Plok! Plok! Plok!
Suara hentakan menggema di kamar yang menjadi saksi bisu direnggutnya kesucian Arsana yang selama ini dia jaga. Arsana hanya bisa menahan sakit dan perih, sementara Zayver bergelora di atasnya. Penuh nafsu, amarah, dan ... cemburu.Apa benar Zayver merasa cemburu?Kemurkaan seorang suami yang istrinya pulang malam bersama pria lain, apalagi namanya kalau bukan cemburu. Meskipun dalam hati Zayver, dia menyangkal perasaan itu dan menganggap bahwa hal yang wajar jika suami marah saat istrinya berbohong apalagi berkhianat.Rasa gengsi telah menutup mata hatinya, Zayver mencurahkan semua gejolak amarah itu dengan caranya sendiri, yakni menggauli sang istri tanpa ampun, tak peduli jika Arsana kesakitan karena ini adalah pertama kali dia melakukannya.Zayver menciumi seluruh tubuh Arsana dari rambut hingga kaki, lalu kembali memasukkan miliknya kedalam milik Arsana. Terkadang Arsana meronta kesakitan, Zayver akan memukulnya. Rasa sakit Arsana jadi berkali-kali lipat, dan dia hanya bisa menangis dalam kungkungan Zayver yang seperti orang kesetanan."Sebut namaku," perintah Zayver.Arsana hanya diam, tidak melihat ke arah Zayver."Sebut namaku!" bentak Zayver, tangannya mencengkram kedua pipi Arsana."Zayver," lirih Arsana."Lebih keras lagi," pinta Zayver, sambil menghentakkan pinggulnya."Zayver, ah…”"Stop, Zayver ... Ah… Ah, stop! Aku lelah," mohon Arsana, dan hal itu malah Zayver anggap sebagai sebuah permintaan.Setiap kali Arsana mengatakan sudah, maka Zayver akan kembali melakukan aksinya dengan dihiasi bumbu-bumbu kekerasan. Tamparan, jambakan, dan pukulan, Zayver menikmatinya dan dia melakukan itu semua tanpa rasa lelah. Semalaman. Hingga tubuh Arsana rasanya remuk redam, tulangnya seperti hancur, hanya tersisa daging saja."Mau lagi?" bisik Zayver dan kali ini Arsana pura-pura tidur demi menjaga tubuhnya yang seperti sekarat saking kelelahannya."Pura-pura tidur?" kekeh Zayver memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi."Arsana! Arsana!" panggilnya dengan suara keras karena dia tahu kalau istrinya itu hanya pura-pura tidur saja.Zayver lalu melangkah ke kamar mandi untuk mandi demi mengembalikan kesegarannya, karena dia ingin melakukannya lagi. Sedangkan Arsana membuka sedikit matanya, merasa lega karena akhirnya Zayver akan menyudahi aktivitas melelahkan dan menyakitkan ini. Begitu pikirnya.Namun, tanpa Arsana duga, Zayver kembali menindih tubuhnya setelah kembali dari kamar mandi. Arsana yang merasa sesak dengan tindihan itu lantas mengeluarkan suara dan membuka matanya, hingga dia dapat melihat Zayver sudah segar di atasnya. Tersenyum menyeringai, persis seperti harimau yang hendak menerkam."Masih jam setengah 3," kata Zayver membalikkan tubuh Arsana agar telungkup dan memasukkannya dengan kasar bersamaan dengan jambakkan di rambutnya.Arsana hanya bisa pasrah, karena melawan pun percuma, sebab dia hanya akan mendapat siksaan lainnya jika berani menolak.Zayver melakukannya dengan berbagai gaya, bahkan menyuruh Arsana yang pemula untuk bergerilya di atasnya. Dengan terpaksa, Arsana naik ke tubuh suaminya yang wangi sabun mandi itu dan membiarkan Zayver menghentak-hentakkan tubuhnya, sementara Arsana hanya diam saja di atas sana.Berkali-kali Zayver mengerang karena kenikmatan, berbanding terbalik dengan Arsana yang memekik kesakitan, sebab Zayver selalu melakukannya dengan kasar dan penuh kekerasan.Malam pertama yang selalu dinanti-nanti setiap pasangan suami istri malah menjadi hal yang mengerikan bagi Arsana. Hatinya jauh dari kata bahagia, dan mungkin Arsana malah trauma dan makin membenci suaminya."Apa semua perempuan mengalami hal semenyakitkan ini?" desis Arsana saat hendak bangun dari tidurnya.Arsana bangkit dari ranjang dengan hati-hati, merasa tubuhnya hancur sehingga meringis kesakitan. lalu mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Kini, waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Hampir dua belas jam Zayver mempermainkannya, dan kini lelaki itu tanpa rasa bersalah dan berdosa bisa tertidur pulas. Zayver tak melihat bercak darah di ranjangnya yang berantakan akibat ulahnya menggagahi Arsana, Zayver juga tak melihat Arsana yang kesulitan tidur saking sakit dan lelahnya.Lelaki itu hanya mendengkur, menikmati moment fly-nya setelah mengeluarkan lahar panas yang membakar rahim Arsana.