di sana, lagi-lagi Parman bertemu sosok wanita yang sering muncul dalam mimpinya, wanita itu tersenyum lembut, menatap penuh harap seolah menjadi penguat dalam setiap perjuangannya. Dalam tidur yang dalam itu, Parman seolah menemukan ketenangan yang selama ini ia cari, menanti hari esok dengan semangat yang tak pernah padam. Parman tidurnya kian lelap dalam keheningan malam di kamar sederhana itu, nafasnya teratur mengikuti irama mimpi yang tenang. Tiba-tiba, udara dingin terasa mengalir lembut ketika sosok wanita cantik muncul seolah dari bayang-bayang gelap. Rambutnya hitam berkilau, wajahnya bercahaya, dan matanya memancarkan kelembutan yang membuat siapa pun terbuai. Dengan langkah pelan, ia duduk di samping Parman, merangkul tubuh lelaki itu dengan hangat. Suaranya lirih namun penuh keyakinan, "Tidak lama lagi kita akan bersatu, sayang. Aku sangat mencintaimu dan akan membuatmu hidup bahagia." Parman tetap dalam tidur nyenyaknya, tak menyadari kehadiran wanita itu yang kini memeluknya erat, senyum lembut tersungging di bibirnya, seolah menjaga dan mengisi ruang kosong di kamar kecil itu dengan kehangatan cinta yang tak terlihat. Wanita cantik itu terus memeluk Parman yang tak bergeming dalam tidurnya, tak tahu di kamar sempit sederhana itu dia malam itu tidak tidur sendirian, ditemani seorang wanita yang sangat cantik bak bidadari. Namun, ketika waktu menunjukkan jam 04.00 pagi, wanita itu melepaskan pelukannya. Air mata mengalir kemudian berkata. "Sayang, belum saatnya kita bersatu, jika tiba saatnya nanti kita akan bersama selamanya." Selesai mengucapkan kata-kata tersebut, perlahan wujud wanita itu memudar dan akhirnya hilang tak berbekas, meninggalkan kesunyian kamar dan udara dingin yang menusuk tulang sehingga membangunkan Parman. Parman membuka matanya perlahan, cahaya remang pagi menembus jendela kamar sederhana itu. Dengan cepat ia duduk di tepi ranjang, mata tajamnya berkeliling menelusuri setiap sudut ruang yang familiar namun terasa asing pagi ini. Pandangannya tertuju pada jam dinding yang berdetak pelan—pukul 04.13. Keningnya berkerut, rasa heran menyelimuti pikirannya. Belum pernah ia terbangun sedini ini tanpa alasan jelas. Di antara gelap dan samar, ingatan akan mimpi semalam mengusik ketenangannya. Wanita itu—wajahnya begitu jelas, namun tak pernah bisa ia gapai. Sosok yang selalu muncul dalam mimpi, seolah mengintip dari balik tirai realita dan fantasi. Parman menunduk, bibirnya bergerak tanpa suara, “Benarkah dia nyata? Jika iya, di mana dia sebenarnya berada?” Suara hatinya bergema di ruang sunyi itu, menciptakan keheningan yang berat. Napasnya dalam dan lambat, mencoba menenangkan kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Perlahan, ia menghempaskan tubuhnya kembali ke bantal, menutup mata, berharap mimpi itu datang lagi—atau setidaknya memberi jawaban dari teka-teki yang terus mengganggunya. Sesudah kembali terlelap sebentar. Parman kembali terbangun sejak fajar menyingsing, tubuhnya yang biasanya acuh kini tampak rapi dengan baju lusuh yang sudah dicuci bersih. Matanya berbinar penuh harap saat menyentuh tas pancing yang sudah siap di sampingnya. Di dapur, aroma harum sayur bening dan nasi hangat menyambutnya. Ibunya, dengan wajah penuh keriput yang dihiasi senyum sumringah, tengah mengaduk tumisan sayur di wajan. "Parman, kamu benar-benar mau pergi memancing lagi, ya?" Tanyanya sambil menatap putranya dengan penuh rasa bangga dan sedikit tak percaya. Parman mengangguk mantap, suaranya tegas namun lembut, "Iya, Mak. Semangat, mudah-mudahan ini jalan terbaik buat aku." Ibunya menghela napas lega, lalu menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju. "Kalau begitu, hati-hati di sungai. Jangan lupa makan dulu, ya. Kalau sudah dapat ikan banyak, bawa pulang lagi, semoga kita bisa terus menabung." Parman tersenyum kecil, membalas dengan senyum hangat yang tak biasa dia tunjukkan sebelumnya. Di balik pintu, langkah ibunya perlahan terdengar menuju kebun tetangga, meninggalkan udara pagi yang penuh harapan dan janji baru. Selesai sarapan. Parman mengangkat joran pancing dengan tangan yang sudah terbiasa menggenggam erat alat itu. Wajahnya penuh harap, matanya menatap lurus ke arah jalan setapak yang membelah hamparan sawah hijau di depan rumah panggungnya. Karung besar tergantung di bahunya, berat tapi terasa ringan karena semangat yang membara di dadanya. Ingatannya melayang pada hasil tangkapan kemarin—dua kantong plastik penuh ikan bawal dan tawes yang masih segar, cukup untuk menambah pemasukan keluarga. Napasnya sedikit memburu, tak sabar ingin segera sampai ke tepi sungai, mengayunkan langkahnya dengan penuh keyakinan bahwa hari ini nasib akan berpihak padanya lebih dari kemarin. