"Saya terima nikah dan kawinnya Nadia Elsavira binti Sultan Mahardika dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah!" Aku duduk lesu diatas karpet merah, mataku berkaca-kaca menatap bawah. Di sampingku, Axel dengan ekspresi datar bersikap acuh setelah ucapan sah dari penghulu. Suasana di ruang mewah itu terasa hampa dan sepi setelah kami berdua sah menjadi suami istri. Tidak ada kebahagiaan atau suka cita dalam pernikahan yang selalu menjadi mimpi indah kehidupan karena yang tampak nyata adalah kegelapan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah sendu kami berdua. Seakan kemalangan terus menerus menerus menghantui kami, sebuah kecelakaan yang membuat aku harus hamil anak Kak Ariel dan sekarang malah terjebak dalam pernikahan dengan Axel. "Kalian sudah sah jadi sudah diperbolehkan untuk bersalaman," ucap penghulu itu mengintrupsi karena kami masih mematung dalam posisi masing-masing bahkan setelah sah. Tanpa kata, Axel berdiri dan berbalik masuk kedalam kamarnya, meninggalkan acara pernikahan ini tanpa menoleh lagi, semakin dalam menorehkan sebuah penyesalan yang mungkin akan aku lalui ketika kami bersama. Kembali tertunduk dan memikirkan semua yang akan kami lalui, pernikahan yang harusnya dilandaskan dengan cinta dan bertabur kebahagiaan, kini terselimuti dengan kesedihan yang tidak bisa terutarakan. "Kenapa dia bersikap begitu? Apakah pernikahan ini penuh paksaan dan adanya intimidasi?" Tanya penghulu tersebut sambil berdiri, bingung dengan yang terjadi. Sebelumnya dia mengatakan, tiba-tiba mendapatkan perintah dari kepala kantor KUA untuk menikahkan anak seorang konglomerat hari ini juga, jadi mungkin dia merasa semuanya serba membingungkan. Bayangkan saja! Ketika penghulu datang, tidak ada apapun yang disiapkan seperti perayaan pernikahan dirumah ini dan para pembantu baru menyiapkan karpet merah diatas marmer dan bangku kecil untuk acara pernikahan kami. Tidak ada perayaan atau dekorasi apapun. "Axel hanya terlalu tegang, tolong jangan diambil hati!" Ujar Om Adipati atau sekarang harus aku panggil Papa yang sepertinya paham dengan situasi yang mulai terbaca penghulu jadinya mengambil langkah cepat untuk mengalihkan perhatiannya. Mama mertuaku duduk disisiku yang duduk sendirian ditempat yang sama dan masih menatap kosong kearah depan, masih bernegosiasi dengan diri sendiri tentang keputusan yang aku ambil hari ini karena aku masih harus ribuan kali bertanya pada diri sendiri tentang kebenaran akan keputusan yang aku ambil sekarang. "Kami sudah mentrasfer 1 Milyar kedalam rekening kamu sebagai mahar yang tadi Axel katakan." Aku menoleh sebentar, pernikahan kami benar-benar sah dan dilakukan sesuai aturan yang ada namun entah kenapa rasanya aku seperti menjual diri sendiri pada keluarga kaya ini. Rasanya, seperti menjual kebahagiaan, masa depan bahkan hidupku. "Nadia, tanda tangani surat ini!" Mataku beralih, menelisik setiap kata yang ada didalam selembar kertas dengan matrai diatasnya. Hanya satu poin dalam perjanjian tersebut namun itu mampu membuat aku berulang kali memikirkan untuk menanda tangani kesepakatan itu atau tidak. Pihak dua akan menyerahkan bayinya ketika bayi itu lahir apa bila pihak kedua berinisitif meninggalkan pihak pertama tanpa ada tuntutan apapun. Spontan tangan kananku memegang perutku yang masih rata, mungkin aku memang belum merasakan keberadaan janin ini namun apa aku akan benar-benar bersikap tidak tahu diri dengan menandatangi perjanjian tersebut? Rasanya ada sebagian dari diri aku yang tidak rela jika harus perjanjian tidak adil itu. "Apa kami akan dipisahkan setelah bayi ini lahir?" Tanyaku memastikan apa yang mereka