"Jangan membuat Stela menunggu! Dia akan marah kalau dibuat menunggu terlalu lama."
Axel terlihat ragu-ragu, dia sedang menghindari kontak mata kami dan terlihat gelisah, apa yang salah dengan dia sekarang? "Mungkin lebih baik aku tidak ikut," desisnya sambil meriah handphone, menimang-nimang benda tersebut untuk memastikan pilihan apa yang akan dia buat. "Kenapa tidak ikut? Kamu bilang setelah ini Stela akan kuliah diluar Negri dan mungkin saja kalian sulit bertemu." Axel menatap perutku kemudian menarik napas panjang, "Perkiraan persalinan Kak Nadia bulan depan dan Tante Rania bilang bisa maju atau mundur, bagaimana kalau ketika aku berada di Bali, persalinannya maju?" "Aku akan menghubungi Maya," jawabku cepat tanpa menyebutkan nama Maxim karena itu hanya akan membuat konflik baru diantara kita. Kalau boleh jujur, aku juga ingin Axel tetap tinggal tapi aku tidak ingin keberadaan kami m"Menikah dengan orang kaya memang berbeda. Dua jam setelah observasi kamu langsung ditempatkan diruangan Presidenial Suite. Benar-benar kesenjangan yang nyata!" Celetuk Maya sambil menikmati fasilitas ranjang empuk yang tidak jauh dariku. Aku menatap sekeliling, ruangan ini memang terlihat berlebihan untuk pasien. Untuk ukuran rumah sakit, untuk apa ada pantry kecil diujung padahal makanan pasien dan penunggu juga sudah disediakan, bahkan ada microwave juga. "Kak Nadia tidak akan percaya, kamar mandinya bisa hangat otomatis, hanya dengan menggeser kran. Tempat ini luar biasa!" Ungkap Maxim tersenyum senang begitu keluar dari kamar mandi. "Tapi Nadia, sejak kemarin kamu mematikan handphone, apa tidak apa-apa? Mertua kamu dan Axel mungkin akan khawatir?" Tanya Maya hati-hati. Kutatap handphone yang ada diatas meja kecil sebelah ranjang, aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku sendiri sekarang
"Jangan membuat Stela menunggu! Dia akan marah kalau dibuat menunggu terlalu lama." Axel terlihat ragu-ragu, dia sedang menghindari kontak mata kami dan terlihat gelisah, apa yang salah dengan dia sekarang? "Mungkin lebih baik aku tidak ikut," desisnya sambil meriah handphone, menimang-nimang benda tersebut untuk memastikan pilihan apa yang akan dia buat. "Kenapa tidak ikut? Kamu bilang setelah ini Stela akan kuliah diluar Negri dan mungkin saja kalian sulit bertemu." Axel menatap perutku kemudian menarik napas panjang, "Perkiraan persalinan Kak Nadia bulan depan dan Tante Rania bilang bisa maju atau mundur, bagaimana kalau ketika aku berada di Bali, persalinannya maju?" "Aku akan menghubungi Maya," jawabku cepat tanpa menyebutkan nama Maxim karena itu hanya akan membuat konflik baru diantara kita. Kalau boleh jujur, aku juga ingin Axel tetap tinggal tapi aku tidak ingin keberadaan kami m
"Axel, kamu sudah bangun!" Sapaku begitu Axel keluar dari kamar.Tidak menjawab dan melewati aku begitu saja untuk masuk kedalam kamar mandi, melakukan aktivitas paginya sebelum kemudian keluar dengan wajah yang lebih segar dan duduk disofa lalu menyalakan TV dan makan apel sebagai rutinitas sarapan kami."Axel, aku sudah memilihkan beberapa restoran yang mungkin akan kamu suka, mau lihat?" Tawarku sambil menyodorkan handphone ku padanya namun dilirik pun tidak, dia sama sekali tidak peduli dan matanya lurus memandang TV didepan kami.Dia dan sikap acuhnya ketika marah sangat menyiksa orang yang ada disekitarnya. Aku sangat ingin menjelaskan apa yang membuat aku tidak bisa makan malam dengan dia kemarin tapi jika aku melakukannya, bukannya itu terkesan aku membela diri atas apa yang aku lakukan."Axel, apa kamu marah?" Tanyaku dengan suara lirih. Pertanyaan bodoh memang tapi aku sudah tidak punya apapun lagi yang bisa aku keluarkan dari kepalaku. Aku seperti kehabisa