***Meskipun lelah dan wajahnya terlihat pucat, tak lantas membuat Arsana lupa akan tugasnya mengajar sebagai Guru Relawan. Setelah mandi, dia bersiap dengan pakaian rapi dan meninggalkan Zayver yang masih tertidur pulas.Entah kapan suaminya itu akan bangun, Arsana tidak peduli. Dia hanya ingin melakukan tugasnya sebagai Agen Rahasia tanpa memikirkan bagaimana Zayver akan marah lagi nantinya. Tekad Arsana sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.Arsana mengingat-ingat jalan yang kemarin dilewatinya, hingga akhirnya sampai di sekolah tempat dia mengajar. Edward juga ada di sana dan sama-sama hendak masuk kelas."Selamat pagi, Bu Arsana. Anda terlihat pucat?" safa Edward."Mungkin saya kekurangan vitamin A, B, C, dan U," jawab Arsana."Apa itu vitamin U? Saya baru dengar," sahut Edward menautkan alisnya."Uang. Hahahaha ...." Arsana tertawa lepas seakan tak pernah merasakan sakit yang semalam menerpanya."Anda ternyata punya selira humor juga, ya!""Ya, kalau hidup lurus-lurus saja tidak seru!" timpal Arsana lalu masuk ke kelas 4, di mana para muridnya sudah menunggu.***Jam satu siang, Arsana sudah boleh pulang, dan waktu senggang itu dia gunakan untuk berkomunikasi dengan atasannya. Arsana diperintahkan segera mengintai gembong narkoba yang konon ada di sekitar tempat tinggalnya."Kamu temukan pabriknya tetapi jangan kentara, karena takut nyawamu terancam. Kamu selidiki saja dan kalau sudah menemukan tempat yang dicurigai, hubungi kami, dan tim elite dari kepolisian akan langsung terjun melakukan penangkapan.""Siap, Komandan!" seru Arsana dan dia langsung berperan sebagai warga biasa saat hendak pulang."Hey, tunggu!"Seseorang memanggilnya dan ternyata itu adalah Edward."Hi," safa Arsana."Mau pulang?" Arsana mengangguk dan mereka berjalan beriringan.Dalam beberapa saat, tak ada yang berbicara di antara keduanya, hingga Arsana menemukan sebuah gedung usang di jalan menuju rumahnya. Arsana bahkan baru menyadari kalau di dekat rumahnya ada gedung usang itu."Edward, apa kamu tahu itu gedung apa?" tanya Arsana menunjuk ke arah gedung."Oh, itu gedung kosong dan terbengkalai," jawab Edward."Oh, ya? Mengapa tidak dipakai padahal gedung itu terlihat masih kokoh, kalau ada yang mengurusnya pasti takkan usang seperti itu."Edward hanya diam, tak menanggapi perkataan Arsana yang seperti penasaran dengan keberadaan gedung itu."Aku mau ke sana," ucap Arsana, membuat Edward menoleh dan langsung melarangnya."Untuk apa? Bahaya! Takutnya di sana ada ...." Edward menggantung ucapannya."Ada apa? Masa bule penakut sih? Ikut, yuk," ajak Arsana dibalas gelengan oleh lelaki itu."Ah, cemen. Aku di sini kan Guru Relawan, selain bertugas mengajar, aku juga harus membaca situasi dan melihat keadaan. Sayang sekali kalau gedung itu kosong, aku bisa mengusulkan pada pemerintah untuk disegarkan dan dipakai kepentingan masyarakat. Iya, kan?"Arsana berjalan menuju gedung itu, dan Edward yang juga penasaran akhirnya ikut Arsana juga."Huh, ikut juga kamu!" ledek Arsana."Aku mau melarang kamu, Bu Arsana! Konon di sana ada sebuah perkumpulan mafia, selama aku mengabdikan diri di sini, tak ada seorang pun yang berani mendekat apalagi masuk ke sana!" jelas Edward membuat Arsana tersenyum senang karena perlahan, dia menemukan titik terang.Dengan berani, Arsana melangkah menuju gedung itu karena yakin bahwa tempat itu adalah tempat yang menjadi targetnya sekarang. Maka dari itu, Arsana tak mengindahkan perkataan Edward