1 hari sebelum pernikahan
Setelah menunjukkan Kak Ariel yang koma dan dirawat dirumah mereka dengan alat lengkap lalu diputuskan kami akan menikah besok, kini Axel membawa aku keluar rumahnya, mengatakan aku butuh membereskan barang-barangku namun yang terjadi dia malah membawa aku ke Club malam. "Kenapa kita ke Club?" Tanyaku yang merasa ini jauh dari rencana awal kami dan aku berhak untuk bertanya kenapa dia merubah rencana kami. Tidak menjawab dan malah memperhatikan pintu keluar Club seakan apa yang aku tanyakan bukan apa-apa dan sepertinya aku sudah sedikit terbiasa diacuhkan, terbiasa seperti seorang yang bicara dengan tembok. "Kita harus kekosan aku untuk mengambil beberapa barang, kamu tidak bisa seenaknya mengganti rute perjalanan kita tanpa konfirmasi lebih dulu..." "Berisik!" Kututup mulutku rapat-rapat. Benar! Aku merasa jadi sangat cerewet sekarang padahal aku biasanya tidak begini. Mengetahui Kak Ariel koma dan ternyata yang besok menikah dengan aku adalah Axel sepertinya menghilangkan akal sehat aku. Terlihat seperti menimbang sesuatu, pada akhirnya Axel memilih keluar dari mobil dan mau tidak mau aku juga harus turun dari mobil miliknya. Ini adalah Club malam sedangkan dia masih SMA yang seharusnya tidak berada ditempat seperti ini, aku sangat ingin mengomeli dia tapi dia pasti tidak akan mendengarkan. "Axel, aku tahu pernikahan ini adalah hal yang berat untuk kita, tapi tidak seharusnya kamu menghancurkan hidup kamu sendiri dengan datang ketempat seperti ini!" Ucapku yang masih berusaha memberikan nasihat pada dia dengan mengikuti langkah panjang dibelakangnya. BUG. Tubuhku menabrak punggung Axel yang tiba-tiba saja menghentikan langkahnya tanpa aba-aba. Dia dan sikap tidak terbacanya memang sangat menyebalkan. Dengan sangat terburu Axel menarik lenganku masuk kembali kedalam mobil yang membuat aku hampir saja terjerembab dengan sikap aneh Axel sekarang namun setelah melihat arah pandangan Axel, aku jadi tahu alasan dia menarikku kembali kedalam mobil. Gerombolan teman-temannya sudah keluar dari Club, sebagian dari mereka sempoyongan karena mabuk. Aku memicingkan mata, aku sangat yakin jika ada beberapa murid kelasku yang mabuk sekarang dan ini adalah pertama kalinya aku mengetahui pergaulan bebas yang mereka dilakukan padahal mereka masih dibawah umur. "Kalian masih SMA dan tidak boleh menyentuh alkohol!" Ucapku yang tidak bisa untuk tidak memberikan peringatan pada Axel walau pun aku tahu kali ini dia tidak ikut pesta dengan teman-temannya. Axel tidak peduli dengan apa yang aku katakan karena matanya masih fokus pada gerombolan teman-temannya sedangkan kesepuluh jari-jarinya menggenggam erat setir mobilnya seakan itu adalah pegangan hidupnya, aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan saat ini. Drrrttt... Drrrttt... Carlo memanggil... Dari posisi kami sekarang aku bisa melihat Carlo, si ketua kelas yang terlihat paling sadar diantara yang lainnya sedang berusaha membopong Stela yang terlihat mabuk berat sedangkan satu tangannya menghubungi Axel namun Axel tidak langsung mengangkatnya dan terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu pada entah sudah tut keberapa ini terlihat dari layar mobilnya yang terkoneksi dengan handphone miliknya. "Ya?" Akhirnya Axel mengangkat panggilan tersebut namun pandangan matanya masih fokus menatap teman-temannya, bukan... bukan teman-temannya tapi lebih terlihat dia sedang menatap Stela yang bersama Carlo. "Demi Tuhan! Kenapa kamu baru mengangkat sekarang?" Tanya Carlo dengan nada frustasi dan itu juga terlihat dari ekspresinya sekarang yang kesulitan mengendalikan Stela karena terus meronta. "Aku sibuk." Aku memandang Axel dengan pandangan mencibir, kami tidak sibuk sekarang dan bisa langsung kesana membantu Carlo. Kenapa tidak mempermudah semuanya dengan turun dan membantu mereka semua yang mabuk agar pulang dengan selamat saja? "Stela mabuk." Terdengar desisan marah dari Axel padahal aku sangat