Share

Bab 4 Mencium Seluruh Tubuhnya

Plok! Plok! Plok!

Suara hentakan menggema di kamar yang menjadi saksi bisu direnggutnya kesucian Arsana yang selama ini dia jaga. Arsana hanya bisa menahan sakit dan perih, sementara Zayver bergelora di atasnya. Penuh nafsu, amarah, dan ... cemburu.

Apa benar Zayver merasa cemburu?

Kemurkaan seorang suami yang istrinya pulang malam bersama pria lain, apalagi namanya kalau bukan cemburu. Meskipun dalam hati Zayver, dia menyangkal perasaan itu dan menganggap bahwa hal yang wajar jika suami marah saat istrinya berbohong apalagi berkhianat.

Rasa gengsi telah menutup mata hatinya, Zayver mencurahkan semua gejolak amarah itu dengan caranya sendiri, yakni menggauli sang istri tanpa ampun, tak peduli jika Arsana kesakitan karena ini adalah pertama kali dia melakukannya.

Zayver menciumi seluruh tubuh Arsana dari rambut hingga kaki, lalu kembali memasukkan miliknya kedalam milik Arsana. Terkadang Arsana meronta kesakitan, Zayver akan memukulnya. Rasa sakit Arsana jadi berkali-kali lipat, dan dia hanya bisa menangis dalam kungkungan Zayver yang seperti orang kesetanan.

"Sebut namaku," perintah Zayver.

Arsana hanya diam, tidak melihat ke arah Zayver.

"Sebut namaku!" bentak Zayver, tangannya mencengkram kedua pipi Arsana.

"Zayver," lirih Arsana.

"Lebih keras lagi," pinta Zayver, sambil menghentakkan pinggulnya.

"Zayver, ah…”

"Stop, Zayver ... Ah… Ah, stop! Aku lelah," mohon Arsana, dan hal itu malah Zayver anggap sebagai sebuah permintaan.

Setiap kali Arsana mengatakan sudah, maka Zayver akan kembali melakukan aksinya dengan dihiasi bumbu-bumbu kekerasan. Tamparan, jambakan, dan pukulan, Zayver menikmatinya dan dia melakukan itu semua tanpa rasa lelah. Semalaman. Hingga tubuh Arsana rasanya remuk redam, tulangnya seperti hancur, hanya tersisa daging saja.

"Mau lagi?" bisik Zayver dan kali ini Arsana pura-pura tidur demi menjaga tubuhnya yang seperti sekarat saking kelelahannya.

"Pura-pura tidur?" kekeh Zayver memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi.

"Arsana! Arsana!" panggilnya dengan suara keras karena dia tahu kalau istrinya itu hanya pura-pura tidur saja.

Zayver lalu melangkah ke kamar mandi untuk mandi demi mengembalikan kesegarannya, karena dia ingin melakukannya lagi. Sedangkan Arsana membuka sedikit matanya, merasa lega karena akhirnya Zayver akan menyudahi aktivitas melelahkan dan menyakitkan ini. Begitu pikirnya.

Namun, tanpa Arsana duga, Zayver kembali menindih tubuhnya setelah kembali dari kamar mandi. Arsana yang merasa sesak dengan tindihan itu lantas mengeluarkan suara dan membuka matanya, hingga dia dapat melihat Zayver sudah segar di atasnya. Tersenyum menyeringai, persis seperti harimau yang hendak menerkam.

"Masih jam setengah 3," kata Zayver membalikkan tubuh Arsana agar telungkup dan memasukkannya dengan kasar bersamaan dengan jambakkan di rambutnya.

Arsana hanya bisa pasrah, karena melawan pun percuma, sebab dia hanya akan mendapat siksaan lainnya jika berani menolak.

Zayver melakukannya dengan berbagai gaya, bahkan menyuruh Arsana yang pemula untuk bergerilya di atasnya. Dengan terpaksa, Arsana naik ke tubuh suaminya yang wangi sabun mandi itu dan membiarkan Zayver menghentak-hentakkan tubuhnya, sementara Arsana hanya diam saja di atas sana.

Berkali-kali Zayver mengerang karena kenikmatan, berbanding terbalik dengan Arsana yang memekik kesakitan, sebab Zayver selalu melakukannya dengan kasar dan penuh kekerasan.

Malam pertama yang selalu dinanti-nanti setiap pasangan suami istri malah menjadi hal yang mengerikan bagi Arsana. Hatinya jauh dari kata bahagia, dan mungkin Arsana malah trauma dan makin membenci suaminya.

"Apa semua perempuan mengalami hal semenyakitkan ini?" desis Arsana saat hendak bangun dari tidurnya.