rencanakan dengan pandangan yang penuh kabut, aku sangat yakin kini mataku berkaca-kaca. Aku harus waspada dengan apa yang akan terjadi dimasa depan. "Hanya untuk jaga-jaga saja, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Jika kamu memang mau bertahan bersama Axel atau meninggalkan dia setelahnya itu tidak masalah, yang penting kamu harus menyerahkan bayi kamu pada kami." Tes. Air mataku kembali jatuh. Sejak awal memang tidak ada yang aku mengharapkan dari keluarga ini dan Axel juga sudah memperingatkan hal ini pada aku jika yang diinginkan keluarganya adalah bayi yang ada dalam kandunganku namun terbukti langsung dengan perjanjian yang kini disodorkan dihadapanku, rasanya jauh lebih menyakitkan. Tepat setelah aku selesai menanda tangani perjanjian tersebut, Axel keluar dari kamarnya dan sudah berganti pakaian dengan pakaian yang jauh lebih santai. Seakan beberapa menit lalu tidak terjadi acara apapun. "Axel, mau kemana?" Tanya Mama Mertuaku sambil menyentuh lengan Axel namun Axel langsung menarik lengannya, terlihat risih dengan apa yang Mamanya lakukan. "Pulang." "Pulang? Ini rumah kamu." Sebelah alis Axel terangkat, kebiasannya ketika menunjukkan sikap arogansinya pada orang lain. "Aku sudah tinggal sendiri semenjak 2 tahun yang lalu, coba ingat-ingat lagi Ma!" Sindir Axel dan aku cukup keget dengan hal itu. "Sebelumnya kan kamu tinggal sendiri tapi sekarang kamu tinggal berdua dengan Nadia, apartemen sempit itu tidak cocok untuk kalian tinggali berdua. Lagi pula wanita hamil butuh perhatian khusus..." "Jika memang dia lebih nyaman tinggal disini, terserah!" Jadi apa boleh aku tinggal sendiri saja, aku jauh lebih nyaman tinggal berdua saja dengan Maya. "Mana bisa begitu? Kalian sudah menikah dan tentu saja harus tinggal bersama!" Putus Papa Metuaku yang menyahut dari belakang. Axel menghela napas panjang seakan mengatakan dia tahu tidak akan berakhir dalam pernikahan saja. "Tidak usah merasa tidak enak Nadia, Axel sekarang adalah suami kamu. Kalau dia ingin tinggal bersama kami disini kamu bisa tinggal disini tapi kalau Axel ingin tinggal diapartemannya, kalian bisa tinggal disana bersama!" Tegas Papa Mertuaku sambil menyentuh lenganku." "Pa, aku tidak nyaman jika harus tinggal dengan orang asing!" Protes Axel. Aku mengangguk, untuk kali ini aku membenarkan apa yang Axel katakan, aku juga tidak nyaman jika harus tinggal bersama Axel. Bukannya yang kami harapkan hanya status bayi ini ketika lahir saja, tidak perlu sampai kami harus tinggal satu rumah kan? "Lalu siapa yang akan menjaga Nadia dan bayinya? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada mereka?!" Axel mengibaskan tangan Mamanya dari lengannya, entah kenapa aku merasa Mama Mertuaku tidak setuju dengan apa yang Papa Mertuaku katakan hanya saja tidak berani untuk menolak. "Aku tunggu dimobil!" Ucap Axel yang langsung berbalik meninggalkan rumah besar ini dan masuk kedalam mobilnya. Papa Mertuaku tersenyum tipis dan lewat isyarat matanya menyuruh aku untuk mengejar Axel dan tentu saja segera aku lakukan setelah mencium punggung telapak tangan kedua mertuaku. Dalam kesunyian mobil sportnya, Axel duduk termangu seorang diri dengan pandangan kosong lurus kedepan dan itu membuat aku serba salah karena aku tahu semua masalah yang terjadi dalam hidupnya bermula dari aku yang mengiyakan pernikahan ini. Walau enggan pada akhirnya aku duduk di kursi penumpang sebelah Axel, tangan Axel memegang setir dengan erat, seolah dia tengah mengukuhkan kalau dia yang paling berhak atas kendali atas hidupnya sendiri. "Axel?" Aku ingin memulai obrolan diantara kami. Axel terkesiap, dia sepertinya terlalu tenggelam dengan