Tubuhnya sedikit melemah, Arsana tidak bisa membiarkan dirinya tumbang saat ini.
Arsana tidak ingin preman itu berhasil memakai tubuh nya.
Akan sangat mengerikan jika itu terjadi.
Arsana menahan rasa sakitnya. Tersenyum miring menatap tajam preman yang memukulnya dengan kayu.
Para Preman tatkala ketakutan melihat Arsana yang belum tumbang juga. Kayu berukuran sedang itu tak mampu membuat Arsana pisan. Mereka sangat menginginkan Arsana pingsan, agar bisa memakai tubuh Arsana yang begitu menggoda.
Arsana mengambil lalu menodongkan pistol yang sempat terlepas dari tangannya.
Dor!
Dor!
Arsana membunuh semua preman tanpa menyisakan satu orang pun.
Arsana menghampiri Edward yang masih saja pingsan. Arsana tidak ingin meninggalkan Edward begitu saja, lelaki itu telah baik padanya.
“Edward!”
Arsana membangunkannya, tetapi Edward tak kunjung bangun membuat Arsana kebingungan harus berbuat apa.
"Edward, Edward!" panggil Arsana lagi seraya menepuk-nepuk pipi lelaki itu.
"Sial! Apa aku tinggalkan saja di sini, ya?" gumam Arsana, akan tetapi dia tak tega.
Arsana mencoba mencari air untuk menyiram wajah Edward, sampai tetapi Edward tak kunjung membuka matanya.
“Ayolah Edward bangun! Kamu akan mati di sini jika belum bangun juga.” Arsana kembali menepuk pipi Edward.
Arsana sangat yakin nanti akan ada banyak preman yang datang. Suara tembakan itu akan memanggil mereka datang ke gudang. Arsana tidak akan sanggup lagi melawan mereka.
Arsana terpaksa menggendong Edward sampai ke mobilnya, membawa mobil Edward kerumah sakit.
Arsana melihat jam di tangannya, “Sial! Zayver pasti sudah pulang.” Arsana bermonolog sendiri lalu beranjak pergi dari rumah sakit tanpa menunggu Edward sadar.
Arsana berdiri di depan gerbang yang menjulang tinggi. Vila milik Zayver begitu besar. Arsana begitu gelisah berdiri di depan gerbang, Arsana terlihat kebingungan mencari alasan yang tepat bila Zayver bertanya tentangnya.
Hari mulai gelap, Arsana dengan langkah kaki terasa berat masuk kedalam.
“Dari mana saja kamu Arsana?!” teriak Zayver yang berada di meja bar, tak jauh dari Arsana.
Zayver meneguk segelas wine dari gelas kecil sekaligus. Zayver melempar gelas itu kesembarangan arah.
Tatapan tajamnya begitu menusuk ke arah Arsana. Berjalan mendekati Arsana menarik Arsana dan menyeretnya ke dalam kamar.
Arsana belum sempat mencari alasan Zayver sudah membungkam bibirnya. Ciuman itu sangat kasar dan Arsana tidak menyukainya, belum lagi bau alkohol yang menyeruak di hidungnya.
Zayver mendorong Arsana ke atas ranjang, hingga terjerembab
“Zayver, mengapa kamu sangat kasar sekali. Sakit!”
Arsana memasang mimik cemberut, merapikan rambutnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.
Belum juga selesai Zayver menindih tubuh Arsana dengan kedua tangannya yang ditahan di samping kanan dan kiri.
"Apa peduliku, hah?! Beraninya kamu keluyuran sampai larut malam." bentak Zayver sampai rahangnya mengeras.
“Zayver, aku bosan berada di dalam rumah terusmenerus. Aku seorang fotografer dan aku perlu kebebasan, itu pekerjaanku sebelum menikah denganmu. Lagi pula pernikahan ini bukan keinginan kita.”
Belum sempat Zayver membalas perkataan Arsana. Arsana telah kembali berkata, “Oh! Aku tahu mengapa sikapmu seperti suami yang takut kehilangan istrinya. Apa kau memang menganggapku sebagai istri sahmu Zayver?”
Arsana tertawa mengejek, di saat Zayver terdiam.
Zayver sendiri tidak tahu dengan sikapnya.
Bukankah dia menyukai Arsina? Lantas apa pedulinya pada Arsana?
Plak!
Zayver menampar Arsana yang sedang menertawakannya.
“Berani sekali kamu tertawa!”
Zayver mencengkram kedua pipi Arsana
“Dengarkan aku baik-baik. Aku hanya menginginkan tubuhmu saja! Tidak ada yang lain dan kau memang istri sahku. Jadilah istri yang penurut atau kau akan menjanda.”
