Home / Thriller / THE DEAD WALK / kota yg mati

Share

kota yg mati

Author: Agung Nugraha
last update Last Updated: 2025-03-07 21:42:22

Fajar baru saja menyingsing ketika Aldric membuka matanya. Udara di dalam tempat persembunyian terasa dingin, tapi itu lebih baik daripada di luar yang penuh bahaya.

Di sudut ruangan, Lyra masih tertidur, sesekali menggerakkan tubuhnya dalam tidurnya yang gelisah. Finn juga masih terlelap di atas karpet usang.

Aldric bangkit perlahan, meraih pisaunya, lalu berjalan ke jendela kecil yang tertutup papan kayu. Dia mengintip sedikit.

Jalanan masih kosong, hanya ada mayat-mayat membusuk dan beberapa zombie yang berjalan tanpa arah. Dunia ini benar-benar sudah mati.

Dia menghela napas. Persediaan makanan mereka cukup untuk beberapa hari ke depan, tapi air semakin menipis. Mereka harus keluar dan mencari suplai.

Beberapa menit kemudian, Finn terbangun, diikuti oleh Lyra yang menguap panjang.

"Apa rencananya hari ini?" tanya Lyra sambil merenggangkan tubuhnya.

Aldric menoleh. "Kita butuh air. Aku tahu tempat yang mungkin masih punya persediaan."

"Di mana?" tanya Finn, masih terlihat lelah.

"Toko swalayan di pusat kota," jawab Aldric. "Tapi kita harus bergerak cepat sebelum terlalu banyak yang berkeliaran."

Finn tampak ragu. "Apa itu aman?"

"Tidak ada tempat yang aman," kata Aldric datar. "Tapi kalau kita tetap di sini tanpa air, kita akan mati pelan-pelan."

Lyra berdiri dan meraih besi yang selalu ia bawa. "Baiklah, ayo kita pergi sebelum hari semakin siang."

Aldric mengambil ranselnya, memeriksa senjata, lalu memberi isyarat pada mereka untuk mengikuti.

Mereka keluar dari tempat persembunyian dengan hati-hati. Jalanan masih sepi, hanya suara angin yang berhembus di antara bangunan-bangunan rusak.

Saat mereka melewati tikungan, Lyra tiba-tiba menghentikan langkah.

"Ada sesuatu di depan," bisiknya.

Aldric melirik ke sudut jalan.

Benar saja.

Sekelompok zombie sedang berkumpul di depan toko kelontong yang mereka tuju. Jumlahnya sekitar enam atau tujuh.

Finn menelan ludah. "Bagaimana kita bisa masuk?"

Aldric berpikir sejenak, lalu berkata, "Kita cari jalan belakang. Kalau beruntung, kita bisa masuk tanpa menarik perhatian mereka."

Mereka berbalik dan menyelinap melewati gang sempit. Suara langkah mereka nyaris tidak terdengar.

Tapi tiba-tiba—

*"CRAK!"*

Finn menginjak pecahan kaca.

Zombie-zombie itu langsung menoleh.

*"GRAAAHHH!"*

"Sial!" seru Aldric. "Lari!"

Mereka bertiga langsung berlari menuju pintu belakang toko, sementara zombie-zombie itu mulai mengejar mereka dengan geraman haus darah.

Pintu toko tampak terkunci.

"Kita harus dobrak!" teriak Lyra.

Tanpa berpikir panjang, Aldric menendang pintu itu sekuat tenaga.

*"BRAK!"*

Pintu terbuka, dan mereka segera masuk.

Tapi zombie-zombie itu semakin dekat.

Finn buru-buru menutup pintu dan mencari sesuatu untuk mengganjalnya. Dia menemukan rak kayu dan mendorongnya ke depan pintu.

*"DUG! DUG! DUG!"*

Zombie-zombie itu mulai menghantam pintu dengan liar.

"Kita tidak punya banyak waktu!" seru Aldric. "Cari air dan makanan secepatnya!"