"Axel, ingat fokus dengan soalnya dan jangan lengah!" Aku memberikan ultimatum pada Axel sebelum dia berangkat untuk tes masuk Universitas. Axel mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana dia bisa setenang itu padahal tes ini menentukan masa depannya, bisa atau tidaknya dia masuk Universitas Negri. "Kamu yakin tidak ingin diantar?" Tanyaku entah yang keberapa kalinya menawari untuk mengantar dia ujian. Awalnya aku pikir dia tidak mau kuliah di Indonesia tapi dia mengatakan kalau dia tidak ingin kuliah diluar Negri dan ingin tinggal di Indonesia saja. "Aku tidak mentargetkan apa pun dalam hidup, kalau tidak bisa masuk Universitas Negri ya swasta saja. Aku tidak masalah, toh pada akhirnya aku juga akan menjadi dokter!" Kelakar Axel sambil tertawa, dia terlalu santai menghadapi ujian kali ini. Kami sudah belajar beberapa hari terakhir ini dan aku bisa menilai kalau kemampuan Axel naik drastis karena dia bisa mendapatkan nilai 70 dirata-rata ujiannya
Axel menggandengku kepesta yang sebenarnya aku tidak paham ini pesta apa, Axel bilang ini semacam pesta yang diperuntukkan oleh orang tua mereka untuk saling mengenal dimasa depan untuk mempermudah koneksi. Yang ada dipesta itu adalah anak-anak orang berpengaruh di Negri ini, dari konglomerat sampai anak mentri pun ada. Gaya mereka memang sangat berbeda dengan orang-orang biasa, dari cara bicara dan outfit yang mereka kenakan seakan menunjukkan siapa mereka. Menggambarkan bagaimana selama ini mereka menjalani hidup dengan bergelimang harta. Usia yang mengikuti pesta ini bervariatif. Yang paling muda adalah anak 10 tahun dan yang terlihat paling tua adalah mereka yang berusia dua puluhan. Selain Axel, satu-satunya orang yang aku kenal disini adalah Stela yang saat ini sedang duduk disofa, sedang mengobrol dengan beberapa teman seusianya dan sempat melirik sebentar kearah kami tapi setelahnya acuh dan kembali melanjutkan
"Bandung?" Tanya Axel ketika aku memberikan kartu ujian Universitas yang sudah aku pilihkan. Dia memang tidak mengurus apapun dan aku sendiri yang menentukan semuanya. "Axel, aku bukannya tidak percaya kemampuan kamu tapi untuk masuk UI atau UGM fakultas kedokteran, itu sangat sulit dilakukan karena terlalu banyaknya pesaing yang jauh lebih baik dari pada kamu. Kita harus mencari kemungkinan paling mungkin bisa kita lakukan sekarang," jelasku, berharap dia mengerti dengan pilihan yang aku buat. Axel tidak bicara namun matanya memandang kecewa pada selembar kartu ujian yang ada didepannya. "Carlo juga sudah setuju dengan berkuliah bersama di Bandung. Dia akan mengikuti kemana pun kamu pergi jadi jangan khawatir..." "Kenapa tidak bicara dulu pada aku? Ini tentang masa depan aku dan aku sama sekali tidak diberi tahu atas apa yang terjadi tentang masa depan aku, apa karena aku masih lebih muda? Apa karena Kak Nadia mengangg