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah dan air mengalir yang selalu menenangkan sekaligus membangkitkan semangat. Parman tak bisa menyembunyikan senyum kecilnya saat bayangan ikan-ikan besar berenang di bawah permukaan air mengisi pikirannya, menunggu untuk dipancing. Begitu sampai ke tepi sungai itu, Parman segera mencari cacing buat umpan. Setelah mendapatkan tak lama dia sudah duduk di atas batu joran pancing sudah kuat digenggam. "Kenapa seperti tidak ada ikan lagi, kemarin malam kan di sini sangat banyak?" Kepalanya menggeleng-geleng. Apalagi hari semakin siang membuatnya kian kebingungan, sebab belum ada satupun ikan yang menyangkut, jangankan tawes dan bawal yang besar-besar, ikan cere pun tidak ada. "Ini ada apa sebenarnya? Kalau begini caranya bisa membuat semangatku menurun lagi."Parman terus berteriak, suaranya pecah menembus kegelapan hutan yang sunyi. “Tolong! Ada siapa pun di sana?” Ia melangkah tergesa, menoleh ke segala arah, berharap ada sosok yang muncul dari bayang-bayang. Namun, hanya gema suaranya sendiri yang kembali menggaung, diselingi gemuruh air sungai yang deras dan suara hewan malam yang samar. Napasnya mulai memburu, dada terasa sesak oleh keputusasaan yang merayap perlahan.Setelah beberapa saat, Parman menyerah. Ia duduk di atas batu besar di tepian sungai, tubuhnya yang basah oleh keringat malam terasa dingin disapu angin. Sorot matanya terfokus pada riak air yang beriak liar, diterpa cahaya api unggun kecil yang baru saja dinyalakannya. Nyala api itu menari-nari, memantulkan bayangan labil di permukaan air yang bergolak, seolah mengiringi kegelisahan hati Parman.Dengan tangan gemetar, ia mengambil cacing dari kotak kecil di sampingnya dan memasang umpan di kail jorannya. Gerakannya cepat dan terampil, seolah ini adalah rutinitas yang m
Selesai mereka mengobrol di dalam dan menghitung jumlah uang yang telah terkumpul cukup banyak oleh ibunya. Parman duduk di teras kecil rumahnya, angin pagi menggerakkan lembut dedaunan di sekitar. Di sebelahnya, ibu tua itu dengan wajah penuh kasih kembali berbicara pelan tentang rencana mencari kolam untuk menernak ikan—sebuah harapan sederhana yang mengusir penat dari pikirannya. Parman mengangguk, sesekali menyeka keringat di dahinya, tubuhnya yang lelah masih terasa berat. Setelahnya, ia melangkah pelan ke kamar sederhananya, pintu kayu berderit halus saat ditutup. Tubuhnya kembali direbahkan di atas kasur tipis, mata yang mulai mengantuk menatap plafon yang kusam. Ia ingin mengumpulkan tenaga sebelum malam nanti harus kembali ke sungai, memancing dengan harapan rejeki sedikit lebih baik. Namun, pikiran Parman tidak bisa lepas dari kejadian semalam—detik-detik ketika nyawanya seakan terenggut saat terperosok ke arus deras. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat siapa yang sebe
"Tolong jawab panggilan saya, apabila kau mendengar teriakan saya!" Teriaknya lagi. Parman terus-menerus berteriak sampai akhirnya putus asa, suaranya membelah keheningan malam di tepi sungai yang gelap gulita. Matanya terpejam, lalu terbuka lebar, berputar-putar menatap kegelapan tanpa ada jawaban, hanya sunyi yang membungkam segala harapnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya bergetar oleh dingin dan rasa cemas yang semakin mencekam. Ia menoleh ke tumpukan ikan dalam karung besar yang hampir tak muat lagi, sisinya basah oleh embun dan percikan air sungai. Tiba-tiba wajahnya berubah—mata Parman membelalak saat ingat ibunya yang pasti tengah gelisah di rumah. Biasanya, pukul tiga pagi seperti ini ia sudah ada di balik pintu rumah, tapi malam ini tak juga kunjung pulang. "Aduh... Maafkan aku Mak, malam ini aku terlambat pulang, tapi mohon maaf, aku tidak akan menceritakan apa yang telah terjadi, walaupun sampai kini masih menjadi pertanyaan bagiku." Parman menghembuskan nafas panjang.
