تسجيل الدخولParman melangkah tergesa hingga sampai di depan rumah panggung tua milik ibunya, napasnya masih memburu setelah seharian penuh berjuang mencari ikan. Dari dalam rumah, terdengar suara ibu yang sedang membereskan peralatan dapur, namun raut wajahnya tampak kusut, menandakan kebingungan yang dalam. Parman segera memanggil dengan suara lantang, "Mak, Mak! Aku pulang!"
Sejenak, dari balik jendela, tampak sosok ibu Sarti yang lagi beres-beres dan keluar perlahan, matanya membelalak saat melihat dua kantong besar penuh ikan tawes dan bawal yang tergenggam erat di tangan Parman. "Parman, ini ikan dari mana? Banyak sekali!" tanya ibunya dengan nada heran bercampur tak percaya. Parman melemparkan senyum tipis, wajahnya yang lelah seolah tertutupi oleh semangat kecil, "Aku kan memancing, Mak. Dari pagi sampai sore." Ibu Sarti menatap ikan-ikan itu dengan mata yang berkaca-kaca, seolah tak menyangka keberuntungan kecil ini benar-benar nyata. Ia meraba rambut Parman, tak kuasa menahan haru, "Mana mungkin dari mancing dapat sebanyak ini?" Parman hanya mengangguk pelan, wajahnya penuh kehangatan sekaligus kelegaan. Di balik senyum itu, tersimpan perjuangan yang tak pernah terucap, sebuah bukti nyata bahwa cinta dan pengorbanan seorang anak tak pernah sia-sia. "Inilah rezeki buat kita Mak, mungkin semua ini atas doa ibu. Terima kasih ya Mak, semoga di hari-hari selanjutnya aku bisa mendapatkan ikan lebih banyak lagi agar hidup kita tidak sulit seperti hari-hari sebelumnya." Ibu Sarti masih termenung antara percaya dan tidak, namun inilah kenyataannya. "Kalau setiap hari begini keadaannya, aku sangat bersemangat Mak, saat ini lebih baik kita jual ikannya yuk Mak, tapi aku tidak tahu harus menjualnya ke mana." Ibu Sarti sambil meneteskan air mata bahagia memeluk Parman. "Ya ampun Parman, Mak benar-benar antara percaya dan tidak, namun inilah yang terjadi, nampaknya rezekimu dari ikan-ikan ini, dan tentunya Mak akan selalu mendoakan demi kebaikanmu." Ucapnya sambil menyeka air mata menggunakan ujung kebaya yang digunakannya. "Apapun caranya mencari nafkah, asalkan halal Mak akan merestui. Untuk saat ini mari kita tawarkan ke warung, mudah-mudahan di sana pemilik warung atau orang-orang yang mendatangi warung mau membeli ikan-ikan ini." Parman mengangguk dan entah mengapa, untuk pertama kalinya, Parman saat itu sampai meneteskan air mata, sebab hari itu mampu membuat ibunya meneteskan air mata bahagia bukan seperti biasa, ibunya selalu mengeluarkan air mata saking kesal padanya yang selalu malas bekerja, tapi malam itu ibunya menangis bahagia. "Kebetulan Mak lagi bingung tidak ada beras uang pun tak ada, namun saat ini Mak benar-benar bangga padamu Parman. Mak sangat yakin, dengan ikan sebanyak ini kalau laku bukan hanya beras saja yang akan kita dapatkan, uang pun akan lumayan bisa buat bekal beberapa hari kedepan." "Iya Mak, mudah-mudahan laku pastinya emak bisaa menabung, sebab aku akan setiap hari mencari ikan." Jawabnya sambil tersenyum dan akhirnya, setelah sepakat ingin menawarkan ikan tersebut ke warung keduanya segera bergerak menuju di mana warung tersebut berada. Parman berjalan pelan mengikuti langkah ibunya, Ibu Sarti, menuju warung kecil di ujung kampung. Kedua tangannya menggenggam erat kantong plastik besar berisi ikan tawes dan bawal hasil pancingannya hari itu. Wajahnya bersinar meski tubuhnya lelah setelah seharian di tepi sungai. Saat mereka tiba, suasana warung yang biasanya sepi berubah riuh. Beberapa warga menatap