yakin dia juga sudah tahu kalau Stela mabuk, kenapa harus lebih marah padahal itu bukan hal yang baru saja dia ketahui? "Aku sudah berusaha menghentikan dia menyentuh alkohol tapi dia terlalu marah karena kamu tidak datang, dia jauh-jauh pulang dari Korea karena ingin merayakan kemenangan basket kamu tapi kamu malah tidak muncul," omel Carlo. Axel memejamkan mata sejenak dan pandangannya beralih pada dua pria yang berdiri tidak jauh dari Carlo, "Biarkan Stela pulang dengan supir dan bodyguardnya!" "Stela terus marah dan mengusir mereka, dia tidak mau didekati siapapun kecuali aku. Apa tidak bisa kamu datang?" Tanya Carlo dengan nada memohon. "Ada hal yang harus aku lakukan sekarang jadi aku tidak bisa datang, serahkan saja Stela pada bodyguard dan supirnya, mereka akan memastikan Stela pulang dengan selamat dan kita akan bertemu lusa disekolah." Setelah kalimat terakhirnya, Axel memutuskan panggilan. Ini membingungkan. Dia membawa aku datang kesini hanya untuk melihat dan tidak melakukan apa-apa, tapi untuk apa? Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dia pikirkan. "Axel, bukannya kita datang untuk membantu teman-teman kamu? Ayo kita turun saja dan membantu mereka!" Ajakku yang merasa tidak bisa mengabaikan hal ini begitu saja, walau bagaimana pun aku adalah guru dan melihat ketidak benaran seperti ini, aku tidak bisa mengabaikannya. "Lalu apa? Membiarkan mereka mempertanyakan kenapa seorang guru ada ditempat seperti ini?" Tanyanya dengan nada dingin. "Kamu mengkhawatirkan aku?" Tanyaku sebenarnya tidak percaya dengan apa yang pertanyakan barusan. "Apa aku punya alasan untuk melakukannya? Yang membawa kamu kesini adalah aku dan jika sampai Papa tahu, itu hanya akan menambah masalah baru." Aku menghela napas panjang, aku pasti terlihat sangat bodoh karena kalimat tadi. Kalimat yang terkesan aku berharap dia khawatir padahal dia lebih khawatir tentang kemarahan orang tuanya. "Tetap saja, kalau kamu khawatir pada Stela, harusnya kamu turun saja dan memastikan dia baik-baik saja, setidaknya dengan begitu dia akan tahu kalau kamu peduli," ujarku yang juga ikut menyaksikan apa yang Axel lihat ketika dia terlihat lega pada saat Carlo dibantu seorang pria berjas hitam memasukkan Stela kedalam mobil limosin. "Bu Nadia, bukannya seharusnya Ibu tidak melewati batasan?" "Ha?" Aku terlalu bingung dengan apa yang dia katakan barusan, kenapa pembahasan kami tiba-tiba meloncat tentang batasan. "Kita tidak terlalu dekat sampai bisa membicarakan urusan pribadi masing-masing. Ini hanya peringatan, tapi sebisa mungkin hindari berurusan dengan Stela karena jika sampai dia tidak nyaman, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi selanjutnya!" "Kamu mengancam?" Tanyaku dengan nada tidak suka, apa-apaan dia?! Kenapa malah bicara tidak jelas begitu. "Ini peringatan. Aku mungkin tidak bisa melakukan hal yang berlebihan karena Papa atau Mama pasti menghentikan tapi ini tidak berlaku untuk Stela!" Sorot mata seriusnya itu membuat aku begidik. Memangnya apa yang bisa dilakukan anak-anak SMA? Aku adalah guru mereka, kenapa mereka sangat menakutkan hanya karena mereka dari golongan berada? "Apa kamu mengatakan ini karena khawatir pacar kamu tahu tentang hubungan kita nantinya?" Tanyaku sambil menoleh pada Axel yang kini juga menoleh pada aku. Sebelah bibirnya terangkat, seakan sedang menertawakan pertanyaan yang aku ajukan padahal aku tidak melihat hal yang lucu disana. Aku benar-benar mempertanyakan niatannya. "Kamu dan pemikiran bodoh yang ada dikepala kamu itu sangat merepotkan!" Celetuk Axel yang kembali menghidupkan mesin mobilnya dan memacu mobilnya meninggalkan area Club malam. *** Aku sudah sangat terburu dan tergesah merapikan beberapa buku yang akan aku bawa kesekolah. Memang apartemen ini lebih dekat dengan sekolah tapi biar pun begitu masih membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai kesekolah menggunakan bus. Tanganku sudah meraih handle pintu apartemen, namun