Aku kembali menuju ruang tengah menemui ayah. Dia sedang asyik bersandar pada sofa sambil menonton televisi. Kuberjalan mendekatinya dan duduk pada sofa di sampingnya. Masih menimbang bagaimana memberitahukan ayah mengenai kabar dari Hana.
“Re, pijitin lengan ayah, pegel abis nyetir,” ucapnya sambil menaruh satu tangannya di pangkuanku. Aku mengambil lengannya kemudian memijitnya perlahan.
“Yah … aku sambil teleponin Mas Indra, ya … katanya dia mau ngobrol sama ayah, minta maaf juga ga bisa cuti sedang cut off gaji katanya,” satu tanganku berselancar pada layar ponsel dan mencari nomor suamiku.
Tidak lama panggilan terhubung.
“Assalamuálaikum Mas, ini ayah sudah datang, mau bicara kan?”
“Waálaikumsalam Sayang, iya mana?”
Kusegera memberikan ponsel pada ayah. Na
Baru saja hendak duduk , terdengar suara seseorang mengucap salam. Aku bergegas menuju pintu. Terlihat Mas Indra sudah berada di teras dan sedang berjongkok melepas sepatunya.“Mas, kho udah pulang?”“Kamu ga kenapa-kenapa ‘kan, Res?”Mas Indra menatapku cemas. Aku menggeleng sambil mengulas senyum menenangkannya. Kuraih tangannya untuk cium tangan seperti biasa. Mas Indra mengusap pucuk kepalaku.“Ayah gak apa-apa ‘kan, Res?” tanyanya sambil mendahuluiku masuk ke dalam."Engga, Mas."“Lho, kho pulang Ndra?” tanya ayah yang sedang mengobrol dengan Pak RT.“Iya, Yah! Eh, ada Pak RT juga?” Mas Indra menyalami Pak RT. Kemudian dia mengambil tempat duduk pada sofa yang kosong.“Kamu kho pulang, Ndra? Bukannya tadi ada pekerjaan urgent katanya?&r
Jangan lupa tap love dulu ya... Happy Reading!“Ya Tuhaaan ... jangan sampai Mas Indra mau mundur dan menceraikanku, aku mencintainya Ya Tuhaaan ... please Mas, jawab, Mas ...,” batinku berguruh sambil menunduk. Sementara bola bening ini sudah terasa panas berair. Aku benar-benar takut Ya Tuhan.“Aku memilih Resti bukan atas latar belakangnya, tetapi atas apa yang ada pada dirinya, jadi apapun yang terjadi aku tidak peduli, Yah! Kaya, miskin, cerdas, bodoh, tidak lagi menjadi ukuran. Cinta tidak membutuhkan semua itu untuk bertahan,” kudengar Mas Indra mengucapkannya dengan jelas. Satu bulir bening dari netraku terjatuh. Aku merasa lega.“Tapi, biarkan kami menjalani kehidupan kami seperti sebelumnya,” ucapnya lagi.“Maksud kamu?” Ayah mengerutkan dahi dan bertanya.“Biarkan kami hidup seperti i
"Mas! Ih, jawab dong ....”Kurasa dia merenggangkan pelukannya. Dia mencakup kedua pipiku dan menatapku tajam. Beberapa kali menarik nafas panjang.“Mas kenapa kamu kayak gitu? Ada apaan Mas, jangan buat aku takut!” Aku menatap lekat wajah Mas Indra.“Ayah memberiku pilihan yang sulit, bertahan dengan pilihanku atau bertahan denganmu? Jika aku tetap memilih bertahan dengan pilihanku ... maka ayah memintaku untuk menceraikanmu,” ucapnya terjeda. Hatiku bergemuruh semakin hebat. Tenggorokanku seakan kering dan tak bisa berkata-kata.“Lalu, kamu bersedia Mas?” Akhirnya dengan susah payah, aku bisa melontarkan sebuah pertanyaan untuknya. Mas Indra menatapku tajam.“Kalau aku memberimu pilihan, kamu mau pilih mana? Ayahmu dengan hartanya atau aku dengan kehidupan seperti ini?” Mas Indra memberikan pertanyaan
Aku masih memandang tajam istrinya. Ah akhirnya dia melirikku juga. Namun apa itu, tak kulihat sedikitpun sorot penyesalan dan ketulusan dari tatap matanya. Dia tidak lebih hanya terlihat seperti maling yang sedang tertangkap. Sebetulnya permintaan maaf ini tulus atau rekayasa hanya karena dia takut akan tuntutan ayah?“Mah, ayo dong! Bicara sama Mba Resti, minta maaf!” Kulihat Pak Dermawan pun tidak nyaman dengan sikap istrinya yang masih bungkam.“Hmmm ... saya minta maaf!” ucapnya tanpa menatapku.“Bu Minah minta maaf pada siapa?” Selidikku, dengan tajam aku menatapnya. Dia menghela nafas, seolah permintaan maaf ini sebuah beban.“Saya minta maaf sama Mba Resti, tolong maafkan saya!” ucapnya, kembali tanpa menoleh sedikitpun.Aku sebetulnya bisa saja langsung memaafkan dia. Namun gaya angkuhnya dalam meminta maa