kantong ikan itu dengan mata tak percaya, bisik-bisik mulai terdengar, "Itu ikan hasil pancingan Parman? Dari sungai yang katanya penuh sampah?" Parman menunduk sedikit, namun bibirnya mengembang dalam senyum tipis. Ibu Sarti berdiri tegak, matanya berbinar melihat antusiasme warga. Tak lama, satu per satu orang membeli ikan-ikan itu dengan cepat. Tangan Parman yang semula kaku mulai terasa ringan, senyum ibu dan ucapan terima kasih dari pembeli menghangatkan hatinya. Dalam waktu singkat, ikan-ikan itu habis terjual. Ibu Sarti menggenggam erat kantong berisi uang dan beras yang kini lebih banyak dari biasanya. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajahnya, seolah beban hidup di kampung itu sedikit terangkat berkat hasil jerih payah anaknya. "Jangan lupa kalau esok hari dapat ikan lagi bawa ke sini ya Parman, Mak." Kata pemilik warung tersebut, saat itu benar-benar ramah sebab seluruh hutang Ibu Sarti langsung dibayar lunas malam itu setelah ikan hasil pancingan Parman laku keras. "Pastinya Bu, terima kasih ya sudah memberi tempat kami untuk menjual ikan ini. Semoga di hari selanjutnya aku beruntung dan membawa keberuntungan juga bagi ibu." Jawab Parman, begitupun Ibu Sarti, saat itu sebelum pulang Ibu Sarti meminta maaf, karena baru saat itu mampu membayar seluruh hutang-hutangnya. Pemilik warung itu tersenyum ramah sebab sudah tidak ada sangkut paut apapun lagi diantara mereka. "Iya Mak, aku pun meminta maaf, karena selama ini aku kurang baik terhadapmu Mak, namun bukan apa-apa, seperti yang kalian ketahui sendiri, warung aku kan kecil," Parman dan ibu Sardi mengganggu. "tentunya uang yang ada di tangan Mak, sangat berharga bagi kelangsungan warung ini, untuk belanja." Akhirnya keduanya segera pulang membawa kebahagiaan yang tak terkira, hari itu Parman membawa satu karung beras berukuran 20 kilo. Ibu Sarti membawa sayuran dan ikan tawes 3 ekor, sengaja tidak dijual sebab buat teman makan mereka, Ibu Sari dan Parman ingin merasakan juga bagaimana rasanya ikan tersebut. Malam itu, rumah panggung sederhana itu dipenuhi aroma hangat ikan bakar yang menggoda selera. Parman dengan cekatan membolak-balik ikan bawal dan tawes di atas bara api, wajahnya berseri-seri—senyum tipis terukir jelas menunjukkan kebahagiaan yang tulus. Tangan kekar yang biasanya keras kini bergerak lembut membantu ibunya yang sedang menanak nasi dan menumis sayuran di tungku kecil di sudut dapur. Ibunya duduk sambil mengaduk sayur, matanya yang keriput mulai berkaca-kaca. Suaranya serak namun penuh haru saat mulai berbicara, “Parman, Nak, ibu bangga sama kamu. Semoga rejeki kamu makin lancar, bisa bikin hidup kita lebih baik.” Tangannya meremas kain lap, menahan air mata yang mengalir pelan di pipinya. Doa-doa tulus itu mengisi ruang kecil rumah mereka, seolah menambatkan harapan pada setiap asap yang mengepul dari tungku. Parman menatap ibunya, hatinya hangat meresapi setiap kata yang terlontar. Dalam diam, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang, membawa keberuntungan yang lebih besar bagi keluarganya. Kebahagiaan sederhana itu terasa begitu sempurna, mengikat erat ikatan antara ibu dan anak dalam kehangatan malam yang penuh harapan. Tanpa Parman dan ibunya sadari bahkan tidak mungkin, sebab bukan manusia seperti mereka. Di balik pintu reot rumah panggung yang sudah rapuh, dari celah bilik yang bolong, tampak sosok wanita berambut panjang tergerai, wajahnya pucat namun tetap memancarkan keindahan yang lembut. Matanya basah, meneteskan