Bukan kejujuran Windi yang membuatnya terbatuk, melainkan nama Rico, si pujaan mahasiswi di kampus.
Kakak tingkatnya yang pernah menyatakan perasaan pada Amelia.
"Amelia, aku sangat mencintaimu, sangat. Tapi aku tahu kamu nggak mau pacaran. Aku bangga sama kamu, aku menghargai pendirianmu. Kamu fokus kuliah dulu ya dan akupun begitu. Kita sama-sama mantapkan hati, nanti jika libur kuliah aku pulang dan membawa keluargaku menemui Abah dan Umi."
"Jodoh, maut dan rejeki, rahasia Allah kalau mas Rico jodohku, maka Mas Rico pasti akan sampai pada Abah dan Umi."
Mata Amelia memanas. Ingatan empat tahun silam kembali berputar di kepala. Tepatnya, beberapa bulan sebelum Inno datang melamarnya. Pria berwajah bule itu datang secara tak terduga dan menikahinya tanpa rencana pula. Amelia paham itu termasuk bagian dari rahasia jodoh di tangan Allah.
Menyadari raut wajah sendu Amelia, Windi berdehem lirih. "So-sorry Mel, maaf ya. Seharusnya, aku nggak ngomongin soal itu."
Windi penuh sesal lalu mengusap-usap bahu sahabatnya.
"It's okay Win, bukan salahmu. Mas Rico bukan jodohku walaupun caraku salah juga. Tapi, sejak aku menjadi istri Mas Inno, aku nggak boleh menyimpan nama laki-laki lain di hatiku. Berbulan-bulan Mas Rico nggak memberi kabar sama aku. Lalu, Mas Inno datang di waktu yang tepat. Aku sangat mencintai Mas Inno sejak pertama dia datang lagi ke rumahku, Win. Jadi, Mas Rico adalah masa lalu tak sampaiku yang sudah selesai."
Windi mengangguk setuju.
Mau berusaha seperti apapun jika Allah tidak menulis takdir jodohnya di lauhul mahfudz maka mereka tidak akan bisa bersama.
Kini hati temannya hanya terisi satu nama, yakni Marvinno Andrian Morelli. Sekarang, besok, dan selamanya, kan?
Tak terasa, mobil berhenti di underground parking di sebuah mall besar di kawasan Jakarta Selatan.
Ternyata, outlet-outlet dan pertokoan di dalam pusat perbelanjaan itu masih banyak yang tutup karena masih terlalu pagi. Keduanya pun memutuskan keluar lebih dahulu dari dalam mall dan memilih duduk-duduk di bangku taman yang ada di seberang mall.
"Kamu sudah sarapan, Mel?" tanya Windi pada Amelia yang duduk di sebelahnya. Mereka menatap ke arah beberapa pedagang makanan yang berjejer di seberang sana.
"Sudah tadi, kamu pergi sarapan sana dulu, kayaknya ada somay deh."
"Aku cuma mau beli minum, haus. Sebentar ya," pamitnya lalu melenggang pergi.
Amelia hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Dia tahu Windi tidak akan sekadar membeli minum. Gadis itu pasti kembali sambil membawa camilan.
Sambil menunggu sahabatnya kembali, wanita cantik bertubuh semampai itu melangkah ke arah tanaman hias.
Dia mengeluarkan iPhone mahal dari dalam tas brandednya. Beberapa bunga bermekaran, sangat menarik minat Amelia untuk mengabadikannya.
Namun, langkahnya kembali terhenti ketika melihat seorang anak kecil berjongkok sendirian di dekat rerimbunan bunga tasbih.
Amelia memindai sekeliling. Tidak ada siapapun di situ, kecuali mereka berdua.
Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari keberadaan orang tua bocah yang duduk berjongkok dengan kepala menunduk di depannya.
Sebelum memanggil gadis kecil itu, Amelia memutuskan untuk mengabadikan di dalam kamera handphonenya.
Wanita itu ikut berjongkok dan mengulurkan tangan hendak menyentuh punggung kurus itu. Tetapi, dia tersentak kaget bersamaan dengan bocah tersebut yang mendongak menatapnya.
Bocah kecil itu? Ya, bocah yang sama yang dia lihat di rumah Pak Rudi!
"Ka-kamu, siapa kamu?" tanya Amelia sambil memegangi dadanya yang berdebar kencang.
Tak ada jawaban. Hanya tatapan matanya kosong dari raut wajah kaku dan menyedihkan.