Zayver melepaskan cengkramannya dengan kasar. Melepas semua pakaian yang melekat pada Arsana.
Brett!
Zayver merobek kancing kemejanya dengan sekali tarikan.
Bless!
Zayver menerobos pertahanan Arsana dengan sekaligus.
“Sakit! Bisakah kamu pelan-pelan saja?!”
Zayver mana peduli dengan keluhan Arsana. Zayver hanya menikmati apa yang dirasakannya saat ini.
Air mata Arsana terus saja keluar membasahi kedua pipinya yang bercampur dengan keringat, merasakan setiap hentakan yang keras diiringi dengan irama yang teratur.
Arsana bukanlah wanita yang mudah menangis, kecuali berhadapan dengan lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Arsana benar-benar lemah tak berdaya.
Arsana bisa saja berontak melawan Zayver, tetapi percuma saja Zayver telah berhasil merenggut kesuciannya kemarin malam. Arsana hanya pasrah menikmati setiap sentuhan Zayver yang kejam.
Zayver menarik kasar rambut Arsana, membalik tubuhnya berulang kali Arsana seperti babi guling yang dipanggang di atas bara api. Kulit Arsana yang putih dibuat memerah akibat tamparan Zayver berulang kali.
“Zayver, hentikan!” Arsana meminta Zayver untuk berhenti.
Arsana merasa muak dengan perlakuan Zayver padanya. Arsana makin benci Zayver. Berjam-jam Zayver melakukannya.
“Sebut namaku.”
Arsana tidak menuruti perintah Zayver. Sejak tadi mata Arsana sudah terpejam. Arsana tidak ingin melihat wajah Zayver yang terus menatap padanya.
Arsana terpekik Zayver mencengkram lehernya cukup kuat hanya dengan satu tangan. Zayver mencekik leher Arsana tanpa berhenti menggerakkan pinggangnya.
“Le-lepaskan tanganmu.” suara Arsana terbata-bata.
“Sebut namaku Arsana! Apa kamu tuli?!” bentak Zayver.
Arsana memegang tangan Zayver, menarik cengkramannya yang tidak bisa lepas.
“Lepaskan tanganmu terlebih dahulu.”
Zayver melepaskannya. Tenggorokan Arsana terasa tidak nyaman. Arsana berusaha menuruti apa kata Zayver, tidak ingin Zayver mencekiknya lagi.
“Zayver.”
“Sekali lagi!”
“Zayver–Ah!”
Arsana merasakan hentakan yang begitu dalam. Zayver mengerang di saat cairan kental itu telah menyembur di dalam rahim Arsana. Tubuh besarnya ambruk seketika.
Arsana menggulingkan Zayver ke samping, setelah beberapa saat membiarkan Zayver tertidur di atasnya.
Dengan hati-hati Arsana hendak turun dari atas ranjang.
“Ah …” Arsana terkejut dengan ulah Zayver.
Zayver menari tangan Arsana sampai kembali tertidur di sampingnya, memeluk Arsana dengan erat.
“Zayver apa yang kamu lakukan? lepas!”
“Biarkan aku memelukmu.” lirih Zayver.
Arsana terdiam, baru kali ini Arsana mendengar suara Zayver berkata lembut padanya.
“Zayver, kamu mengizinkan aku keluar rumah-kan? Aku hanya ingin melihat keindahan tempat-tempat yang ada di sini.”
Zayver membuka matanya, melihat Arsana dengan tatapan seakan ingin menerkamnya kembali.
“Arsana, apa kau tidak tahu di mana kita sekarang?”
“Ya, aku tahu kita berada di pelosok.”
“Bagaimana jika nanti bertemu dengan babi hutan?” Zayver mencoba menakuti Arsana.
“Oh, aku akan say hello …”
Zayver mendengus dengan jawaban Arsana yang tidak memuaskan.
“Ada apa? Apa kamu sedang khawatir kepadaku?”
“Arsana, kau pikir aku peduli?! Sudah aku katakan sebelumnya aku hanya menginginkan tubuhmu.”
“Baiklah! jika begitu, kamu telah memberiku izin. Sekarang berikan aku uangmu, aku akan membuka studio foto di sini untuk pekerjaan sampinganku.” ucap Arsana dengan percaya diri.
“Itu tidak akan laku.” Zayver meremehkan niat Arsana.
“Tidak masalah, lagi pula pekerjaan ini aku anggap sebagai hobiku. Aku akan membuka studio disaat aku sedang mengedit foto klienku.” Arsana terus mencoba menyakinkan Zayver agar bisa terbebas pada siang hari. Arsana memiliki tujuan yang harus segera diatur.
