"Apakah aku perlu membuat Bu Minah merasakan kekurangan dulu agar dia mengerti penderitaan orang lain? Tapi jahat nggak sih, kalau tiba-tiba memberhentikan Pak Dermawan tanpa kesalahan apapun?”
Sepanjang jalan menuju rumah, pikiranku menimbang-nimbang. Sudah geram rasanya mendapati kelakuan tetangga yang tidak ada habisnya membuat kekesalan. “Assalamu’alaikum ....” “W*’alaikumsalam!”“Eh, ini ada pizza dari siapa?” “Tadi Lela ke sini, nganterin pizza buat Dinda,” jawab Mas Indra. Darahku langsung naik ke ubun-ubun melihat potongan pizza. Pastinya Bu Minah memberikan pizza sisa ini pada Lela. Sudah dipastikan juga, Lela hanya mencari alasan untuk mengobrol dengan Mas Indra sewaktu aku tidak ada. “Buang, Mas!” “Lho, kenapa? Mubazzir Res.” “Udah ah, Mas ... sini, panjang kalau harus jelasin dulu.” Aku tak mau berdebat lama. Percuma juga menjelaskan panjang lebar karena tetap saja akan berakhir dengan ceramahnya Mas Indra. Kuambil potongan pizza yang kuyakini sisa itu. Aku tidak membuangnya di tempat sampah yang di dalam, aku membawanya ke depan gerbang. Kebetulan Pussy, kucingnya Bu RT sedang melenggang santai. Aku berjalan ke arahnya dan memberikan potongan pizza ini. Mubazzir, betul kata Mas Indra. Lebih baik di makan Pussy saja. Aku merasa ada yang mengawasi. Justru bersyukur jika itu benar, setidaknya biar kedua orang itu tahu, jika makanan dari mereka tetap berguna menjadi pengisi perut pussy malam ini. Aku kembali berjalan memasuki gerbang rumah. Kukunci pagarnya. Mas Indra dan Dinda rupanya sudah masuk. Segera kulepas sandal dan masuk ke dalam rumah. Terlihat Mas Indra tengah tiduran pada karpet bulu sementara Dindi meringkuk di depannya sambil memainkan janggut Mas Indra yang ada beberapa biji saja. “Mas, bisa nggak sih, kalau ada Lela itu Mas Indra pergi? Jangan diladeni terus.” Sebelum dia membahas mengenai Bu Minah, aku mendahuluinya mencecar dengan komplenan. “Hmmm ....”“Apaan itu, bisa atau enggak?” “Hmmm ... bisa kalau kamu sudah berhenti berantem sama Bu Minah.” “Menyebalkan, huh!” Aku melengos meninggalkannya ke kamar. Teringat pada laman f******k baruku yang belum selesai. Aku muncul dengan akun baru dengan embel-embel Hartawan, ingin tahu apa yang dia katakan dan lakukan jika berhubungan dengan pewaris utama Hartawan grup—tempat suaminya bekerja.Sudah ada sekitar dua ratus pertemanan. Kukirimkan beberapa komen sehingga terlihat natural. Beberapa sahabatku, aku chat agar mereka ikut meramaikan f******k baruku. Pastinya sahabat-sahabat terbaikku pada masa kuliah dulu. Tiba-tiba pikiran jahilku datangAku akan menggunakan akun baru ini untuk dua tujuan. Satu, untuk memberi pelajaran pada ibu-ibu sosialita itu. Kedua untuk menguji kesetiaan Mas Indra. Ah, gimana kalau nanti Mas Indra nggak setia dan meladeni akunku ini? Menjelang pukul sembilan malam ternyata tampilan laman sosial mediaku ini sudah cukup meyakinkan jika mengaku sebagai pewaris hartawan grup, aku segera menambahkan akun Bu Minah dan kini hanya tinggal menunggu konfirmasi pertemanan. Dinda sudah menyusul ke kamar. Segera kusimpan gawaiku di atas nakas. Aku meraih tubuhnya dan menaikannya ke atas dipan. Putri kecilku sudah cukup berat ternyata. Aku membacakannya sholawat sebelum dia tidur sambil kuusap-usap kepalanya. Walaupun aku agak sedikit bar-bar, tapi pastinya berharap memiliki anak sholehah dan penyabar. Semoga Dinda seperti ayahnya, tidak sepertiku. Akhirnya aku terlelap sambil memeluk tubuh kecilnya.*** Keesokan harinya, Mas Indra pergi kerja seperti biasa. Aku pun seperti biasa sudah kembali sibuk berkutat dengan pekerjaannku. Dinda sudah selesai kumandikan dan kini bermain sendiri di tengah rumah. Aku sudah mengirimi pesan Haira pegawai daeler untuk mengirim sepeda motornya ke rumah. Bagiku malas sekali harus mencari ojol dan berjalan ke sana. Beruntung Haira setuju. Sementara menunggu sepeda motor baruku, aku iseng-iseng mengintip laman F*-ku. Eh, ternyata Bu Minah sudah mengirimkan pesan terlebih dulu.