Hamil dan pria yang menghamilinya tiba-tiba menghilang selama satu bulan, tidak bisa dihubungi dan menghilang seperti ditelan bumi. Ketakutan, bingung dan tidak percaya itu adalah yang dialami Nadia hingga dia mendapatkan pesan dari orang tua Ariel, pria yang menghamilinya yang mengabarkan kalau Ariel koma setelah kecelakaan sebulan yang lalu setelah mengantar Nadia pulang dan sebagai gantinya dia akan dinikahkan dengan Axel, adik kandung Ariel yang usianya baru 18 tahun dan merupakan murid Nadia. Bagaimanakah rumah tangga Nadia dan Axel selanjutnya? Ikuti terus kisah mereka!
view moreDia menghilang. Benar-benar menghilang dan tidak bisa dihubungi sama sekali.
Kutatap pantulan cermin didepanku, semua yang terjadi ditiga bulan terakhirku seperti mimpi. Mimpi terburuk dalam hidupku. Aku hamil dan dia menghilang. Tes. Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa tertahan, semua jalan yang ada didepanku terasa buntu tidak tertembus. Hanya tinggal beberapa bulan lagi, aku tidak akan bisa menyembunyikan perutku yang kini masih rata, berulang kali membuat aku bertanya jalan apa yang harus aku lalui sekarang. Kugigit bibir bawahku kuat-kuat, berusaha menahan isak. Tidak peduli bagaimana aku mendongakkan kepala, mencoba menahan agar air mata itu tidak jatuh, pada akhirnya semuanya gagal. Aku tetap terisak kuat. "Kak Ariel, kamu dimana?" Desisku, aku takut. Sungguh benar-benar takut sampai rasanya dadaku sesak. Aku tidak siap dengan penghakiman masyarakat tentang hamil diluar nikah ini. Kenapa semua terasa berbeda dengan yang terjadi sebelumnya? Kak Ariel jelas mengatakan dia akan bertanggung jawab dan bahkan dia sudah mengenalkan aku pada kedua orang tuanya satu bulan lalu sebelum akhirnya dia menghilang, jadi dimana salahnya? Apa mungkin orang tuanya tidak setuju dengan hubungan kami lalu dia kabur dari tanggung jawab? Tidak! Itu rasanya tidak mungkin karena saat berada direstorant, saat itu kedua orang tua kak Ariel menyambut aku dengan hangat. Tersenyum hangat pada aku, bahkan mengatakan aku harus makan makanan bergizi supaya bayi kami sehat. Tapi pada kenyataannya, dia menghilang dan tidak muncul hingga hari ini. Aku bukan orang suci, aku tidak munafik dan pernah terlintas juga untuk mengakhiri kehidupan lain ini dalam perutku namun ternyata semua tidak semudah yang terpikirkan, aku tidak bisa melakukannya karena ketakutan akan rasa bersalah yang lebih besar, aku tidak yakin akan sanggup untuk membawa rasa bersalah itu sampai mati seorang diri. Hanya saja aku tidak yakin akan sanggup menahan intimidasi dari orang-orang disekitarku, tentang kenapa seorang yang belum menikah dan hamil dengan sangat memalukan seperti ini. Pintu kamar mandi terbuka dan cepat-cepat kuhapus air mataku, aku tidak ingin orang lain melihatnya bahkan jika itu adalah orang terdekatku aku belum siap menjelaskan situasiku pada siapapun, aku belum siap ditinggalkan. "Maya, aku membelikan kamu bubur ayam didepan, ayo kita sarapan dulu sebelum kesekolah!" Ajakku yang berjalan kearah meja kecil lipat yang aku tata ditengah kamar kos kami. Tidak ada jawaban dari Maya dan yang bisa aku lakukan hanya memperhatikan setiap gerakannya yang terburu-buru. "Maya?" Aku mencoba memastikan apa dia benar-benar sedang marah dengan aku karena sebelumnya dia tidak menjawab apa yang aku katakan. Dan iya, dengan dia yang diam seribu bahasa seperti ini, tanpa dijelaskan pun aku sangat tahu kalau dia sedang marah, hanya saja aku tidak tahu apa yang membuat dia marah. Atau apa jangan-jangan dia sudah tahu tentang kehamilanku? "Maya, kamu tidak ingin bubur ayam untuk sarapan kita? Mau aku belikan yang lain?" Tawarku yang kembali berdiri, ingin menawarkan apapun asalkan dia berhenti marah. Dia adalah satu-satunya sahabat yang aku punya, dari semua orang yang ada didunia ini, aku tidak ingin dia berpaling dariku. Maya menghela