Lyra dan Finn segera berpencar, mencari apa pun yang bisa mereka bawa.

Waktu mereka tidak banyak.

Dan di luar, kematian terus mengintai.

Finn bergegas menuju rak minuman dan mulai memasukkan botol-botol air ke dalam tasnya. Tangannya gemetar saat mendengar suara pukulan zombie di pintu belakang yang semakin kuat.

*"DUG! DUG! DUG!"*

"Kita harus cepat!" teriaknya.

Lyra menyusuri rak-rak kosong, mencari apa pun yang bisa berguna. Dia menemukan beberapa kaleng makanan yang masih tersegel dan segera meraihnya.

Aldric, sementara itu, mengawasi pintu dengan pisau di tangannya. Dia tahu rak kayu yang mereka dorong ke pintu itu tidak akan bertahan lama.

*"BRAK!"*

Salah satu papan kayu mulai retak.

"Ayo keluar dari sini!" seru Aldric.

Finn dan Lyra berlari ke arahnya dengan tas yang sudah penuh.

"Kemana kita keluar?" tanya Lyra, napasnya tersengal.

Aldric melirik ke belakang toko. Ada sebuah pintu lain di sisi kiri, kemungkinan menuju ke lorong penyimpanan barang.

"Kita coba lewat sana," katanya, lalu berlari lebih dulu.

Dia membuka pintu dengan hati-hati. Ruangan di dalamnya gelap, hanya diterangi cahaya yang masuk dari jendela kecil di ujung ruangan. Beberapa kotak kayu berserakan di lantai, dan bau apek memenuhi udara.

Mereka bertiga masuk dan menutup pintu di belakang mereka.

"Ada jalan keluar?" tanya Finn.

Aldric berjalan perlahan, memperhatikan sekeliling. Dia melihat sebuah pintu besi di ujung lorong dengan tanda **KELUAR** di atasnya.

"Tunggu di sini," katanya, lalu berjalan mendekati pintu itu.

Tangannya meraih pegangan pintu dan mendorongnya pelan.

*"CETAK!"*

Pintu itu terkunci.

"Sial," gumamnya.

Tapi sebelum dia bisa berbuat apa-apa, suara geraman terdengar dari sudut ruangan.

*"GRAHHH!"*

Dari balik tumpukan kotak kayu, seorang zombie tiba-tiba bangkit dan berjalan terseok ke arah mereka.

Lyra terkejut dan mundur selangkah. "Aldric!"

Aldric bergerak cepat.

Dia menghunus pisaunya dan menunggu sampai zombie itu cukup dekat. Saat makhluk itu mengayunkan tangannya, Aldric menghindar dan langsung menusukkan pisaunya ke bawah dagu zombie itu.

Darah hitam menyembur saat zombie itu terhuyung, lalu ambruk.

Namun suara gaduh itu menarik perhatian.

Dari luar ruangan, zombie-zombie mulai menabrakkan diri ke dinding dan pintu.

"Kita tidak bisa terjebak di sini!" teriak Finn.

Aldric mencoba mendorong pintu besi lagi, tapi tetap terkunci. Dia melihat ke kanan dan menemukan sebuah jendela kecil, cukup besar untuk mereka lewati.

"Kita keluar lewat sini!" katanya.

Dia segera memecahkan kaca dengan gagang pisaunya, lalu membersihkan pecahannya agar mereka bisa lewat dengan aman.

"Sekarang cepat keluar!"

Finn naik lebih dulu, diikuti oleh Lyra. Aldric menunggu sampai mereka berdua di luar sebelum akhirnya ikut naik.

Begitu mereka semua berhasil keluar, mereka menemukan diri mereka berada di sebuah gang sempit di belakang toko.

Jalanan tampak sepi, tapi mereka tahu itu hanya masalah waktu sebelum zombie menemukan mereka lagi.

Aldric menatap Lyra dan Finn. "Kita harus kembali ke tempat persembunyian. Sekarang."