dan berjalan ke sana demi mengetahui, benarkah di dalam gedung tersebut ada perkumpulan mafia? Jika benar, mafia apa? Jiwa detektif Arsana meronta-ronta.Arsana sangat penasaran ada apa di dalam sana dan mengapa warga di sekitarnya tak ada yang berani masuk atau sekadar memeriksa kejanggalan yang sudah jelas-jelas terlihat."Bu Arsana, ayo, kembali saja, jangan macam-macam!" pinta Edward, akan tetapi wanita itu sama sekali tidak menggubrisnya. Dia tidak tahu, kalau bahaya sedang mengintainya.Dan benar saja, belum sempat masuk dari balik tembok gedung itu, tiba-tiba datang sekumpulan orang berjumlah tujuh orang dengan berpakaian serba hitam, menghadang Arsana dan Edward. Mereka memberi peringatan pada dua orang itu, namun Arsana malah menantangnya, membuat tujuh orang itu terpancing emosinya.“Pergi dari
Tubuhnya sedikit melemah, Arsana tidak bisa membiarkan dirinya tumbang saat ini.Arsana tidak ingin preman itu berhasil memakai tubuh nya. Akan sangat mengerikan jika itu terjadi.Arsana menahan rasa sakitnya. Tersenyum miring menatap tajam preman yang memukulnya dengan kayu. Para Preman tatkala ketakutan melihat Arsana yang belum tumbang juga. Kayu berukuran sedang itu tak mampu membuat Arsana pisan. Mereka sangat menginginkan Arsana pingsan, agar bisa memakai tubuh Arsana yang begitu menggoda. Arsana mengambil lalu menodongkan pistol yang sempat terlepas dari tangannya. Dor!Dor!Arsana membunuh semua preman tanpa menyisakan satu orang pun.Arsana menghampiri Edward yang masih saja pingsan. Arsana tidak ingin meninggalkan Edward begitu saja, lelaki itu telah baik padanya.“Edward!” Arsana membangunkannya, tetapi Edward tak kunjung bangun membuat Arsana kebingungan harus berbuat apa."Edward, Edward!" panggil Arsana lagi seraya menepuk-nepuk pipi lelaki itu."Sial! Apa aku tingg
Zayver bangkit dari atas ranjang tanpa berbicara sepatah katapun. Meraih pakaiannya lalu melempar sejumlah uang pada Arsana.Arsana mengepalkan tangannya marah pada perlakuan Zayver yang melempar uang layaknya pelacur. Arsana mengambil uang yang cukup banyak itu. Arsana beranjak dari ranjang, segera membersihkan diri. Rasa ngantuk yang sebelumnya menyerang–tak lagi dirasakannya. Arsana memilih membuka ponselnya, mengabari atasannya untuk segera mengatur tempat yang diingin Arsana. Arsana meminta pada bosnya untuk dibuatkan markas. Banyak rencana yang harus disusun secepat mungkin. Apalagi tugas Arsana sebagai agen bukan hanya satu. **** Setelah berhari-hari renovasi studio yang diinginkan Arsana, sekarang sudah siap. Arsana duduk di depan komputer yang terhubung dengan printer di sampingnya. Arsana terlihat seperti penjaga toko, begitu serius menatap komputer di depannya. Apalagi Arsana bukan hanya sekadar menjaga toko atau guru relawan, Arsana juga harus bekerja sebagai agen
Zayver menurunkan Arsana di atas ranjang. “Zayver, biarkan aku membersihkan diri terlebih dahulu.” Arsana mengira Zayver akan menerkamnya di atas ranjang seperti biasanya, tetapi dugaannya salah. Zayver kembali mengangkat Arsana membawanya ke dalam kamar mandi.Arsana menatap punggung Zayver dengan tatapan tak percaya. Zayver menyuruh Arsana membersihkan diri lalu tidur setelah makan malam. Lelaki itu tidak melakukan apa pun padanya, hanya mengobati luka lecet di kaki Arsana dan pergi begitu saja. ****Pada keesokan harinya, Arsana telah kembali bekerja.Berangkat pada pagi hari, seperti biasanya menjadi guru relawan, lalu pergi ke studio foto setelah pulang mengajar pada siang hari. Setelah tiba di studio Arsana masuk ke dalamnya, tetapi untuk saat ini Arsana masih menutup rolling door di tokonya. Ada sesuatu yang harus Arsana kerjakan. Arsana mulai masuk ke sebuah ruangan yang seharusnya dijadikan kamar tidur, tetapi karena tidak tinggal di sana–sehingga Arsana merubahnya me