pemikirannya sendiri sampai tidak sadar kalau aku sudah duduk disebelahnya. Untuk menenangkan dirinya sendiri, Axel menyisir rambutnya dengan jari-jari kirinya kebelakang. "Ayo kita permudah semuanya disini, pergi saja keluar negri dengan uang mahar itu dan kembali setelah melahirkan, kurangnya akan aku berikan dalam jumlah yang Bu Nadia inginkan!" Dia ingin menegosiasikan hidupnya. "Axel, menurut kamu apa ada kemungkinan kita melawan perintah orang tua kamu?" Tanyaku, aku ingin menyadarkan dia tentang apa saja yang bisa dilakukan orang tuanya kalau kita memberontak. Terdengar memaksa namun aku tidak punya pilihan, apa yang diucapkan Mertuaku memang bagai ultimatum yang harus kami hadapi, tidak bisa ditawar dan harus dilakukan. DAK. Axel yang kesal memukul setir mobilnya, dia benar-benar kehilangan ketenangannya, tidak seperti biasanya dan terlihat sangat frustasi sekarang. Bukan aku tidak punya hati namun aku benar-benar tidak punya pilihan lain selain menyeret Axel dalam masalah yang aku hadapi sekarang. Selama perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, tidak ada suara yang terdengar mulut kami berdua. Kami terlalu terbenam dalam pemikiran kami sendiri, menggali makna dari status baru sebagai suami istri yang disatukan bukan karena cinta, tetapi keadaan. Mobil melaju kencang, membelah hening malam, sementara jendela-jendela gedung tinggi menyaksikan diamnya dua hati yang terikat. Tiba di apartemen Axel yang terletak di pusat kota, aku perlahan menapak masuk mengikuti langkah Axel yang berjalan lebih dulu didepan, tidak peduli dengan aku yang tertatih sambil menyerat koper, mataku menyapu setiap sudut ruangan yang tertata rapi namun terasa asing. AKu melangkah ke balkon. Dari sana terlihat gemerlap lampu kota, indah. Menjadi orang kaya, tinggal diapartemen mewah pusat kota adalah salah satu impianku selama ini namun ketika sudah menginjakkan kaki ditempat yang aku inginkan, rasanya sangat berbeda. Leherku seperti terbelenggu rantai panjang yang membuat sulit menggapai kebahagiaan yang diinginkan. "Apa yang sedang kamu lakukan?" Tanya ku ketika mendengar suara printer yang sedang mencetak kertas setelah sebelumnya jari-jari Axel lincah mengetik, sibuk menyusun perjanjian yang akan menjadi panduan selama menjalani pernikahan ini. "Tanda tangan!" Perintah Axel sambil meletakkan dua lembar kertas yang diatasnya dia berikan pena. Aku menarik napas dalam, membiarkan udara malam menyegarkan pikiranku yang melayang. Di balik kesenyapan, terdapat ribuan kata yang ingin aku ucapkan, dalam hari yang sama aku mendapatkan surat perjanjian dari pasangan Ibu dan Anak. "Sekarang aku tahu kesamaan kalian!" Celetukku melihat betapa arogansinya orang-orang kaya itu memperlakukan aku dengan sangat semena-mena. Tidak lebih dari barang yang bisa diperlakukan sesuka hati mereka. "Mahar 1 Milyar seharusnya cukup digunakan orang miskin seperti kalian bertahan hidup bertahun-tahun kan?" Ejek Axel. Mataku menyala penuh kemarahan, aku tidak percaya kalimat keji seperti itu bisa keluar dari mulut remaja 18 tahun dengan tenang tanpa ekspresi. Bukan aku yang minta mahar besar begitu, itu adalah yang diberikan kedua orang tua Axel dengan suka rela jadi kenapa sekarang dipermasalahkan? "Sayang sekali karena diapartemen ini tidak ada kemewahan seperti dirumah Papa dan Mama, jadi jangan berharap lebih! Jika mengharapkan rumah besar dengan kolam, seharusnya kamu memilih tinggal dirumah..." Tanpa pikir panjang, ku tandatangani perjanjian tersebut, sudah cukup penghinaan yang mereka berikan hari ini, aku tidak ingin lagi mendengarnya. "Seharusnya aku membiarkan saja dulu kamu tenggelam!" Desis