Home / Romansa / TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU / 3. AXEL DAN BUKAN ARIEL?

Share

3. AXEL DAN BUKAN ARIEL?

last update Last Updated: 2025-04-27 17:37:34

Om Adipati membawa aku kemeja makan dan disana sudah ada Tante Marisa yang seperti memberikan intruksi pada para pembantu dan chef untuk menyiapkan makan malam sehingga sesuai dengan keinginan mereka.

Sampai detik ini aku hanya berani mengira-ngira siapa Axel sebenarnya. Melihat foto keluarga yang pampang jelas sebelum masuk keruang makan ini, membuat aku tertegun sejenak karena aku melihat Kak Ariel yang berdiri beriringan dengan Axel yang membuat aku mengambil kesimpulan mungkin keduanya adalah saudara. Kalau memang begitu, pantas saja warna mata mereka sama.

Tapi bagaimana ini? Apa Kak Ariel akan marah karena aku sudah menghukum adiknya seperti itu? Bagaimana kalau Axel mengadu pada Kak Ariel kalau aku sudah memukul telapak tangannya dengan rotan.

"Nadia, kenapa melamun?" Tanya tante Marisa sambil menggenggam tanganku hangat.

"Saya..." terlalu bingung dan canggung, itu adalah yang aku rasakan sekarang karena memang hanya satu kali saja bertemu dengan keluarga Kak Arial dan masih belum benar-benar dekat dan kenal baik dengan mereka.

"Mama tidak tahu makanan apa yang kamu sukai jadi apa tidak apa kalau kita makan malam dengan steak saja?" Tanya tante Marisa yang menyebutkan dirinya dalam panggilan padaku Mama. Apa ini berarti hubungan kami direstui?

"Saya makan apa saja, saya tidak pernah pilih-pilih makanan," ucapku yang tidak ingin mendapatkan kesan buruk dari calon mertua.

"Bukannya Ibu hamil memang harus pilih-pilih makanan, kamu harus makan makanan bergizi agar bayi kalian sehat," tutur tante Marisa terlihat sangat perhatian dengan kehamilanku dan tentu saja itu membuat aku sangat senang dan dadaku menghangat hanya karena mendapatkan perhatian sederhana itu.

"Juga sebaiknya banyak berolahraga, tadi dia ada didepan kolam, apa kamu bisa berenang?" Tanya Om Adipati.

"Kolam? Itu sangat berbahaya untuk wanita hamil. Kamu bisa berenang?" Tante Marisa menambahi dengan pertanyaan yang sama.

Aku mengangguk sekali, itu adalah satu-satunya olahraga mewah yang bisa aku lakukan. Tapi kenapa aku masih tidak melihat Kak Ariel padahal seharusnya dia ada disini menyambut aku dan bukannya orang tuanya begini, aku sangat tidak nyaman berada diantara mereka ketika Kak Ariel tidak ada.

"Itu bagus karena olah raga paling bagus untuk wanita hamil adalah berenang," celetuk Om Adipati bersikap ramah dan membiarkan para pembantu menyiapkan makanan yang ada didepannya.

"Kamu sudah memeriksakan bayi itu kedokter kandungan? Ada beberapa dokter yang bisa Papa rekomendasikan untuk kamu atau kalau kamu tidak nyaman mengantri, kita bisa membawa dokter dan alatnya kesini."

Aku menggeleng cepat, merasa tidak perlu sesuatu yang berlebihan begitu. Jujur saja, aku sudah sangat kaget dengan rumah besar yang sekarang aku datangi ternyata adalah milik Kak Ariel yang ternyata adalah anak orang kaya namun bukan itu yang membuat aku lebih gusar dan tidak tenang sama sekali, aku tidak menemukan sosok Kak Ariel padahal kedua orang tua Ariel sudah berusaha beramah tamah tapi kenapa Kak Ariel belum juga muncul?

Sudah banyak pikiran liar yang berlalu lalang dipikiran aku tantang jangan-jangan Kak Ariel melarikan diri dan tidak mau bertanggung jawab atau Kak Ariel sengaja menyuruh orang tuanya untuk memutuskan hubungan dengan dengan aku karena status sosial kami yang sangat jauh berbeda.

Tepat pada saat itu Axel sudah kembali dengan rambut yang masih setengah basah, kini dia sudah mengenakan kaos dan celana pendek dan mengambil posisi dikursi pada meja makan yang kosong, bersikap acuh pada kondisi disekitarnya, juga padaku. Bersikap seolah kami tidak kenal sama sekali, menoleh dan melirik pun tidak sama sekali. Benar-benar sikap arogan yang sama seperti pada saat disekolah!