Arsana bangkit dari ranjang dengan hati-hati, merasa tubuhnya hancur sehingga meringis kesakitan. lalu mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Kini, waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Hampir dua belas jam Zayver mempermainkannya, dan kini lelaki itu tanpa rasa bersalah dan berdosa bisa tertidur pulas. Zayver tak melihat bercak darah di ranjangnya yang berantakan akibat ulahnya menggagahi Arsana, Zayver juga tak melihat Arsana yang kesulitan tidur saking sakit dan lelahnya.

Lelaki itu hanya mendengkur, menikmati moment fly-nya setelah mengeluarkan lahar panas yang membakar rahim Arsana.

***

Meskipun lelah dan wajahnya terlihat pucat, tak lantas membuat Arsana lupa akan tugasnya mengajar sebagai Guru Relawan. Setelah mandi, dia bersiap dengan pakaian rapi dan meninggalkan Zayver yang masih tertidur pulas.

Entah kapan suaminya itu akan bangun, Arsana tidak peduli. Dia hanya ingin melakukan tugasnya sebagai Agen Rahasia tanpa memikirkan bagaimana Zayver akan marah lagi nantinya. Tekad Arsana sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.

Arsana mengingat-ingat jalan yang kemarin dilewatinya, hingga akhirnya sampai di sekolah tempat dia mengajar. Edward juga ada di sana dan sama-sama hendak masuk kelas.

"Selamat pagi, Bu Arsana. Anda terlihat pucat?" safa Edward.

"Mungkin saya kekurangan vitamin A, B, C, dan U," jawab Arsana.

"Apa itu vitamin U? Saya baru dengar," sahut Edward menautkan alisnya.

"Uang. Hahahaha ...." Arsana tertawa lepas seakan tak pernah merasakan sakit yang semalam menerpanya.

"Anda ternyata punya selira humor juga, ya!"

"Ya, kalau hidup lurus-lurus saja tidak seru!" timpal Arsana lalu masuk ke kelas 4, di mana para muridnya sudah menunggu.

***

Jam satu siang, Arsana sudah boleh pulang, dan waktu senggang itu dia gunakan untuk berkomunikasi dengan atasannya. Arsana diperintahkan segera mengintai gembong narkoba yang konon ada di sekitar tempat tinggalnya.

"Kamu temukan pabriknya tetapi jangan kentara, karena takut nyawamu terancam. Kamu selidiki saja dan kalau sudah menemukan tempat yang dicurigai, hubungi kami, dan tim elite dari kepolisian akan langsung terjun melakukan penangkapan."

"Siap, Komandan!" seru Arsana dan dia langsung berperan sebagai warga biasa saat hendak pulang.

"Hey, tunggu!"

Seseorang memanggilnya dan ternyata itu adalah Edward.

"Hi," safa Arsana.

"Mau pulang?" Arsana mengangguk dan mereka berjalan beriringan.

Dalam beberapa saat, tak ada yang berbicara di antara keduanya, hingga Arsana menemukan sebuah gedung usang di jalan menuju rumahnya. Arsana bahkan baru menyadari kalau di dekat rumahnya ada gedung usang itu.

"Edward, apa kamu tahu itu gedung apa?" tanya Arsana menunjuk ke arah gedung.

"Oh, itu gedung kosong dan terbengkalai," jawab Edward.

"Oh, ya? Mengapa tidak dipakai padahal gedung itu terlihat masih kokoh, kalau ada yang mengurusnya pasti takkan usang seperti itu."

Edward hanya diam, tak menanggapi perkataan Arsana yang seperti penasaran dengan keberadaan gedung itu.

"Aku mau ke sana," ucap Arsana, membuat Edward menoleh dan langsung melarangnya.

"Untuk apa? Bahaya! Takutnya di sana ada ...." Edward menggantung ucapannya.

"Ada apa? Masa bule penakut sih? Ikut, yuk," ajak Arsana dibalas gelengan oleh lelaki itu.

"Ah, cemen. Aku di sini kan Guru Relawan, selain bertugas mengajar, aku juga harus membaca situasi dan melihat keadaan. Sayang sekali kalau gedung itu kosong, aku bisa mengusulkan pada pemerintah untuk disegarkan dan dipakai kepentingan masyarakat. Iya, kan?"

Arsana berjalan menuju gedung itu, dan Edward yang juga penasaran akhirnya ikut Arsana juga.

"Huh, ikut juga kamu!" ledek Arsana.

"Aku mau melarang kamu, Bu Arsana! Konon di sana ada sebuah perkumpulan mafia, selama aku mengabdikan diri di sini, tak ada seorang pun yang berani mendekat apalagi masuk ke sana!" jelas Edward membuat Arsana tersenyum senang karena perlahan, dia menemukan titik terang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status