Share

BAB-2 BAGAS

"Mell! Mellani! Bangun sayang, di bawah ada polisi nyariin kamu!" Terlihat seorang perempuan dengan tergesa membangunkan Mellani yang sedang terpejam di kamarnya.

"Polisi?!" Mellani yang mendengar kata polisi langsung membuka paksa matanya yang terpejam yang akhirnya menimbulkan rasa perih dan pusing di kepala. Akan tetapi, gadis itu tidak peduli dengan apa yang dirinya rasakan karena kata ‘polisi’ telah terlebih dahulu membuatnya panik.

"Iya sayang, ada polisi nyariin kamu, Mamah bingung kamu bikin ulah apa lagi sekarang? Semalam kamu party lagi? Mabuk? Duh, anak Mamah yang satu ini!" 

"Ssst, diam, Mah! Sebentar, Mella pusing!" Mellani yang meihat sang ibu panik jadi semakin panik.

Mellani membuka paksa matanya, Kepalanya terasa berat, sementara ibunya sibuk mengambil handuk dan baju untuk anak gadisnya yang masih tergeletak di atas ranjang.

"Oh God, pusing banget kepala gue!" Mellani memukul pelan kepalanya dengan genggaman tangannya.

"Sudah, cepet cuci muka terus ganti baju yang rapi,kamu itu!" Ibu Mellani membantu anaknya untuk bangun sambil memijit pelipisnya pelan.

Setelah dirasa sudah membaik, Mellani bergegas menuruti perkataan ibunya. Tubuhnya berjalan gontai menuju kamar mandi, kesadarannya belum sepenuhnya pulih.

"Polisi? Apaan lagi sekarang?" Mellani mencuci wajah sambil menggerutu.

Suara pintu digedor terdengar saat wajah Mellani masih dipenuhi busa.

"Mell, ayo cepat sedikit, anak Mamah lama sekali cuci mukanya." Terlihat sekali jika ibu Mellani tidak sabar menunggu anak gadisnya menyelesaikan semuanya.

"Iya, Mah! Sebentar! Sepuluh menit, nggak perlu gedor-gedor pintu segala!" Mella berteriak.

Akan tetapi, tiba-tiba di telinga gadis itu mendengar suara asing yang terus memanggil namanya. Suara asing yang benar-benar membuat gadis itu tidak nyaman dan cenderung menimbulkan rasa takut di dalam hati gadis tersebut.

"Mellaaa!"

"Mellaaa-nii!"

"Me-llaaa-ni!"

"Sialan ...!" Mellani mengumpat.

Entah kenapa suara itu kini menggema di gendang telinganya, itu jelas bukan suara ibunya.

Itu suara....

"Aaa! Sial! Sial!"

Mellani bergegas membereskan dirinya, secepatnya dia ingin keluar dari kamar mandi. Entah kenapa tiba-tiba suasana menjadi dingin, bulu kuduknya berdiri.

Mellani membersihkan diri dengan tergesa. Setelah selesai dia pun segera keluar dari kamarnya dan turun ke lantai satu rumahnya.

Disana ayah, ibu, dan dua orang dengan seragam polisinya terlihat duduk, mereka tengah membicarakan sesuatu yang serius.

"Mellani sayang, sini duduk."

Ibunya menepuk sofa pertanda agar dia segera duduk di sampingnya.

Suasana tampak tegang.

Mellani menampakkan senyum dengan terpaksa.

"Ini Mellani anak saya, Pak Polisi. Semalam dia memang pergi dengan temannya, tapi dia tidak pergi dengan pacarnya si Bagas. Benarkan Mell, kamu tidak pergi sama Bagas?" Ayah Mellani mulai berbincang kembali dengan para petugas kepolisian.

Mellani hanya mengangguk. Entah kenapa tenggorokannya terasa sangat kering dan susah untuk berkata-kata.

"Begini, Pak. Di dalam ponsel korban, kami menemukan percakapan terakhir antara korban dengan saudari Mellani via WA, Pak. Kami hanya menjalankan tugas untuk menjemput saudari Mellani untuk ditindak lanjuti sebagai saksi. Karena tanggal percakapan itu  empat hari yang lalu. Jadi bapak tidak perlu khawatir, kami hanya ingin meminta keterangan dari saudari Mellani. Jadi mohon kerjasamanya, dan ini surat pemanggilan resmi dari kantor polisi pak." Pak polisi menyerahkan sebuah kertas ke ayah Mellani.

"Apa kami boleh mendampingi anak kami, Pak Polisi?" Ibu Mellani menerima surat yang disodorkan oleh polisi dengan tangan gemetar.

"Boleh, Bu. Silahkan jika ingin mendampingi saudari Mellani, tapi kami mohon kerja samanya agar pekerjaan kami lebih mudah dan cepat selesai."

"Sebenarnya ada apa, Pak Polisi? Siapa korban yang Bapak sebut? Lalu, kenapa saya dipanggil sebagai saksi?" Mellani akhirnya tak tahan untuk tidak bertanya.

"Begini kronologinya kenapa saudari Mellani kami panggil. Kami mendapat laporan ditemukan seorang pria di sebuah rumah kosong. Lebih tepatnya di sebuah villa di Bogor. Keadaannya sangat tragis, tapi nyawanya masih dapat diselamatkan. Keluarganya meminta untuk memproses kasus ini, dan kebetulan seperti yang saya sebutkan di awal, dalam ponsel korban terdapat percakapan terakhir dengan anda. Jadi kami mohon kerjasamanya."  Pak Polisi menjelaskan dengan singkat.