napas panjang dan kini dia sudah siap dengan membawa tas dilengannya, dia menatap aku dengan jengah sedangkan aku masih tidak tahu kesalahan apa yang sudah aku lakukan. Aku benci silent treatmant yang selalu dia lakukan ketika kami ada masalah. "Kamu pikir kita masih sempat makan?" Tanyanya dengan nada dingin dan aku bersyukur untuk itu karena pada akhirnya dia bicara padaku. Aku pikir dia akan bicara lebih banyak dan mengatakan dimana kesalahan yang aku lakukan tapi ternyata tidak, dia berjalan melewatiku begitu saja dan keluar dari kosan kami. Tergesah kuraih tas ransel milikku. Kami bekerja ditempat yang sama walau pun profesi kami berbeda jadi aku berusaha mengejar dia agar bisa berangkat bersama. Tetap tidak ada percakapan padahal kami berada didalam bus yang sama dan kursi bersebelahan namun Maya tetap mendiamkan aku. Beberapa kali aku melirik dia yang sedang membuang muka keluar jendela namun aku tidak punya keberanian untuk menanyakan alasan dia mendiamkan aku sekarang. Bus kami berhenti dihalte yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari sekolah dan lagi-lagi sahabatku itu berjalan mendahului untuk masuk kesekolah terlebih dahulu, aku benar-benar dibuat frustasi dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Disisi sekolah aku melihat penjual ubi rebus, sengaja aku mampir kesana untuk membelikan Maya karena tadi dia sama sekali tidak menyentuh bubur ayam yang aku belikan, dia pasti lapar. Aku melangkah cepat menuju ruang UKS tempatnya dan masuk begitu saja tanpa mengetuk terlebih dahulu kemudian meletakkan apa yang aku beli didepannya dan lagi-lagi dia hanya diam setelah melirik sebentar ketika aku masuk tadi. "Aku membeli ubi rebus didepan," ucapku yang bingung harus bicara apa supaya dia tidak lagi marah. "Tutup pintunya lagi kalau keluar!" Apa ini adalah kalimat pengusiran? Dia tidak mengucapkan terimakasih setelah dalam waktu berdekatan aku dua kali membelikan dia makan. Aku sangat ingin meneriaki dia namun mulutku terkatup rapat tidak mampu mengeluarkan kalimat apa pun. Kuhela napas panjang untuk menenangkan diriku sendiri, percuma saja berdebat dengan dia sekarang jadi kuputuskan berbalik, bersiap meninggalkannya namun baru beberapa langkah aku meninggalkannya, langkahku terhenti dan berbalik kembali untuk menatapnya yang masih mengerjakan sesuatu dengan menulis dibuku tebal didepannya. "Maya!" "Hmm?" Dia bergumam tanpa menatap kearahku. Aku diam beberapa saat, aku menyentuh perutku sebentar. Pikiranku diselimuti keragu-raguan, hubungan kami sedang tidak baik-baik saja dan kalau aku mengungkapkan kalau aku hamil, apakah satu-satunya sahabatku akan meninggalkan aku juga? "Jika seandainya aku melakukan kesalahan besar, apa kamu akan membenci aku?" Tanyaku yang memutuskan untuk tidak langsung to the point atas apa yang terjadi. "Kesalahan kecil yang diulang-ulang juga akan menjadi menjengkelkan," celetuknya yang masih tanpa mengangkat kepalanya. Aku mengerutkan dahi. Apa dia sedang membicarakan penyebab dia mendiamkan aku? Kesalahan kecil apa yang aku lakukan berulang-ulang? "Apa aku membuat kamu marah tanpa aku sadari?" Tanyaku, memastikan apa yang sebenarnya membuat dia marah. "Jika kamu tidak merasa membuat kesalahan, kenapa bertanya begitu?" Tanyanya balik, kali ini dia memasang penutup penanya sambil menatap aku, "Aku sedang sibuk dan kamu bisa pergi sekarang!" Bohong! Dia sedang tidak sibuk sama sekali, sejak kapan perawat UKS sibuk padahal tidak ada murid yang sakit. "Aku tidak punya kelas pagi hari ini, aku ingin mengobrol dengan kamu sebentar!" "Tidak. Aku sibuk!" Tolaknya cepat, tanpa pertimbangan dan tanpa berpikir. Sepertinya aku tidak akan bisa lagi bicara dengan Maya karena dia sama sekali tidak membuka kesempatan jadi aku putuskan hari ini menyerah saja, tidak ingin memaksa dia menyelesaikan masalah kami dan berbaikan sekarang. "Bu