Share

Part 7

Author: Firsyaka
last update Last Updated: 2024-11-13 08:50:26

"Kamu duduk aja di sini, jangan banyak gerak. Biar aku ambil air minum dulu!" Very mendudukkan aku di bangku panjang yang ada di taman villa ini.

Ia memapahku untuk bisa sampai ke sini, aku bersyukur banget ada dia. Coba kalau enggak, gimana aku bisa pulang. Sementara suamiku sendiri tidak perduli dengan keadaanku, dia lebih perhatian sama pacarnya.

Very berjalan cepat ke arahku sambil membawa dua gelas air putih dan juga roti bantal." Ini kamu minum dulu, dan ini makan rotinya buat ganjal perut!"

"Makasih ya, Mas. Kalau tidak ada Mas Very ... gak tahu gimana pulangnya." Aku mengulum, menahan malu dan gak enak hati padanya.

"Udah, gak usah dipikirin." Very tersenyum teduh ke arahku.

"Hei, Ratna ...! Buatkan sarapan dong buat aku dan Amel, dah lapar nih!" Lelaki yang berperawakan tinggi itu datang menghampiriku di taman.

"Kamu bikin sarapan sendiri bisa dong? Atau kalau enggak, suruh tuh si Amel. Jangan maunya enak-enakan di sini," bentak Very tak terima.

"Ver, kenapa loe yang sewot? Dia kan, istri gue, wajar dong kalau gue nyuruh-nyuruh dia? Lagian ya, Amel itu anak konglomerat, jadi gak pantas turun ke dapur. Kalau dia mah, emang kerjaannya," sanggah Febi berang.

Very mendengkus dengan mengeratkan giginya." Istri, kamu bilang? Terus kenapa kamu tidak perlakukan dia sebagaimana istri seharusnya? Kenapa kamu tidak perduli dengan yang terjadi pada istrimu? Suami macam apa loe."

"Hei ... santai bro, kenapa loe gitu ngomongnya? Jangan-jangan loe suka ya sama dia__gadis kampungan yang miskin dan b0_doh itu?" pekiknya dengan senyum yang menyeringai sebagai ejekan.

Buuggh .... Buuuggg!!

Bogem mentah melayang di pipi suamiku tanpa aba-aba hingga membuatnya terkapar di tanah yang berumput.

"Jaga ucapanmu! Gue gak terima loe berbuat semena-mena dan merendahkan Ratna!" murka Mas Very tak terima dengan mencengkeram kerah kaos yang suamiku kenakan.

"Mas Very, jangan lakukan itu, kasihan Mas Febi," teriakku agar Mas Very melepaskan cengkeramannya.

"Biarin aja, Rat, dia emang pantas diberi pelajaran, suami kurang ajar. Biar dia gak semena-mena lagi sama kamu," ucap Mas Very dengan gigi yang bergemeletuk.

"Ve_ry, gue ini sahabat loe, kenapa loe malah memukul gue?" bentaknya dengan wajah memerah menahan amarah seraya mendorong tubuh Mas Very hingga terjengkang ke belakang.

Baru mau menolong suamiku, Amel muncul dari teras ruang tamu lalu menghampiri kami, akhirnya urung kulakukan.

"Mas Fe_bi, kamu kenapa?" teriak Amel dari jauh sambil melangkah cepat setengah berlari ke arah sini.

Aku memegang bahu Mas Very hendak membangunkan." Mas Very gak papa?"

"Aku gak papa, Rat," jawabnya lirih.

"Sayang, kenapa mulutmu berdarah? Kamu habis berantem sama Very?" pekik Amel perhatian sambil menatap dua lelaki ini bergantian.

"Iya, gak tau tuh, Very tiba-tiba menyerangku," adu suamiku kesal.

"Mas Very! Mas Very kenapa sampai memukul Mas Febi?" bentak Amel dengan muka sewot.

"Semua itu gara-gara kamu," serang balik Very dengan tatapan nanar ke arah Amel.

Amel menautkan kedua alisnya dengan mulut mengerucut." Loh, kenapa jadi aku yang salah?"