[Hai, selamat malam ... Wah, Ibu pasti pemilik Hartawan grup, ya? Salam kenal, Bu. Suami saya juga seorang manager di sana.] Pesan yang di kirimkannya semalam. Umpan sudah mulai termakan. [Oh, salam kenal ... benar, saya pewaris tunggal Hartawan grup, maaf manager yang mana,ya? Manager saya banyak.] Ah, tersenyum puas rasanya. Sepertinya wanita itu sedang tidak online, tidak ada jawaban pesan masuk. Aku beralih fokus pada layar laptopku. Tidak lama, notifikasi pesan messenger masuk. Tring Tring Tring Dia mengirimkan beberapa fotonya bersama Pak Dermawan. Aku tahu, itu ketika acara santunan di panti, kemudian beberapa foto mereka liburan dan ada juga foto Pak Dermawan yang sedang duduk di kursi di kantornya.[Maaf, saya tidak kenal, Bu ... level manager di Hartawan grup banyak sekali ... bahkan saya tidak hapal siapa namanya.][Pak Dermawan, Bu ... dia adalah manager kepercayaan dari bos, beda dari yang lain ... mungkin Ibu jarang ngurusin urusan kantor jadi maklum kalau ga kenal.] Balasnya dengan emoticon tersenyum. [Oh, bisa jadi ... saya ga ada waktu buat ngurusin level rendahan sekelas itu, setiap hari saya sibuk mengurusi tender milyaran sih, Bu ... jadi mohon maaf ga terlalu kenal ... saya kira Ibu adalah grup sosialita se-level saya, makanya saya tambahkan, eh, ternyata baru kelas sosialita kelas rendahan.] Ah, bisa-bisanya jempolku menulis sekeren itu. Aku jadi ingin pergi ke luar rumah untuk melihat langsung ekspresi wajahnya. Hening, tidak ada jawaban mungkin dia sedang memikirkan balasan yang tepat untuk kalimatku yang merendahkannya.Ah, bisa-bisanya jempolku menulis sekeren itu. Aku jadi ingin pergi ke luar rumah untuk melihat langsung ekspresi wajahnya. Hening, tidak ada jawaban mungkin dia sedang memikirkan balasan yang tepat untuk kalimatku yang merendahkannya.Cukup lama belum ada jawaban lagi. Terdengar suara klakson motor di depan. Aku bergegas ke luar. Kubuka pintu gerbang, terlihat Haira sudah di sana dengan satu staffnya membawa sepeda motor baru sesuai pesananku.Memang takdir selalu mempertemukan kami. Belum sempat Haira masuk, mobil Bu Susi terlihat datang dan terparkir di tepi jalan. Tidak berapa lama Nyonya Manager keluar dengan dandanan yang super norak, menurutku.Bagaimana tidak geli, sepertinya dia memakai semua perhiasan yang dia miliki. Kalung berjumlah tiga dengan tiga ukuran yang berbeda. Gelang entah berapa, kulihat sampai setengah lengannya dia memakai gelang itu, serta tiga buah cincin yang membuatnya terlihat semakin ramai.Dia meliri
[Hai ... Bu @R. Serena Hartawan ... jika berencana mau hunting perhiasan kami siap mengantar.] Foto pertama dengan mereka bertiga bergaya di depan mobil memamerkan perhiasannya.Aku segera membalasnya. Aku masih ingat punya foto berlian pemberian ayahku sewaktu ulang tahun dulu. Beruntung masih tersimpan dalam galeri.[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] Aku mengirimkan foto berlian milikku membalas chat darinya.Sunyi senyap, tidak ada balasan lagi. Kulihat beranda FB-nya sudah penuh dengan upload photo gelang dan kalung emas yang modelnya sebetulnya gitu-gitu saja. Segera aku mencari foto koleksi berlian mamaku. Dulu aku sempat mengambil gambarnya.[Sudah bosan dengan yang ini. Mau cari yang baru, kapan Bu @Nyonya Manager bisa mengantar saya berburu berlian? Kita belanja sama-sama, ya?]Sengaja ku-tag, karena tad
Aku menoleh pada Bu RT yang nyengir kuda merasa bersalah. Bagaimana dia bisa memberikan namaku untuk di umumkan. Dua mata langsung menuju padaku. Mata penuh kekesalan dari Bu Minah yang sudah senyum-senyum sendiri berharap namanya yang di sebut. Dan tatapan heran dari suamiku yang memang tidak aku kasih tahu berapa nominal yang kusumbangkan.Seketika wajah ceria Bu Minah berubah merah padam. Bagaimanapun dia sudah sejak tadi bersiap menjadi ratu dalam acara ini, tiba-tiba harapannya terpatahkan oleh satu kalimat pendek dari pembawa acara. Sang Nyonya Manager langsung mengayun langkah cepat menuju ke arah Bu RT yang masih menatapku sambil garuk-garuk kepala tak gatal.Aku menunduk, pikiranku langsung merangkai kalimat jika Mas Indra kemudian mencari tahu berapa jumlah nominal yang kusumbangkan.“Coba saya lihat rekapan penyumbang dananya? Saya mau nama saya jadi penyumbang terbesar dalam acara ini, masa yang suaminya manager kalah sama yang suam
