"Sadar rengganis!"
Suara Bu Tejo sontak menyadarkan gadis itu dengan cepat. Napasnya memburu, ia memegang dadanya yang naik turun."Bu, di situ ... aku ndak bohong sumpah ada bayangan lewat dari jendela!" tunjuk Rengganis tepat ke arah objek di depannya.Bu Tejo berjalan memeriksa jendela, lirikan matanya mengamati kanan kiri, namun anehnya tak ada apapun."Rengganis, ndak ada apa-apa di sini," sahut Bu Tejo.Rengganis menggeleng kuat, kejadian tadi kembali mengorek ingatannya. Jelas sekali bayangan itu melintas cepat dari hadapannya."Itu bukan setan, itu jelas manusia!" kata Rengganis kembali meyakinkan Bu Tejo.Bu Tejo bersimpuh, satu tangan ia kerahkan mengelus punggung Rengganis, sekadar memberikan ketenangan."Sudah jangan pikirkan apapun dulu, Nduk," ucapnya.Perlahan napas Rengganis terdengar mulai kembali normal. Gadis itu menghirup udara rakus lalu mengembuskannya pelan."Apa ibu ndak dengar suara aneh dari kamar Mbak Trisna?" tanya Rengganis serius.Bu Tejo bungkam selama beberapa saat. Lalu kemudian mengangguk pelan."Terdengar jelas. Seperti ada seseorang yang sedang mengetik," terang Bu Tejo.Rengganis membisu. Ia menyadari bahwa Bu Tejo juga menyadari keanehan yang ia alami.Pikiran Rengganis berkecamuk, sosok yang kerap mengganggunya setiap malam, rupanya mulai dengan jelas memperlihatkan tamengnya."Ibu udah cek kamar Mbak Trisna?"Bu Tejo menggeleng."Saya ndak berani ngecek," sahutnya.Rengganis menangkap perubahan raut wanita itu. Ada sebercak kepanikan tergambar jelas dari muka Bu Tejo."Ada apa, Bu?" tanya Rengganis menebas rasa penasaran.Sesaat Bu Tejo hendak menjawab, sejurus kemudian suara ketukan yang begitu keras kembali menggedor paksa kamar Rengganis.Rengganis maupun Bu Tejo spontan saling menatap dengan mimik ketakutan."Pintunya ... kunci pintunya!" Bu Tejo menjerit.Jantung Rengganis sontak marathon dua kali lipat. Tangannya yang gemetar hebat mengunci pintu secepat mungkin.Rengganis dan Bu Tejo mundur ke sudut dinding. Pandangan mereka tak lepas dari gagang pintu yang dipaksa buka oleh seseorang dari luar."Bu ... gimana ini?" cicit Rengganis tanpa sadar terisak.Gadis itu tak kuasa menahan rasa takut yang menyerang, keringat dingin mengucur deras dari balik pelipis, begitu pun dengan bibir Rengganis yang pucat pasi."Doa, ndak ada cara lain selain meminta pertolongan sama Yang Maha Kuasa."Meski dirundung kecemasan, Bu Tejo terus merapalkan doa dari balik mulutnya."P-pintunya," tukas Rengganis kala gagang pintu itu perlahan kembali ke posisi normal.Keduanya termangu sebentar. Suara itu menghilang dimakan waktu.Rengganis meraup wajahnya kasar, gadis itu langsung menangis sejadi-jadinya."Bu ... Rengganis takut!" tuturnya dengan suara bergetar.Bu Tejo masih tetap berusaha tegar. Ia mendekap tubuh Rengganis, menenangkannya.Wanita itu tenggelam di dalam pikirannya sendiri. Sejak tadi memang ingin mengutarakan sesuatu."Satu yang harus kamu tahu Rengganis, itu bukan perbuatan manusia."