"Iya dong, gara-gara kamu yang manja minta dibikinkan sarapan, terus Febi malah nyuruh Ratna seenaknya. Padahal kaki Ratna lagi sakit, bukannya perihatin malah marahahin Ratna gak jelas," bentak pria berkharismatik itu kesal bercampur dongkol.

"Oh ..., gara-gara cewek kampungan itu kamu jadi marah, gak terima kalau pacarku nyuruh-nyuruh dia?  Emang pantasnya juga dia itu jadi pembantu, bukan istri Mas Febi," sanggah Amel nyolot.

"Emang dasar ya, kamu sama Febi sama aja, sama-sama  gak punya hati," berang pria yang berdiri di sampingku.

Aku berusaha melerai perdebatan mereka sambil berdesis." Mas, sudah, jangan diributin!"

Lekas aku mengajaknya masuk agar perdebatan sengit mereka disudahi.

"Rat, kamu duduk sini ya, biar aku ke dapur bikin nasi goreng.  Semalam masih ada sisa nasi, sayang kalau dibuang. Kamu pasti sudah lapar." Lelaki berkulit hitam manis itu begitu baik dan perhatian.

"Biar aku bantu ya, Mas." Aku berusaha bangun lalu langsung mengekor di belakangnya.

"Gak usah, kakimu masih sakit. Kamu istirahat aja," tolaknya halus.

"Mas Very kok, pintar banget bikin nasi goreng?" cetusku saat kami sudah berada di meja makan.

"Aku memang suka masak, nanti kalau aku sudah punya istri akan kumasakkan menu spesial setiap hari," tuturnya sambil menatap ragu ke arahku.

Aku tersenyum tipis ke arahnya, kemudian menyuapkan nasi ke mulut.

"Coba aa ...," ucap Mas Very.

"Mm ... bagus ya, maen suap-suapan. Loe itu ya Ver, diam-diam suka sama istri orang. Pura-pura perduli, taunya mah mau diembat," pekik suamiku yang tiba-tiba muncul.

"Feb ... maaf, gue gak bermaksud," sanggahnya lirih dengan raut muka pias.

Mas Febi mengabaikan ucapan Mas Very dengan muka masam.

"Ratna, besok pagi-pagi kita pulang. Tapi nanti kamu jangan katakan kalau aku ke sini membawa Amel!" titahnya yang seperti seorang Raja wajib dipatuhi.

****

Saat sudah sampai di rumah

Aku dan Mas Febi tengah istirahat di kamar, aku duduk di tepian dipan. Sementara suamiku tengah memainkan benda pipihnya dengan serius.

"Mas, kenapa kamu masih berhubungan dengan pacarmu, padahal kita sudah menikah. Bisa gak sedikit saja kamu menjaga perasaanku?" tanyaku hati-hati.

"Ya, karena aku mencintainya, sampai kapan pun aku tidak akan pernah memutuskannya. Kamu dan dia berbeda jauh bagai langit dan bumi. Dia wanita berkelas, sementara kamu cuma anak orang miskin yang berharap naik kelas setelah aku nikahi," jawab suamiku tak terima dan begitu menohok di relung hatiku.

"Lalu mau dibawa kemana pernikahan kita kalau kamu masih jalan dengan wanita lain? Lebih baik kamu pilih, aku atau dia?" cecarku memberi pilihan meski aku sudah tahu jawabannya kalau dia bakal memilih pacarnya.

"Kamu itu gak usah cerewet dan jangan banyak menuntut. Sudah bagus aku nikahin kamu, kalau enggak kamu bakal jadi gembel di luar sana," bentaknya dengan tatapan nyalang ke arahku.

Lagi, dan lagi dia terus menghujaniku dengan makian dan hinaan pedas, sama seperti halnya dengan maminya. Emang benar, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

" Baiklah, kalau begitu talak aku sekarang juga!"

Firsyaka

Waduh.... Apakah Febi akan benar-benar menalak Ratna?

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 79

    Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 78

    Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 77

    Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 76

    Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 75

    “Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 74

    Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status