Share

Bab 6

Nuria menggeleng kepala, feelingnya sudah semakin tak karuan. Dia gegas berbalik hendak melarikan diri melalui pintu dapur. Namun sayang, gerakannya kalah cepat. Kedua tangan Radit berhasil merengkuhnya dari belakang.

“Dit! Kamu mau ngapain? Lepasin aku!” Nuria memekik. Namun satu tangan Radit membekap mulutnya. Nuria pun menggeliat sehingga gelas yang dibawanya jatuh memecah keheningan.

“Aku cuma mau nolongin kamu, Nur! Setelah kita melakukannya, pasti tua bangka itu akan menggagalkan lamarannya dan kita akan menikah.” Radit mulai melepas celana panjangnya dan membiarkannya terjatuh ke lantai.

Nuria menggeleng, dia memberontak. Lalu sekuat tenaga menggigit tangan Radit yang membekapnya.

“Awww!” bekapan itu terlepas, rengkuhannya sedikit mengendur dan Nuria berteriak,”Tolooong! Tolooong!”

Nuria berlari, tetapi lagi-lagi kalah cepat, tangan Radit menarik kemeja yang digunakannya hingga bagian kancingnya terlepas beberapa. Kemeja lusuh itu pun terkoyak.

“Tolooong!” Satu teriakan lagi lepas sebelum Radit akhirnya kembali bisa membekuknya.

“Sssst! Jangan begitu, Nur. Hanya ini cara buat bisa nyelametin kamu! Kita akan menikah setelah ini. Aku janji. Mamaku pun pasti akan setuju, dia akan memarahiku karena sudah melakukan ini padamu. Kita akan hidup bahagia, Nur! Percaya! Please jangan teriak lagi, ya ….” Tangan Radit masih membekap mulut Nuria, sementara tangan satunya memegang kedua tangan Nuria ke belakang.

Air mata sudah mengalir begitu deras di pipi Nuria, satu kecupan yang lama Radit jatuhkan pada keningnya. Tampak ada kilat cinta di matanya. Dia melakukannya, untuk menyelamatkan gadis yang diminta untuk menunggunya. Gadis yang sudah memenuhi relung hatinya.

“Aku sayang kamu, Nur! Aku gak rela kamu dinikahi tua bangka itu! Bukankah kamu sudah janji akan menerima lamaranku jika suatu hari nanti aku datang? Kamu juga cinta aku kan, Nur?” Radit menatap kedua netra yang dipenuhi kaca-kaca itu. Nuria hanya menggeleng dan memelas dengan sorot mata. Namun Radit seperti tak memiliki belas kasihan, dia mulai melakukan apa yang dia bisa lakukan.

“Tolooonggg!” Nuria berteriak sekuat tenaga ketika bekapan itu akhirnya kembali terlepas.

Bruk!

Pintu depan tiba-tiba ambruk. Bukan dibuka dengan halus melainkan ditendang. Seiring dengan pintu terbuka, Radit mengguling menjadikan posisinya berbalik dari semula.

“Hentikan!” Dua orang berpakaian hitam menatap nyalang ke arah Radit. Nuria mengkerut ketakutan. Dia pun meraih apapun untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.

“Kalian siapa? Kenapa mengganggu kami? Gak tahu saja kesenangan anak muda? Aku tak berbuat jahat! Dia melakukannya suka sama suka!” Radit bicara santai sambil beringsut bangun. Dia menatap kedua lelaki tinggi tegap yang mendekat dengan wajah garang itu tanpa sedikit pun rasa takut.

Bugh!

“Jangan sesekali berani menyentuh calon istri juragan!”bentaknya.

Satu tendangan bersarang pada perut Radit sehingga lelaki itu terhuyung. Sementara itu, Nuria beringsut menuju kamar meskipun dengan kaki gemetar. Hampir saja, semua berakhir dengan mengenaskan. Beruntung dua orang itu datang.

Dia menutup pintu dan menguncinya dari dalam, lalu menghabiskan rasa takutnya dengan menangis sesenggukan. Andai dia tahu solusi yang dimaksud Radit seperti ini. Sama sekali dia pun gak akan tertarik.

Sementara itu, di ruang tengah terdengar suara orang baku hantam. Sesekali barang-barang pecah dan berjatuhan terdengar. Nuria gegas mencari pakaiannya yang lain dan memakainya, lengkap kembali dengan kerudungnya. Namun tak ada niatan untuk keluar. Dirinya benar-benar merasa takut. Takut sekali.

Entah berapa lama, pergulatan di ruang tengah sana, hingga akhirnya suara menjadi sepi. Nuria tak berani keluar hingga deru motor berhenti di depan. Tak berapa lama disusul oleh suara tawa dari Nirina dan riuh obrolan Bi Lela.

Nuria masih mengurung diri di kamar, awalnya tak hendak keluar. Namun ketika sadar belum salat isya, dia pun membuka pintu. Hatinya sudah mempersiapkan jawaban jika Bu Lela mengintrogasinya terkait kondisi rumah yang berantakan. Namun Nuria berhenti sejenak ketika melihat Bi Lela dan Paman Nursam sedang duduk santai di ruang tengah. Semua masih rapi seperti ketika belum ada kejadian tadi. Bekas pecahan gelas yang tadi berserak pun sudah tak ada.

Meskipun heran, Nuria tak bisa menanyakan apapun. Hanya dia yang tahu kejadian tadi di sini. Namun ketika dia berjalan menuju dapur, berpapasan dengan Nirina yang tengah membawakan kopi untuk Rudi. Dia menatap Nuria yang matanya tampak sedikit sembab.

“Nur, tadi ada yang datang gak ke sini?” tanyanya tanpa Nuria sangka.

“Yang datang? Maksudnya?” Nuria berhenti, lalu menatap Nirina yang tampak menautkan alisnya.

“Ada tamu gitu?” Nirina mengulang lagi tanya.

“Tamu? Gak ada.” Nuria akhirnya memilih tak bicara. Lagipula, kenapa Nirina tahu jika akan ada tamu. Apakah kedatangan Radit ada hubungannya dengan pertanyaan Nirina?

“Aneh!” gumaman pelan dari Nirina seiring dengan langkahnya yang menjauh terdengar.

Nuria tak ambil pusing. Dia gegas mengambil wudhu lalu kembali ke kamarnya. Paman Nursam dan Bi Lela tampak tengah menikmati kue yang dia bawa sepulang kondangan tadi. Seperti biasa, Nuria selalu dianggap tak ada. Sudah biasa. Di sana dia bukan diperlakukan seperti anggota keluarga.

Empat rakaat dia jalankan. Nuria memanjatkan doa dan kembali menangis, mengucap syukur atas dirinya yang masih selamat dari sosok lelaki yang hendak melecehkannya. Sedih, kesal dan sesak, kenapa Radit malah membuatnya kecewa. Dulu, memang benar Radit memintanya menjadi pacar, tetapi Nuria tak menerimanya karena dia inginnya lelaki yang datang itu langsung melamarnya.

Radit yang pada masa itu baru saja hendak menyelesaikan sekolah kelas tiga SMA, tak memiliki keberanian senekat itu. Dia masih harus kuliah dan mencari kehidupan yang mapan sebelum melamar Nuria. Memang Radit memintanya menunggu, meski tak ada ikatan di antara mereka. Namun ternyata tiba-tiba dia mendengar jika gadis pujaan hatinya akan menikah. Hati Radit sakit, remuk, redam. Namun dia pun tak bisa berkutik, uang kuliah saja masih dibayarkan orang tuanya. Mana mungkin ibunya akan memberikan restu ketika dirinya bilang akan menikah muda. Akhirnya hal yang membuat Nuria terlukalah yang lelaki itu ambil. Dia sama-sama putus asa sebetulnya.

“Dit, kenapa kamu buat aku kecewa?” Nuria memejamkan mata seraya melipat mukena. Bayangan tadi terlintas lagi membuatnya bergidik. Bahkan beberapa tanda merah sempat tersemat pada beberapa bagian tubuhnya. Membuat rasa simpatiknya pada Radit berubah menjadi kecewa.

Derit pintu kamar yang didodorng Nirina membuatnya menoleh. Sepupunya itu berjalan lalu mendekat dan duduk pada kasur lantai yang terhampar. Dia menatap Nuria dalam-dalam.

“Nur, aku kasihan lihat kamu, tertekan banget ya sama pernikahan ini? Maafin aku, ya!” ucap Nirina dengan wajah tampak merasa bersalah.

Nuria mendongak, kedua alisnya saling bertaut. Rasanya aneh mendengar Nirina berkata baik padanya.

“Gak apa, Rin. Sudah takdir aku kali.” Nuria menjawab lemah.

“Aku ada solusi biar kamu bisa lepas dari pernikahan ini. Kamu mau gak aku bantu?” Nirina menatap Nuria. Demi menebus rasa tak relanya melihat Nuria memiliki keberlimpahan yang lebih darinya. Dia bersikap baik pada Nuria dan berharap rencananya akan lancar dan pernikahan itu akan gagal.

Tiba-tiba saja Nuria teringat kembali pada kejadian tadi. Kejadian yang ternyata tak diketahui siapapun. Hanya dirinya, Radit dan dua orang berpakaian hitam itu saja yang tahu. Dari itu Nuria sadar, jika Juragan mengirim orang untuk mengawasinya. Nuria masih sibuk dengan pemikirannya ketika tiba-tiba Nirina memekik kaget sambil menatap gawainya.

“Apa?! Radit meninggal?!” pekiknya seraya matanya tertuju pada layar gawai.

Nuria tersentak, apakah orang suruhan juragan yang membunuhnya? Ketakutan melanda, sebenarnya sosok seperti apa yang akan dinikahinya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status