Tanpa membuang waktu, mereka berlari kembali ke tempat persembunyian, meninggalkan toko yang kini penuh dengan zombie mengamuk di dalamnya.

Dunia di luar semakin berbahaya.

Dan mereka tahu, ini baru permulaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • THE DEAD WALK   kelahiran para monster

    Asap tipis masih menggantung di udara ruang reaktor. Tubuh mutasi pertama yang mereka lumpuhkan tergeletak diam, dagingnya perlahan mencair karena ketidakstabilan genetik pasca chip-nya rusak. Tapi di atas, langkah-langkah berat dan geraman yang tak asing menggema—dan kali ini, jumlahnya lebih dari satu.Kaela menelan ludah, tangannya menggenggam erat senjata yang kini tak lebih dari besi tua tanpa amunisi. “Berapa banyak, Elio?” bisiknya.Elio, yang memeriksa panel yang telah mati, menjawab lirih, “Jika mereka berhasil menyempurnakan duplikasi sel mutasi… bisa sepuluh. Atau seratus.”Rio yang masih duduk bersandar dengan darah mengalir di pelipisnya mendesis pelan. “Kita nggak punya cukup peluru buat satu pun…”Dari tangga spiral, suara geraman semakin keras. Elio bergerak cepat menuju panel cadangan energi. “Aku bisa aktifkan kembali genset cadangan, tapi hanya cukup untuk satu percobaan… entah kita nyalakan lift darurat, atau—”“Bom reaktor?” Kaela memotong cepat.Elio menatapnya.

  • THE DEAD WALK   Neraka di Laboratorium

    Geraman itu semakin dekat. Lantainya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang sangat besar tengah melangkah mendekat.Kaela menoleh cepat ke Elio dan Rio. “Tutup pintunya! Cepat!”Rio melompat ke panel kontrol, mencari tombol pengunci otomatis. Tapi monitor sudah dibajak. Hanya satu pesan besar yang terpampang:**“WE ARE WATCHING.”**Elio memutar badan dan mengarahkan senapan ke arah lorong. “Ada sesuatu yang salah. Ini bukan gerombolan zombie biasa.”Kaela menggeret koper kecil dari bawah meja—tempat penyimpanan serum uji. Tangannya gemetar saat dia memindahkan file dari server ke USB cadangan. “Aku butuh satu menit lagi.”Lalu, suara itu datang. Bukan hanya geraman, tapi seperti suara nafas besar… dan langkah berat… lalu—cakar mencakar logam.ZRAKK!Pintu baja berderit, bengkok dari luar. “SIAL!” teriak Rio. “Dia lagi dobrak dari luar!”Tepat ketika Elio siap menembak, makhluk itu menerobos masuk—bukan zombie biasa. Lebih besar, lebih cepat, dan lebih pintar.“Mutasi…” Kaela berguma

  • THE DEAD WALK   Pertaruhan di Udara

    Helikopter hitam mengudara, rotor berputar cepat membelah langit malam. Lampu-lampu navigasi berkedip di bawah tubuh logamnya yang kokoh. Dari kejauhan, Kaela bisa melihat cahaya merahnya—suar penyelamat yang sudah ditunggu sejak hari pertama misi dimulai.“Dekatkan ke arah timur laut! Mereka ada di sana!” Suara pilot terdengar dari radio. Di dalam mobil, Kaela mendengar helikopter mendekat lewat suara getaran udara yang berat. Rio mempercepat laju kendaraan, menabrak ranting dan batu, tak peduli dengan guncangan.“Kita nggak bisa berhenti di titik terbuka. Terlalu berisiko,” kata Elio yang kini duduk di kursi belakang dengan senapan siap tembak.“Titik koordinat evakuasi ada di balik bukit itu!” teriak Kaela sambil menunjuk ke arah kiri.Rio menginjak pedal rem dan membanting setir, mobil hampir terguling, tapi ia berhasil mengendalikan. Mereka berbelok menuju lereng kecil yang mengarah ke padang rumput terbuka—tempat helikopter mulai menurunkan tali penyelamat.Namun, dari kejauhan

