"Kenapa Paman menatapku seperti itu? Seperti kurang pekerjaan." Bu Rini mengusap bahu menantunya pelan. "Nak, jangan ngomong begitu ya, Sayang," ucap wanita paruh baya berparas ayu itu dengan hati-hati.Amelia melirik sekilas pada ibu mertuanya dan menanggapi dengan senyum sinis. "Ibu nggak usah ikut campur!" jawabnya asal."Amelia, astaghfirullah," kata Inno menekan suaranya dengan rahang mengeras. Laki-laki itu mendesah frustasi dengan kedua tangan terkepal erat.Mungkin jika yang berbicara kasar itu bukan seorang perempuan atau istrinya, Inno pasti sudah mendaratkan pukulan ke mulut orang tersebut. Sementara Pak Hendri yang duduk di lengan sofa, masih berusaha menenangkan puteranya. Kemudian pria itu berucap lirih, "Sabar No, yang berbicara seperti itu bukan istrimu. Kalau kamu kehilangan kendali, nggak akan merubah apa pun. Kecuali menyakitinya.""Iya Ayah," jawab Inno dengan tatapan mata masih melekat pada Amelia."Kamu bisa diam nggak, Marvinno? Berisik tahu, nggak? Mendengar u
Inno terdiam beberapa saat dan menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. Inno salah tingkah. Paman Usman yang menyadari hal tersebut hanya tersenyum penuh arti. Dia tahu, pertanyaan itu memang sensitif. Tetapi, demi keselamatan keponakan dan calon cucunya, dia harus berkata jujur.Sekali lagi dia bertanya pada Inno yang belum juga menjawab. "Paman tanya ini untuk memastikan calon anak kalian aman, Inno. Jawab saja. Tapi Paman berharap jawaban kamu sesuai dengan keinginan Paman," ucapnya pelan. Pandangan aneh dari kedua orang tua Inno dan juga Aisyah tertuju pada laki-laki berambut cokelat itu. Inno menggeleng tegas. "Nggak Paman," jawab Inno pada akhirnya. Hal itu tentu, membuat Paman Usman menarik napas lega. "Syukurlah, Nak..." Paman Usman menjeda kalimatnya, lalu kembali berkata lirih, "Paman hanya khawatir saja, wanita itu merasuki raga istrimu saat kalian beribadah. Karena dia seperti terobsesi sama anak kalian Semoga saja, anak kalian laki-laki supaya dia nggak bisa merasuki r
Amelia menggigit-gigit ujung jari telunjuk dengan gelisah. Wanita cantik itu berusaha membatasi pandangan dengan suaminya. Melihat tingkah sang istri yang membuatnya penasaran, Inno merasa gemas sendiri. "Aku hitung sampai tiga, nggak jawab ..." ancamnya dengan alis naik turun persis seperti playboy yang mengincar mangsanya. "One, two...""Three, tapi Mas Inno janji, nggak akan marah. Aalagi ... pokoknya janji dulu!" sahut Amelia cepat. Hal tersebut membuat Inno mendesah dan menatap gemas pada wanitanya itu.Walaupun tidak tahu apa yang akan dikatakan istrinya, Inno terpaksa mengangguk. "Iya, janji," ucapnya lirih."Itu, Mas, tentang...," Amelia menghentikan ucapannya lagi."Tentang itu, apa? Kayak ditawarin nikah saja. Padahal, dulu pas aku ajak nikah langsung mau," sahut Inno mulai kesal.Amelia memutar bola mata malas mendengar gurauan Inno yang terkesan mengada-ada. "Tentang beasiswa aku itu, lho, Mas!" jawabnya gemas."Kenapa dengan beasiswa kamu? Seharusnya, tanpa kamu tanyakan
Heri mendengus dan melirik sinis pada Evan. "Setan nih, orang! Sialan ora sopan," ucapnya sembari mengambil potongan apel yang jatuh di pangkuannya lalu memasukkan ke mulut.Evan memutar bola mata malas mendengar ucapan laki-laki itu, padahal semua berawal darinya. "Sok paling sopan. Terus, apa bedanya sama kamu, Her? Kamu juga sibuk kerja, padahal kamu jones sejati?" sindirnya yang membuat Heri mengangkat bahu tak acuh. "Bedalah. Aku kerja karena tanggung jawab dan panggilan hati, juga negara," jawab Heri berlagak bijak.Inno yang memilih menjadi pendengar, hanya bisa mengangkat sebelah alis menatap kedua temannya itu. Sekali lagi, laki-laki berwajah bule itu menggeleng samar mendengar pembicaraan mereka."Semua pekerjaan itu, harus kita jalani karena rasa tanggung jawab. Jadi, seandainya kita mangkir sehari saja maka kita sudah merasa nggak professional, Her. Bukan masalah jadi miskin atau nggak. Setidaknya, kita harus kasih contoh yang baik untuk bawahan kita. Bener nggak, Nok?" ta
