Aku ambil selimut sama sprei baru dan bersiap balik lagi ke apartemenku, tapi Aldani malah tarik pinggangku, angkat aku ke atas mesin cuci. Tangannya menelisik ke pahaku, terus dia pegang bokongku, menarikku makin dekat. "Serius kamu nawarin aku kayak gini?" tanyaku becanda. "Aku enggak nawarin," katanya, sebelum bibirnya lagi-lagi menempel ke bibirku. "Aku enggak perlu nawarin apa-apa!" Ada sesuatu yang beda di ciuman ini, dia lebih dominan. Selama ini dia belum pernah menunjukkan itu kepadaku. Aku tahu perasaannya ke Gresellda masih ada, tapi ciuman ini bukti tegas kalau dia takut banget aku pergi. Dia mundur sedikit, menempelkan keningnya ke keningku. "Aku suka sama apa yang kita lakuin." Dan itu sudah cukup buat aku. Aku emang naif setujui hubungan ini, tapi aku enggak mau bikin dia panik dengan tanda-tanda kalau aku sudah baper. Aku sudah dewasa, aku bisa handle ini. Jadi aku cuma mengangguk pelan tanpa bicara apa-apa. "Ayo ke apartemen kamu!" bisiknya, menurunkanku s
୨ৎ M A Y A જ⁀➴ Aku turun dari mobil sewaan saat ada cewek tinggi langsing, rambutnya panjang, keluar dari rumah utama. "Maya," katanya. Please, jangan bilang kalau dia mantannya Aldani juga. Mantan yang kemarin saja sudah bikin aku muak. Dan aku harus ingat, kalau aku sama dia itu enggak ada hubungan apa-apa, selain partner nge-seks. Itu pun kita belum benar-benar sampai ML. Dan sekarang aku malah enggak yakin itu semua akan terjadi, kalau mengingat sosok Gresellda. Aku langsung kaku saat dia menghampiri, menempelku dengan pelukan erat. "Hai," kataku. "Maya, ini adik aku, Althaf." Suara Aldani muncul dari kegelapan, baru terlihat sosoknya saat dia melangkahkan kaki di teras. Ada bir di tangannya. Jelas banget bertemu Gresellda bikin dia stres. Akhirnya Althaf melepaskanku, "Sunya Althafunnisa ... Aku senang banget bisa ketemu kamu." "Sama." Aku mengangguk, terus ambil kantong belanjaan sama beberapa tas isi tempat sampah dan sprei baru. "Aku senang kamu bakal tinggal di apa
Althaf masuk rumah sambil tutup mata. "Almorris, ih jijik. Pakai celana, napa!"”Orang kita mau mandi bareng, kok." Dia masih asik main Xbox sama Danny, bahkan enggak menengok ke arah Althaf."Kayak bayi, tahu enggak?” kata Althaf.Danny tertawa. "Aku enggak masalah lihat cabe rawitmu, Almorris.""Aku baru kelar shift, Althaf. Jadi mending kamu aja yang pakai penutup mata kalau emang enggak suka."Aku ambil sepotong pizza, rebahan di kursi, menikmati momen, enggak ada yang melirikku. Lagipula, dari kursi ini aku dapat view jelas ke trotoar, jadi aku tahu kapan Maya pulang.Saat mulai gelap, aku mulai khawatir, jangan-jangan dia enggak tahu jalan."Jadi, ulang tahunnya Mama," kata Althaf, duduk di sofa sebelah Almorris. Tapi dia nyempil di ujung terus menoleh ke arahku.Ada mobil berhenti di jalan, aku condongkan badan biar bisa mengintip dari jendela. Parkirnya tepat di belakang mobil Almorris, dan aku langsung
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Danny hampir gebrak aku di dalam Brine & Barrel. “Apaan sih?!” teriaknya, sampai-sampai aku susah menyusun kata.Gresellda itu sudah lima tahun lebih enggak pulang ke rumah. Melihatnya lagi sekarang, semua perasaan waktu kita masih kecil dulu langsung bangkit lagi.“Apa?” tanyaku.“Bukan aku belain dia ya, tapi kamu masih ada harapan sama Maya,”Nama Maya langsung bikin aku siuman.“Gokil juga tuh yang dia lakuin sama Alzian, ya?”“Yang soal lagu metal itu? Iya, tapi menurutku tuh Alzian tetap butuh ngewe biar move on. Cari cewek lain buat ngelupain Khalisa ... Nih, minum!” Danny sodorkan bir ke depanku. Entah kapan dia mengambilnya.“Bro, enggak semua masalah bisa selesai dengan ngewe sama cewek.” Aku teguk bir biar adem. “Dia kelihatan masih baik-baik aja kok.”“Masih sama aja, cewek yang doyan duit.” Danny dari dulu memang benci banget sama Gresellda, dari jaman SMA. Dan aku mengerti kenapa. “Aku, sih pilih Maya daripada dia, sampai kapan pun!”“Sejak kapan kamu
Setelah makan, kita keluar ke trotoar. Alzian sama Danny lagi otak-atik tenda.“Eh, kalian enggak perlu repot begini,” kataku.“Ya daripada kamu keseleo lagi,” jawab Alzian, jelas melirik Aldani di belakangku.Aku kaget melihat Danny ikut membantunya.“Kayaknya, karena kamu udah mutusin buat tinggal di sini,” kata Danny waktu dia sudah turun, “Mending sekalian kita bantu buat grand opening aja.”Kita semua menengok ke arah tenda yang ada tulisan The Libraria di atasnya. Aldani berdiri persis di belakangku. Walaupun dia enggak menyentuhku, keberadaannya berasa banget.Sage dari Mellow Mug keluar sambil tepuk tangan. “Keren banget!” teriaknya dari seberang jalan.Roaster muncul dari toko daging, dan untuk pertama kalinya aku lihat senyum di wajahnya. “Selamat datang, tetangga baru.”Beberapa orang Pecang juga sempat mampir, bilang kalau mereka excited menunggu grand opening tokoku, dan jujur saja, ada rasa bahagia
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Aku bersandar ke bahunya Aldani, pura-pura ikut memperhatikan sesuatu di layar komputernya. “Lihat, nih,” kata Aldani, menunjukkan sel kosong di Excel. “Oh, iya, aku ngerti.” Danny masuk, terus berhenti di tengah ruangan, memperhatikan posisi kita. “Kayaknya kalian jadi sange gara-gara angka, ya?” Dia memutari meja Aldani, sama sekali enggak menengok ke layar, langsung tergeletak di kursinya. Kalau saja dia tahu, Juniornya Aldani lagi tegang di bawah sana gara-gara beberapa menit yang lalu, tangannya sempat bermain di dadaku. Dan sumpah, aku ingin banget tangan itu balik lagi ke situ. “Aku lapar banget. Mau aku bikinin sesuatu di dapur?” tanya Aldani. Karena aku memang enggak pernah nyaman setiap kali ada Danny, jadi aku langsung mengangguk. Sambil ambil HP, aku bilang, “Aku cuma mau nge-chat Alzian, minta dia nurunin tangga.” Danny