"Kami punya Foie Fras dan Steak, yang mana yang anda inginkan Tuan Muda?" Tanya seorang pelayan yang menuangkan air mineral kegelas Axel.

"Yang pertama," jawab Axel tanpa berpikir panjang yang sebenarnya aku tidak tahu menu makan apa yang dia pilih.

Aku tidak begitu mengerti menu apa yang Axel pilih karena aku juga sampai detik kebingungan dengan daging yang ada dipiringku karena sedari tadi aku potong ternyata dagingnya masih mentah karena tengahnya masih merah namun sepertinya Om Adipati dan Tante Marisa tidak menyadarinya karena makan dengan biasa saja.

"Nadia, Papa dengar kamu mengajar disekolah Nasional Senior High School?" Tanya Om Adipati yang membuat aku mengangkat kepala, mengalihkan perhatianku dari makanan yang ada didepanku pada Om Adipati yang bertanya.

"Iya," jawabku singkat.

"Kalau begitu apa kamu kenal dengan Axel?"

Kuberanikan diri melirik Axel yang masih nampak acuh tak acuh, tak peduli dengan pertanyaan orang tuanya tentang kami, "Dia murid dikelas saya."

"Yang benar?!" Pekik Tante Marisa senang.

Aku tidak tahu kalau aku yang menjadi guru kelas Axel bisa menjadi sepenting itu sekarang, bukannya yang lebih penting itu mengeluarkan Kak Ariel dan kita bicarakan tentang bagaimana rencana kita kedepannya?

"Memang sebaiknya pernikahan dilakukan secepatnya sebelum perut Nadia membasar," celetuk Om Adipati sambil memasukkan potongan daging kedalam mulutnya.

Aku yang tidak mengira Om Adipati mengeluarkan kalimat semacam itu tidak bisa menutupi kekagetanku karena tidak etis saja ketika mereka membicarakan hal itu didepan Axel yang adalah muridku, aku tidak mau sampai Axel tahu kalau aku hamil diluar nikah namun melihat Axel yang terlihat sama sekali tidak peduli dan masih terus melanjutkan makan makanan yang ada didepanya membuat aku menghela napas lega. Anggap saja Axel tidak mendengar pembicaraan kami sebelumnya.

Drrrttt... drrttt... Carlo memanggil.

Aku bisa melihat nama seorang yang menghubungi Axel yang merupakan ketua kelas sekaligus seorang yang selalu ada disisi Axel namun Axel mengabaikannya dan menutup layar handphonenya kebawah.

"Lalu, Axel sebaiknya kamu pindah lagi kerumah ini setelah menikah? Papa akan mencarikan tutor terbaik agar kamu bisa belajar dan menjadi penerus perusahaan kita. Bahkan jika kalian menikah, kamu harus tetap pintar karena penerus perusahaan besar!"

Kali ini, baik aku atau pun Axel terdiam, kami sama-sama berusaha mencerna apa yang baru saja Om Adipati katakan. Sepertinya ada yang salah disini, kenapa Axel akan menikah? Bukannya yang akan menikah itu adalah aku dan Kak Ariel? Kenapa mereka malah membicarakan tentang pernikahan Axel?

"Axel, Papa akan mengatur pernikahan kalian secepatnya. Besok!"

"Kalian? Kami? Maksudnya saya dan Axel?" Tanyaku ingin memperjelas semuanya karena aku masih sangat bingung dengan apa yang terjadi dimeja makan ini, orang yang menikah dengan aku seharusnya Kak Ariel tapi kenapa jadi berubah Axel, bahkan ketika salah menyebutkan nama seharusnya itu tatap tidak boleh.

"Iya, kamu dan Axel," jelas Om Adipati sambil tersenyum kecil, menyembunyikan kegugupannya, bukannya mengkoreksi kalimatnya yang salah namun malah membenarkan orang yang akan mereka nikahkan adalah aku dan Axel.

Ini tidak benar dan aku merasa ada kesalahan pahaman yang harus aku luruskan sekarang. "Maaf, sepertinya ada kesalah pahaman disini. Axel ini murid saya dan saya tidak akan menikah dengan dia. Satu-satunya pria yang punya hubungan dengan saya adalah Kak Ariel..."