air mata yang mengalir pelan saat menyaksikan Ibu Sarti tersenyum bahagia, merasakan perubahan Parman yang kini penuh perhatian— anak laki-lakinya yang dulu malas dan acuh kini menjadi sosok yang mampu menghangatkan hati sang ibu. Wanita itu menundukkan kepalanya, suara lirihnya hampir tak terdengar, “Kalian akan bahagia... Aku akan segera menyusul dan berada di sisi kalian.” Itulah kata-kata yang keluar dari mulutnya dan hanya sosok itu yang mendengarnya sendiri, namun entah apa sesungguhnya maksud sosok wanita itu, kata-katanya jika ada yang mendengar seperti sebuah janji. Tangannya terangkat pelan seolah ingin meraih namun hanya membiarkan angin membawa harapannya, sementara di dalam dada, rasa rindu dan haru berbaur menjadi satu. Suasana hening di rumah itu terasa penuh makna, menyimpan rahasia yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang tersisa di antara bayang-bayang masa lalu. "Mak, ikannya sudah matang... Kita makan yuk." Ajak Parman dan semakin membuat Ibu Sarti bahagia saat itu benar-benar Parman sekian perhatian padanya. Tanpa banyak kata lagi, keduanya langsung melahap nasi dan sayur serta ikan bawal dan tawes hasil mancing Parman. Malam itu, untuk pertama kalinya, betul-betul mereka makan mewah bagi mereka yang biasanya hanya makan seadanya. Sedangkan di balik pintu, sosok itu perlahan memudar, sebelum benar-benar hilang kembali mengucapkan kata-kata buat Parman. "Setelah tiba saatnya, kita akan bersatu, Mas Parman."Selesai mereka mengobrol di dalam dan menghitung jumlah uang yang telah terkumpul cukup banyak oleh ibunya. Parman duduk di teras kecil rumahnya, angin pagi menggerakkan lembut dedaunan di sekitar. Di sebelahnya, ibu tua itu dengan wajah penuh kasih kembali berbicara pelan tentang rencana mencari kolam untuk menernak ikan—sebuah harapan sederhana yang mengusir penat dari pikirannya. Parman mengangguk, sesekali menyeka keringat di dahinya, tubuhnya yang lelah masih terasa berat. Setelahnya, ia melangkah pelan ke kamar sederhananya, pintu kayu berderit halus saat ditutup. Tubuhnya kembali direbahkan di atas kasur tipis, mata yang mulai mengantuk menatap plafon yang kusam. Ia ingin mengumpulkan tenaga sebelum malam nanti harus kembali ke sungai, memancing dengan harapan rejeki sedikit lebih baik. Namun, pikiran Parman tidak bisa lepas dari kejadian semalam—detik-detik ketika nyawanya seakan terenggut saat terperosok ke arus deras. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat siapa yang sebe
"Tolong jawab panggilan saya, apabila kau mendengar teriakan saya!" Teriaknya lagi. Parman terus-menerus berteriak sampai akhirnya putus asa, suaranya membelah keheningan malam di tepi sungai yang gelap gulita. Matanya terpejam, lalu terbuka lebar, berputar-putar menatap kegelapan tanpa ada jawaban, hanya sunyi yang membungkam segala harapnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya bergetar oleh dingin dan rasa cemas yang semakin mencekam. Ia menoleh ke tumpukan ikan dalam karung besar yang hampir tak muat lagi, sisinya basah oleh embun dan percikan air sungai. Tiba-tiba wajahnya berubah—mata Parman membelalak saat ingat ibunya yang pasti tengah gelisah di rumah. Biasanya, pukul tiga pagi seperti ini ia sudah ada di balik pintu rumah, tapi malam ini tak juga kunjung pulang. "Aduh... Maafkan aku Mak, malam ini aku terlambat pulang, tapi mohon maaf, aku tidak akan menceritakan apa yang telah terjadi, walaupun sampai kini masih menjadi pertanyaan bagiku." Parman menghembuskan nafas panjang.