langkahku terhenti seketika. Mataku teralih, tertumbuk pada pintu kamar Axel yang masih tertutup rapat. Aku yakin dia belum bangun. "Ck, pemalas itu! Pantas saja dia selalu terlambat berangkat kesekolah!" Ada kebimbangan yang melanda yang membuat aku bimbang, perjanjian pernikahan poin pertama yang dengan tegas menyatakan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing terasa begitu mengikat. Namun, kekhawatiran sebagai seorang guru membuat aku tidak bisa hanya berlalu begitu saja. Dengan rasa jengkel yang bercampur rasa tanggung jawab, aku mengetuk pintu kamar itu perlahan. “Axel, kamu sudah bangun?” teriakku dengan nada suara yang mencoba menahan kejengkelan. Tidak ada jawaban. Kuketuk lagi, kali ini dengan sedikit kekuatan. “Axel, ini sudah pagi. Cepat bangun!” Beberapa detik berlalu tanpa ada suara dari dalam. Aku mendesah frustasi, benar-benar tidak ingin masuk kedalam sebenarnya namun sepertinya tidak bisa, dia harus dibangunkan secara langsung. Dengan satu tarikan napas dalam, aku memutuskan untuk membuka pintu kamar itu perlahan. Cahaya samar dari jendela apartemen menerobos masuk, menerangi ruangan yang masih tertutup tirai tebal. Axel terlihat masih terbaring dengan pulas, bahkan dalam posisi tidur begini garis wajahnya terlihat sangat sempurna, aku tidak menyangkal kalau dia memang tampan. "Ax-Axel?" Sial, kenapa aku malah tergagap hanya karena membangunkan anak kecil ini. "Axel!" Kali ini aku memanggilnya lebih lantang sambil menyentuh lengannya dengan jari telunjukku. Aku terlonjak ketika dia yang tanpa aba-aba membuka mata dan menatap aku heran. Lagi-lagi pandangan matanya yang tajam itu memaku seluruh tubuhku, entah keberapa kalinya membuat aku terpana beberapa saat. "Siapa yang memberikan izin masuk kedalam kamarku?!" Aku mengerjap beberapa kali, berusaha sadar dari imajinasi liar dikepalaku, "Aku hanya memastikan kamu masih hidup!" Timpalku jengkel, sadar kalau seharusnya tadi aku pergi saja tanpa membangunkan dia. Dia bangkit dan kini sudah merubah posisi jadi duduk, "Kamar adalah area pribadi yang tidak boleh dimasuki orang lain, apa hal seperti itu saja kamu tidak mengerti?!" Aku mendelik sebal dengan kalimat tidak tahu dirinya itu, "Ck, tahu begini tadi aku biarkan saja kamu kembali terlambat sekolah!""Errgghh." Aku terbangun karena tenggorokan terasa kering, pandanganku tertuju pada sebotol air yang ada diatas meja sebelah ranjang, jadi kugeser tubuhku, berusaha untuk menggapainya walau pun dengan susah payah karena ternyata bagian bawahku masih ada rasa sakit ketika digerakkan.GRRAABBB.Kepalaku terangkat ketika menyadari ada tangan lain yang meraih botol tersebut, membukanya dan menyerahkannya padaku. Stela. Sejak kapan dia ada disini? Kenapa aku tidak sadar kalau tadi kami satu ruangan."Axel sedang ada diruang bayi," Stela menjelaskan tanpa ditanya kemudian dengan gerakan santai dia duduk kembali dengan matanya yang kembali fokus pada iPad ditanganya.Canggung, itu adalah yang aku rasakan saat ini karena memang sebelumnya kami tidak pernah terjebak berdua dalam ruangan yang sama dan aku juga tidak tahu bagaimana karakternya yang sebenarnya jadi tidak tahu bagaimana cara mencairkan suasana
"Menikah dengan orang kaya memang berbeda. Dua jam setelah observasi kamu langsung ditempatkan diruangan Presidenial Suite. Benar-benar kesenjangan yang nyata!" Celetuk Maya sambil menikmati fasilitas ranjang empuk yang tidak jauh dariku. Aku menatap sekeliling, ruangan ini memang terlihat berlebihan untuk pasien. Untuk ukuran rumah sakit, untuk apa ada pantry kecil diujung padahal makanan pasien dan penunggu juga sudah disediakan, bahkan ada microwave juga. "Kak Nadia tidak akan percaya, kamar mandinya bisa hangat otomatis, hanya dengan menggeser kran. Tempat ini luar biasa!" Ungkap Maxim tersenyum senang begitu keluar dari kamar mandi. "Tapi Nadia, sejak kemarin kamu mematikan handphone, apa tidak apa-apa? Mertua kamu dan Axel mungkin akan khawatir?" Tanya Maya hati-hati. Kutatap handphone yang ada diatas meja kecil sebelah ranjang, aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku sendiri sekarang