Evan merasa heran. Jarak rumah sakit dengan tempatnya kecelakaan lumayan jauh. Tidak mungkin Bunga datang sendiri ke rumah sakit. Evan menggeser posisi badannya sambil meringis merasakan nyeri di kakinya yang terbalut verban. Dia hendak meraih handphone di atas nakas. Akan tetapi tatapan mata setengah sipitnya tertuju pada setangkai bunga yang sudah layu. Dengan kening berkerut, laki-laki tampan itu meraih bunga tersebut dan mengamatinya. "Bunga tasbih?" gumamnya dengan tatapan penuh keheranan. Jika diperhatikan dengan seksama, warna bunga itu bukan merah gelap atau biru tua. Akan tetapi, berwarna hitam. Selama 26 tahun hidupnya, dia baru melihat ada bunga tasbih berwarna hitam. Evan meletakkan bunga tersebut di bawah bantal saat kedua orang tuanya memasuki ruangan VVIP tempat dirinya dirawat. "Mama pakai perfume apa, sih? Wangi banget, mual aku." Evan mengendus lengan baju mamanya. Bu Rudi mengerutkan dahi dan ikut mengendus pakaiannya. "Ngaco kamu, mana ada perfume? Kamu tahu kan
Security dengan badge name Suryadi itu mengangguk tanpa ragu. Lalu setengah berbisik dia berkata, "Menurut banyak cerita, tempat itu bekas makam janin-janin yang keguguran, Pak. Sebelum dipindahkan ke sebelah lapangan belakang rumah sakit ini." Suryadi mengusap lengan setelah menyelesaikan ucapannya."Makam? Tapi tadi saya lihat seseorang yang saya kenal menuju tempat parkir dekat taman, Pak!" sahut Evan bingung."Itu perasaan Bapak saja," jawab Suryadi lagi setengah berbisik.Evan mengusap lengannya yang meremang. Saat pintu lift terbuka, dilihatnya kedua orang tua Evan yang terlihat panik di depan nurse station."Evan, ke mana saja kamu? Kami cari dari tadi?" Bu Rudi yang terlihat panik melangkah cepat menghampiri anaknya. Evan dan Suryadi saling pandang sesaat. " Evan jalan-jalan sebentar Ma dan diantar ke sini sama Pak Suryadi," jawabnya setengah berbohong."Terima kasih, Pak." "Sama-sama, Bu. Selamat istirahat, Pak. Saya kembali ke pos jaga," jawab Pak Security sopan sebelum per
Benar saja, keesokan harinya, Evan diperbolehkan pulang, mengingat kondisinya yang sudah membaik. Sebelum memutuskan pulang ke rumah, Evan lebih dahulu pergi ke toko khusus keperluan anak-anak. "Pak, tolong tunggu sebentar, aku mau mampir beli sesuatu dulu," katanya pada sopir keluarga yang menjemputnya ke rumah sakit. "Baik Mas." Evan bergegas turun, dengan antusias dia membeli banyak barang untuk Bunga. Laki-laki itu merasa kasihan dengan Bunga, yang memakai pakaian lusuh dan sendal butut yang tak kalah lusuh. Berbagai pernak-pernik berhubungan dengan anak perempuan Evan beli. Mulai dari tas lucu warna pink dengan gambar tokoh animasi Barbie dan Rapunzel, gaun berwarna pink, baju-baju anak yang trendi juga sepatu serta mainan. Setelah membayar dengan black card-nya, arsitek muda itu keluar dari toko dengan membawa dua buah kantong berukuran besar. Dengan perasaan heran Pak Sopir membantunya meletakkan semua belanjaan Evan di jok belakang. "Siapa yang ulang tahun, Mas? Apa mau k
Keduanya masih sama-sama diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Evan tidak mengerti, mengapa semenjak kecelakaan, dirinya menjadi aneh. Apa benar yang dikatakan Pak Faiz? Jika dirinya tengah berhalusinasi akibat kecelakaan hebat itu? Laki-laki berkemeja biru navy itu mendesah, yang mengundang Pak Faiz menoleh sekilas ke arahnya. Pak Faiz yang tengah fokus pada kemudi itu bertanya lirih, "Mas Evan mikirin tadi ya?" Tebakan Pak Faiz ternyata tepat.Evan menoleh sekilas lalu kembali menatap ke depan."Kok bisa ya, Pak, aku seperti itu? ""Iya, katanya orang habis kecelakaan itu bisa membuka indera keenam, entah benar atau nggak, Mas.""Aku nggak percaya itu, Pak. Oh, ya, nanti kalau Papa tanya kenapa kita baru pulang, tolong jangan bilang aku mampir nemuin Bunga ya, Pak. Bilang saja aku mampir ke apartemen," pinta Evan, yang diangguki patuh oleh Pak Faiz.Dia memilih mengalihkan pembicaraan, daripada melanjutkan membahas hal aneh yang membuatnya semakin pusing. Mobil mewah itu pun mema