แชร์

Part 5

ผู้เขียน: Firsyaka
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-10-29 19:19:01

"M–Mas, siapa wanita itu? tanyaku saat sudah berada di dekat wanita yang tengah duduk di teras dengan koper yang berdiri di sampingnya.

"Oh, iya, kenalin ini pacarku dan dia mau menemaniku di sini," pungkasnya tanpa beban membuatku terperangah, apalagi saat wanita dengan pakaian kurang bahan itu kini mendekatinya, lalu tangannya bergelayut manja di lengan suamiku.

"Mak–ud–nya apa, Mas?" tanyaku tergagap dengan pandangan tidak lepas menatap dua manusia di depanku yang bersikap seakan tidak tahu etika.

Bagaimana tidak, Mas Febi itu sudah menikah dan sekarang aku dan dia mau bulan madu di sini. Tapi kenapa dia datang kemari sambil membawa koper? Jangan bilang, kalau dia berniat untuk mengganggu acara bulan maduku.

"Maksudnya, nanti aku tidur sama dia dan kamu tidur di kamar sebelah. Ingat ya, kita ke sini bukan untuk bulan madu, kamu jangan pernah berharap. Ini semua kulakukan hanya di depan Papi, karena aku tidak enak kalau menolaknya," papar Mas Febi. Kontan saja perkataan itu membuat hati ini berdenyut nyeri hingga tidak terasa netraku berembun. Sesak sekali rasanya dada ini.

"Ayo, Sayang! Masuk!" ajak lelaki yang kini sudah bergelar menjadi suamiku pada wanita yang ia gandeng mesra.

Sementara aku. Hanya bisa terpaku di teras dengan hati dan pikiran yang berkecamuk. Ingin rasanya aku berteriak memaki dua manusia yang tidak punya malu itu.

Aku pikir Mas Febi akan berusaha untuk menyenangkanku di sini, tapi ternyata dugaanku salah besar.

Kini mereka sudah memasuki kamar yang terletak di lantai atas. Tawa mereka terdengar nyaring saat aku melewati pintu itu, dan aku lekas memasuki kamar yang ada di sebelahnya dengan kunci yang masih tergantung di pintunya.

Aku menjatuhkan bobot ini di atas kasur yang empuk dan nyaman, mencoba memejamkan mata berharap semua ini hanya mimpi semata. Hingga tidak terasa bulir bening meleleh dari sudut mataku. Aku terisak sendirian. Sampai akhirnya aku lelah dan entah berapa jam aku tertidur. Kemudian diri ini tersadar saat seseorang mengguncang tubuhku dengan kasar.

"Ratna, bangun ... buatkan kami makan malam sekarang!" ucapnya sedikit berteriak hingga aku terlonjak kaget.

Segera aku membuka mata meski sebenarnya masih terasa sangat mengantuk. Aku lupa tadi tidak mengunci pintu kamar hingga dia bisa nyelonong masuk.

"Mas Febi, memangnya sekarang sudah jam berapa?" tanyaku sambil mengucek mata.

"Sudah jam 7 malam, makanya bangun! Terus cepetan buatkan makan malam, aku dan Amel sudah lapar!" serunya dengan nada memaksa.

Setelah itu suamiku memutar badan dan langsung melangkah pergi. Huuuft ... tidak di rumah, tidak di sini sama saja aku selalu jadi pesuruh. Berkhayal bakal diperlakukan bak seorang putri saat bulan madu, nyatanya itu semua tinggal harapan kosong.

Gegas aku memasak dengan bahan-bahan yang tadi dibeli di mini market saat jalan melewatinya. Ada beberapa jenis sayur, ikan, ayam, udang, dan juga buah.

"Ratna, sudah siap belum makanannya? Sudah lapar, nih!" teriak suamiku dari ruang makan.

Nampak mereka sudah duduk menghadap meja makan, dan makanan yang sudah siap baru sayur sawi dan oseng udang balado. Tinggal ayamnya yang masih digoreng, paling sebentar lagi juga matang.

"Sebentar lagi, Mas!" jawabku sedikit berteriak.

Terdengar dengkusan keras darinya.

Sepuluh menit kemudian, semua hidangan sudah siap di atas meja. Aku lekas duduk dengan tatapan menyisir ke arah dua orang di hadapan. Hatiku terasa teriris melihat kemesraan mereka.

"Sayang, aku suapin, ya!" ucap wanita itu sambil menyodorkan sendok yang berisi makanan ke mulut suamiku.

"Boleh," jawab Mas Febi semringah.

Sepertinya dia sengaja berbuat demikian di depanku agar aku merasa cemburu dan sakit hati. Segera aku mengalihkan pandangan dan fokus menatap nasi yang ada di piring.

"Mas, malam ini kita puas-puasin di sini, ya?" pinta perempuan itu manja dengan wajah di dekatkan ke arah suamiku.

Mendengarnya saja buatku eneg.

"Iya, sayang," jawab pria itu lembut.

Tidak berapa lama, wanita yang disebut suamiku sebagai pacarnya itu bergegas naik ke kamarnya setelah barusan pamit.

