Share

Part 6

Author: Firsyaka
last update Last Updated: 2024-11-13 08:49:02

"Sebenarnya ... aku sudah lama menyimpan rasa padamu, tapi aku tidak berani mengatakannya dulu saat kita masih tinggal di kampung karena kamu anaknya pendiam, takut kamu marah," tutur Mas Very panjang lebar membuat otakku seketika memutar ke masa lalu.

"E_emangnya Mas Very kenal denganku?" tanyaku ragu.

"Kamu nggak ingat kalau kita dulu sekampung? Kita kan, dulu sekolah bareng di SMP Persada, dan aku Kakak kelasmu. Ya, mungkin kamu dah lupa," pekiknya dengan wajah yang begitu serius seakan menyuruhku untuk ingat kembali tentangnya.

Sementara aku masih berpikir keras untuk mengingatnya, mengurai lembar cerita di masa laluku yang penuh perjuangan.

"Mm ... kamu Very yang dulu ikut kelas musik dan basket, ya? Yang dulu jadi incaran cewek-cewek karena permainanmu begitu memukai saat tampil?" tebakku semoga tak meleset.

"Nah, itu kamu ingat," pungkasnya dengan wajah yang ekspresif.

"Oh, jadi kamu itu Very yang sekampung denganku? Aku gak nyangka kita bisa ketemu di sini. Terus, kalau boleh tahu, kenapa Mas Very bisa tinggal di kota ini?" cecarku kemudian.

"Ya, dulu waktu aku lulus SMP, orang tuaku ngajak pindah ke sini karena diajak teman buat bisnis bareng. Taunya lancar, jadinya sampai sekarang deh, di sini," paparnya.

Kami terus bercerita banyak hal yang sudah kami lewatkan begitu saja tanpa kebersamaan. Bernostalgia saat masih tinggal di kampung yang sama.

"Ratna, jujur saja ... aku dari dulu sudah suka sama kamu hingga sekarang rasa itu tetap sama, meski aku sudah beberapa kali berpacaran. Namun, tak satupun yang membuatku ingin melanjutkan ke hubungan yang serius." Wajahnya nampak serius dengan sorot mata yang begitu dalam menembus retinaku.

"Semenjak kamu pindah, rasanya sudah gak ada lagi rasa cinta untuk wanita mana pun. Makanya hingga sekarang aku belum mau menikah karena aku yakin kalau suatu saat nanti kita akan dipertemukan lagi. Tapi, nyatanya sekarang ...." Kini tatapannya layu, seolah sudah kehilangan harapan untuk bisa bersatu dengan cinta lamanya karena sekarang aku sudah menikah dengan orang lain.

"Mas Very, jangan ngomong begitu. Mas Very harus yakin kalau suatu saat nanti pasti akan menemukan wanita yang benar-benar Mas Very cintai, meskipun itu bukan aku." Aku melepas paksa genggaman tangannya.

"Tapi ... aku gak mau yang lain, aku maunya cuma kamu yang jadi istriku, Ibu dari anak-anakku. Kamulah cinta pertamaku dan aku ingin kamu menjadi cinta terakhirku." Aku melihat sorot matanya yang kini sudah berembun, mungkin dia terlalu dalam mencintaiku.

****

"Ver, kita joging yuuk! Mumpung masih pagi, udaranya segar," ajak Mas Febi saat kami tengah sarapan bareng.

"Boleh," sahut Mas Very cepat.

Usai sarapan, kami lekas keluar untuk joging. Kami joging berempat. Suamiku sudah siap dengan setelan olah raganya, begitu juga dengan pacarnya yang mengenakan setelan senam dengan menampakkan lekuk tubuhnya yang seksi.

"Sayang, ayok, jalan!" ajak suamiku pada pacarnya. Dan wanita itu dengam langkah cepat menghambur

memeluk pinggang suami orang.

Aku mencelos menatap mereka dengan perasaan yang begitu nyeri campur kesal hingga aku tak sadar mulutku terus menggerutu sambil mencebik.

Dan tanpa diduga Mas Very tengah memperhatikanku, entah sejak kapan hingga membuatku malu.

"Ayok, Rat ... kita jalan! Tuh, Very sudah di depan!" ajak Mas Very sambil merentangkan tangannya.

"Kamu cemburu liat Febi seperti itu sama Amel?" tanya Very menelisik.

Aku terdiam dengan raut muka ditekuk, entah harus jawab apa, aku bingung. Kalau cemburu, aku belum terlalu karena  belum ada rasa cinta untuknya. Hanya saja, aku dan dia sudah terikat pernikahan.

"Kok, kamu diem? Apa benar ucapanku?" tanya Very mengulang karena tadi aku tak membalasnya.

Aku menggeleng pelan sambil tersenyum getir ke arahnya.

"Udahlah, lupakan. Mendingan kita terus jalan sambil menghirup udara segar pegunungan. Coba kamu hela napas yang panjang sambil pejamkan mata  lalu keluarkan perlahan, di jamin nanti dadamu lega karena terisi lagi dengan oksigen," tutur Very yang sedari tadi terus mengajakku bicara meski kadang aku banyakan diamnya.

Aku mengikuti sarannya, berhenti sejenak di pinggir jalan di samping hamparan perkebunan teh yang tumbuh lebat dan subur.

Aku mengulang beberapa kali hingga perlahan rongga dadaku lega.

"Gimana, enakan?" cecarnya lagi.

"Iya, Alhamdulillah," jawabku lirih.

"Ya udah, kita jalan lagi yuuk, mereka sudah jauh tuh!" ajaknya sambil menggandeng lenganku dan menunjuk ke arah suamiku yang nampak jauh dari pandangan.

Aku pun mengangguk pelan sambil mengikuti langkahnya.

"Kita lari kecil yuuk, biar cepat menyusul mereka!" ajaknya lagi.

"Ya udah, ayook!" aku mengiyakan ajakannya kemudian berlari kecil seirama dengan langkahnya.

Setelah cukup jauh berlari dan kini sudah mendekati suamiku dan pacarnya. Mereka kini berjalan tepat di depanku sambil terus bergandengan tangan. Karena sangking fokusnya aku memperhatikan mereka berdua hingga tak melihat jalan di depanku yang berlubang.

"Aduuh ...!" pekikku menahan sakit. Aku terpeleset dan jatuh terduduk.

Sontak membuat suamiku menoleh ke belakang dan menatap nanar ke arahku.

"Kalau jalan itu pake mata, jangan meleng mulu!" bentaknya begitu garang.

"Apa yang sakit?" tanya Very begitu perhatian. Saat aku terjatuh dia cekatan menolongku.

"Pergelangan kakiku kayaknya keseleo deh," lirihku sambil menahan sakit.

Gegas Very menyuruhku menyelonjorkan kedua kakiku dan dia langsung mengurut-urut di area kakiku yang sakit.

"Kok, bisa jatuh sih? Emang jalannya gimana?" pekik Febi ingin tahu.

"Tadi ada lubang di jalan, aku gak merhatiin. Jadinya kakiku melintir lalu jatuh," ucapku menjelaskan, berharap ia iba terhadapku.

"Emang matamu ke mana bisa sampai jatuh gitu?" sanggah Mas Febi  tak terima dengan mulut terus mencebik sambil memperhatikan Mas Very yang tengah mengurut kakiku.

"Udah dong, Feb, jangan ngomel mulu, bukannya bantuin atau kasih perhatian sama istri loe," protes Very kesal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 79

    Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 78

    Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 77

    Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 76

    Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 75

    “Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 74

    Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status