Tubuh Mellani bergetar hebat, dia tidak menyangka keadaan kekasihnya sungguh tragis, entah harus sedih atau marah. Kini banyak pertanyaan  di pikirannya. Empat hari menghilang, ternyata dia di Bogor, dan ditemukan dalam keadaan sekarat.

"Baik, Pak. Saya akan mematuhi semua prosedur pemeriksaan, Pak." Mellani pun akhirnya menurut dan tak menimbulkan gaduh.

"Mamah sama papah ikut kamu Mell, kamu jangan khawatir, Sayang!" Ibu Mellani memeluk anaknya erat, mencoba memberikan semangat kepada anak semata wayangnya.

Mellani tersenyum, setidaknya keluarganya tidak menghilang saat mereka butuhkan.

Selesai pemeriksaan Mellani beserta  kedua orang tuanya pergi ke Rumah Sakit Mahardika tempat di mana Bagas dirawat.

Nampak ibunya Bagas menangis pilu, kakak kandung Bagas juga ada di sana.

Tiba-tiba ibunya Bagas menampar pipi mulus Mellani dan berteriak histeris. Anak lelakinya sibuk memegangi tangan sang ibu, mencoba menenangkannya agar tak lagi melukai Mellani.

"Apa yang kamu lakukan sama anak saya! Sekarang dia cacat seumur hidup! Bagas anak saya tidak bisa menjalani kehidupannya sebagai lelaki normal. Kamu puas sekarang!" Ibu Bagas meraung-raung.

"Bu, sudah. Tenang, Bu! Istighfar, Bu! malu diliatin banyak orang, Bu." Anak lelaki yang memegangi ibunya bagas berusaha keras agar ibunya itu menjadi tenang dan tidak menimbulkan masalah di rumah sakit.

Mellani sendiri hanya mampu menangis sambil memegangi pipinya yang terasa panas dan merah.

"Apa-apaan kamu, Jeng Rina! Kenapa kamu tampar anak saya, kamu akan saya laporkan ke polisi atas tuduhan tindak kekerasan!" Tentu saja ibu Mellani tidak terima anak gadis kesayangannya itu di tampar.

"Sudah, Mah. Tenang, Mella tidak apa-apa." Mella memegang tangan sang ibu.

Nafas Bu Rosa terengah-engah, dia tidak menyangka calon besannya menampar anak gadisnya, sebenarnya salah Mellani apa hingga jeng Rina begitu murka.

"Bu, bisa tolong dibicarakan secara baik-baik? Maafkan ibu saya, saya memohon kerendahan hati agar tidak mempermasalahkan hal ini ke polisi, kasihan Bagas adik kami. Ibu saya sangat syok melihat keadaannya." Kakak Bagas menunjukkan wajah penuh permohonan.

"Tapi bukan berarti Jeng Rina bisa...." Ibu Mellani masih belum bisa menerima calon besannya itu bertindak semaunya. Namun, lai-lagi Mellani mencegah ibunya yang sedang marah itu.

"Sudahlah, Mah! Tenanglah. Kita dengarkan dulu penjelasan dari keluarga Bagas. Ada apa sebenarnya yang telah terjadi. Kenapa Bagas bisa seperti ini.” Akhirnya Pak Rudi-ayah Mellani angkat suara, dia paham betul kalau istrinya sudah bicara, tidak mau kalah dan tidak akan ada titik penyelesaiannya.

"Sudah sekarang jelaskan! Mau ngomong apa kamu!"

Akhirnya bu Rosa sedikit melunak. Dia melirik lalu mengusap pundak Mellani yang nampak kesakitan memegangi wajahnya, seumur-umur dia tidak pernah memukul anaknya, apalagi wajahnya. Pantang baginya melukai anak perempuan di bagian wajahnya.

Mas Agung-kakak tertua di keluarga Bagas akhirnya berbicara. Mas Agung adalah pengganti kepala keluarga Bagas, sang ayah telah lama meninggal. Ibunya telah pergi ke kamar Bagas untuk menenangkan diri.

"Maaf, Pak, Bu. Bagas adik saya kini keadaannya sangat menyedihkan. Memang nyawanya tertolong. Dia berhasil melewati masa kritis dan sudah sadar. Tapi kini jiwanya sebagai lelaki telah menghilang, dia kehilangan bagian kejantanannya. Saat ditemukan keadaannya remuk dan tak tak mungkin untuk kembali menjadi normal. Ibaratkan kaki ia telah lumpuh dan tak mampu lagi berjalan seumur hidupnya. Kini adik saya hanya melamun, tak mau makan dan tak mau berbicara. Menangis pun tidak. Dia hanya termenung, seakan kini raganya kosong dan hidup tanpa jiwa. Jadi mohon maafkan sikap ibu kami tadi, dia sangat terpukul." Dari setiap kata yang terucap jelas sekali jika lelaki yang bernama Agung itu begitu sedih dan terpukul dengan apa yang menimpa adiknya itu.

"Kenapa yang disalahkan anak saya? Mellani tidak tahu apa-apa?" Ibu Rosa tetap meminta penjelasan, kenapa Mellani, anak gadisnya yang dituduh.

"Sebenarnya, Bu ...."

Mas Agung nampak ragu ketika hendak melanjutkan perkataannya.

"Sudah, lanjutkan, Nak! Kami harus benar-benar paham kondisi saat ini, karena hal ini menyangkut anak kami, Mellani." Pak Rudi berbicara pelan tapi tegas.

"Sebenarnya sebelum menghilang, Bagas berpamitan ingin pergi ke Bogor dengan Mellani, Pak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status