"Dia, nitipin istri sama anaknya ke kita, secara kita adalah tetangga yang rumahnya paling dekat,” ucap Mas Indra sambil menarik satu kursi dan ikut duduk di sampingkua.“Apa?!!!!!!!!!!!!”Mas Indra mengisyaratkanku untuk diam. Dia menggelengkan kepala melihat ekspresiku yang berlebihan.Ah, terkadang kelembutan Mas Indra ini membuatku gregetan. Kenapa juga mau-mau saja di titipkan anak dan istri orang. Ulahku mengirim Pak Dermawan tugas ke luar kota, kini berbalik kepada diri sendiri.Jika Mas Indra bukan orang yang amanah, pasti hanya sekedar mengiyakan saja. Namun aku yakin sepenuhnya jika Mas Indra sudah menyanggupi sesuatu, dia akan menjalankannya.Acara berakhir damai meski berawal dengan sedikit keributan. Satu per satu tamu yang hadir pulang. Anak-anak dari panti asuhan sudah mengantri rapi mengikuti petunjuk Pak Dermawan dan beberapa p
[Hai, Bu … ada berlian terbaru nih, masih cetar-cetarnya, harganya murah saja cuma tiga ratus jutaan, saya mau beli dua , kalau @Nyonya Manager mau, saya beliin seklian, uangnya di transfer saja.] R. Serena Hartawan.Sengaja kukirim di beranda facebook dengan menandainya.Sambil menunggu ayah datang, aku mengecheck beberapa email masuk. Serta menyempatkan menyenggol Bu Minah di jejaring sosial media. Mau tau responnya seperti apa. Aku yakin, akan muncul kembali beribu alasan untuk menolak tawaranku.Tanpa kusadari, Dinda sudah berdiri di samping kursiku.“Mah, Dinda pengen maen ke rumah Reni,” rengeknya.Meskipun kami—para orang tua berselisih, tapi tetap saja tidak bisa mendoktrin anak-anak untuk tidak bermain bersama. Aku menarik nafas panjang, mencoba membujuknya dulu.“Dinda, kan mau nunggu Kakek, kalau mai
Aku kembali menuju ruang tengah menemui ayah. Dia sedang asyik bersandar pada sofa sambil menonton televisi. Kuberjalan mendekatinya dan duduk pada sofa di sampingnya. Masih menimbang bagaimana memberitahukan ayah mengenai kabar dari Hana.“Re, pijitin lengan ayah, pegel abis nyetir,” ucapnya sambil menaruh satu tangannya di pangkuanku. Aku mengambil lengannya kemudian memijitnya perlahan.“Yah … aku sambil teleponin Mas Indra, ya … katanya dia mau ngobrol sama ayah, minta maaf juga ga bisa cuti sedang cut off gaji katanya,” satu tanganku berselancar pada layar ponsel dan mencari nomor suamiku.Tidak lama panggilan terhubung.“Assalamuálaikum Mas, ini ayah sudah datang, mau bicara kan?”“Waálaikumsalam Sayang, iya mana?”Kusegera memberikan ponsel pada ayah. Na
Baru saja hendak duduk , terdengar suara seseorang mengucap salam. Aku bergegas menuju pintu. Terlihat Mas Indra sudah berada di teras dan sedang berjongkok melepas sepatunya.“Mas, kho udah pulang?”“Kamu ga kenapa-kenapa ‘kan, Res?”Mas Indra menatapku cemas. Aku menggeleng sambil mengulas senyum menenangkannya. Kuraih tangannya untuk cium tangan seperti biasa. Mas Indra mengusap pucuk kepalaku.“Ayah gak apa-apa ‘kan, Res?” tanyanya sambil mendahuluiku masuk ke dalam."Engga, Mas."“Lho, kho pulang Ndra?” tanya ayah yang sedang mengobrol dengan Pak RT.“Iya, Yah! Eh, ada Pak RT juga?” Mas Indra menyalami Pak RT. Kemudian dia mengambil tempat duduk pada sofa yang kosong.“Kamu kho pulang, Ndra? Bukannya tadi ada pekerjaan urgent katanya?&r
Jangan lupa tap love dulu ya... Happy Reading!“Ya Tuhaaan ... jangan sampai Mas Indra mau mundur dan menceraikanku, aku mencintainya Ya Tuhaaan ... please Mas, jawab, Mas ...,” batinku berguruh sambil menunduk. Sementara bola bening ini sudah terasa panas berair. Aku benar-benar takut Ya Tuhan.“Aku memilih Resti bukan atas latar belakangnya, tetapi atas apa yang ada pada dirinya, jadi apapun yang terjadi aku tidak peduli, Yah! Kaya, miskin, cerdas, bodoh, tidak lagi menjadi ukuran. Cinta tidak membutuhkan semua itu untuk bertahan,” kudengar Mas Indra mengucapkannya dengan jelas. Satu bulir bening dari netraku terjatuh. Aku merasa lega.“Tapi, biarkan kami menjalani kehidupan kami seperti sebelumnya,” ucapnya lagi.“Maksud kamu?” Ayah mengerutkan dahi dan bertanya.“Biarkan kami hidup seperti i