  • THE DEAD WALK   pelarian tengah malam

    Bunyi deru kendaraan berat semakin mendekat. Tak ada waktu untuk ragu. Kaela, Rio, Elio, dan yang lainnya mulai bergerak cepat, mengemas dokumen, menghapus jejak digital, dan menyiapkan kendaraan untuk kabur.“Rio, pastikan semua hard drive di server dimusnahkan. Jangan sampai satu bit pun jatuh ke tangan mereka,” perintah Kaela sambil meraih senapan dan headset komunikasinya.Rio sudah paham, tak perlu dijelaskan dua kali. Sementara Elio dan dua orang lainnya mulai mengalihkan perhatian dengan memasang jebakan-jebakan kecil di jalur masuk utama.Di luar, drone pengintai mulai berputar di atas markas. Sinar merahnya menyorot dari atas langit seperti mata tajam yang tak pernah tidur. Satu per satu suara-suara aneh mulai terdengar—bukan zombie, melainkan sepatu bot tentara menyusuri aspal dan tanah. Mereka sudah sangat dekat.Kaela menarik napas panjang. “Kita harus keluar lewat lorong timur. Terowongan lama yang Elio temuin kemarin.”Elio mengangguk. “Udah gue bersihin. Tapi sempit. Ki

  • THE DEAD WALK   Luka yang Belum Sembuh

    Markas musuh sudah dikuasai. Beberapa dari mereka menyerah, sisanya melarikan diri. Tapi bukan itu yang membuat Kaela duduk terpaku di sudut ruangan, memandangi tubuh lelaki yang baru saja ia tembak mati.Bukan karena ia menyesal—Kaela tahu pria itu pantas mati. Tapi kalimat terakhirnya seperti menusuk langsung ke masa lalunya.“Kau mirip ibumu…”Rio mendekat perlahan. “Kaela, lo nggak apa-apa?”Kaela menggeleng pelan. “Dia tahu ibuku, Rio. Dia bahkan tahu aku.”Rio duduk di sebelahnya. Tangannya menyentuh lengan Kaela dengan lembut. “Lo yakin itu bukan omong kosong terakhir sebelum mati?”Kaela menghela napas. “Nada suaranya beda. Bukan cuma ancaman. Kayak... dia tahu sesuatu yang selama ini aku nggak tahu.”Tiba-tiba Elio masuk tergesa-gesa. “Kael, lo harus lihat ini.”Mereka mengikuti Elio ke salah satu ruangan di dalam markas itu. Di dalamnya, penuh dengan dokumen, peta, dan foto-foto yang tertempel di papan. Ada juga satu folder yang membuat Kaela langsung mematung saat melihat l

  • THE DEAD WALK   Dendam yang Terbakar

    Malam itu, langit memerah karena api dari kendaraan musuh yang terbakar. Asap mengepul tinggi, seperti penanda bahwa pertempuran itu telah terjadi… dan seseorang telah tumbang. Tapi yang jatuh bukan hanya tubuh, melainkan juga ketenangan hati Kaela.Di pos medis darurat, Elio merawat luka-lukanya sendiri sambil melirik ke arah sudut tenda—di mana Kaela duduk diam, wajahnya tak berekspresi, bajunya masih bernoda darah Gavin.“Dia menyelamatkanku,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Rio masuk dengan langkah berat. “Kami berhasil mengusir mereka. Tapi mereka akan kembali. Mereka tahu kita kuat sekarang... dan mereka tak suka kalah.”Kaela tak menjawab. Matanya tertuju pada tanah. Ia tak menangis. Tapi justru itulah yang menakutkan bagi mereka yang mengenalnya.“Gue... butuh waktu sendiri,” katanya singkat.Rio mengangguk, tahu tak ada gunanya memaksa. Ia menepuk bahu Elio lalu keluar.Kaela berdiri, berjalan ke luar tenda. Udara malam menusuk kulit, tapi pikirannya jauh lebih dingin.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status