Betul-betul saat itu Parman terbaring lemah di lantai pondok kecil yang remang, tubuhnya masih basah dan dingin meski sudah dibuka pakaiannya setelah diseret arus sungai yang ganas. Matanya tertutup rapat, napasnya berat dan tidak beraturan, seolah-olah terjebak antara dunia nyata dan mimpi. Di sampingnya, wanita cantik dengan rambut hitam terurai lembut, mengenakan gaun putih tipis yang berkilauan dalam cahaya redup lilin, memeluknya dengan lembut. Tatapannya penuh kelembutan namun misterius, menembus kedalaman jiwa Parman yang masih terperangkap dalam ketidaksadarannya.“Sengaja aku belum mau menyadarkan kamu, Mas,” bisiknya pelan, suaranya seperti angin malam yang menyejukkan sekaligus mengundang rasa penasaran. “Aku ingin menemanimu terus sampai pagi menjelang. Nanti saat kamu bangun, kamu akan kembali ke tempat di mana kamu memancing... Tapi kamu pasti akan bingung, karena seolah-olah waktu tak pernah bergeser, dan kamu sudah berada di tempat semula.”Parman menggeliat kecil, n
"Aduh... Suara apaan itu?" Tanya salah satu di dari mereka sambil memutarkan tatapannya ke segala arah. "Mana aku tahu, kita kan sama di sini dan tak melihat ada siapapun, atau jangan-jangan hantu ya? Lagian ini ikan pada ke mana ? Jelas-jelas tadi kita melihat Parman terus-menerus menarik ikan dimasukkan ke dalam karung, tapi kok, kenapa sekarang isinya batu semua?" Jawab temannya tubuhnya bergetar hebat perlu ketakutan. Pria itu tak menyahuti ucapan temannya malah berteriak. "Woi! siapa kau, tunjukkan wujudmu, jangan main-main denganku!" Teriak pria tersebut, namun sayangnya, sudah tidak ada yang menyauti lagi selain suaranya seperti mutar-mutar bercampur dengan gemuruh air di sungai. "jangan-jangan benar hantu lebih baik kita pulang ayo." tanpa menunggu jawaban dari pria tersebut yang terus memutarkan tatapannya, temannya langsung lari terbirit-birit saking takutnya setelah dari tadi pria itu berteriak namun tak ada yang menyauti. Melihat temannya sudah berlari duluan, ten
Dua pria itu berjongkok di balik semak lebat, napas mereka tertahan saat mata tajam mengawasi Parman yang sibuk melemparkan kail ke sungai. Suara gemerisik daun menjadi saksi bisu rencana licik yang mulai mengendap di pikiran mereka. "Joran itu yang bikin dia hoki, kan?" Bisik pria berbadan kekar dengan mata penuh ambisi, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa sebaiknya kita habis saja dia agar kita mendapatkan joran itu?" Katanya.Pria yang satunya, dengan wajah penuh keraguan, menatap sekeliling, mencari cara yang tak terlalu berisiko. "Kalau harus membunuh, aku nggak sanggup... Tapi kalau cuma dorong ke sungai, mungkin bisa," gumamnya pelan, tangan gemetar menahan gelisah. Mereka saling bertukar pandang, ketegangan menguar di udara, sementara Parman tanpa sadar terus memasukkan ikan-ikan segar ke dalam karungnya, tak tahu bahwa nasibnya tengah dipertaruhkan oleh niat gelap dua sosok di balik semak.Sedangkan Parman dengan tenang duduk di tepi sungai, joran pancing di tangan kanannya
Rani belum menjawab apapun, Parman pun masih diam membiarkan wanita itu sedikit meluapkan emosionalnya dengan tangisan, walau tidak tahu penyebab Ranti menangis apa sesungguhnya. Di tengah dinginnya malam, semilir angin taman menyelinap lembut di antara dedaunan yang bergoyang pelan. Rani merapatkan pelukannya, tubuhnya terasa kaku namun tetap menempel erat di dada bidang Parman. Wajahnya tersembunyi rapat, seolah mencari perlindungan dari segala keraguan dan beban yang menghimpitnya. Parman yang masih merasakan denyut hangat dari tubuh Rani, menatapnya penuh kekhawatiran. “Ada apa, sayang? Apakah pertanyaanku tadi menyakitimu?” Suara Parman lirih namun penuh ketulusan. Rani menggeleng pelan, suaranya berat tapi tegas, “Bukan, sayang. Bukan berarti aku tidak ingin segera diperkenalkan pada Mak mu. Hanya saja… aku belum sempurna. Belum saatnya kita berjumpa secara langsung bersama menemui Mak.” Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk hati Parman yang seketika terkejut. Matan