Betul-betul saat itu Parman terbaring lemah di lantai pondok kecil yang remang, tubuhnya masih basah dan dingin meski sudah dibuka pakaiannya setelah diseret arus sungai yang ganas. Matanya tertutup rapat, napasnya berat dan tidak beraturan, seolah-olah terjebak antara dunia nyata dan mimpi. Di sampingnya, wanita cantik dengan rambut hitam terurai lembut, mengenakan gaun putih tipis yang berkilauan dalam cahaya redup lilin, memeluknya dengan lembut. Tatapannya penuh kelembutan namun misterius, menembus kedalaman jiwa Parman yang masih terperangkap dalam ketidaksadarannya.“Sengaja aku belum mau menyadarkan kamu, Mas,” bisiknya pelan, suaranya seperti angin malam yang menyejukkan sekaligus mengundang rasa penasaran. “Aku ingin menemanimu terus sampai pagi menjelang. Nanti saat kamu bangun, kamu akan kembali ke tempat di mana kamu memancing... Tapi kamu pasti akan bingung, karena seolah-olah waktu tak pernah bergeser, dan kamu sudah berada di tempat semula.”Parman menggeliat kecil, n
"Aduh... Suara apaan itu?" Tanya salah satu di dari mereka sambil memutarkan tatapannya ke segala arah. "Mana aku tahu, kita kan sama di sini dan tak melihat ada siapapun, atau jangan-jangan hantu ya? Lagian ini ikan pada ke mana ? Jelas-jelas tadi kita melihat Parman terus-menerus menarik ikan dimasukkan ke dalam karung, tapi kok, kenapa sekarang isinya batu semua?" Jawab temannya tubuhnya bergetar hebat perlu ketakutan. Pria itu tak menyahuti ucapan temannya malah berteriak. "Woi! siapa kau, tunjukkan wujudmu, jangan main-main denganku!" Teriak pria tersebut, namun sayangnya, sudah tidak ada yang menyauti lagi selain suaranya seperti mutar-mutar bercampur dengan gemuruh air di sungai. "jangan-jangan benar hantu lebih baik kita pulang ayo." tanpa menunggu jawaban dari pria tersebut yang terus memutarkan tatapannya, temannya langsung lari terbirit-birit saking takutnya setelah dari tadi pria itu berteriak namun tak ada yang menyauti. Melihat temannya sudah berlari duluan, ten
Dua pria itu berjongkok di balik semak lebat, napas mereka tertahan saat mata tajam mengawasi Parman yang sibuk melemparkan kail ke sungai. Suara gemerisik daun menjadi saksi bisu rencana licik yang mulai mengendap di pikiran mereka. "Joran itu yang bikin dia hoki, kan?" Bisik pria berbadan kekar dengan mata penuh ambisi, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa sebaiknya kita habis saja dia agar kita mendapatkan joran itu?" Katanya.Pria yang satunya, dengan wajah penuh keraguan, menatap sekeliling, mencari cara yang tak terlalu berisiko. "Kalau harus membunuh, aku nggak sanggup... Tapi kalau cuma dorong ke sungai, mungkin bisa," gumamnya pelan, tangan gemetar menahan gelisah. Mereka saling bertukar pandang, ketegangan menguar di udara, sementara Parman tanpa sadar terus memasukkan ikan-ikan segar ke dalam karungnya, tak tahu bahwa nasibnya tengah dipertaruhkan oleh niat gelap dua sosok di balik semak.Sedangkan Parman dengan tenang duduk di tepi sungai, joran pancing di tangan kanannya







