Windi mengigit bibirnya, dia menatap Amelia dengan perasaan takut dan khawatir. Sedangkan Amelia masih menatap ke suatu arah dengan tatapan mata tak berkedip.Dengan hati-hati gadis berhijab simple itu bertanya, "Dia, siapa maksud kamu, Mel? Kamu ngomong sama siapa? Jangan ngerjain aku ya Mel. Kamu nggak sedang latihan main sinetron kan?""Kamu pikir aku se-enggak punya kerjaan itu ngerjain kamu, Win? Kamu pikir aku sedang acting?"sahut Amelia tersulut emosi sambil melirik ke arahnya. Wanita berhijab pashmina lebar yang menutupi dadanya itu menarik nafas kasar dan kembali menatap ke suatu arah. Windi yang merasakan hal tidak biasa, mengusap tengkuknya yang meremang."Kamu tahu? Karena kamu terus ganggu aku, suami aku sendiri bahkan mengatakan aku orang stres dan sahabat aku menganggap aku acting. Puas kamu!" Amelia kembali menggeleng kuat, semua itu tak lepas dari perhatian Windi yang mulai merasa takut. "Nggak, aku nggak mau, cari orang lain yang bisa menolongmu, aku nggak bisa!" uca
Inno berharap istrinya itu menceritakan kejadian seperti yang diceritakan oleh Windi.Dan benar saja, setelah cukup lama bercerita, akhirnya sampailah apa yang diinginkan olehnya. Amelia sedikit memutar badan untuk menunjukkan sebuah foto pada sang suami. Inno meraih handphone istrinya dan mengamati foto hasil jepretan kamera ponsel wanita itu. Dia tidak menemukan hal aneh dalam foto tersebut."Bagus kok, Sayang. Ternyata kamu bakat juga jadi fotografer," komentar Inno menanggapi. "Jangan bilang Mas juga nggak lihat foto anak kecil yang jongkok di dekat bunga tasbih itu!" sahut Amelia dengan kesal. Bukan pujian yang diinginkan Amelia keluar dari mulut Inno, tetapi tanggapan laki-laki itu tentang anak kecil misterius yang ada di dalam foto. Inno memilih diam tak menanggapi, dia tidak mood berdebat apalagi bertengkar. Inno tak punya tenaga untuk hal tersebut. "Alhamdulillah, akhirnya kita sudah sampai, pasti Evan sudah menunggu," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Mobil bergerak pelan
Amelia mengalihkan pandangannya pada Inno dan Evan bergantian. "Please, jangan diminum Mas. Gelas itu sudah pecah," kata Amelia lirih. Evan mengamati gelas kaca di depannya dengan kebingungan. "Gelas ini utuh Mel, apanya yang pecah?" tanyanya heran."Percaya sama aku, Mas!""Sayang, jangan ngaco ah. Kalau pecah airnya ya tumpah lah!" sahut Inno, lantas menyambar gelas di depan Evan. Dan tiba-tiba, krak! Gelas kaca itu pecah di tangan laki-laki tampan itu, bersamaan dengan darah segar merembes dari telapak tangan kanannya yang tergores. Amelia memekik kaget. Evan, Inno, dan Aisyah hanya terpaku. Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna apa yang tengah terjadi. Tanpa pikir panjang, Amelia mengambil sapu tangan dari saku celana suaminya lalu membebat telapak tangan lelaki itu. Aisyah berlari ke arah parkir mengambil kotak P3K di dalam mobil. Inno menatap telapak tangannya dengan tatapan penuh tanya. Tiga menit berselang, Aisyah berjalan tergesa sambil membawa kotak obat. Dengan telat
Inno memijit kedua pelipisnya yang berdenyut pusing kemudian menarik napas kasar. "Cukup, Amelia! Jangan sok tahu!" bentaknya pada sang istri dengan amarah yang telah meledak. Wajah laki-laki tampan itu mengeras, sekali lagi dia menarik napas panjang dengan lelah. "Aku capek, aku lelah dengan semua ini. Tolong jangan buat semua semakin kacau, kamu mengerti?!" pungkasnya frustasi.Aisyah sontak melirik ke arah center mirror. Gadis itu sangat terkejut dengan suara keras kakaknya. Selama hampir 14 tahun hidup satu atap bersama laki-laki itu, senakal atau sejudes apa pun Inno padanya, dia tidak pernah mendengar Inno membentak orang. Tidak pernah melihat kakaknya itu marah sampai seperti ini. Sedangkan Amelia hanya acuh tak acuh mendengar bentakan dari Inno. Seolah menganggap hanya angin lalu saja. Bahkan sudut bibirnya kembali terangkat sebelah, hanya sekilas. Jika biasanya wanita itu sangat sensitif dengan sikap suaminya maka kali ini dia sama sekali tidak peduli. Jangankan dibentak, Inn