ku ditengah tanda tangan. "Apa?" "Dimana kamar aku?" Tanya ku mengalihkan pembicaran, tidak ingin membahas masalah sebelumnya lebih lanjut dan ingin segera beristirahat dalam kamar. "Tidak ada." Aku diam, menatap Axel yang menyilangkan kakinya disofa dan melipat kedua tangannya didada. Warna mata mereka memang sama namun sorot matanya sangat berbeda, sorot mata Kak Ariel sangat lembut dan dia tajam dan tidak pengertian. "Apartemen ini hanya memiliki satu kamar dan hanya aku yang tidur disana!" Aku mendelik atas pernyataan Axel, aku yakin Axel memang sangat sengaja padanya sekarang. Sengaja menyiksa diri aku dengan sikap dan tempat yang tidak layak. "Berita baiknya, aku punya dua selimut dan dua bantal, aku akan meminjamkannya." "Axel!" Aku sangat ingin protes ketika Axel sudah berdiri dan melangkah namun beru beberapa langkah dia segera berbalik. "Dan, jangan sampai Mama dan Papa tahu kalau kita tidur terpisah, apa lagi sampai tahu kamu tidur disofa, jadi pastikan selimut dan bantal kembali ketempatnya ketika pagi hari." "Axel, apa kamu tidak keterlaluan?" Tanyaku yang merasa sikap Axel sangat tidak masuk akal, bahkan jika bukan bayinya namun tetap saja bayi yang aku kandung adalah keponakannya, jadi seharusnya Axel bisa sedikit saja bersimpatik. "Keterlaluan? Yang bagian mananya?" Tanya balik Axel dengan wajah sombongnya. "Sampai sebelum aku mendengar pacar Kak Ariel hamil, hidup yang aku baik-baik saja." Aku sangat ingin membalas kalimat itu namun aku mengurungkannya begitu melihat kemarahan yang begitu besar disorot mata, aku bisa membayangkan bagaimana marahnya Axel yang harus mengambil tanggung jawab dari apa yang terjadi padahal itu bukan salahnya. Setelah itu Axel berbalik kembali, meninggalkan aku yang masih memaku ditempat dan kini aku semakin menyadari kalau aku benar-benar terjebak dalam pernikahan ini, tidak bisa maju kemana pun dan juga tidak bisa mundur. Terjebak dalam satu atap dengan Axel yang super sombong itu. "Tidak apa-apa, kita hanya perlu bertahan 6 bulan lagi!" Desisku berusaha memberikan support pada diriku sendiri dan bayi yang sekarang aku kandung, seakan mengajaknya bekerja sama menghadapi Axel. Aku harus mengisi tenaga, aku lapar, semenjak hamil aku sangat sulit makan karena mual parah dan ketika sangat ingin makan seperti saat ini, aku tidak akan menyia-nyiakan hal itu, namun ketika membuka pintu kulkas yang ada hanya deretan kaleng soda berwarna-warni yang berjajar rapi. "Hanya soda? Hanya ini yang ada disini?" Tanya ku pada diriku sendiri, minuman ini sangat tidak sehat untuk wanita hamil. . Sekali lagi, aku melangkah kedapur, membuka lemari dan laci, berharap menemukan setidaknya roti atau buah, namun semua tampak kosong dan bersih, seolah belum pernah tersentuh padahal sudah 2 tahun Axel tinggal disini. "Ini bantal dan selimutnya!" Seru Axel meletakkan dua benda itu disofa. "Axel, apa tidak ada makanan dirumah ini?" Tanyaku, menurunkan gengsi untuk bertanya tentang makanan. "Ada soda disana!" Jawab Axel sambil menunjuk kulkas. "Bagaimana kalau air mineral?" Tanyaku yang mulai memikirkan second opinion dengan mengganjal lapar yang aku rasakan dengan air mineral. "Dilantai 2 apartemen ini ada mini market, beli saja disana atau minum saja air kran. Bukannya orang miskin biasanya melakukan itu. Seharusnya sebagai orang miskin, perut Bu Nadiq sudah terlatih kan?!" Ejek Axal sambil tertawa renyah. "Axel, apa kamu sangat membenci aku?" Alasan aku bertanya begitu adalah, bahkan jika pernikahan ini sekedar perjanjian dimata Axel, seharusnya Axel masih bisa menghargai aku sebagai gurunya. "Kenapa hal yang sangat jelas begitu ditanyakan?" "Aku tahu kamu