"Axel, kamu sudah bangun!" Sapaku begitu Axel keluar dari kamar.Tidak menjawab dan melewati aku begitu saja untuk masuk kedalam kamar mandi, melakukan aktivitas paginya sebelum kemudian keluar dengan wajah yang lebih segar dan duduk disofa lalu menyalakan TV dan makan apel sebagai rutinitas sarapan kami."Axel, aku sudah memilihkan beberapa restoran yang mungkin akan kamu suka, mau lihat?" Tawarku sambil menyodorkan handphone ku padanya namun dilirik pun tidak, dia sama sekali tidak peduli dan matanya lurus memandang TV didepan kami.Dia dan sikap acuhnya ketika marah sangat menyiksa orang yang ada disekitarnya. Aku sangat ingin menjelaskan apa yang membuat aku tidak bisa makan malam dengan dia kemarin tapi jika aku melakukannya, bukannya itu terkesan aku membela diri atas apa yang aku lakukan."Axel, apa kamu marah?" Tanyaku dengan suara lirih. Pertanyaan bodoh memang tapi aku sudah tidak punya apapun lagi yang bisa aku keluarkan dari kepalaku. Aku seperti kehabisa
"Axel, ingat fokus dengan soalnya dan jangan lengah!" Aku memberikan ultimatum pada Axel sebelum dia berangkat untuk tes masuk Universitas. Axel mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana dia bisa setenang itu padahal tes ini menentukan masa depannya, bisa atau tidaknya dia masuk Universitas Negri. "Kamu yakin tidak ingin diantar?" Tanyaku entah yang keberapa kalinya menawari untuk mengantar dia ujian. Awalnya aku pikir dia tidak mau kuliah di Indonesia tapi dia mengatakan kalau dia tidak ingin kuliah diluar Negri dan ingin tinggal di Indonesia saja. "Aku tidak mentargetkan apa pun dalam hidup, kalau tidak bisa masuk Universitas Negri ya swasta saja. Aku tidak masalah, toh pada akhirnya aku juga akan menjadi dokter!" Kelakar Axel sambil tertawa, dia terlalu santai menghadapi ujian kali ini. Kami sudah belajar beberapa hari terakhir ini dan aku bisa menilai kalau kemampuan Axel naik drastis karena dia bisa mendapatkan nilai 70 dirata-rata ujiannya
Axel menggandengku kepesta yang sebenarnya aku tidak paham ini pesta apa, Axel bilang ini semacam pesta yang diperuntukkan oleh orang tua mereka untuk saling mengenal dimasa depan untuk mempermudah koneksi. Yang ada dipesta itu adalah anak-anak orang berpengaruh di Negri ini, dari konglomerat sampai anak mentri pun ada. Gaya mereka memang sangat berbeda dengan orang-orang biasa, dari cara bicara dan outfit yang mereka kenakan seakan menunjukkan siapa mereka. Menggambarkan bagaimana selama ini mereka menjalani hidup dengan bergelimang harta. Usia yang mengikuti pesta ini bervariatif. Yang paling muda adalah anak 10 tahun dan yang terlihat paling tua adalah mereka yang berusia dua puluhan. Selain Axel, satu-satunya orang yang aku kenal disini adalah Stela yang saat ini sedang duduk disofa, sedang mengobrol dengan beberapa teman seusianya dan sempat melirik sebentar kearah kami tapi setelahnya acuh dan kembali melanjutkan
"Bandung?" Tanya Axel ketika aku memberikan kartu ujian Universitas yang sudah aku pilihkan. Dia memang tidak mengurus apapun dan aku sendiri yang menentukan semuanya. "Axel, aku bukannya tidak percaya kemampuan kamu tapi untuk masuk UI atau UGM fakultas kedokteran, itu sangat sulit dilakukan karena terlalu banyaknya pesaing yang jauh lebih baik dari pada kamu. Kita harus mencari kemungkinan paling mungkin bisa kita lakukan sekarang," jelasku, berharap dia mengerti dengan pilihan yang aku buat. Axel tidak bicara namun matanya memandang kecewa pada selembar kartu ujian yang ada didepannya. "Carlo juga sudah setuju dengan berkuliah bersama di Bandung. Dia akan mengikuti kemana pun kamu pergi jadi jangan khawatir..." "Kenapa tidak bicara dulu pada aku? Ini tentang masa depan aku dan aku sama sekali tidak diberi tahu atas apa yang terjadi tentang masa depan aku, apa karena aku masih lebih muda? Apa karena Kak Nadia mengangg
"Nadia, aku akan kesana sekarang dan kalau perlu, tidak masalah kalau dia menyuruh aku bersujud dikakinya asalkan dia memaafkan Maxim dan mengeluarkan Maxim yang sekarang ditahan dipenjara," ucap Maya dalam sambungan jarak jauh kami. Aku yang berada dibalkon hanya bisa memegang pagar balkon sampai telapak tanganku memutih,. Situasi ini tidak mudah, jika aku membuat kesalahan dengan mamancing emosi Axel, mungkin akan membuat situasinya semakin buruk. "Nadia?" Kepala ku menoleh sebentar kearah Axel yang sedang mengompres beberapa lukanya dengan es batu dan kalau boleh jujur, aku juga kesal dengan luka akibat tangan Maxim, hanya kalau Maxim harus masuk penjara karena masalah ini, sepertinya agak keterlaluan. "Jangan datang, aku akan berusaha bicara pelan-pelan dengan Axel!" Putusku. "Nadia, kalau sampai masalah ini panjang, masa depan Maxim akan hancur. Aku bisa percaya pada kamu kan?" Tanya Maya dengan nada memohon. Ini terla
Axel terbahak ketika dia melihat film kartun didepannya dengan mulut penuh kue yang dia makan seorang diri. Dia memang sangat santai akhir-akhir ini karena untuk kelas 3 yang sudah selesai ujian akhir tidak begitu banyak aktivitas disekolah, hanya datang setengah hari untuk mempersiapkan acara akhir tahun. "Kuenya enak?" Tanyaku memperhatikan Axel yang sedari tadi memasukkan suapan besar kue kedalam mulutnya. "Enak, dimana Kak Nadia beli?" Aku menggeleng, "Tidak beli, aku membuatnya bersama Maya kemarin." "Wow, ini benar-benar enak!" Puji Axel. "Axel, ada hal yang ingin aku bicarakan," ucapku ingin bicara serius. "Apa?" "Kemarin teman-teman kamu datang dan mereka sudah tahu hubungan kita dan pada akhirnya setelah kamu jelaskan pada Stela, dia bisa menerima. Apa boleh kita membuka rahasia pernikahan kita