Sebuah desain rumah tiga lantai lengkap dengan kolam renang dan konsep taman terbuka. Megah, mewah dan unik. Ayah persembahkan untuk area bermain Dinda.“Ayah memohon agar kita tidak menolak ini, sebelum dia pensiun dari dunia bisnis, dia ingin memberikan fasilitas terbaik untuk cucunya,” ucap Mas Indra menjawab atas tatapanku yang membuatnya menerima .Ibu mertuaku terlihat paling bahagia. Dia memeluk Mas Indra dan menepuk-nepuk bahunya.***Sebulan berlalu. Rumah yang kutinggali sudah mencapai tujuh puluh persen renovasi. Aku tidak mau mengubah apapun di lantai bawah. Untuk tambahan fasilitas lainnya biar saja di lantai dua dan tiga. Ayah berkeras ingin memasang lift agar mudah akses naik turun. Aku tidak peduli, toh satu kamar saja bagiku sudah cukup.Rumah type 120 ini kini menjadi tiga kali lipat luasnya. Ada tambahan bangunan seluas
"Apakah lelaki yang kucintai ini benar-benar mengkhianatiku?” Tetesan bening mulai merembes tanpa kompromi. Aku masih mamatung menatap bercak merah di leher suamiku.Tidak terasa sesak ini berubah menjadi isak. Mas Indra sepertinya terganggu dengan isakanku. Dia mengerjap membuka matanya. Tangannya bergerak, menggamit jemariku.“Kamu, kenapa nangis?” tanyanya.“Mas, udah bangun? Kamu kemana semalem?” Aku menatapnya tajam. Mas Indra menggeliat sambil memijit kepalanya.“Emhhh, ada sedikit masalah, aku tidur di apartemen Rafa,” jawabnya.“Tapi Rafa bilang kamu masih meeting dengan klien?” selidikku.“Emhh, itu maksudku sehabis meeting aku ke apartement Rafa karena kepalaku pusing banget, telat makan waktu siang, kan meetingnya emang deket situ," ucapnya sambil mencoba bersandar.
[Salah satu hal terbaru yang mecurigakan adalah transaksi untuk perombakan rumah atas nama seorang wanita, Haminah.][Haminah? Kenapa namanya mirip tetangga sebelah, ya?] Tapi urusanku belum selesai. Aku tidak mau mengurusi orang lain dulu.[Emang cuma ada satu nama Haminah di dunia ini, Res? ][Engga sih, eh ... itu ketauannya gimana?] tanyaku.[ART di rumah menemukan kwitansi di saku bokap, ya pastilah dikasih ke nyokap.][Kalau di rumah ada perubahan yang signifikan ga, Din? Yang dulu Lu pernah lihat aja waktu bokap Lu selingkuh pas kita masih unyu-unyu.][Engga sih, Res! Justru di rumah menjadi lebih perhatian. Mungkin buat nutupin kesalahannya dia diluar kali, ya?][Kalau emang sudah perhatian dari awal, susah dong, ya?][Maksudnya, Res?][Hmmm ... gini deh! Gue mau cerita,
Ya Tuhaaan, aku sudah tak tahan. Biar sore ini aku tanyakan sekalian tentang nota tagihan itu padanya. Aku menjadi selalu dihantui rasa takut jika seperti ini. Benar-benar takut orang yang kucintai sudah berubah.Setelah Dinda selesai berenang, aku segera memandikannya. Mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Putriku terlihat lelah, karenanya aku segera menidurkannya.Selama Dinda tidur, aku menyiapkan tas sekaligus memasukan nota-nota barang bukti untuk bertanya langsung pada Mas Indra sore nanti. Bagaimanapun perhatiannya kali ini benar-benar membuatku curiga.Menjelang pukul tiga sore, seperti biasa. Aku memasak dan menyiapkan hidangan makan malam untuk Mas Indra. Setelah itu berdandan dan memandikan Dinda. Aku dan Dinda harus sudah bersiap sebelum Mas Indra datang. Agar waktu yang kami gunakan bisa efektif.Waktu menunjukkan pukul lima lewat seperempat ketika klakson mobil Mas Indr