Nadia!" Aku menoleh ketika seorang memanggil begitu keluar dari ruang UKS yang ternyata adalah Pak Danu, kesiswaan sekolah yang terlihat terburu menuju arahku sambil membawa rotan ditangannya. "Kebetulan sekali, saya baru saja selesai menghukum anak-anak yang terlambat dan tiba-tiba saja saya mulas, apa boleh saya menitipkan ini pada Ibu? Tolong taruh saja dimeja saya!" Ucapnya sambil menyerahkan rotan yang dia bawa padaku. Tidak punya kesempatan menolak, aku hanya menerimanya dengan pandangan bingung. Khusus kepala sekolah dan kesiswaan punya ruangan sendiri, bagaimana mungkin aku bisa masuk kedalam ruangan itu ketika penghuninya saja tidak ada. Walau bagaimana pun Pak Danu adalah guru senior jadi suka atau tidak suka, tidak enak rasanya kalau tidak mengiyakan permintaan sederhana guru tersebut, jadi kuputuskan untuk berjalan keruang kesiswaan. BROOMMM... BROOOOM... Suara mobil sport merah yang memecah kesunyian ketika semua siswa sibuk balajar membuat aku menghentikan langkahku, menatap mobil yang masuk dengan tanpa kendala dan parkir dengan mulus padahal jelas dia seharusnya terlambat. "Axel?" Desisku ketika melihat seorang siswa berambut gondrong sebahu keluar dari mobil dengan langkah santai seakan dia tidak melanggar aturan sama sekali padahal dia jelas terlambat. Dia adalah murid kelasku yang paling sering bolos, seakan sekolah semau-maunya sendiri. Tanpa sungkan, dia melewati aku begitu saja padahal aku adalah wali kelasnya dan dia datang terlambat yang mungkin sebentar lagi sudah memasuki jam kelas kedua. "Kamu terlambat!" Tegurku. Dia menghentikan langkahnya, tidak menoleh dan hanya diam saja ditempat. Tidak berbalik, meminta maaf atau menunjukkan penyesalan. Tidak sabar dengan sikap arogan anak ini, bergegas aku melangkah kedepannya dan kini aku berdiri didepannya. "Kamu terlambat!" Aku memperjelas apa yang aku katakan sebelumnya begitu berada didepannya. Dia tidak menjawab namun kini mengangkat sebelah alisnya dan entah kenapa mata hazel miliknya mampu mengikat aku, seolah menarik aku untuk tidak menatap yang lain. Mata itu seperti milik seorang yang aku kenal. "Ini masih pagi dan kenapa ada saja yang menghancurkan mood aku?!" "Apa?" Tanyaku seketika sadar dalam lamunan dan sangat yakin gumaman bentuk protes tadi disampaikan untuk aku yang menghentikan langkahnya. "Minggir, aku mau masuk kelas!" Usirnya. Kupejamkan mata sejenak. Aku tahu sejak awal dia tidak pernah sopan tapi aku tidak mengira dia akan bersikap sekurang ajar ini. "Teman-teman kamu yang terlambat tadi sudah dihukum ditengah lapangan dan sekarang kamu mau masuk kedalam kelas begitu saja padahal kamu terlambat lebih lama dari pada mereka?!" Omelku, aku tidak tahan menghadapi dia dengan etika baik seorang guru yang selama ini aku junjung. "Lalu?" Jujur saja anak ini membuat aku kehabisan kata-kata, dia dan sifat arogansinya yang tidak tertolong membuat aku semakin ingin menghukum dia. Dia harus diajari sopan santun! Kuarahkan rotan yang aku bawa kearahnya dan memberikan intruksi untuk dia berjalan ketengah lapangan namun dia hanya bergeming ditempatnya, seakan apa yang aku intruksikan bukan hal penting untuk dia. "Kamu melanggar dua hal secara bersamaan hari ini dan sebagai wali kelas kamu, aku akan menghukum kamu!" "Aku tidak sedang dalam mood yang baik, jadi sebaiknya Ibu menyingkir!" Ucapnya dengan nada dingin. Genggamanku pada rotan ditanganku semakin kuat. Aku sangat kesal dengan sorot mata meremehkan itu. Aku sangat marah ketika semua orang meremehkan aku bahkan seorang murid pun melakukan hal yang sama. "Jalan kelapangan!" Perintahku dengan nada setegas mungkin. "Kesalahan pertama yang kamu lakukan, kamu terlambat dan yang kedua, rambut gondrong kamu itu. Mana boleh seorang murid berambut panjang begitu?!" "Hmm, aku harap Bu Nadia tidak akan menyesalinya," ujarnya yang melewati aku begitu saja, berjalan menuju lapangan seperti yang aku perintahkan tadi. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa tidak ada yang menegur sikap Axel yang memang sering terlambat dan berambut sepanjang itu padahal siswa lain akan langsung kena pemotongan rambut dari sekolah kalau rambut mereka melebihi batas yang sekolah tentukan namun kenapa hal itu tidak berlaku pada Axel? Bahkan dalam jarak sejauh ini aku bisa melihat sorot mata meremehkan dari mata hazel itu, aku sangat benci mata itu. Mata dengan warna yang sama dengan mata kak Ariel padahal aku sangat membutuhkan dia sekarang. "Tangan kamu!" Perintahku. Axel terlihat tidak mengerti dengan apa yang aku katakan karena dia masih melipat tangan didadanya dan menatap bingung pada aku ketika aku meminta tangannya. "Buka telapak tangan kamu!" Aku memperjelas apa yang aku katakan. Walau ragu, Axel membuka telapak tangannya didepanku dan dengan menatap mata itu, aku bisa menumpahkan segala rasa frustasi yang selama beberapa bulan aku tanggung sendirian dan... PLAAAKKKK... PLAAAAAAK... Aku memukulnya dua kali dengan rotan yang ada ditanganku sekuat yang aku bisa. Namun sedetik kemudian aku menjatuhkan rotan yang ada ditanganku, semenjak kapan aku jadi sekasar ini? Semenjak kapan aku jadi menumpahkan kemarahanku pada muridku hanya karena rasa lelahku karena menghilangnya kak Ariel? Walau hanya beberapa detik, aku bisa melihat dia mengeryit dan bekas pukulan memar ditelapak tangannya terlihat jelas disana membuat aku menyesal. "Axel?" Mendadak aku gugup dan bingung harus bagaimana. Tanpa mengatakan apapun, dia berjalan melewati aku, pergi begitu saja dengan ekspresi marah yang terlihat jelas diwajahnya dan kini ada beberapa mata yang menatap aku dalam diam, para siswa yang tidak sengaja lewat dilapangan dan menyaksikan pemukulan yang aku lakukan. Kuusap wajahku kasar, aku pasti sudah gila sampai harus melampiaskan kemarahan aku pada Axel hanya karena dia punya warna mata yang sama dengan kak Ariel. "Aku harus bagaimana sekarang?!""Errgghh." Aku terbangun karena tenggorokan terasa kering, pandanganku tertuju pada sebotol air yang ada diatas meja sebelah ranjang, jadi kugeser tubuhku, berusaha untuk menggapainya walau pun dengan susah payah karena ternyata bagian bawahku masih ada rasa sakit ketika digerakkan.GRRAABBB.Kepalaku terangkat ketika menyadari ada tangan lain yang meraih botol tersebut, membukanya dan menyerahkannya padaku. Stela. Sejak kapan dia ada disini? Kenapa aku tidak sadar kalau tadi kami satu ruangan."Axel sedang ada diruang bayi," Stela menjelaskan tanpa ditanya kemudian dengan gerakan santai dia duduk kembali dengan matanya yang kembali fokus pada iPad ditanganya.Canggung, itu adalah yang aku rasakan saat ini karena memang sebelumnya kami tidak pernah terjebak berdua dalam ruangan yang sama dan aku juga tidak tahu bagaimana karakternya yang sebenarnya jadi tidak tahu bagaimana cara mencairkan suasana
"Menikah dengan orang kaya memang berbeda. Dua jam setelah observasi kamu langsung ditempatkan diruangan Presidenial Suite. Benar-benar kesenjangan yang nyata!" Celetuk Maya sambil menikmati fasilitas ranjang empuk yang tidak jauh dariku. Aku menatap sekeliling, ruangan ini memang terlihat berlebihan untuk pasien. Untuk ukuran rumah sakit, untuk apa ada pantry kecil diujung padahal makanan pasien dan penunggu juga sudah disediakan, bahkan ada microwave juga. "Kak Nadia tidak akan percaya, kamar mandinya bisa hangat otomatis, hanya dengan menggeser kran. Tempat ini luar biasa!" Ungkap Maxim tersenyum senang begitu keluar dari kamar mandi. "Tapi Nadia, sejak kemarin kamu mematikan handphone, apa tidak apa-apa? Mertua kamu dan Axel mungkin akan khawatir?" Tanya Maya hati-hati. Kutatap handphone yang ada diatas meja kecil sebelah ranjang, aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku sendiri sekarang
