[Hai ... Bu @R. Serena Hartawan ... jika berencana mau hunting perhiasan kami siap mengantar.] Foto pertama dengan mereka bertiga bergaya di depan mobil memamerkan perhiasannya.
Aku segera membalasnya. Aku masih ingat punya foto berlian pemberian ayahku sewaktu ulang tahun dulu. Beruntung masih tersimpan dalam galeri.
[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] Aku mengirimkan foto berlian milikku membalas chat darinya.
Sunyi senyap, tidak ada balasan lagi. Kulihat beranda F*-nya sudah penuh dengan upload photo gelang dan kalung emas yang modelnya sebetulnya gitu-gitu saja. Segera aku mencari foto koleksi berlian mamaku. Dulu aku sempat mengambil gambarnya.
[Sudah bosan dengan yang ini. Mau cari yang baru, kapan Bu @Nyonya Manager bisa mengantar saya berburu berlian? Kita belanja sama-sama, ya?]
Sengaja ku-tag, karena tadi pun dia menandai akunku cuma tidak aku tambahkan ke linimasa. Memenuhi berandaku dengan perhiasan yang sudah seperti hendak di jual kembali. Gelang emas yang terlihat bertumpuk dipamerkan.
[Sepertinya tidak dalam waktu dekat Bu @R. Serena Hartawan , saya masih sibuk mengurus bisnis juga di rumah. Maklum biar suami kerja, istri juga tetap ingin punya penghasilan.] Balasnya.
Aku mengerutkan dahi, sejak kapan dia memiliki bisnis. Setiap hari kerjanya hanya belanja online barang-barang unfaedah. Mungkin mencari alasan yang bisa menarik simpatiku. Dia tidak tahu saja dengan siapa dia berbalas pesan. Aku tersenyum geli membayangkan wajahnya jika mengetahui siapa yang berbalas chat dengannya suatu hari nanti.
[Oh, gitu ... memang sih level kita jauh beda, kalau saya sih, punya waktu kapan saja, uang sudah datang dengan sendirinya tidak perlu kerja keras, hanya tinggal ongkang-ongkang kaki, transferan masuk tanpa henti.] Ah, rupanya aku sudah pandai menyombongkan diri, maafkan aku Ya Allah. Semua hanya untuk menyadarkannya kalau kekayaan yang dimilikinya belum seberapa.
Tring
Aku kembali melihat W* group ibu-ibu kece cluster A. Rupanya dia masih memiliki celah ketika orang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia mengcapture chatku.
[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] R. Serena Hartawan.
@Haminah
[Begini nih, kalau jadi ibu-ibu sosialita level akut, langsung di chat pemilik perusahaan, diajakin hunting berlian bareng ... diamond ring ... wow ....] Sial, dia malah mengambil caputure berlian milikku untuk pamer di W* grup dan beserta capture status chat denganku.
Benar-benar manusia tidak punya malu. Padahal dia sudah mencari seribu alasan untuk menolak ajakanku hunting berlian. Tetapi permainan belum berakhir, akan ada masanya nanti kuajak dia besitatap jika memang dia tidak mau berubah meski sudah sadar hanya berada di mana levelnya.
***
Sudah beberapa minggu berlalu dari chat terakhirku dengannya. Sengaja aku memberi jarak agar wanita itu tidak merasa besar kepala. Kemarin terakhir dia memberitahu jika akan diadakan santunan anak yatim di komplek kami. Dia memberitahuku jika akan mengikutsertakan ratusan anak yatim yang ada di panti asuhan yang kudirikan.
Aku sengaja tidak membalas chatnya karena khawatir hanya akan disebar luaskan. Aku sudah menghubungi ayah secara personal untuk meminta alokasi dana CSR untuk pembiayaan acara ini sepenuhnya.
Panitia dari tim ibu-ibu komplek sendiri, sementara pemegang dana yaitu Bu RT yang kami anggap sebagai sesepuh di komplek ini. Seperti biasa berita jika Bu Minah menyumbang sudah sampai ke seantero komplek dan terpampang di beranda sosial medianya. Aku pun melihat berapa jumlah uang yang dia upload sebelum dia serahkan kepada panita.
Uang satu juta rupiah memang paling besar di antara para tetangga lainnya yang mampu menyumbang hanya beberapa ratus ribu saja. Tetapi sedekah yang tersembunyi itu akan jauh lebih baik daripada sedekah yang di umbar dan terkesan riya.
