“Nur, aku yakin Juragan Arga itu orang jahat! Buktinya Radit meninggal!” tukas Nirina membuat kedua alis Nuria saling bertaut. Matanya memicing menatap sepupunya yang seolah mengetahui sesuatu.
“Kenapa kamu bilang gitu? Apa hubungannya meninggalnya Radit dengan Juragan Arga?” Nuria menatap lekat pada wajah Nirina yang tampak sedikit pucat.“Ahm, gak ada … gak ada, kok.” Dia pun gegas bangkit dan meninggalkan Nuria sendirian.Nuria memejamkan mata, sebetulnya hatinya dilliputi rasa takut dan suasana terasa mencekam. Bahkan bayangan Radit dan setiap perlakuannya masih membekaskan rasa trauma dalam dada. Kini ditambah kabar meninggalnya Radit yang begitu mendadak.Kepalanya berdenyut nyeri, Nuria pun memilih merebahkan tubuhnya lalu melepas semua kepenatan itu perlahan. Berharap semua ini hanya mimpi buruk, berharap semua tanda merah yang menjejak ditubuhnya besok sudah hilang lenyap.***Keesokan harinya, Nirina mengetuk pintu kamar itu pagi sekali. Nuria baru saja selesai melakukan dua rakaat dhuha.“Nur, ada temannya Rudi di depan!” tukasnya dengan tersenyum manis.“Mau ngapain?” Nuria menatap heran.“Hmm … kamu ingat gak Felix? Dia dulu pernah naksir kamu katanya!” bisik Nirina.“Lalu?” Nuria menautkan alis.“Ini yang aku bilang kemarin ke kamu. Misal kamu punya pacar, mungkin bisa batalin pernikahan kamu dengan Juragan Arga! Dia itu manusia berdarah dingin sepertinya! Kamu emang gak takut?” Nirina berbicara dengan nada berbisik.“Kenapa kamu baik sama aku sekarang? Bukankah kemarin-kemarin kamu yang menyodorkanku buat gantiin lamaran dia buat kamu?” Nuria yang merasa curiga pada Nirina tak lekas tergoda. Aneh rasanya dengan perubahan sikap sepupunya yang mendadak begitu.“Aku cuma-”“Sudahlah, Rin. Gak usah urusi hidup aku.” Nuria memangkas kalimat yang akan Nirina ucap.“Nur,”“Suruh saja dia pergi! Aku gak berminat bertemu siapapun!” Nuria beranjak lalu menyimpan mukena yang sudah dia lipat ke tempat semula. Nirina masih bergeming. Rencananya tak boleh gagal. Dia tak rela kehidupan Nuria lebih baik dari pada dirinya, tetapi dia pun tak mau jika harus menikahi lelaki seusia ayahnya itu.Akhirnya hari itu, Nirina mengabarkan pada Felix kalau sepupunya tidak enak badan. Akhirnya Felix pulang. Padahal sudah senang akan segera mendapat mainan baru. Apalagi Nirina bilang itu adalah Nuria, gadis yang waktu SMA begitu susah didekatinya.Nuria yang merasakan lelah, gegas berganti pakaian. Dia hendak berziarah ke makam almarhum ayahnya yang tak terlalu jauh dari sana. Lima belas menit, pemakaman itu sudah bisa ditempuhnya dengan jalan kaki.Nuria memasuki area pemakaman, lalu bersimpuh di atas sebuah pusara yang tanahnya sudah ditumbuhi rerumputan. Dia pun mencabutinya, ada rasa sedih dan perih ketika mengingat nasib yang tak berpihak padanya. Kehidupannya tak pernah menenangkan.Namun kemunculan dua orang lelaki berpakaian hitam membuat Nuria sedikit tersentak. Dia masih ingat wajah itu, mereka yang menolongnya dari Radit malam tadi.“Permisi, Nyonya!” tukas mereka berdua seraya ikut berjongkok lalu mencabuti rerumputan di sekitar makam. Nuria terpana, rasa terkejutnya berubah menjadi heran. Apa dua orang itu benar-benar gak ada kerjaan, malah sibuk mencabuti rereumputan?“Pak, kalian gak ada kerjaan, ya? Kayaknya Bapak yang orang tadi malem nolongin saya, ya?” Nuria bertanya pada kedua orang itu yang tengah sibuk mencabuti rerumputan.“Justru, kami sedang bekerja.” Salah satu dari mereka menjawab.“Bekerja?” Kedua alis Nuria saling bertaut.Tak ada jawaban lagi terlontar. Mereka melakukannya dengan cepat. Setelah memastikan tak ada lagi yang dibutuhkan, mereka bergegas menjauh. Membuat Nuria menarik napas panjang.“Apa bisa aku hidup, jika belum menjadi istrinya saja sudah menjadi seperti buronan?” Helaan napas kasar dia hembuskan.Doa-doa dilangitkan. Nuria bersimpuh dan terisak seraya mengirimkan untaian kebaikan untuk almarhum Haidar---ayahnya yang sudah hidup dengan tenang. Dia khusuk sekali, sampai-sampai tak sadar jika sejak tadi ada sepasang mata yang memandangnya dengan tatapan datar.