Zayver bangkit dari atas ranjang tanpa berbicara sepatah katapun. Meraih pakaiannya lalu melempar sejumlah uang pada Arsana.Arsana mengepalkan tangannya marah pada perlakuan Zayver yang melempar uang layaknya pelacur. Arsana mengambil uang yang cukup banyak itu. Arsana beranjak dari ranjang, segera membersihkan diri. Rasa ngantuk yang sebelumnya menyerang–tak lagi dirasakannya. Arsana memilih membuka ponselnya, mengabari atasannya untuk segera mengatur tempat yang diingin Arsana. Arsana meminta pada bosnya untuk dibuatkan markas. Banyak rencana yang harus disusun secepat mungkin. Apalagi tugas Arsana sebagai agen bukan hanya satu. **** Setelah berhari-hari renovasi studio yang diinginkan Arsana, sekarang sudah siap. Arsana duduk di depan komputer yang terhubung dengan printer di sampingnya. Arsana terlihat seperti penjaga toko, begitu serius menatap komputer di depannya. Apalagi Arsana bukan hanya sekadar menjaga toko atau guru relawan, Arsana juga harus bekerja sebagai agen
Zayver menurunkan Arsana di atas ranjang. “Zayver, biarkan aku membersihkan diri terlebih dahulu.” Arsana mengira Zayver akan menerkamnya di atas ranjang seperti biasanya, tetapi dugaannya salah. Zayver kembali mengangkat Arsana membawanya ke dalam kamar mandi.Arsana menatap punggung Zayver dengan tatapan tak percaya. Zayver menyuruh Arsana membersihkan diri lalu tidur setelah makan malam. Lelaki itu tidak melakukan apa pun padanya, hanya mengobati luka lecet di kaki Arsana dan pergi begitu saja. ****Pada keesokan harinya, Arsana telah kembali bekerja.Berangkat pada pagi hari, seperti biasanya menjadi guru relawan, lalu pergi ke studio foto setelah pulang mengajar pada siang hari. Setelah tiba di studio Arsana masuk ke dalamnya, tetapi untuk saat ini Arsana masih menutup rolling door di tokonya. Ada sesuatu yang harus Arsana kerjakan. Arsana mulai masuk ke sebuah ruangan yang seharusnya dijadikan kamar tidur, tetapi karena tidak tinggal di sana–sehingga Arsana merubahnya me
“Zayver,” Arsana meminta Zayver untuk berhenti. Arsana terlalu penasaran dengan darah yang ada di tangannya. Jika itu darah miliknya tidak mungkin Arsana tidak merasakan sakit. “Diamlah! Dan ikuti permainanku.” bentak Zayver“tapi-” Lagi-lagi Zayver membungkam Arsana dan melepaskan semua yang menempel di tubuh Arsana. Arsana menautkan keningnya, melihat Zayver tak seperti biasanya. Zayver tidak melepaskan pakaian hitam yang kini sedang dipakainya. Apa yang terjadi dengannya?Arsana terus bertanya-tanya, menatap ke arah dada Zayver tetapi sialnya baju hitam itu tidak bisa memperlihatkan apa yang ingin Arsana lihat. Arsana menjulurkan tangannya hendak menyentuh dada Zayver. Bless! “Ah!” Zayver telah lebih dahulu menghentakkan beda yang telah mengeras itu ke dalam milik Arsana. Zayver mencengkram erat tangan Arsana yang ingin menyentuhnya. Dalam keadaan terluka, Zayver berusaha keras untuk menyembunyikan luka gores yang disebabkan oleh pisau. Zayver tidak ingin Arsana mengeta
"Aku sudah memberitahumu, kau melupakannya ciuman dariku. Sekarang pergilah!" titah Zayver, memberikan sebuah kunci mobil ke tangan Arsana, setelah selesai mencium bibir Arsana. Arsana melihat kunci mobil, matanya membesar melihat kunci mobil yang Arsana tahu jika mobil yang diberikan Zayver adalah mobil anti peluru."Zayver ini—" perkataan Arsana terpotong dengan ucapan Zayver."Pakai mobil ini dan jangan pulang melewati jam yang aku tentukan. Untuk beberapa hari ini, aku harus kembali pulang. Ada urusan kantor yang harus aku selesaikan di sana, dan aku akan kembali ke sini lagi setelah selesai. Jadi aku tidak akan mengajakmu pulang. Kita akan tinggal cukup lama di sini."Arsana seperti mendapatkan lotre, inilah kesempatan yang Arsana tunggu. Arsana memasang wajah tanpa ekspresi apa pun, walaupun di dalam hatinya ingin sekali berjingkrak-jingkrak karena Zayver akan pulang ke kotanya terlebih dahulu."Jadi, aku sendirian di sini?" Arsana berpura-pura seolah-olah tidak mau ditinggal s