"Ke-napa, kamu di sini?" tanya Amelia lagi yang masih tidak mendapatkan respon. Sampai akhirnya, ada suara pria dari belakangnya. "Ya, ampun, Sayang. Kamu ternyata di sini! Ayah sama Bunda sibuk cari kamu, Aurel." Tak lama, Amelia dapat melihat pria asing itu mengangkat tubuh kecil anaknya. "Maaf, dia pu ... Pu-tri, Anda?" tanya Amelia gugup. Laki-laki itu mengangguk sekilas. "Terima kasih sudah menemani putri kami, permisi," ujarnya kemudian tanpa menatap pada Amelia. Amelia hanya bisa berdiri mematung. "Mel, woi, aku cari-cari ternyata kamu di sini!" seru Windi sambil memberikan sebotol air mineral padanya. Sedangkan Amelia, masih terdiam dengan tatapan kosong ke arah perginya pria yang membawa bocah kecil tadi. "Hallo Mel, kamu kenapa sih? Woi ini buat kamu!" seru Windi sambil menepuk punggung Amelia yang membuat wanita itu berjingkat kaget. "Ish, ngagetin saja!" protesnya sambil menerima air yang disodorkan oleh sahabatnya. "Kamu yang melamun, nih makan aku beli kerak telo
Windi mengigit bibirnya, dia menatap Amelia dengan perasaan takut dan khawatir. Sedangkan Amelia masih menatap ke suatu arah dengan tatapan mata tak berkedip.Dengan hati-hati gadis berhijab simple itu bertanya, "Dia, siapa maksud kamu, Mel? Kamu ngomong sama siapa? Jangan ngerjain aku ya Mel. Kamu nggak sedang latihan main sinetron kan?""Kamu pikir aku se-enggak punya kerjaan itu ngerjain kamu, Win? Kamu pikir aku sedang acting?"sahut Amelia tersulut emosi sambil melirik ke arahnya. Wanita berhijab pashmina lebar yang menutupi dadanya itu menarik nafas kasar dan kembali menatap ke suatu arah. Windi yang merasakan hal tidak biasa, mengusap tengkuknya yang meremang."Kamu tahu? Karena kamu terus ganggu aku, suami aku sendiri bahkan mengatakan aku orang stres dan sahabat aku menganggap aku acting. Puas kamu!" Amelia kembali menggeleng kuat, semua itu tak lepas dari perhatian Windi yang mulai merasa takut. "Nggak, aku nggak mau, cari orang lain yang bisa menolongmu, aku nggak bisa!" uca
Inno berharap istrinya itu menceritakan kejadian seperti yang diceritakan oleh Windi.Dan benar saja, setelah cukup lama bercerita, akhirnya sampailah apa yang diinginkan olehnya. Amelia sedikit memutar badan untuk menunjukkan sebuah foto pada sang suami. Inno meraih handphone istrinya dan mengamati foto hasil jepretan kamera ponsel wanita itu. Dia tidak menemukan hal aneh dalam foto tersebut."Bagus kok, Sayang. Ternyata kamu bakat juga jadi fotografer," komentar Inno menanggapi. "Jangan bilang Mas juga nggak lihat foto anak kecil yang jongkok di dekat bunga tasbih itu!" sahut Amelia dengan kesal. Bukan pujian yang diinginkan Amelia keluar dari mulut Inno, tetapi tanggapan laki-laki itu tentang anak kecil misterius yang ada di dalam foto. Inno memilih diam tak menanggapi, dia tidak mood berdebat apalagi bertengkar. Inno tak punya tenaga untuk hal tersebut. "Alhamdulillah, akhirnya kita sudah sampai, pasti Evan sudah menunggu," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Mobil bergerak pelan
Amelia mengalihkan pandangannya pada Inno dan Evan bergantian. "Please, jangan diminum Mas. Gelas itu sudah pecah," kata Amelia lirih. Evan mengamati gelas kaca di depannya dengan kebingungan. "Gelas ini utuh Mel, apanya yang pecah?" tanyanya heran."Percaya sama aku, Mas!""Sayang, jangan ngaco ah. Kalau pecah airnya ya tumpah lah!" sahut Inno, lantas menyambar gelas di depan Evan. Dan tiba-tiba, krak! Gelas kaca itu pecah di tangan laki-laki tampan itu, bersamaan dengan darah segar merembes dari telapak tangan kanannya yang tergores. Amelia memekik kaget. Evan, Inno, dan Aisyah hanya terpaku. Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna apa yang tengah terjadi. Tanpa pikir panjang, Amelia mengambil sapu tangan dari saku celana suaminya lalu membebat telapak tangan lelaki itu. Aisyah berlari ke arah parkir mengambil kotak P3K di dalam mobil. Inno menatap telapak tangannya dengan tatapan penuh tanya. Tiga menit berselang, Aisyah berjalan tergesa sambil membawa kotak obat. Dengan telat
Inno memijit kedua pelipisnya yang berdenyut pusing kemudian menarik napas kasar. "Cukup, Amelia! Jangan sok tahu!" bentaknya pada sang istri dengan amarah yang telah meledak. Wajah laki-laki tampan itu mengeras, sekali lagi dia menarik napas panjang dengan lelah. "Aku capek, aku lelah dengan semua ini. Tolong jangan buat semua semakin kacau, kamu mengerti?!" pungkasnya frustasi.Aisyah sontak melirik ke arah center mirror. Gadis itu sangat terkejut dengan suara keras kakaknya. Selama hampir 14 tahun hidup satu atap bersama laki-laki itu, senakal atau sejudes apa pun Inno padanya, dia tidak pernah mendengar Inno membentak orang. Tidak pernah melihat kakaknya itu marah sampai seperti ini. Sedangkan Amelia hanya acuh tak acuh mendengar bentakan dari Inno. Seolah menganggap hanya angin lalu saja. Bahkan sudut bibirnya kembali terangkat sebelah, hanya sekilas. Jika biasanya wanita itu sangat sensitif dengan sikap suaminya maka kali ini dia sama sekali tidak peduli. Jangankan dibentak, Inn
Bu Rudi segera mendekat ke arah sang dokter dan menanyakan keadaan anaknya. Dokter itu tersenyum tipis. "Masa kritis saudara Evanio sudah lewat, Anda semua tidak perlu khawatir," jelasnya ramah."Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan sambil menarik napas lega."Syukur alhamdulillah. Kami boleh melihatnya, Dok?" tanya Pak Rudi."Tentu, tapi dua orang dulu ya karena saudara Evan butuh istirahat." Mereka mengangguk mengerti. Dan bersyukur, Evan tidak mengalami luka yang terlalu serius. Memang kecepatan mobil di atas rata-rata saat kecelakaan, yang membuat supercar tersebut ringsek parah. Tetapi, sistem keamanan di dalam mobil mewah itu memang sangat canggih. Di ruang perawatan, Evan belum sadarkan diri. Pak Rudi meminta Inno, Amelia, dan Aisyah untuk pulang. Akhirnya, ketiganya memilih untuk meninggalkan rumah sakit. Karena rasa yang teramat lelah, membuat Inno tertidur pulas di dalam mobil. Jalanan malam kota Jakarta tidak seramai tadi, bahkan sudah berangsur lengang.Sehingga hanya b
Inno menatap nanar pada sang istri yang bersikap kasar padanya. Laki-laki itu kembali mendekat dan menatap dalam pada wanita yang berdiri tak nyaman di depannya itu. Dengan hati-hati, Inno meraih tangan Amelia dan menggenggamnya.Sejenak kemudian, laki-laki itu berkata dengan suara pelan, "Kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang salah denganku sehingga kamu bersikap seperti ini? Kamu bilang saja, tapi jangan kasar ya, menolak suami." Laki-laki itu sedikit mengangkat telapak tangan hendak mengusap pipi Amelia. Amelia mendengus kasar sembari menyingkirkan tangan Inno. "Jangan banyak bicara, cepat keluar!" teriaknya dengan nada tinggi.Inno kembali tersentak dan memejamkan mata sesaat, kemudian menatap tajam pada Amelia. "Jangan becanda Amelia, nggak lucu! Kamu nggak sedang ada tamu bulanan, kan? Kenapa kamu seperti ini, hah? Aku itu suami kamu, yang berhak atas tubuh kamu!" ucapnya sambil berusaha menahan emosi.Amelia tersenyum miring sekilas. "Nggak ada!" jawabnya lagi dengan ketus. "Lalu
"Kenapa Paman menatapku seperti itu? Seperti kurang pekerjaan." Bu Rini mengusap bahu menantunya pelan. "Nak, jangan ngomong begitu ya, Sayang," ucap wanita paruh baya berparas ayu itu dengan hati-hati.Amelia melirik sekilas pada ibu mertuanya dan menanggapi dengan senyum sinis. "Ibu nggak usah ikut campur!" jawabnya asal."Amelia, astaghfirullah," kata Inno menekan suaranya dengan rahang mengeras. Laki-laki itu mendesah frustasi dengan kedua tangan terkepal erat.Mungkin jika yang berbicara kasar itu bukan seorang perempuan atau istrinya, Inno pasti sudah mendaratkan pukulan ke mulut orang tersebut. Sementara Pak Hendri yang duduk di lengan sofa, masih berusaha menenangkan puteranya. Kemudian pria itu berucap lirih, "Sabar No, yang berbicara seperti itu bukan istrimu. Kalau kamu kehilangan kendali, nggak akan merubah apa pun. Kecuali menyakitinya.""Iya Ayah," jawab Inno dengan tatapan mata masih melekat pada Amelia."Kamu bisa diam nggak, Marvinno? Berisik tahu, nggak? Mendengar u