marah dan aku minta maaf atas keputusan yang aku buat tapi coba pikir, menurut kamu apa aku bisa menolak keinginan orang tua kamu?" Aku ingin Axel juga memikirkan alasan aku tidak bisa menolak pernikahan kami. Kilat kemarahan kembali terlihat jelas dimata Axel, "Aku tidak akan menikah kalau kamu tidak hamil. Ck, sebegitunya ingin menjadi orang kaya sampai sengaja tidak menggunakan kontrasepsi?!" Kedua tangan ku mengepal, entah pikiran jahat apa yang sudah menguasai dirinya sehingga dengan mudah bisa mengatakan hal semenyakitkan seperti itu. Ini juga sama sulitnya untuk aku, kenapa hal sederhana begitu saja sulit untuk Axel mengerti? "Lalu, sekarang kamu bertanya tentang kebencian yang aku rasakan? Satu-satunya orang didunia ini yang paling aku benci adalah orang miskin yang tidak tahu tempatnya. Walau pun bukan pewaris, seharusnya aku bisa hidup dengan tenang tanpa beban dengan menghamburkan uang tapi lihat bagaimana aku sekarang? Terjebak dalam pernikahan tidak masuk akal ini!" Aku mundur selangkah ketika Axel maju mendekat, nada bicara Axel memang tidak meninggi sama sekali namun aku sungguh takut ketika melihat Axel yang biasanya selalu tenang dan jarang menunjukkan emosinya kini terlihat sangat marah. "Jangan bicara dengan aku dan jangan mengajak aku berinteraksi karena itu membuat aku semakin jijik!""Stela!" Padahal aku baru saja masuk kedalam kelas namun Axel malah bergegas keluar dari kelas karena mengejar Stela yang keluar kelas lebih dulu, tidak ada kalimat minta izin, bahkan menoleh pun tidak. Dia benar-benar tipikal murid yang sama sekali tidak menghormati guru. Aku tertegun beberapa saat, menatap punggungnya yang menjauh dari pandangan dan akhirnya menghilang dibalik pintu kelas yang masih terbuka. Semakin diperhatikan wajahnya memang semakin mirip dengan Kak Ariel, hanya saja sikap mereka berdua benar-benar berbeda. Padahal mereka bukan saudara kembar, bagaimana mungkin bisa semirip itu? "Bu!" Aku gelagapan ketika Carlo menyadarkan aku dari renungan panjang karena terlalu memikirkan Axel yang keluar kelas tadi. Padahal pagi ini aku yang membangunkan dia sehingga dia tidak terlambat kesekolah tapi tetap saja dia membolos. "Apa tadi mereka izin pada kamu kemana mereka pergi?" Tanyaku yang menanyakan hal tersebut pada
1 hari sebelum pernikahan Setelah menunjukkan Kak Ariel yang koma dan dirawat dirumah mereka dengan alat lengkap lalu diputuskan kami akan menikah besok, kini Axel membawa aku keluar rumahnya, mengatakan aku butuh membereskan barang-barangku namun yang terjadi dia malah membawa aku ke Club malam. "Kenapa kita ke Club?" Tanyaku yang merasa ini jauh dari rencana awal kami dan aku berhak untuk bertanya kenapa dia merubah rencana kami. Tidak menjawab dan malah memperhatikan pintu keluar Club seakan apa yang aku tanyakan bukan apa-apa dan sepertinya aku sudah sedikit terbiasa diacuhkan, terbiasa seperti seorang yang bicara dengan tembok. "Kita harus kekosan aku untuk mengambil beberapa barang, kamu tidak bisa seenaknya mengganti rute perjalanan kita tanpa konfirmasi lebih dulu..." "Berisik!" Kututup mulutku rapat-rapat. Benar! Aku merasa jadi sangat cerewet sekarang padahal aku biasanya tidak begini. Mengetahui Kak Ariel koma dan ternyata yang besok menikah dengan aku adalah Ax