***Kala pagi menyapa, Rengganis tergerak untuk keluar memeriksa keadaan indekos.Sesampainya di pintu utama, ia mengamati gagang pintu dengan raut teliti."Ndak ada tanda dibobol," gumamnya menyeletuk.Ia beralih mengecek jendela kamarnya dari luar. Sampai detik ini tidak ada kejanggalan yang berarti.Langkah gadis itu kembali memasuki kos. Rengganis ingin memastikan sesuatu. Mulai dari kamar Joko hingga Wisnu, tidak ada indikasi gagang pintu yang dibobol paksa.Namun ketika ia berhenti tepat di depan kamar Mbak Trisna, aura di sekitar Rengganis entah kenapa mendadak berubah suram."Kok bulu kudukku merinding gini ya? Padahal masih pagi," gumam Rengganis tak mengerti.Sesaat ia meneguk salivanya kasar. Sesuatu dari dalam diri mendorongnya untuk membuka pintu itu, namun di sisi lain ada keraguan yang menghalang."Kalo memang tidak ada sesuatu di kamar Mbak Trisna, ndak mungkin hal aneh semalam bakal kejadian," pikirnya.Ketika tangan itu hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba suara Bu Tejo menghentikan aksinya."Jangan Rengganis!" serunya.Bu Tejo menarik lengan dan membawa Rengganis menjauh dari sana."Tidak sekarang. Tunggu Joko dan Wisnu, kita akan menyelidiknya sama-sama," terang Bu Tejo.Rengganis mengangguk mengerti."Maaf, Bu. Seharusnya aku ndak gegabah," ujar gadis itu."Tidak apa-apa."Rengganis kembali mendapati raut kepanikan Bu Tejo. Tidak ditampakkan secara gamblang, tetapi Rengganis tahu jelas makna ekspresi itu."Ada apa, Bu? Apa ibu nemuin sesuatu?" terkanya.Bu Tejo menghela napas gusar. Berulang kali ia mengerjap seakan menutupi sesuatu."Bu?" panggil Rengganis mengernyit dahi heran.Wanita itu melipat bibirnya, bagai sedang dirundung perasaan bimbang."Begini Rengganis ... sebenarnya pagi tadi saya nemuin sesuatu dari pintu kamarmu," papar Bu Tejo seraya mengeluarkan secarik kertas kecil yang sudah diremas."Maaf karena terkesan menyembunyikan ini dari kamu. Pas ketemu ini, saya memang ndak ada niatan mau liatin ke kamu," terangnya."Tapi karena kamu mendesak ingin tahu, saya bisa apa," imbuh Bu Tejo mulai membuka remasan kertas di tangannya."Memang isinya apa, Bu?" tanya Rengganis, kerutan tipis tergambar jelas di keningnya.Tak menjawab, Bu Tejo memilih menyerahkan kertas itu ke Rengganis.Rengganis menerimanya dengan ragu. Perlahan ia mulai membaca isinya dalam hati.Belum sedetik ia melihat, refleks Rengganis membuang kertas itu asal. Spontan mulutnya terbuka dengan mata melotot."Kamu selanjutnya" tergores jelas kalimat di atas kertas dengan tinta merah gelap."I-ini apa?!" pekiknya dengan wajah pucat.Bu Tejo memungut kertas itu dan kembali meremasnya kuat. Sesaat aroma amis samar menghantam penciuman keduanya."Saya ndak paham dari mana asal kertas ini. Tapi yang jelas, ini ditulis pake darah manusia," beber Bu Tejo dengan wajah serius.Rengganis menutup mulut, tak percaya."A-apa ini ditujukan ke aku?" tanya Rengganis, suara bergetar menahan takut."Bisa jadi ya, bisa jadi tidak," sahut Bu Tejo singkat.Wanita itu kemudian berjalan memeriksa sepanjang sisi lantai."Sampai detik ini, tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa ini ulah manusia. Normalnya, ketika seseorang masuk ke dalam sini, pasti hal yang pertama dia lakuin itu membobol pintu utama. Tapi lihat? bahkan pintu itu dalam keadaan wajar seperti biasanya," jelasnya."Tapi kertasnya? Seseorang pasti sengaja nulis itu terus ninggalin di pintuku," sahut Rengganis.Bu Tejo mengangguk setuju."Keanehannya di situ. Ada benda namun tidak ada sosok yang jelas. Semuanya masih tanda