“Nuria! Saya mau bicara!” Suara itu tiba-tiba muncul membuat Nuria kaget. Rupanya ada ibunya Radit di sana. Ada sekeranjang bungan dijadikan tentengan. Sepertinya dia sudah hendak ziarah.“Ehm, Tante? Oh iya, maaf kemarin gak bisa takziyah.”Nuria melempar senyum dan basa-basi.Wajah di hadapannya masih sama. Dingin dan pancaran keutusnya yang luar biasa.“Gak usah basa-basi. Saya cuma mau tanya … tadi malam ada orang yang melihat Radit mengunjungi kamu apakah itu benar?”Glek!Tiba-tiba bayangan itu berlarian kembali. Keringat dingin bermunculan di dahi Nuria. Namun tak urung kepalanya mengangguk membenarkan. Ingin rasanya menyangkal, tetapi takutnya nakah menjadi hal mencurigakan.“Kematian Radit gak wajar! Saya sedang mengurusnya ke kantor kepolisian. Dari hasil visum, kematian Radit disebabkan menenggak racun. Dia juga wajahnya babak belur. Jika ada polisi yang datang ke rumah kamu, tolong kerja samanya. Saya hanya ingin mengungkap siapa pembunuh putra saya. Pembunuh itu harus mendapati balasan yang setimpal! Karena berdasarkan saksi mata, kamu adalah orang terakhir yang ditemuinya sebelum dia meninggal.” Ibu Radit berbicara panjang lebar, bahkan dia tak memiliki ruang untuk menjelaskan terkait apa yang sudah Radit lakukan.Misalkan dia pun menjelaskan, apakah gak semakin menguatkan dugaan jika dirinya malah memiliki motif untuk melakukan itu.Nuria bergeming, tenggorokannya tercekat. Entah kenapa ada rasa takut jika dirinya nanti dianggap terlibat. Perempuan itu berjalan menjauh setelah memindai Nuria dari atas ke bawah.“P--polisi?” Nuria terbata seraya menyeka keringatnya.Dia pun gegas pulang dengan lunglai. Di saat hidupnya tengah dirundung masalah, kenapa juga harus bertambah dengan kasus seperti sekarang ini.Jarak masih menyisakkan beberapa langkah lagi sebelum memasuki area gerbang. Namun tampak sebuah mobil polisi sudah terparkir di depan rumah Paman Nursam. Lelaki berseragam itu menatap ketika Nuria datang dan mengucap salam.“Mengingat kematian Saudara Radit tak wajar dan berdasarkan beberapa orang saksi, kamu adalah orang terakhir yang bertemu dengannya! Kami hanya meminta beberapa keterangan!” jelasnya seraya menunjukkan surat tugasnya. Nuria menghela napas kasar. Harus seperti apa dia bilang? Bagaimana kalau memang Radit dibunuh oleh dua lelaki berpakaiauan hitam itu, apakah Juragan Arga nanti akan jadi tersangka ataukah dirinya juga akan dilibatkan?Pikirannya bertali, kusut semrawut dan tak bisa terurai. Nuria hanya mengangguk pasrah, dia menoleh dan mengedarkan pandangan. Pada saat seperti ini, sangat berharap dua orang mata-mata itu menampakkan diri dan memberikan pertolongan.Gus Rasyid berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia tak menjawab dengan tepat pertanyaan dari Juragan Arga, tetapi langsung menghampiri Abimanyu. Lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu pun berdiri. Sepasang mata mereka bersirobok. “Sebesar apa kamu yakin bisa membahagiakan Celia lebih dari aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gus Rasyid yang menatap intens pada Abimanyu yang memandangnya dengan wajah tenang. “Insya Allah sangat yakin. Aku sudah lama mengenalnya dan sangat tahu wataknya. Dia keras, tetapi lembut. Dia galak, tetapi baik. Dia itu pemarah, tetapi penyayang. Aku tahu banyak tentang dia … lebih dari yang kamu perkirakan!” Ucapan Abimanyu yang tampak tenang dan datar membuat Gus Rasyid tersenyum kecut. Dia pun menoleh pada Juragan Arga dan menatapnya lekat. “Papa … andai benar Celia memiliki perasaan padanya, sepertinya saya tak pantas lagi mempertahankan dia lebih keras. Karena menghapus jejak itu akan jauh lebih sulit dari pada membuat