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadia Elsavira binti Sultan Mahardika dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." "Sah!" Aku duduk lesu diatas karpet merah, mataku berkaca-kaca menatap bawah. Di sampingku, Axel dengan ekspresi datar bersikap acuh setelah ucapan sah dari penghulu. Suasana di ruang mewah itu terasa hampa dan sepi setelah kami berdua sah menjadi suami istri. Tidak ada kebahagiaan atau suka cita dalam pernikahan yang selalu menjadi mimpi indah kehidupan karena yang tampak nyata adalah kegelapan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah sendu kami berdua. Seakan kemalangan terus menerus menerus menghantui kami, sebuah kecelakaan yang membuat aku harus hamil anak Kak Ariel dan sekarang malah terjebak dalam pernikahan dengan Axel. "Kalian sudah sah jadi sudah diperbolehkan untuk bersalaman," ucap penghulu itu mengintrupsi karena kami masih mematung dalam posisi masing-masing bahkan setelah sah. Tanpa kata, Axel berdiri dan berbalik masuk kedalam
Om Adipati membawa aku kemeja makan dan disana sudah ada Tante Marisa yang seperti memberikan intruksi pada para pembantu dan chef untuk menyiapkan makan malam sehingga sesuai dengan keinginan mereka. Sampai detik ini aku hanya berani mengira-ngira siapa Axel sebenarnya. Melihat foto keluarga yang pampang jelas sebelum masuk keruang makan ini, membuat aku tertegun sejenak karena aku melihat Kak Ariel yang berdiri beriringan dengan Axel yang membuat aku mengambil kesimpulan mungkin keduanya adalah saudara. Kalau memang begitu, pantas saja warna mata mereka sama. Tapi bagaimana ini? Apa Kak Ariel akan marah karena aku sudah menghukum adiknya seperti itu? Bagaimana kalau Axel mengadu pada Kak Ariel kalau aku sudah memukul telapak tangannya dengan rotan. "Nadia, kenapa melamun?" Tanya tante Marisa sambil menggenggam tanganku hangat. "Saya..." terlalu bingung dan canggung, itu adalah yang aku rasakan sekarang karena memang hanya satu kali saja bertemu dengan keluarga Kak Arial dan
Membalikkan tubuh ke kanan dan ke kiri tidak membuat aku tenang. Aku benar-benar tidak tenang dengan apa yang aku lakukan hari ini. Hukuman yang tadi aku lakukan tidak salah namun kemarahan yang aku selipkan disana membuat aku benar-benar merasa bersalah. Tidak seharusnya aku melakukan itu! Kulirik jam dinding dikamarku dan semakin larutnya malam membuat aku heran dengan Maya yang tidak pulang kekosan kami. Kuraih handphone ku untuk memeriksa barang kali dia meninggalkan pesan yang ternyata tidak sama sekali. Kemana dia? Dia tidak pernah begini. "Kenapa Maya jadi begini?" Tanyaku pada diri sendiri. Berulang kali aku pikirkan alasan kemarahannya pun tetap tidak aku temukan. Aku bingung. Sangat bingung sampai tidak tahu lagi bagaimana harus memperbaiki hubungan persahabatan kami yang semakin lama semakin merenggang karena dinginnya komunikasi diantara kami. Kuputuskan bangkit dari tidurku, toh percuma saja karena aku juga tidak akan bisa tidur dengan banyak pikiran yang bertumpuk-tum
Dia menghilang. Benar-benar menghilang dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Kutatap pantulan cermin didepanku, semua yang terjadi ditiga bulan terakhirku seperti mimpi. Mimpi terburuk dalam hidupku. Aku hamil dan dia menghilang. Tes. Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa tertahan, semua jalan yang ada didepanku terasa buntu tidak tertembus. Hanya tinggal beberapa bulan lagi, aku tidak akan bisa menyembunyikan perutku yang kini masih rata, berulang kali membuat aku bertanya jalan apa yang harus aku lalui sekarang. Kugigit bibir bawahku kuat-kuat, berusaha menahan isak. Tidak peduli bagaimana aku mendongakkan kepala, mencoba menahan agar air mata itu tidak jatuh, pada akhirnya semuanya gagal. Aku tetap terisak kuat. "Kak Ariel, kamu dimana?" Desisku, aku takut. Sungguh benar-benar takut sampai rasanya dadaku sesak. Aku tidak siap dengan penghakiman masyarakat tentang hamil diluar nikah ini. Kenapa semua terasa berbeda dengan yang terjadi sebelumnya? Kak Ariel jelas mengatakan di