Arsana masih sibuk berada di ruangan rahasia, bahkan studio foto tidak dibuka olehnya. Arsana masih berusaha mencari bukti yang harus di dapatkannya. Mata Arsana tiba-tiba tak sengaja melihat burger yang ada di samping laptop dengan gambar burger yang ada di laptopnya. Gambar burger yang di laptopnya adalah burger pertama saat di restoran dan burger yang di sampingnya saat ini adalah burger kedua. Arsana melihat burger yang ada di dalam laptop tersebut sangat berbeda dengan yang dibawa pulang olehnya. “Ternyata mereka punya dua bahan utama? mengapa aku baru kepikiran sekarang.” monolog Arsana, sambil terus menatap burger yang ada di dalam laptopnya. Burger itu terlihat pucat keabu-abuan, sedangkan daging sapi yang ada di dalam burger kedua terbuat dari daging sapi asli.Arsana tersenyum senang, tidak sia-sia seharian berada di ruang rahasia nya. ****Arsana telah tiba di vila milik Zayver, mata Arsana membulat melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.“Arsana!” Matteo terkejut
Arsana mengikat rambut hitamnya dengan wajah yang kini dipoles dengan make-up tebal, membuat wajah Arsana selalu terlihat berbeda ketika menggunakan make-up.Arsana tidak pernah menggunakan make-up kecuali jika sedang menjalankan misi atau bertugas."Apa yang sebenarnya harus kita bantu?" tanya Zahra, yang baru saja bangun dari tempat tidur Arsana."Aku ingin kalian membantu saya mengalihkan perhatian penjaga yang berada di depan," kata Arsana."Arsana, sejak kapan kamu kesulitan menghadapi penjaga di depan?" canda Zahra sambil tersenyum."Sejak aku menikah dengan Zayver! Apakah kamu tidak melihat berapa banyak penjaga di depan gerbang pada malam hari?" tanya Arsana.Zahra dan Leana mencoba mengintip dari balkon kamar Arsana dan terkejut melihat beberapa penjaga yang berada di depan gerbang."Astaga, ternyata Zayver sangat ketat menjaga istrinya," kata Leana dalam monolognya."Tadi siang tidak sebanyak ini," Zahra terlihat heran dengan banyaknya penjaga yang Zayver tugaskan di rumah
Orang itu kembali menyerang menyerang Arsana dengan naik ke atas meja menyebabkan, kepala orang yang sudah terpotong dibunuhnya menggelinding terjatuh ke lantai. Arsana segera menghindar menjauhi pisau yang terus saja mengarah padanya. Dor! Arsana menembak ke arah tangan orang itu di saat pisau hampir saja melayang ke arahnya, beruntung arah sana bisa menghindarinya.Arsana kembali menembak kedua kaki orang itu untuk melumpuhkan nya. “Arghhhhh…” orang yang terlihat seperti psikopat itu mengerang kesakitan. Arsana segera memborgol kedua tangannya. Walaupun Arsana tahu orang itu tidak akan bisa melarikan diri lagi. Arsana dengan cepat menghubungi atasannya, mengirim semua bukti-bukti yang telah di fotonya sebagai barang bukti dan juga tanda jika tugasnya telah selesai memecahkan kasus tersebut. Arsana segera pergi saat polisi yang dikirim oleh atasannya dalam perjalanan. Arsana tidak perlu ikut campur lagi, setelah misinya selesai–itu sudah bukan urusannya lagi. ****Pagi hari b
Zayver mencium Arsana dengan kasar. Setelah merasa puas, Zayver melepaskannya. "Seperti ini lebih baik!" ucapnya, lalu menarik tangan Arsana keluar dari kamar.Di sepanjang jalan, Arsana terus saja cemberut. Arsana menyesal telah memakai make-up, terutama lipstik. Jika pada akhirnya, Zayver menghapusnya."Tersenyumlah, atau aku akan semakin merusak riasanmu itu." Zayver berbicara tanpa melihat ke arah Arsana yang berada di sampingnya. Dia hanya fokus pada jalanan yang begitu gelap.Arsana dengan cepat merubah raut wajahnya."Zayver, kita akan pergi kemana? Ini sudah terlalu malam," tanya Arsana. Sejak tadi, Arsana dibuat penasaran karena tidak biasanya Zayver mengajaknya keluar pada malam hari. Apalagi jalanan dari vila milik Zayver menuju jalan raya cukup jauh dan mereka harus melewati jalanan yang gelap dengan pohon-pohon lebat di sekitarnya."Kamu akan tahu nanti."Arsana tidak puas dengan jawaban Zayver, tetapi dia tidak ingin bertanya apa-apa lagi.Beberapa saat kemudian, mereka