Ku lirik Axel dan aku bisa melihat betapa tidak sukanya dia sekarang dan aku bisa mengerti itu namun melihat dia yang terus mengunyah makanannya dan memasukkan kedalam lambungnya membuat aku mengernyitkan dahi, bagaimana dia bisa makan dalam situasi seperti ini? Atau jangan-jangan dia sudah tahu!

"Kalian akan menyerah pada Kak Ariel?" Tanya Axel yang meletakkan alat makannya begitu saja.

Apa-apaan dia? Kenapa bukannya mengkonfirmasi kesalahan dalam pengucapan nama Kak Ariel yang tertukar dengan dirinya tapi malah membicarakan hal lain yang tidak aku mengerti.

"Apa maksud kamu?" Tanya Om Adipati masih berusaha untuk tersenyum walau terkesan canggung.

"Kak Ariel akan sadar jadi kenapa kalian harus mempersiapkan aku jadi penerus?" Tanya Axel dengan nada dingin.

"Sadar?" Desisku yang semakin bingung dengan apa yang Axel bicarakan sekarang.

"Kamu pacar Kak Ariel kan? Aku tidak peduli kita menikah atau bagaimana tapi bahkan jika orang tua aku menyerah tentang Kak Ariel, sebaiknya kamu tidak!" Ucap Axel yang bangkit dari kursinya, berjalan kearah kursiku dan dengan warna mata yang sama dengan Kak Ariel lagi-lagi dia menatap aku dengan tajam yang membuat aku gugup.

Axel menarik lenganku sehinggaaku hampir saja terjungkal dari kursiku, menimbulkan keributan yang mengejutkan orang tuanya. Mereka berteriak memanggil namanya, namun Axel menulikan pendengarannya. Dengan nafas yang memburu, dia menyeretku melewati koridor panjang menuju sebuah ruangan yang terisolasi di sudut rumah.

Aku yang merasa kejadian ini terlalu tiba-tiba juga tidak dapat menghentikan aksi Axel dan masih dalam kebingungan yang sama, jadi kebiarkan saja dia membawaku dengan langkah terseok-seok.

"Axel, Papa peringatkan untuk tidak melakukan hal itu!" Seru Om Adipati memberikan peringatan namun Axel sama tidak peduli.

Sesampainya di depan pintu, Axel membuka pintu ruangan tersebut dengan tiba-tiba, mengungkapkan sebuah ruang yang dipenuhi dengan peralatan medis. Di tengah ruangan, terbaring Kak Ariel dengan berbagai selang dan mesin yang berdengung, menyokong kehidupannya.

"Dia koma, tidak tahu kapan akan bangun!"

Axel sudah memberikan penjelasan tentang kondisi Kak Ariel yang sedang koma namun entah kenapa itu hanya seperti suara yang menggema didalam kepalaku. Aku terlalu bingung dan tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang jadi yang bisa aku lakukan hanya mematung tanpa bisa melakukan apa-apa sambil menatap Kak Ariel yang ada dibalik kaca.

"Papa dan Mama bilang dia kecelakaan setelah mengantar kamu pulang setelah bertemu dengan mereka satu bulan yang lalu."

Untuk merendam isak tangis spontan aku menutup mulutku sendiri dengan telapak tangan. Kepalanya berputar, seluruh tubuhnya bergetar, masih berusaha mencoba memproses pemandangan di depanku. Ini kah alasan Ariel yang menghilang sebulan ini?

"Orang tua aku tidak sebaik itu, mereka hanya menginginkan penerus dan bayi yang sedang Bu Nadia kandung, lebih baik gugurkan saja agar dia tidak membuat masalah dikemudian hari!"

Aku berbalik menatap Axel dengan kilatan kemarahan, bagaimana mungkin Axel bisa berkata tidak bermoral dengan wajah setenang itu?! Dia baru tahu jika ayah dari anak yang dia kandung koma dan kini Axel malah mengatakan hal kejam tentang menggugurkan kandungan, ini bukan kalimat yang bisa dikeluarkan manusia.

"Dengarkan aku sekali ini saja, selama bayi itu masih ada, Papa dan Mama tidak akan menyerah dan akan memaksa kita menikah. Aku tidak mau menikah dan Bu Nadia juga pastinya!"

Orang tua Axel kini sudah berhasil menyusul kami dan berdiri di ambang pintu, "Apa pun yang Axel katakan, jangan dengarkan dia! Tidak usah terlalu terbebani dengan pernikahan ini. Anggap saja kamu seperti merawat adik Ipar kamu dan akan berpisah dengan dia ketika anak ini lahir nanti. Jangan sampai anak dari keturunan Nugroho lahir tanpa Papa!"

