Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
Seorang laki-laki paruh baya dengan seragam security melangkah dengan tergesa begitu melihat BMW X5 M di depan pagar besi hitam yang menjulang tinggi. Tak lama, ia pun tersenyum ramah pada tamu yang sangat dikenalnya--Marvinno dan juga Amelia, sang istri. Sepasang suami-istri muda yang merupakan sahabat baik anak majikannya, Evan. "Assalamu'alaikum, Pak!" Marvinno segera menyapa security itu dengan ramah sambil menurunkan kaca jendela mobilnya."Wa'alaikumsalam, Mas Inno silakan masuk." "Terima kasih, Pak. Bapak ada, kan?" "Ada, Mas. Tapi, kalau Mas Evan belum pulang," jawabnya. Inno mengangguk lalu tersenyum. Seketika, ia memajukan mobilnya melewati pintu pagar dan memarkirnya di halaman rumah mewah yang dipenuhi tanaman hias itu. Inno pun menoleh pada Amelia, sang istri yang masih menatap takjub pada bangunan megah di depannya dan tentunya tanaman hias."Wah! Rumah Mas Evan mirip istana," gumamnya jujur.Hal itu membuat Inno tertawa lirih. "Ayo turun!" ajaknya. Amelia pun meng
Sayup-sayup terdengar suara merdu bacaan ayat suci Al Qur'an dari masjid luar komplek perumahan itu. Semakin lama, terdengar dengan jelas. Inno pun memperlambat laju kendaraannya ketika melewati pertigaan--tepat di depan rumah bertype cluster dua lantai yang mereka sewa selama kurang lebih satu tahun. Perlahan, Inno menurunkan kaca jendela mobilnya dan menoleh pada Amelia yang duduk diam di sampingnya. "Om Rudi dan Tante Diah begitu baik, semoga rumah ini cepat ada yang menghuninya lagi ya Sayang, daripada kosong lama. Evan juga nggak mungkin tinggal di sini." "Iya, semoga saja. Apalagi, tetangga di sini baik-baik semua. Kasihan juga tanaman aku yang nggak kebawa, pasti mati."Mendengar pendapat istrinya, Inno hanya menarik napas. "Bukankah aku sama Heri sudah tanya mau dibawa semua atau nggak? Kamu jawab nggak. Sekarang berka-" "--Mas!" seru Amelia memotong ucapan suaminya sembari mencegah Inno menutup kembali kaca jendela mobil. Lelaki tampan itu sontak menoleh menatapnya denga
Tunggu! Sekarang sudah lewat tengah malam. Belum lagi, ada rintikan gerimis disertai udara yang dingin. Mungkinkah ada seorang wanita berdiri di tengah jalan yang sepi? Amelia menggeleng pelan mencoba percaya akan ucapan suaminya jika dia hanya berhalusinasi. Akan tetapi, berulang kali dia mengerjapkan mata, wanita misterius itu memang masih ada di sana."Kenapa wanita itu masih di sana?" gumamnya lirih sambil mundur selangkah. Namun, dia memekik kaget ketika punggungnya menabrak benda di belakangnya. Belum sempat dia menoleh, sepasang lengan kekar berkulit putih kemerahan dengan bulu halus memeluknya dari belakang. "Wanita lagi," sahut Inno sambil berdecak. "Mas, bikin aku kaget saja!" protes Amelia sambil melepas pelan tangan sang suami dari tubuhnya. "Kamu itu kenapa? Jam segini bukannya tidur malah melamun di tepi jendela?" "Mas ..." ucap Amelia tercekat. "Berhalusinasi lagi, berkhayal lagi?" sindir Inno dengan nada datar disertai gelengan kepala. Amelia memilih diam tak