“Zayver,” Arsana meminta Zayver untuk berhenti. Arsana terlalu penasaran dengan darah yang ada di tangannya. Jika itu darah miliknya tidak mungkin Arsana tidak merasakan sakit. “Diamlah! Dan ikuti permainanku.” bentak Zayver“tapi-” Lagi-lagi Zayver membungkam Arsana dan melepaskan semua yang menempel di tubuh Arsana. Arsana menautkan keningnya, melihat Zayver tak seperti biasanya. Zayver tidak melepaskan pakaian hitam yang kini sedang dipakainya. Apa yang terjadi dengannya?Arsana terus bertanya-tanya, menatap ke arah dada Zayver tetapi sialnya baju hitam itu tidak bisa memperlihatkan apa yang ingin Arsana lihat. Arsana menjulurkan tangannya hendak menyentuh dada Zayver. Bless! “Ah!” Zayver telah lebih dahulu menghentakkan beda yang telah mengeras itu ke dalam milik Arsana. Zayver mencengkram erat tangan Arsana yang ingin menyentuhnya. Dalam keadaan terluka, Zayver berusaha keras untuk menyembunyikan luka gores yang disebabkan oleh pisau. Zayver tidak ingin Arsana mengeta
"Aku sudah memberitahumu, kau melupakannya ciuman dariku. Sekarang pergilah!" titah Zayver, memberikan sebuah kunci mobil ke tangan Arsana, setelah selesai mencium bibir Arsana. Arsana melihat kunci mobil, matanya membesar melihat kunci mobil yang Arsana tahu jika mobil yang diberikan Zayver adalah mobil anti peluru."Zayver ini—" perkataan Arsana terpotong dengan ucapan Zayver."Pakai mobil ini dan jangan pulang melewati jam yang aku tentukan. Untuk beberapa hari ini, aku harus kembali pulang. Ada urusan kantor yang harus aku selesaikan di sana, dan aku akan kembali ke sini lagi setelah selesai. Jadi aku tidak akan mengajakmu pulang. Kita akan tinggal cukup lama di sini."Arsana seperti mendapatkan lotre, inilah kesempatan yang Arsana tunggu. Arsana memasang wajah tanpa ekspresi apa pun, walaupun di dalam hatinya ingin sekali berjingkrak-jingkrak karena Zayver akan pulang ke kotanya terlebih dahulu."Jadi, aku sendirian di sini?" Arsana berpura-pura seolah-olah tidak mau ditinggal s
Arsana masih sibuk berada di ruangan rahasia, bahkan studio foto tidak dibuka olehnya. Arsana masih berusaha mencari bukti yang harus di dapatkannya. Mata Arsana tiba-tiba tak sengaja melihat burger yang ada di samping laptop dengan gambar burger yang ada di laptopnya. Gambar burger yang di laptopnya adalah burger pertama saat di restoran dan burger yang di sampingnya saat ini adalah burger kedua. Arsana melihat burger yang ada di dalam laptop tersebut sangat berbeda dengan yang dibawa pulang olehnya. “Ternyata mereka punya dua bahan utama? mengapa aku baru kepikiran sekarang.” monolog Arsana, sambil terus menatap burger yang ada di dalam laptopnya. Burger itu terlihat pucat keabu-abuan, sedangkan daging sapi yang ada di dalam burger kedua terbuat dari daging sapi asli.Arsana tersenyum senang, tidak sia-sia seharian berada di ruang rahasia nya. ****Arsana telah tiba di vila milik Zayver, mata Arsana membulat melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.“Arsana!” Matteo terkejut
Arsana mengikat rambut hitamnya dengan wajah yang kini dipoles dengan make-up tebal, membuat wajah Arsana selalu terlihat berbeda ketika menggunakan make-up.Arsana tidak pernah menggunakan make-up kecuali jika sedang menjalankan misi atau bertugas."Apa yang sebenarnya harus kita bantu?" tanya Zahra, yang baru saja bangun dari tempat tidur Arsana."Aku ingin kalian membantu saya mengalihkan perhatian penjaga yang berada di depan," kata Arsana."Arsana, sejak kapan kamu kesulitan menghadapi penjaga di depan?" canda Zahra sambil tersenyum."Sejak aku menikah dengan Zayver! Apakah kamu tidak melihat berapa banyak penjaga di depan gerbang pada malam hari?" tanya Arsana.Zahra dan Leana mencoba mengintip dari balkon kamar Arsana dan terkejut melihat beberapa penjaga yang berada di depan gerbang."Astaga, ternyata Zayver sangat ketat menjaga istrinya," kata Leana dalam monolognya."Tadi siang tidak sebanyak ini," Zahra terlihat heran dengan banyaknya penjaga yang Zayver tugaskan di rumah