Tibalah waktu yang ditunggu. Kulihat semua anak yatim sudah dibimbing memasuki aula masjid dan duduk pada hamparan karpet yang sudah disediakan. Pak Dermawan terlihat begitu sibuk dan telaten mengayomi anak-anak yang sebagian masih berusia lima tahun. Terkadang takdir punya caranya sendiri ketika memasangkan dua orang dengan sifat yang sangat berlawanan.
Kulihat Bu Hanimah dengan pakaian gamis terbarunya dan perhiasan gelang yang hampir sampai ke siku. Berdiri wara-wiri tanpa mengerjakan apapun. Sesekali terdengar tawa kerasnya hingga ke sini. Hana menyenggol lenganku. Aku tahu dia akan mulai lagi membicarakannya.
“Ssst ....” Aku menempelkan telunjuk pada mulutku agar Hana berhenti mengumpat.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku melirik ke arah Mas Indra yang sejak tadi memperhatikan kami. Hana mengangguk sambil tersenyum. Dia sudah paham jika suamiku tipe orang seperti apa.
“Katanya pendiri panti akan ke sini juga ya, Bu?” Kudengar suara Bu Mirna bertanya pada Bu Minah.
“Iya, kemarin saya biasa chat langsung sama Bu Serena, putrinya ... katanya sih, diusahakan akan datang, mungkin sebentar lagi.” Sebuah kebohongan Bu Hanimah yang kudengar hari ini membuat mataku membulat.
“Oh, enak ya, kalau punya suami kepercayaan Bos, bisa komunikasi langsung sama keluarganya, wah aku iri sama Bu Minah, deh.” Bu Mirna ini salah satu jenis dari sekian banyak ibu-ibu bermuka dua yang senang mengambil hati Bu Minah untuk keuntungan pribadinya.
“Iyalah nggak semua orang seberuntung saya, Bu Mirna datang sama siapa saja, sebentar ya, saya minta bungkusin juga untuk keluarga di rumah.” Akhirnya sang Nyonya Manager yang sudah luluh mulai beraksi. Dia membungkus beberapa nasi kotak dan diberikan pada Bu Mirna yang telah menyanjungnya.
“Bu Min, nanti kalau pendiri panti datang, W* saya ya, nanti saya ke sini lagi.” Kulihat Bu Mirna pulang setelah misinya berhasil. Lima nasi kotak sudah dia tenteng. Bu Minah tersenyum-senyum sendiri menikmati perannya.
“Eh, Bu Min ... ini perhiasan terbaru, ya?” Seperti sengaja direncanakan, kali ini Bu Wati datang dan langsung memuji gelang yang dipakai sang Nyonya Manager.
Kulihat senyuman dia semakin lebar.
“Ah, Bu Wati bisa aja, iya, nih, hasil hunting kemarin ... bagus, ya?” senyuman itu benar-benar terlihat bahagia.
“Eh, Bu Wati nggak ada dalam grup W* ya? Malah lho, saya itu diajak sama pemilik perusahaan tempat suami saya bekerja untuk nyari berlian bareng-bareng, cuma katanya dia masih sibuk belum ada waktu ... saya sih, siap kapan aja, biar koleksi perhiasan saya nambah,” ucapnya diakhiri tawa yang terlihat bangga sekali.
Kembali dia memberikan lima nasi kotak pada Bu Wati. Wanita itu kulihat segera meninggalkan tempat acara setelah menenteng lima kotak nasi cateringan.
“Wah, Bu Min ini udah baik, cantik, kaya, dermawan lagi,” puji Bu Wati sebelum meninggalkan tempat. Aku hanya menggeleng kepala menyaksikan aksi sang Nyonya Manager yang luar biasa.
“Perhatian-perhatian ... acara akan segera dimulai ... sebagai ucapan terima kasih pada para donatur kami mempersilakan untuk mengisi kursi yang telah di sediakan!” Terdengar pengumuman dari pembawa acara.
“Adapun perlu Bapak dan Ibu ketahui, penyumbang dana terbesar untuk acara ini yaitu seorang ibu muda, cantik dan baik. Ibu Restika ....”
Aku menoleh pada Bu RT yang nyengir kuda merasa bersalah. Bagaimana dia bisa memberikan namaku untuk diumumkan. Dua mata langsung menuju padaku. Mata penuh kekesalan dari Bu Minah yang sudah senyum-senyum sendiri berharap namanya yang disebut. Dan tatapan heran dari suamiku yang memang tidak aku kasih tahu berapa nominal yang kusumbangkan.
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat
Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan
Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping