Share

Part 6 Lagi?

Bukan kejujuran Windi yang membuatnya terbatuk, melainkan nama Rico, si pujaan mahasiswi di kampus.

Kakak tingkatnya yang pernah menyatakan perasaan pada Amelia. 

"Amelia, aku sangat mencintaimu, sangat. Tapi aku tahu kamu nggak mau pacaran. Aku bangga sama kamu, aku menghargai pendirianmu. Kamu fokus kuliah dulu ya dan akupun begitu. Kita sama-sama mantapkan hati, nanti jika libur kuliah aku pulang dan membawa keluargaku menemui Abah dan Umi."

"Jodoh, maut dan rejeki, rahasia Allah kalau mas Rico jodohku, maka Mas Rico pasti akan sampai pada Abah dan Umi."

Mata Amelia memanas. Ingatan empat tahun silam kembali berputar di kepala. Tepatnya, beberapa bulan sebelum Inno datang melamarnya. Pria berwajah bule itu datang secara tak terduga dan menikahinya tanpa rencana pula. Amelia paham itu termasuk bagian dari rahasia jodoh di tangan Allah.

Menyadari raut wajah sendu Amelia, Windi berdehem lirih. "So-sorry Mel, maaf ya. Seharusnya, aku nggak ngomongin soal itu."

Windi penuh sesal lalu mengusap-usap bahu sahabatnya.

"It's okay Win, bukan salahmu. Mas Rico bukan jodohku walaupun caraku salah juga. Tapi, sejak aku menjadi istri Mas Inno, aku nggak boleh menyimpan nama laki-laki lain di hatiku. Berbulan-bulan Mas Rico nggak memberi kabar sama aku. Lalu, Mas Inno datang di waktu yang tepat. Aku sangat mencintai Mas Inno sejak pertama dia datang lagi ke rumahku, Win. Jadi, Mas Rico adalah masa lalu tak sampaiku yang sudah selesai."

Windi mengangguk setuju.

Mau berusaha seperti apapun jika Allah tidak menulis takdir jodohnya di lauhul mahfudz maka mereka tidak akan bisa bersama.

Kini hati temannya hanya terisi satu nama, yakni Marvinno Andrian Morelli. Sekarang, besok, dan selamanya, kan?

Tak terasa, mobil berhenti di underground parking di sebuah mall besar di kawasan Jakarta Selatan.

Ternyata, outlet-outlet dan pertokoan di dalam pusat perbelanjaan itu masih banyak yang tutup karena masih terlalu pagi. Keduanya pun memutuskan keluar lebih dahulu dari dalam mall dan memilih duduk-duduk di bangku taman yang ada di seberang mall.

"Kamu sudah sarapan, Mel?" tanya Windi pada Amelia yang duduk di sebelahnya. Mereka menatap ke arah beberapa pedagang makanan yang berjejer di seberang sana.

"Sudah tadi, kamu pergi sarapan sana dulu, kayaknya ada somay deh."

"Aku cuma mau beli minum, haus. Sebentar ya," pamitnya lalu melenggang pergi.

Amelia hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Dia tahu Windi tidak akan sekadar membeli minum. Gadis itu pasti kembali sambil membawa camilan. 

Sambil menunggu sahabatnya kembali, wanita cantik bertubuh semampai itu melangkah ke arah tanaman hias.

Dia mengeluarkan iPhone mahal dari dalam tas brandednya. Beberapa bunga bermekaran, sangat menarik minat Amelia untuk mengabadikannya.

Namun, langkahnya kembali terhenti ketika melihat seorang anak kecil berjongkok sendirian di dekat rerimbunan bunga tasbih.

Amelia memindai sekeliling. Tidak ada siapapun di situ, kecuali mereka berdua.

Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari keberadaan orang tua bocah yang duduk berjongkok dengan kepala menunduk di depannya.

Sebelum memanggil gadis kecil itu, Amelia memutuskan untuk mengabadikan di dalam kamera handphonenya.

Wanita itu ikut berjongkok dan mengulurkan tangan hendak menyentuh punggung kurus itu. Tetapi, dia tersentak kaget bersamaan dengan bocah tersebut yang mendongak menatapnya.

Bocah kecil itu? Ya, bocah yang sama yang dia lihat di rumah Pak Rudi!

"Ka-kamu, siapa kamu?" tanya Amelia sambil memegangi dadanya yang berdebar kencang.

Tak ada jawaban. Hanya tatapan matanya kosong dari raut wajah kaku dan menyedihkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status