“Dia Ibu saya, Non!” Sapaan khas itu sontak membuat Celia menoleh dan mencari sumber suara. Seketika kedua matanya membeliak melihat sosok yang tengah tersenyum dan berdiri tak jauh dari mereka. “A—Abimanyu?” lirihnya dalam gumaman. Tiba-tiba ada yang berdesir hangat dalam dada ketika manik mereka saling terpaku beberapa saat. “Masya Allah cantik sekali pakai kerudung seperti ini, Non.” Abimanyu tersenyum lalu menunduk lagi, seperti biasa dia tak berani memandang wajah manis itu lama-lama. Gegas dia melangkah dan memilih duduk pada tempat kosong di samping ibunya. Celia menunduk, dia menggigit bibir bawahnya dan sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak terjatuh. Hatinya yang tadi terasa hangat mendadak sakit. Perih ini bukan tanpa alasan, tetapi kenapa Abimanyu datang begitu terlambat. Kini bahkan hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, lalu buat apa kedatangan lelaki itu ke sini. “Kakak … ayo duduk!” Nuria menarik lengan Celia agar duduk. “Enggak usah, Ma! Aku su
“Hmmm?” Nuria menatap lekat dan menunggu jawaban.Celia menarik napas panjang, lalu dia pejamkan mata seolah tengah menimbang. Namun tak lama, terdengar ucapan lirih dari bibirnya.“Abi … manyu.” Kedua sudut bibir Nuria tersenyum. Dia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kamar Celia yang sepertinya penasaran atas pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, Celia memilih diam. Sudah sebulan lalu dia kehilangan semangat hidupnya. Hanya menghitung hari, menunggu masa hari pernikahan yang sedikit bergeser itu akan tiba. “Mama harus berbuat sesuatu untuk kamu, Kak! Semoga tak terlambat!” batin Nuria seraya lekas berjalan menuju kamarnya. *** Dua minggu lagi hari pernikahan yang dijanjikan pun terasa sangat lama. Meskipun, Celia tak terlalu peduli ketika tampak ada beberapa perubahan rencana, termasuk surat undangan yang tak jadi disebar. Rasa heran dan penasaran pun tak dia lontarkan, Celia lebih memilih diam. Dirinya yang sudah patah arang hanya pasrah, Celia sudah tak lagi peduli pada apa
Semenjak hari pernikahannya dengan Gus Rasyid diputuskan. Celia menjadi lebih pemurung dari biasanya. Sehari-hari, selama sebulan ini hanya dia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar.Karena hal itu juga, Nuria menjadi lebih sering datang ke kamar putri sambungnya itu. Kadang mengajak Surya dan bermain di sana, kadang hanya duduk dan bercerita. Padahal Nuria berharap ada hal yang bisa dia dapatkan, sekecil informasi apapun akan sangat berguna untuk menjadi pertimbangan. Nuria paham, dijodohkan itu bukan hal indah yang diinginkan. Hanya saja, Celia sama sekali tak bercerita apakah ada lelaki lain yang dia inginkan.“Kak, Mama pinjam ponselnya bentar, ya! Mau telepon Papa! Quota Mama habis soalnya!” Nuria mengetuk pintu kamar Celia, lalu mendorongnya perlahan.“Hmm, ambil!” Celia menjawab dengan malas. Bahkan tak melirik ke arah Nuria yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia sibuk dengan tablet baru yang isinya hanya games online dan tak ada akses ke sosial media mana pun. Dia mala
“Loss contact dengan?” Mutia melambatkan langkah lalu menatap wajah serius Abimanyu. “Dengan tujuan masa depanku, Mut yaitu Celia.” Abimanyu mengucap nama itu dengan senyuman yang mengembang. Raut wajah Mutia yang berbinar seketika mendadak murung. Ada sesuatu yang kasat mata terasa begitu sakit menusuk hatinya. Lelaki yang ada di depannya bahkan dengan begitu ringan menyebut nama perempuan lain di hadapannya. “Abi, aku mau ngomong sesuatu.” Mutia menghentikan langkahnya seraya menunduk. Dia mengumpulkan segenap keberanian. “Eh, tumbenan kayak serius banget?” Abimanyu menoleh pada Mutia yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya karena menghentikan langkah mendadak. “Iya, Abi. Ini hal paling serius yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ke kantin?” Mutia menatap wajah lelaki yang lama-lama bisa menarik perhatiannya. Dulunya dia memilih Abimanyu karena dia melihat sosoknya yang lurus dan gak neko-neko. Selain itu, penampilannya yang teramat sangat ketinggalan zaman membuat