"Jangan membuat Stela menunggu! Dia akan marah kalau dibuat menunggu terlalu lama." Axel terlihat ragu-ragu, dia sedang menghindari kontak mata kami dan terlihat gelisah, apa yang salah dengan dia sekarang? "Mungkin lebih baik aku tidak ikut," desisnya sambil meriah handphone, menimang-nimang benda tersebut untuk memastikan pilihan apa yang akan dia buat. "Kenapa tidak ikut? Kamu bilang setelah ini Stela akan kuliah diluar Negri dan mungkin saja kalian sulit bertemu." Axel menatap perutku kemudian menarik napas panjang, "Perkiraan persalinan Kak Nadia bulan depan dan Tante Rania bilang bisa maju atau mundur, bagaimana kalau ketika aku berada di Bali, persalinannya maju?" "Aku akan menghubungi Maya," jawabku cepat tanpa menyebutkan nama Maxim karena itu hanya akan membuat konflik baru diantara kita. Kalau boleh jujur, aku juga ingin Axel tetap tinggal tapi aku tidak ingin keberadaan kami m
"Axel, kamu sudah bangun!" Sapaku begitu Axel keluar dari kamar.Tidak menjawab dan melewati aku begitu saja untuk masuk kedalam kamar mandi, melakukan aktivitas paginya sebelum kemudian keluar dengan wajah yang lebih segar dan duduk disofa lalu menyalakan TV dan makan apel sebagai rutinitas sarapan kami."Axel, aku sudah memilihkan beberapa restoran yang mungkin akan kamu suka, mau lihat?" Tawarku sambil menyodorkan handphone ku padanya namun dilirik pun tidak, dia sama sekali tidak peduli dan matanya lurus memandang TV didepan kami.Dia dan sikap acuhnya ketika marah sangat menyiksa orang yang ada disekitarnya. Aku sangat ingin menjelaskan apa yang membuat aku tidak bisa makan malam dengan dia kemarin tapi jika aku melakukannya, bukannya itu terkesan aku membela diri atas apa yang aku lakukan."Axel, apa kamu marah?" Tanyaku dengan suara lirih. Pertanyaan bodoh memang tapi aku sudah tidak punya apapun lagi yang bisa aku keluarkan dari kepalaku. Aku seperti kehabisa
"Axel, ingat fokus dengan soalnya dan jangan lengah!" Aku memberikan ultimatum pada Axel sebelum dia berangkat untuk tes masuk Universitas. Axel mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana dia bisa setenang itu padahal tes ini menentukan masa depannya, bisa atau tidaknya dia masuk Universitas Negri. "Kamu yakin tidak ingin diantar?" Tanyaku entah yang keberapa kalinya menawari untuk mengantar dia ujian. Awalnya aku pikir dia tidak mau kuliah di Indonesia tapi dia mengatakan kalau dia tidak ingin kuliah diluar Negri dan ingin tinggal di Indonesia saja. "Aku tidak mentargetkan apa pun dalam hidup, kalau tidak bisa masuk Universitas Negri ya swasta saja. Aku tidak masalah, toh pada akhirnya aku juga akan menjadi dokter!" Kelakar Axel sambil tertawa, dia terlalu santai menghadapi ujian kali ini. Kami sudah belajar beberapa hari terakhir ini dan aku bisa menilai kalau kemampuan Axel naik drastis karena dia bisa mendapatkan nilai 70 dirata-rata ujiannya
Axel menggandengku kepesta yang sebenarnya aku tidak paham ini pesta apa, Axel bilang ini semacam pesta yang diperuntukkan oleh orang tua mereka untuk saling mengenal dimasa depan untuk mempermudah koneksi. Yang ada dipesta itu adalah anak-anak orang berpengaruh di Negri ini, dari konglomerat sampai anak mentri pun ada. Gaya mereka memang sangat berbeda dengan orang-orang biasa, dari cara bicara dan outfit yang mereka kenakan seakan menunjukkan siapa mereka. Menggambarkan bagaimana selama ini mereka menjalani hidup dengan bergelimang harta. Usia yang mengikuti pesta ini bervariatif. Yang paling muda adalah anak 10 tahun dan yang terlihat paling tua adalah mereka yang berusia dua puluhan. Selain Axel, satu-satunya orang yang aku kenal disini adalah Stela yang saat ini sedang duduk disofa, sedang mengobrol dengan beberapa teman seusianya dan sempat melirik sebentar kearah kami tapi setelahnya acuh dan kembali melanjutkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments