Aku menoleh pada Bu RT yang nyengir kuda merasa bersalah. Bagaimana dia bisa memberikan namaku untuk di umumkan. Dua mata langsung menuju padaku. Mata penuh kekesalan dari Bu Minah yang sudah senyum-senyum sendiri berharap namanya yang di sebut. Dan tatapan heran dari suamiku yang memang tidak aku kasih tahu berapa nominal yang kusumbangkan.
Seketika wajah ceria Bu Minah berubah merah padam. Bagaimanapun dia sudah sejak tadi bersiap menjadi ratu dalam acara ini, tiba-tiba harapannya terpatahkan oleh satu kalimat pendek dari pembawa acara. Sang Nyonya Manager langsung mengayun langkah cepat menuju ke arah Bu RT yang masih menatapku sambil garuk-garuk kepala tak gatal.
Aku menunduk, pikiranku langsung merangkai kalimat jika Mas Indra kemudian mencari tahu berapa jumlah nominal yang kusumbangkan.
“Coba saya lihat rekapan penyumbang dananya? Saya mau nama saya jadi penyumbang terbesar dalam acara ini, masa yang suaminya manager kalah sama yang suaminya staff biasa?” cebiknya sambil merebut kertas catatan donasi acara dari tangan Bu RT. Suaranya terdengar cukup lantang sehingga bisa didengar oleh semua hadirin yang sudah berada di ruangan.
“Silakan, Bu ... dengan senang hati.” Kudengar Bu RT menjawab dengan tenang.
Aku menoleh pada mereka berdua yang berjarak beberapa meter dariku. Terlihat wajah Bu Minah yang awalnya merah padam seketika memucat. Aku sudah menduga, bagaimanapun dia tidak akan menyangka melihat angka sebanyak itu atas namaku. Aku tak hendak memberikan penjelasan apapun ketika Nyonya Manager itu melihat ke arahku.
Dia memicingkan mata curiga. Siapapun mungkin akan berpikir demikian ketika tidak tahu siapa aku sebenarnya. Dari mana uang sebanyak itu aku dapatkan. Semua sudah terjadi, mungkin Bu RT lupa akan pesanku untuk tidak menyebut namaku sebagai pemberi donasi terbesar. Sekarang sudah tanggung kepalang, mungkin sedikit memberi sentuhan biar ada kesan yang tak terlupakan untuk tetanggaku yang paling merasa kaya.
“Gimana Bu Min? Jadi diubah datanya? Gampang, tinggal tambahin aja nominalnya berapa ke Bu RT, biar acaranya bisa segera dimulai!” ucapku dengan suara yang keras membuat semua mata hadirin ikut menuju arah yang kutatap.
Bu Minah melemparkan kertas rekapan donasi dan melengos pergi. Aku melirik ke arah Bu RT, ada senyum yang tersungging di bibirnya. Aku hanya menggeleng kepala. Kemudian aku memberikan isyarat pada pembawa acara untuk meneruskan.
“Baiklah, demi mempersingkat waktu ... acara mari kita lanjutkan dengan sambutan-sambutan. Sambutan yang pertama dari Bapak Ustadz Haqi ketua DKM masjid Nurul Iman, untuk yang kedua dari Bapak Muhidin selaku RT sekaligus penanggung jawab acara, kemudian yang ketiga dari Bapak Dermawan perwakilan dari pengelola panti asuhan –.”
“Eh, Mas pembawa acara! Suami saya ‘kan manager, masa ditaruh diurutan paling belakang? Di mana-mana yang paling berperan yang duluan! Masa manager sama RT duluan RT?” Suara nyaring Bu Minah yang membuat semua orang menoleh.
Wajah pucatnya yang tadi sudah tidak terlihat lagi. Secepat itu moodnya berubah. Kedua tangannya bersilang di dada memperlihatkan gelang-gelang emas koleksinya yang dipakai semua.
Sementara dia menjadi sorotan, aku melirik Pak Dermawan yang duduk terpisah dan sedang mengarahkan beberapa anak yatim yang masih saja bandel berlari-larian. Terlihat raut wajahnya berubah menahan malu, dia menggeleng-geleng kepala sambil menatap ke arah Bu Minah yang duduk berbaur dengan kaum hawa.
Pembawa acara terlihat bingung. Sebenarnya urutan tersebut bukan karena kasta atau golongan. Karena memang ya, tidak bisa tiga orang maju bersamaan, logis jika kemudian yang maju berurutan.
Aku sudah tidak mempedulikan Mas Indra yang ada dibarisan kaum bapak-bapak. Ceramah, ya ceramalah toh sudah biasa. Aku berdiri dan menatap Bu Minah penuh genderang perang.
“Bu, Minah! Tolong hargai urutan acara yang sudah disiapkan panitia, bukan bermaksud membeda-bedakan, tapi coba Ibu pikir, apakah bisa ketiga orang maju bersamaan? Kalau grup lawakan bisa, tapi ini acara sakral, tolong hargai!"
Matanya menatapku tajam. Ah, sudah terlanjur berseteru biar saja, nanti tinggal cari alasan untuk menghindari kultum dari Mas Indra.
“Mbak Resti, jangan mentang-mentang jadi donatur terbesar acara ya, bisa seenaknya ... jangan-jangan kamu bisa ngasih juga, itu uang hasil korupsi,” ucapnya dengan raut wajah judes maksimal.
Eh, rupanya bener-bener mau mengajak ribut. Aku sudah hendak menjawab dengan meninggikan lagi satu oktaf. Tapi sebuah tepukan dari belakang membuatku mengurungkan niat. Mas Indra sudah berdiri di sampingku dan memberikan isyarat untuk diam.
“Sssst ....”
Dia menempelkan satu telunjuk di bibirnya. Kemudian mendudukanku perlahan. Dia ambilkan air mineral dalam kemasan dan memberiku minum.
“Tenang, jangan bikin ribut, malu ... duduklah! Kalau marah sedang berdiri maka harus duduk ... biar kadarnya berkurang.” Tuturnya lembut. Mas Indra menepuk-nepuk pundakku. Dia tersenyum menatapku, kutahu tatapannya sedang mencoba menenangkanku.
“Mohon perhatian!”
Terdengar suara menggema yang membuat fokus hadirin beralih dari menatap Bu Minah dan aku menjadi ke atas podium.
“Hadirin mohon maaf atas ketidak nyamanan ini. Saya di sini bukan untuk memberi sambutan akan tetapi memohon maaf atas nama istri saya yang sudah membuat kekacauan. Untuk sambutan, saya rasa tidak perlu dari saya ... ya, Pak RT, Pak Haqi. Saya sudah cukup repot mengurus anak-anak yang masih saja berlarian. Sekali lagi mohon maaf, saya berjanji ke depannya kejadian seperti ini tidak akan terulang.”
Pak Dermawan menyerahkan mikrofon kembali kepada pembawa acara. Dia terus pergi meninggalkan kami yang masih menatap podium yang kini kosong. Aku pun baru kali ini mendengar Pak Dermawan bertutur, selama ini memang tidak pernah bertemu dengannya. Hanya melihat mobilnya pergi di awal pagi dan pulang setelah senja, untuk mengelola perusahaan keluargaku. Mengayakanku.
Aku menatap punggungnya yang berlalu. Dalam hati mengasihani, kenapa nasib begitu tidak adil padanya. Lelaki yang lembut dan sopan harus memiliki istri yang judes dan urakan, suka pamer, suka ngutang, suka melebih-lebihkan dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.
“Res ....” Aku tak sadar Mas Indra sedang memperhatikanku.
“Jaga pandangan,” bisiknya lembut membuatku terkejut, khawatir juga Mas Indra salah paham.
“Mas, aku bukan mikirin apa-apa cuma-.”
“Res, aku nggak berfikir apa-apa, udah ....” Dia mengelus lembut punggungku kemudian berlalu kembali berbaur dengan barisan bapak-bapak.
Aku kembali fokus pada podium, kali ini Ustadz Haqi memberikan sambutan. Acara berjalan lancar, satu demi satu pengisi acara tampil dengan maksimal. Alunan sholawat merdu menenangkan, lantunan ayat suci terdengar mengalun lembut menyentuh hati. Membuat air mata ini jatuh tak tertahan.
Terakhir yaitu ceramah yang di sampaikan oleh Kyai Haji Abdul Malik Karim. Sosok berjubah putih itu berjalan tenang. Wajahnya meski terlihat sudah berumur namun masih terlihat segar dan menyejukkan. Dia membuka da’wah mengenai keutamaan memuliakan anak yatim dan menjaga hubungan baik dengan tetangga. Sepertinya itu tema tambahan melihat kerusuhan yang terjadi hari ini.
Sang Kyai mengurai dalil demi dalil, ayat demi ayat, terasa sejuk dan sangat mudah di cerna. Namun beberapa surah dan hadits membuat hatiku merasa ngilu sendiri. Sekilas namun terekam jelas.
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia itu yang di sampaikan oleh HR Ahmad Ath-Thabrani,” ucapnya lembut.
“Jadi siapa yang lebih baik? Ya, Dia yang lebih bermanfaat.” Aku menarik nafas, entah mengapa merasa jika Pak Kyiai sesekali melihat ke arahku.
Kemudian dia melanjutkan lagi ayat berikutnya dengan suara berat dan berwibawa. Aku menunduk, malu sebetulnya sudah menjadi pusat perhatian hari ini.
“Tidak hanya hadits, ayat dalam Al-Qur’an pun ada, siapa yang sudah faham?” Aku semakin menunduk, sudah lama sekali kitab tersebut hanya menjadi pajangan di atas lemari pakaianku. Jangankan maknanya, bacanya saja sudah tidak pernah.
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya ... itu tercantum dalam Q.S Al-Maidah, ayat 2 ....”
Ah, ceramahnya masih begitu panjang sepertinya. Poin-poin yang di bahas lebih banyak tentang hubungan dengan sesama manusia daripada membahas keutamaan anak yatim. Wajahku mungkin sudah seperti kepiting rebus. Semua ucapan Kyai itu seolah sedang menegurku.
Akhirnya ceramah yang terasa panjang ini selesai. Suasana beralih menjadi heboh. Panita-panitia termasuk aku membantu mendistribusikan makanan pada anak-anak yang terlihat sudah mulai lapar dan bosan.
Satu kotak kue sepertinya sudah pada habis, hanya tergeletak kerdus di setiap sudut ruangan. Tidak tersimpan rapi pada tempat sampah yang sudah di sediakan.
“Pak Dermawan mau ke luar kota katanya, Res.” Tiba-tiba Mas Indra mengagetkanku yang sedang duduk mengawasi Dinda dan teman-temannya makan.
“Terus?” Aku menoleh kepadanya.
“Dia, nitipin istri sama anaknya ke kita, secara kita adalah tetangga yang rumahnya paling dekat,” ucap Mas Indra sambil menarik satu kursi dan ikut duduk di sampingku.
“Apa?!!!!!!!!!!!!”
"Dia, nitipin istri sama anaknya ke kita, secara kita adalah tetangga yang rumahnya paling dekat,” ucap Mas Indra sambil menarik satu kursi dan ikut duduk di sampingkua.“Apa?!!!!!!!!!!!!”Mas Indra mengisyaratkanku untuk diam. Dia menggelengkan kepala melihat ekspresiku yang berlebihan.Ah, terkadang kelembutan Mas Indra ini membuatku gregetan. Kenapa juga mau-mau saja di titipkan anak dan istri orang. Ulahku mengirim Pak Dermawan tugas ke luar kota, kini berbalik kepada diri sendiri.Jika Mas Indra bukan orang yang amanah, pasti hanya sekedar mengiyakan saja. Namun aku yakin sepenuhnya jika Mas Indra sudah menyanggupi sesuatu, dia akan menjalankannya.Acara berakhir damai meski berawal dengan sedikit keributan. Satu per satu tamu yang hadir pulang. Anak-anak dari panti asuhan sudah mengantri rapi mengikuti petunjuk Pak Dermawan dan beberapa p
[Hai, Bu … ada berlian terbaru nih, masih cetar-cetarnya, harganya murah saja cuma tiga ratus jutaan, saya mau beli dua , kalau @Nyonya Manager mau, saya beliin seklian, uangnya di transfer saja.] R. Serena Hartawan.Sengaja kukirim di beranda facebook dengan menandainya.Sambil menunggu ayah datang, aku mengecheck beberapa email masuk. Serta menyempatkan menyenggol Bu Minah di jejaring sosial media. Mau tau responnya seperti apa. Aku yakin, akan muncul kembali beribu alasan untuk menolak tawaranku.Tanpa kusadari, Dinda sudah berdiri di samping kursiku.“Mah, Dinda pengen maen ke rumah Reni,” rengeknya.Meskipun kami—para orang tua berselisih, tapi tetap saja tidak bisa mendoktrin anak-anak untuk tidak bermain bersama. Aku menarik nafas panjang, mencoba membujuknya dulu.“Dinda, kan mau nunggu Kakek, kalau mai
Aku kembali menuju ruang tengah menemui ayah. Dia sedang asyik bersandar pada sofa sambil menonton televisi. Kuberjalan mendekatinya dan duduk pada sofa di sampingnya. Masih menimbang bagaimana memberitahukan ayah mengenai kabar dari Hana.“Re, pijitin lengan ayah, pegel abis nyetir,” ucapnya sambil menaruh satu tangannya di pangkuanku. Aku mengambil lengannya kemudian memijitnya perlahan.“Yah … aku sambil teleponin Mas Indra, ya … katanya dia mau ngobrol sama ayah, minta maaf juga ga bisa cuti sedang cut off gaji katanya,” satu tanganku berselancar pada layar ponsel dan mencari nomor suamiku.Tidak lama panggilan terhubung.“Assalamuálaikum Mas, ini ayah sudah datang, mau bicara kan?”“Waálaikumsalam Sayang, iya mana?”Kusegera memberikan ponsel pada ayah. Na
Baru saja hendak duduk , terdengar suara seseorang mengucap salam. Aku bergegas menuju pintu. Terlihat Mas Indra sudah berada di teras dan sedang berjongkok melepas sepatunya.“Mas, kho udah pulang?”“Kamu ga kenapa-kenapa ‘kan, Res?”Mas Indra menatapku cemas. Aku menggeleng sambil mengulas senyum menenangkannya. Kuraih tangannya untuk cium tangan seperti biasa. Mas Indra mengusap pucuk kepalaku.“Ayah gak apa-apa ‘kan, Res?” tanyanya sambil mendahuluiku masuk ke dalam."Engga, Mas."“Lho, kho pulang Ndra?” tanya ayah yang sedang mengobrol dengan Pak RT.“Iya, Yah! Eh, ada Pak RT juga?” Mas Indra menyalami Pak RT. Kemudian dia mengambil tempat duduk pada sofa yang kosong.“Kamu kho pulang, Ndra? Bukannya tadi ada pekerjaan urgent katanya?&r
Jangan lupa tap love dulu ya... Happy Reading!“Ya Tuhaaan ... jangan sampai Mas Indra mau mundur dan menceraikanku, aku mencintainya Ya Tuhaaan ... please Mas, jawab, Mas ...,” batinku berguruh sambil menunduk. Sementara bola bening ini sudah terasa panas berair. Aku benar-benar takut Ya Tuhan.“Aku memilih Resti bukan atas latar belakangnya, tetapi atas apa yang ada pada dirinya, jadi apapun yang terjadi aku tidak peduli, Yah! Kaya, miskin, cerdas, bodoh, tidak lagi menjadi ukuran. Cinta tidak membutuhkan semua itu untuk bertahan,” kudengar Mas Indra mengucapkannya dengan jelas. Satu bulir bening dari netraku terjatuh. Aku merasa lega.“Tapi, biarkan kami menjalani kehidupan kami seperti sebelumnya,” ucapnya lagi.“Maksud kamu?” Ayah mengerutkan dahi dan bertanya.“Biarkan kami hidup seperti i
"Mas! Ih, jawab dong ....”Kurasa dia merenggangkan pelukannya. Dia mencakup kedua pipiku dan menatapku tajam. Beberapa kali menarik nafas panjang.“Mas kenapa kamu kayak gitu? Ada apaan Mas, jangan buat aku takut!” Aku menatap lekat wajah Mas Indra.“Ayah memberiku pilihan yang sulit, bertahan dengan pilihanku atau bertahan denganmu? Jika aku tetap memilih bertahan dengan pilihanku ... maka ayah memintaku untuk menceraikanmu,” ucapnya terjeda. Hatiku bergemuruh semakin hebat. Tenggorokanku seakan kering dan tak bisa berkata-kata.“Lalu, kamu bersedia Mas?” Akhirnya dengan susah payah, aku bisa melontarkan sebuah pertanyaan untuknya. Mas Indra menatapku tajam.“Kalau aku memberimu pilihan, kamu mau pilih mana? Ayahmu dengan hartanya atau aku dengan kehidupan seperti ini?” Mas Indra memberikan pertanyaan
Aku masih memandang tajam istrinya. Ah akhirnya dia melirikku juga. Namun apa itu, tak kulihat sedikitpun sorot penyesalan dan ketulusan dari tatap matanya. Dia tidak lebih hanya terlihat seperti maling yang sedang tertangkap. Sebetulnya permintaan maaf ini tulus atau rekayasa hanya karena dia takut akan tuntutan ayah?“Mah, ayo dong! Bicara sama Mba Resti, minta maaf!” Kulihat Pak Dermawan pun tidak nyaman dengan sikap istrinya yang masih bungkam.“Hmmm ... saya minta maaf!” ucapnya tanpa menatapku.“Bu Minah minta maaf pada siapa?” Selidikku, dengan tajam aku menatapnya. Dia menghela nafas, seolah permintaan maaf ini sebuah beban.“Saya minta maaf sama Mba Resti, tolong maafkan saya!” ucapnya, kembali tanpa menoleh sedikitpun.Aku sebetulnya bisa saja langsung memaafkan dia. Namun gaya angkuhnya dalam meminta maa
Sebuah desain rumah tiga lantai lengkap dengan kolam renang dan konsep taman terbuka. Megah, mewah dan unik. Ayah persembahkan untuk area bermain Dinda.“Ayah memohon agar kita tidak menolak ini, sebelum dia pensiun dari dunia bisnis, dia ingin memberikan fasilitas terbaik untuk cucunya,” ucap Mas Indra menjawab atas tatapanku yang membuatnya menerima .Ibu mertuaku terlihat paling bahagia. Dia memeluk Mas Indra dan menepuk-nepuk bahunya.***Sebulan berlalu. Rumah yang kutinggali sudah mencapai tujuh puluh persen renovasi. Aku tidak mau mengubah apapun di lantai bawah. Untuk tambahan fasilitas lainnya biar saja di lantai dua dan tiga. Ayah berkeras ingin memasang lift agar mudah akses naik turun. Aku tidak peduli, toh satu kamar saja bagiku sudah cukup.Rumah type 120 ini kini menjadi tiga kali lipat luasnya. Ada tambahan bangunan seluas