Abimanyu sedikit kaget ketika dia mendapati kabar kepulangan Celia dari Bu Ratna. Namun mendengar kabar katanya Celia sakit, akhirnya Abimanyu mengerti. Anak seperti Celia, mungkin tak bisa fighting sendiri sehingga ketika sakit harus kembali dekat dengan keluarga. Abimanyu berulang menghubungi Celia, tetapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dirinya tak sadar, jika jemari yang dibubuhi segenap rasa cemburu itu sudah memblokir kontaknya. Akhirnya Abimanyu menghubungi Juragan Arga dan sedikit lega ketika mendengar kabar jika Celia baik-baik saja. Namun, sidang skripsi yang sudah ada di depan mata membuatnya harus fokus menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan. Masih ada satu kali lagi revisi yang harus dia kejar demi bisa ikut wisuda tahun ini. Abimanyu begitu bersemangat mengingat apa yang diucapkan Celia pagi itu. Kalimat tersirat yang seolah meminta dirinya peka dan memperjuangkannya. “Lili, doakan … semua sidang skripsinya lancar … setelah itu, aku baru akan fokus berjua
“Lili! Kenapa berbuat seperti ini? Apa kamu sengaja membuat Papa kehilangan muka di depan keluarga Kyia Usman, hah? Kamu kenapa melakukan hal seperti ini! Bukannya mamamu tadi ada tanya, jika memang ada lelaki yang sudah berniat baik meminangmu, tolong katakan! Jangan buat seperti ini, Papa malu, Lili!”Suara Juragan Arga bergetar antara marah, kesal, malu dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Celia menatap wajah Juragan Arga lalu menjawab dengan santai. “Aku hanya ingin, suamiku dan keluarganya menerima aku apa adanya, Pa! Andai aku harus menjadi orang lain, maka yang mereka sukai, bukanlah aku, tapi orang lain itu. Lalu, apa Papa pikir enak kalau aku kelak nikah dan harus menjadi bayang-bayang orang yang sangat senggak aku banget, Pa? Buat apa? Apa Papa pikir aku bisa bahagia kalau seperti itu?”Juragan Arga bergeming dan tampak mengatur napasnya yang memburu. Kedua tangannya mengepal akibat kemarahan yang tengah berusaha dia kendalikan. “Bukan gini caranya, Lili! Perc
Perasaan Celia merasa lega ketika pada akhirnya dokter memperbolehkan Juragan Arga pulang setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit. Meskipun, hati kecilnya merasa heran, bukannya katanya ada virus berbahaya yang bersarang di dalam tubuh Papanya. Namun, kenapa bisa pulih secepat itu. Bahkan sampai kepulangan Juragan Arga, Celia tak mengetahui jenis penyakit apa yang diderita Juragan Arga sebetulnya. Perasaan senang dan lega itu berkecamuk menjadi buruk ketika Nuria mengabarkan, sore nanti akan ada kunjungan dari keluarga Gus Rasyid ke rumahnya untuk membahas hari pernikahan mereka. “Kakak, sore nanti pakai baju ini, ya!” Nuria membawa satu set gamis dengan kerudung lebar dan meletakkannya di lemari Celia. Pakaian yang berantakan sudah dia rapikan juga. Begitulah Nuria yang menjadi lebih dekat dan semakin dekat saja dengan putri sambungnya itu. Banyak hal dari mereka yang bertentangan, jika Nuria lemah lembut, Celia keras dan meluap-luap. Jika Nuria rapi dan teliti, maka Ce
"Hah? Nikah sekarang?!” Celia sontak memutar tubuh dan melotot menatap lelaki yang terbaring lemah itu. Juragan Arga tersenyum samar. “Kalau kamu bersedia, lebih cepat, lebih baik! Papa mohon … Papa takut usia Papa tak lama lagi, Lili. Kamu dengar sendiri dari Mama kamu kalau dari pihak rumah sakit sendiri belum bisa mendeteksi virus asing yang bersarang di tubuh Papa … kalau Papa pergi, kamu sama siapa nanti? Papa tak ingin kamu salah jalan dan salah pergaulan, Lili ….” Lelaki itu menatap dengan air mata yang pertama kalinya dia tunjukkan di depan putrinya itu. Dirinya berharap, dengan seperti itu, Celia akan luluh dan bersedia menikah secepatnya dengan lelaki yang dia yakini adalah yang terbaik untuk Celia. Celia bergeming. Tiba-tiba terbayang lelaki yang ada di depannya itu terbujur kaku. Perasaan bersalah dan sesal itu menyelinap ke dalam dadanya. Dia mendongakkan wajah agar air mata yang memburu menyeruak itu tertahan. Begitulah hatinya Celia yang begitu sensitif, meskipun kera