Kini tinggal aku dan Mas Febi yang masih duduk sambil menyelesaikan aktivitas makan kami yang masih tersisa.

"Mas, aku mau pulang sekarang," pintaku tanpa menatap ke arahnya.

"Apa? Kamu jangan macam-macam, Ratna. Kita di sini baru juga sampai, masa minta pulang? Nanti apa kata Papi?" protesnya tidak terima sambil mengeratkan giginya.

"Buat apa aku di sini kalau cuma untuk menyaksikan perbuatanmu yang tidak bermoral itu!" balasku ketus sambil menatapnya penuh kebencian.

"Jaga ucapanmu, Ratna! Ini salahmu, karena kamu sudah menggagalkan rencana pernikahanku dengannya yang sudah dirancang jauh-jauh hari!" bentaknya dengan menatap nyalang ke arahku.

Aku tidak bisa berkata lagi, tenggorokanku terasa tercekat hingga sulit untuk mengeluarkan suara. Dada ini begitu sakit mendengar ucapannya yang terus terang.

Setelah itu dia menengguk minumnya dan lekas pergi meninggalkan aku yang masih bergeming dengan buliran bening yang mengucur deras sebagai pelengkap kesedihanku.

Aku melangkah keluar untuk mencari udara segar, duduk santai di kursi yang ada di taman sambil menatap pemandangan di sekitar.

Aku tersentak saat melihat mobil masuk ke halaman ini. Netraku langsung fokus ke arah mobil sembari menunggu siapa yang ada di dalamnya?

"Mas Very?" gumamku dengan tatapan lekat ke arah sana, saat ia keluar dari mobil.

"Hai, Ratna! Kenapa masih di luar? Di sini udaranya dingin, loh," tegur lelaki itu dengan ramah.

"M–Mas Very mau nga–pain ke sini?" tanyaku ragu.

"Tadi jam 8 Febi nelepon aku nyuruh datang ke sini. Aku juga tidak tahu mau ngapain soalnya dia tidak bilang apa-apa," jawabnya memberi alasan.

Lelaki tampan itu lekas mengambil duduk di sampingku dengan pandangan lurus ke depan ke arah hamparan perkebunan teh.

"Ver, kamu sudah sampai dari tadi?" Tiba-tiba terdengar suara suamiku yang nyaring dari belakang. Dengan langkah panjang ia segera menghampiri kami.

"Belum lama aku sampai. Kamu ada apa manggil aku suruh buru-buru ke sini? Bukannya mau bulan madu, ya? Nanti aku ganggu jadinya, loh," seru Mas Very terlihat tidak enak hati.

"Justru itu aku nyuruh kamu datang ke sini itu untuk menemani Ratna_," ucapnya belum selesai, keburu Very memotongnya.

"Maksud kamu?" tanya Very tidak mengerti.

"Maksudku, kamu di sini temani Ratna. Soalnya aku sudah ajak Amel. Aku mau berduaan dengannya tanpa ada yang mengganggu. Dari tadi dia minta pulang, tapi kan, tidak mungkin karena aku baru juga sampai. Masa, mau  pulang? Nanti yang ada, Papi marah besar," papar suamiku menjelaskan. Hal itu membuatku mengernyitkan dahi.

"Wah, wah! Kamu sa–kit, Feb! Kamu ini memang tidak waras! Masa, kamu bawa perempuan lain saat bulan madu, di mana otakmu?" sanggah Mas Very tidak terima dengan wajah nampak geram.

Sungguh! Ucapan pria itu sangat mewakili apa yang ada di benakku.

"Terserahlah kamu mau ngomong apa, yang penting aku dan Amel bisa senang-senang di sini," kelit Mas Febi tidak mau tahu sambil beranjak masuk.

Kini tinggal Very dan aku yang masih duduk terpaku di bangku taman. Wajah Mas Very terlihat geram.

"Rat, kamu jangan sedih ya, kamu harus sabar menghadapi manusia macam dia." Mas Very menatap lekat ke arahku membuatku salah tingkah.

"Iya, Mas." Aku mengangkat pandangan sekilas ke arahnya, lalu kembali menunduk.

"Rat, sebenarnya aku sedih dan tidak tega melihat kesedihan di wajahmu. Aku yakin kamu tidak bahagia bersama Febi ... benar, kan?" Kini wajahnya semakin didekatkan ke arahku, menatap lekat iris mataku. Entah apa yang tengah ia pikirkan?

Aku terdiam sambil menghela napas panjang dan mengeluarkannya pelan sekadar ingin mengurai sesak di dalam dada ini. Aku malu kalau harus menangis di hadapan pria ini.

"Tanpa kamu jawab pun aku sudah tahu jawabannya. Kamu pasti tidak bahagia hidup dengannya. Maka dari itu, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Ratna." Kedua tangannya kini menarik tanganku yang tergeletak di atas meja bundar.

Deg!

Jantungku tiba-tiba berdebar kencang dengan perlakuan pria ini. Darah ini berdesir akibat sentuhan darinya.

Sebenarnya dia mau ngomong apa? Kenapa kelihatan serius sekali?

.

.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 79

    Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 78

    Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 77

    Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 76

    Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 75

    “Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 74

    Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status