Bu Rudi segera mendekat ke arah sang dokter dan menanyakan keadaan anaknya. Dokter itu tersenyum tipis. "Masa kritis saudara Evanio sudah lewat, Anda semua tidak perlu khawatir," jelasnya ramah."Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan sambil menarik napas lega."Syukur alhamdulillah. Kami boleh melihatnya, Dok?" tanya Pak Rudi."Tentu, tapi dua orang dulu ya karena saudara Evan butuh istirahat." Mereka mengangguk mengerti. Dan bersyukur, Evan tidak mengalami luka yang terlalu serius. Memang kecepatan mobil di atas rata-rata saat kecelakaan, yang membuat supercar tersebut ringsek parah. Tetapi, sistem keamanan di dalam mobil mewah itu memang sangat canggih. Di ruang perawatan, Evan belum sadarkan diri. Pak Rudi meminta Inno, Amelia, dan Aisyah untuk pulang. Akhirnya, ketiganya memilih untuk meninggalkan rumah sakit. Karena rasa yang teramat lelah, membuat Inno tertidur pulas di dalam mobil. Jalanan malam kota Jakarta tidak seramai tadi, bahkan sudah berangsur lengang.Sehingga hanya b
Inno menatap nanar pada sang istri yang bersikap kasar padanya. Laki-laki itu kembali mendekat dan menatap dalam pada wanita yang berdiri tak nyaman di depannya itu. Dengan hati-hati, Inno meraih tangan Amelia dan menggenggamnya.Sejenak kemudian, laki-laki itu berkata dengan suara pelan, "Kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang salah denganku sehingga kamu bersikap seperti ini? Kamu bilang saja, tapi jangan kasar ya, menolak suami." Laki-laki itu sedikit mengangkat telapak tangan hendak mengusap pipi Amelia. Amelia mendengus kasar sembari menyingkirkan tangan Inno. "Jangan banyak bicara, cepat keluar!" teriaknya dengan nada tinggi.Inno kembali tersentak dan memejamkan mata sesaat, kemudian menatap tajam pada Amelia. "Jangan becanda Amelia, nggak lucu! Kamu nggak sedang ada tamu bulanan, kan? Kenapa kamu seperti ini, hah? Aku itu suami kamu, yang berhak atas tubuh kamu!" ucapnya sambil berusaha menahan emosi.Amelia tersenyum miring sekilas. "Nggak ada!" jawabnya lagi dengan ketus. "Lalu
"Kenapa Paman menatapku seperti itu? Seperti kurang pekerjaan." Bu Rini mengusap bahu menantunya pelan. "Nak, jangan ngomong begitu ya, Sayang," ucap wanita paruh baya berparas ayu itu dengan hati-hati.Amelia melirik sekilas pada ibu mertuanya dan menanggapi dengan senyum sinis. "Ibu nggak usah ikut campur!" jawabnya asal."Amelia, astaghfirullah," kata Inno menekan suaranya dengan rahang mengeras. Laki-laki itu mendesah frustasi dengan kedua tangan terkepal erat.Mungkin jika yang berbicara kasar itu bukan seorang perempuan atau istrinya, Inno pasti sudah mendaratkan pukulan ke mulut orang tersebut. Sementara Pak Hendri yang duduk di lengan sofa, masih berusaha menenangkan puteranya. Kemudian pria itu berucap lirih, "Sabar No, yang berbicara seperti itu bukan istrimu. Kalau kamu kehilangan kendali, nggak akan merubah apa pun. Kecuali menyakitinya.""Iya Ayah," jawab Inno dengan tatapan mata masih melekat pada Amelia."Kamu bisa diam nggak, Marvinno? Berisik tahu, nggak? Mendengar u
Inno terdiam beberapa saat dan menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. Inno salah tingkah. Paman Usman yang menyadari hal tersebut hanya tersenyum penuh arti. Dia tahu, pertanyaan itu memang sensitif. Tetapi, demi keselamatan keponakan dan calon cucunya, dia harus berkata jujur.Sekali lagi dia bertanya pada Inno yang belum juga menjawab. "Paman tanya ini untuk memastikan calon anak kalian aman, Inno. Jawab saja. Tapi Paman berharap jawaban kamu sesuai dengan keinginan Paman," ucapnya pelan. Pandangan aneh dari kedua orang tua Inno dan juga Aisyah tertuju pada laki-laki berambut cokelat itu. Inno menggeleng tegas. "Nggak Paman," jawab Inno pada akhirnya. Hal itu tentu, membuat Paman Usman menarik napas lega. "Syukurlah, Nak..." Paman Usman menjeda kalimatnya, lalu kembali berkata lirih, "Paman hanya khawatir saja, wanita itu merasuki raga istrimu saat kalian beribadah. Karena dia seperti terobsesi sama anak kalian Semoga saja, anak kalian laki-laki supaya dia nggak bisa merasuki r