tanya, Rengganis. Itu hanya asumsi saya sementara ini," tukasnya.Rengganis memijat kepalanya yang tiba-tiba diserang pening."Kamu mau tau apa yang lebih mengejutkan lagi, Nduk?" sahut Bu Tejo tersenyum tipis.Rengganis menyimak dalam hening.Telunjuk Bu Tejo terangkat menunjuk ke arah dinding tepat di sebelah kamar Rengganis.Sorot mata gadis itu mengikuti perintah Bu Tejo. Kala netranya menangkap hal yang dimaksud, sejurus kemudian sekujur tubuh Rengganis berubah kaku tak mampu bergerak."Itu tangan siapa?"Bersambung..."Eh, coba kamu lihat deh Nu, Joko punya kunci gerbang Banu?" tanya Rengganis setelah mengamati gelagat aneh Joko di seberang jalan. Wisnu mengernyir dahi. Seumur mengenal Joko, baru kali ini ia dapati sikap lelaki itu yang aneh dan janggal. "Iya ... dia punya kuncinya," celetuk Wisnu setelah Joko berhasil membuka gerbang rumah Banu. Sementara Rengganis sudah kehabisan kata-kata. Ponselnya lantas terangkat untuk memotret aksi Joko di sana. "Nis dia udah masuk, sebenarnya tuh orang bikin apa sih? Kenapa kuncinya bisa ada sama dia?" heran Wisnu. Tanpa memberi jawaban, Rengganis buru-buru melenggang ke arah rumah Banu, membuat Wisnu berdecak dan merutuki gadis itu. "Tungguin aku, Nis!" pekik Joko dengan perasaan resah. Rengganis berjalan jinjit di depan gerbang Banu. Matanya mengintip dan menerobos masuk ke dalam pekarangan rumah milik almarhum. Di sana cukup lenggang, Rengganis tak mendapati keberadaan Joko. Lalu, ke mana dia? "Dia ndak ada, Nu," adu Rengganis dengan netra melir
Malam hari, seperti biasa Bu Tejo serta penghuni kos mengadakan kumpul bersama di ruang tengah rumah Mbak Arini. Mereka berbincang satu sama lain dan membagikan pengalaman selama seharian ini. "Tadi ibu dikabarin pihak kepolisian, katanya besok atau lusa kita udah bisa kembali ke kos, berhubung tempat itu udah disterilkan," info Bu Tejo kepada anak kosnya. Rengganis menghela napas lega. Ia mengelus dadanya pelan sebab merasakan titik ketenangan di dalam jiwanya. Selama seminggu ini hatinya masih bergejolak, ia tak bisa melupakan insiden terbunuhnya Banu begitu saja. "Syukurlah, Buk. Tapi tetap aja kita semua ndak bisa lengah gitu aja. Pembunuh korban sampai detik ini belum kunjung juga ditemukan," sahut Mbak Trisna. "Bener, saya juga was-was kalau ibu dan yang lain harus kembali ke kos lagi. Takut terjadi sesuatu lagi yang tak bisa kita bayangkan," timpal Mbak Arini. Bu Tejo mengelus pelan punggung tangan anaknya, bermaksud menenangkan kegelisahan yang menyerang di dalam jiwanya
Keadaan mendadak hening sesaat Riko membeberkan peristiwa di apartemennya. Begitu pun dengan Rengganis yang membisu dan tak mampu berucap. Rengganis merasa semua kejadian yang terjadi di sekitarnya makin tak bisa diterima oleh akal sehatnya. Belum saja kasus Banu selesai, kasus Riko malah ikut muncul ke permukaan dan sukses membuatnya pusing. "Apa yang bakal kamu lakuin sekarang? Ngelaporin kejadian ini ke kepolisian? Saranku kayaknya itu udah cara yang paling aman deh, Ko," ujar Rengganis. Riko ikut mengangguk menyetujui saran Rengganis. Ia juga dari awal sudah memikirkan akan melaporkan tindakan orang yang menerornya kepada polisi. "Aku ada kenalan polisi dan udah cerita-cerita juga ke dia soal ini. Doain aja ya Nis, semoga kasus dan pelaku ditangkap tuntas," cetus Riko penuh harapan besar. Rengganis turut mengangguk, ia menepuk pundak Riko pelan bermaksud memberinya kekuatan dan tetap tegar. "Kamu gimana?" tanya Riko setelah beberapa saat hening. Rengganis mengernyit dahi, i