"PA!" Axel berusaha memberikan peringatan pada orang tuanya, dia masih tidak mau menikah.

Ku pejamkan mata sejenak, berharap semua yang ada didepannya hanya mimpi buruk namun ketika dia membuka matanya kembali, semua kembali seperti sebelumnya tetap Kak Ariel yang tidak sadar dan sekali lagi itu memporak-porandakan pertahanannya, isak Nadia semakin kuat.

"Nadia, jangan mengambil keputusan yang akan kamu sesali seumur hidup kamu. Sampai Ariel bangun, biarkan Axel yang menggantikan dia menjaga kamu!" Desak Om Adipati.

Drrtt.. drrrttt... drrrttt... Carlo memanggil. Lagi-lagi ketua kelas kembali melakukan panggilan pada Axel dan setiap panggilan yang terjadi membuat wajah Axel terlihat lebih tertekan, apa ada situasi yang membuat dia lebih tertekan dari pada pernikahan kami ini?

"Bu Nadia! Kenapa malah ragu dan bukan langsung menjawab tidak saja!" Seru Axel, dia ingin segera menyelesaikan situasi yang mencekik kami sekarang.

Perlahan ku sentuh perutku yang masih rata, menolak atau pun mengiyakan pilihan itu, keduanya tidak ada yang benar-benar menguntungkan namun apakah aku mampu bersikap egois dengan menanggung semuanya sendiri? Ketakutan akan cemooh orang-orang yang nanti akan mengecap bayi ini sebagai anak haram...

"Axel, maaf!" desisku dengan suara lirih karena aku harus mengambil keputusan yang mungkin akan sangat merugikan Axel namun ini adalah pilihan terbaik untuk aku dan bayiku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   6. TIDAK BISAKAH MEREKA MENGHARGAI AKU?

    "Stela!" Padahal aku baru saja masuk kedalam kelas namun Axel malah bergegas keluar dari kelas karena mengejar Stela yang keluar kelas lebih dulu, tidak ada kalimat minta izin, bahkan menoleh pun tidak. Dia benar-benar tipikal murid yang sama sekali tidak menghormati guru. Aku tertegun beberapa saat, menatap punggungnya yang menjauh dari pandangan dan akhirnya menghilang dibalik pintu kelas yang masih terbuka. Semakin diperhatikan wajahnya memang semakin mirip dengan Kak Ariel, hanya saja sikap mereka berdua benar-benar berbeda. Padahal mereka bukan saudara kembar, bagaimana mungkin bisa semirip itu? "Bu!" Aku gelagapan ketika Carlo menyadarkan aku dari renungan panjang karena terlalu memikirkan Axel yang keluar kelas tadi. Padahal pagi ini aku yang membangunkan dia sehingga dia tidak terlambat kesekolah tapi tetap saja dia membolos. "Apa tadi mereka izin pada kamu kemana mereka pergi?" Tanyaku yang menanyakan hal tersebut pada

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   5. JAGA BATASAN

    1 hari sebelum pernikahan Setelah menunjukkan Kak Ariel yang koma dan dirawat dirumah mereka dengan alat lengkap lalu diputuskan kami akan menikah besok, kini Axel membawa aku keluar rumahnya, mengatakan aku butuh membereskan barang-barangku namun yang terjadi dia malah membawa aku ke Club malam. "Kenapa kita ke Club?" Tanyaku yang merasa ini jauh dari rencana awal kami dan aku berhak untuk bertanya kenapa dia merubah rencana kami. Tidak menjawab dan malah memperhatikan pintu keluar Club seakan apa yang aku tanyakan bukan apa-apa dan sepertinya aku sudah sedikit terbiasa diacuhkan, terbiasa seperti seorang yang bicara dengan tembok. "Kita harus kekosan aku untuk mengambil beberapa barang, kamu tidak bisa seenaknya mengganti rute perjalanan kita tanpa konfirmasi lebih dulu..." "Berisik!" Kututup mulutku rapat-rapat. Benar! Aku merasa jadi sangat cerewet sekarang padahal aku biasanya tidak begini. Mengetahui Kak Ariel koma dan ternyata yang besok menikah dengan aku adalah Ax

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   4. BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN

    "Saya terima nikah dan kawinnya Nadia Elsavira binti Sultan Mahardika dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." "Sah!" Aku duduk lesu diatas karpet merah, mataku berkaca-kaca menatap bawah. Di sampingku, Axel dengan ekspresi datar bersikap acuh setelah ucapan sah dari penghulu. Suasana di ruang mewah itu terasa hampa dan sepi setelah kami berdua sah menjadi suami istri. Tidak ada kebahagiaan atau suka cita dalam pernikahan yang selalu menjadi mimpi indah kehidupan karena yang tampak nyata adalah kegelapan. Tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah sendu kami berdua. Seakan kemalangan terus menerus menerus menghantui kami, sebuah kecelakaan yang membuat aku harus hamil anak Kak Ariel dan sekarang malah terjebak dalam pernikahan dengan Axel. "Kalian sudah sah jadi sudah diperbolehkan untuk bersalaman," ucap penghulu itu mengintrupsi karena kami masih mematung dalam posisi masing-masing bahkan setelah sah. Tanpa kata, Axel berdiri dan berbalik masuk kedalam

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   3. AXEL DAN BUKAN ARIEL?

    Om Adipati membawa aku kemeja makan dan disana sudah ada Tante Marisa yang seperti memberikan intruksi pada para pembantu dan chef untuk menyiapkan makan malam sehingga sesuai dengan keinginan mereka. Sampai detik ini aku hanya berani mengira-ngira siapa Axel sebenarnya. Melihat foto keluarga yang pampang jelas sebelum masuk keruang makan ini, membuat aku tertegun sejenak karena aku melihat Kak Ariel yang berdiri beriringan dengan Axel yang membuat aku mengambil kesimpulan mungkin keduanya adalah saudara. Kalau memang begitu, pantas saja warna mata mereka sama. Tapi bagaimana ini? Apa Kak Ariel akan marah karena aku sudah menghukum adiknya seperti itu? Bagaimana kalau Axel mengadu pada Kak Ariel kalau aku sudah memukul telapak tangannya dengan rotan. "Nadia, kenapa melamun?" Tanya tante Marisa sambil menggenggam tanganku hangat. "Saya..." terlalu bingung dan canggung, itu adalah yang aku rasakan sekarang karena memang hanya satu kali saja bertemu dengan keluarga Kak Arial dan

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   2. MURID HARUSNYA TIDAK BERKASTA

    Membalikkan tubuh ke kanan dan ke kiri tidak membuat aku tenang. Aku benar-benar tidak tenang dengan apa yang aku lakukan hari ini. Hukuman yang tadi aku lakukan tidak salah namun kemarahan yang aku selipkan disana membuat aku benar-benar merasa bersalah. Tidak seharusnya aku melakukan itu! Kulirik jam dinding dikamarku dan semakin larutnya malam membuat aku heran dengan Maya yang tidak pulang kekosan kami. Kuraih handphone ku untuk memeriksa barang kali dia meninggalkan pesan yang ternyata tidak sama sekali. Kemana dia? Dia tidak pernah begini. "Kenapa Maya jadi begini?" Tanyaku pada diri sendiri. Berulang kali aku pikirkan alasan kemarahannya pun tetap tidak aku temukan. Aku bingung. Sangat bingung sampai tidak tahu lagi bagaimana harus memperbaiki hubungan persahabatan kami yang semakin lama semakin merenggang karena dinginnya komunikasi diantara kami. Kuputuskan bangkit dari tidurku, toh percuma saja karena aku juga tidak akan bisa tidur dengan banyak pikiran yang bertumpuk-tum

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   1. MURID BERMATA HAZEL

    Dia menghilang. Benar-benar menghilang dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Kutatap pantulan cermin didepanku, semua yang terjadi ditiga bulan terakhirku seperti mimpi. Mimpi terburuk dalam hidupku. Aku hamil dan dia menghilang. Tes. Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa tertahan, semua jalan yang ada didepanku terasa buntu tidak tertembus. Hanya tinggal beberapa bulan lagi, aku tidak akan bisa menyembunyikan perutku yang kini masih rata, berulang kali membuat aku bertanya jalan apa yang harus aku lalui sekarang. Kugigit bibir bawahku kuat-kuat, berusaha menahan isak. Tidak peduli bagaimana aku mendongakkan kepala, mencoba menahan agar air mata itu tidak jatuh, pada akhirnya semuanya gagal. Aku tetap terisak kuat. "Kak Ariel, kamu dimana?" Desisku, aku takut. Sungguh benar-benar takut sampai rasanya dadaku sesak. Aku tidak siap dengan penghakiman masyarakat tentang hamil diluar nikah ini. Kenapa semua terasa berbeda dengan yang terjadi sebelumnya? Kak Ariel jelas mengatakan di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status