"Jangan membuat Stela menunggu! Dia akan marah kalau dibuat menunggu terlalu lama." Axel terlihat ragu-ragu, dia sedang menghindari kontak mata kami dan terlihat gelisah, apa yang salah dengan dia sekarang? "Mungkin lebih baik aku tidak ikut," desisnya sambil meriah handphone, menimang-nimang benda tersebut untuk memastikan pilihan apa yang akan dia buat. "Kenapa tidak ikut? Kamu bilang setelah ini Stela akan kuliah diluar Negri dan mungkin saja kalian sulit bertemu." Axel menatap perutku kemudian menarik napas panjang, "Perkiraan persalinan Kak Nadia bulan depan dan Tante Rania bilang bisa maju atau mundur, bagaimana kalau ketika aku berada di Bali, persalinannya maju?" "Aku akan menghubungi Maya," jawabku cepat tanpa menyebutkan nama Maxim karena itu hanya akan membuat konflik baru diantara kita. Kalau boleh jujur, aku juga ingin Axel tetap tinggal tapi aku tidak ingin keberadaan kami m
"Axel, kamu sudah bangun!" Sapaku begitu Axel keluar dari kamar.Tidak menjawab dan melewati aku begitu saja untuk masuk kedalam kamar mandi, melakukan aktivitas paginya sebelum kemudian keluar dengan wajah yang lebih segar dan duduk disofa lalu menyalakan TV dan makan apel sebagai rutinitas sarapan kami."Axel, aku sudah memilihkan beberapa restoran yang mungkin akan kamu suka, mau lihat?" Tawarku sambil menyodorkan handphone ku padanya namun dilirik pun tidak, dia sama sekali tidak peduli dan matanya lurus memandang TV didepan kami.Dia dan sikap acuhnya ketika marah sangat menyiksa orang yang ada disekitarnya. Aku sangat ingin menjelaskan apa yang membuat aku tidak bisa makan malam dengan dia kemarin tapi jika aku melakukannya, bukannya itu terkesan aku membela diri atas apa yang aku lakukan."Axel, apa kamu marah?" Tanyaku dengan suara lirih. Pertanyaan bodoh memang tapi aku sudah tidak punya apapun lagi yang bisa aku keluarkan dari kepalaku. Aku seperti kehabisa
"Axel, ingat fokus dengan soalnya dan jangan lengah!" Aku memberikan ultimatum pada Axel sebelum dia berangkat untuk tes masuk Universitas. Axel mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana dia bisa setenang itu padahal tes ini menentukan masa depannya, bisa atau tidaknya dia masuk Universitas Negri. "Kamu yakin tidak ingin diantar?" Tanyaku entah yang keberapa kalinya menawari untuk mengantar dia ujian. Awalnya aku pikir dia tidak mau kuliah di Indonesia tapi dia mengatakan kalau dia tidak ingin kuliah diluar Negri dan ingin tinggal di Indonesia saja. "Aku tidak mentargetkan apa pun dalam hidup, kalau tidak bisa masuk Universitas Negri ya swasta saja. Aku tidak masalah, toh pada akhirnya aku juga akan menjadi dokter!" Kelakar Axel sambil tertawa, dia terlalu santai menghadapi ujian kali ini. Kami sudah belajar beberapa hari terakhir ini dan aku bisa menilai kalau kemampuan Axel naik drastis karena dia bisa mendapatkan nilai 70 dirata-rata ujiannya
Axel menggandengku kepesta yang sebenarnya aku tidak paham ini pesta apa, Axel bilang ini semacam pesta yang diperuntukkan oleh orang tua mereka untuk saling mengenal dimasa depan untuk mempermudah koneksi. Yang ada dipesta itu adalah anak-anak orang berpengaruh di Negri ini, dari konglomerat sampai anak mentri pun ada. Gaya mereka memang sangat berbeda dengan orang-orang biasa, dari cara bicara dan outfit yang mereka kenakan seakan menunjukkan siapa mereka. Menggambarkan bagaimana selama ini mereka menjalani hidup dengan bergelimang harta. Usia yang mengikuti pesta ini bervariatif. Yang paling muda adalah anak 10 tahun dan yang terlihat paling tua adalah mereka yang berusia dua puluhan. Selain Axel, satu-satunya orang yang aku kenal disini adalah Stela yang saat ini sedang duduk disofa, sedang mengobrol dengan beberapa teman seusianya dan sempat melirik sebentar kearah kami tapi setelahnya acuh dan kembali melanjutkan