Dua minggu lamanya Rengganis dan penghuni kos menetap di rumah Mbak Arini, besok hari mereka semua dipastikan untuk kembali menetap di kos Bu Tejo. Namun yang membuat terkejut ialah kasus Banu terpaksa harus ditutup karena sampai detik ini belum juga ditemukan dalang pasti pembunuh korban. Dan mengenai bukti besar di rumah Banu, Rengganis mendapati kabar dari pihak kepolisian barang-barang tersebut telah diamankan. "Huft," helah Rengganis membuang napas pelan. Ia meraih ranselnya dan beranjak keluar pintu. Di saat itu ia berpapasan dengan Bu Tejo yang sedang menggenggam kantung plastik berisi sayur di tangannya. "Eh, Nduk? Udah mau ke kampus?" tanya Bu Tejo menghentikan langkah Rengganis. Gadis itu mengangguk membenarkan. "Itu temenmu di depan kayaknya udah dari tadi nungguin kamu," cetus Bu Tejo. Sebelah alis Rengganis tertaut menampilkan raut wajah heran. Ia menerka siapa gerangan orang yang sedang menunggunya, mengingat ia tak membuat janji dengan siapa pun pagi ini. "Siap
Rengganis melenguh pelan. Tidurnya terganggu tatkala mendengar suara pintu diketuk seseorang dari luar. Ia lalu melirik jam dindingnya sebentar, kemudian menyadari bahwa pagi telah menyapa. "Tunggu, bentar aku bukain," cetusnya segera bangkit dari atas kasur. Rengganis meraih gagang pintu dan mendapati sosok Wisnu dan Joko yang sedang menunggu di luar kamar. Sebelah alis Rengganis tertaut heran menatap kedua lelaki dengan raut wajah tegang di depannya. "Ada apa?" tanya Rengganis heran. Sejanak suasana mendadak hening. Rengganis termangu memandang kedua sosok itu hanya membisu dan saling melempar tatapan. "Ada apa sih?" tanyanya lagi masih tidak mengerti dengan situasi saat itu. "Gagang pintu depan rumah Mbak Arini patah, Nis," beber Joko kemudian. Kening Rengganis semakin berkerut mendapati informasi barusan. "Patah? Kok bisa?" tanyanya balik. "Gagang pintu luar doang yang patah, semalam padahal sebelum aku kunci pintunya masih normal," cetus Wisnu. "Semalam kamu ada tamu n
Rengganis sampai di rumah anak Bu Tejo sekitar pukul tujuh malam. Setelah mata kuliahnya selesai jam lima sore, ia langsung ke rumah temannya untuk kerja kelompok. Gadis itu menghela napas berat ketika berhasil menginjaki kaki di teras sebuah rumah sederhana. Dari tempatnya, ia bisa melihat anak Bu Tejo—Arini sedang berkutat dengan laptop miliknya di ruang tamu. "Assalamualaikum," ucap Rengganis mengulas senyum tipis ketika tatapannya bertemu dengan wanita tersebut. "Waalaikumsalam, Nis. Kok kamu baru balik?" tanya Mbak Arini seraya melepas kacamatanya. Rengganis beranjak duduk di sofa sebelah Mbak Arini. Ia melepas ranselnya dan membalasi pertanyaan Mbak Arini. "Abis kerja kelompok nih." Pandangan gadis itu lalu melirik ke sekitar. "Ini yang lain pada ke mana, Mbak? Ndak biasa sepi kayak gini," herannya mengerutkan dahi. "Oh, kalau Ibu lagi ada kajian di rumah Bu RT, kalau Joko belum balik, Wisnu tadi baru pulang dan mungkin lagi di kamarnya," jawab Mbak Arini. Rengganis nampa