Home / Thriller / THE DEAD WALK / Orang asing di tengah kematian

Share

Orang asing di tengah kematian

Author: Agung Nugraha
last update Last Updated: 2025-03-04 09:12:54

Perempuan itu masih berdiri di tempatnya, matanya menatap Aldric penuh kewaspadaan. Tangannya tetap menggenggam erat besi panjang yang bisa saja ia gunakan untuk menyerang.

Aldric paham. Di dunia yang sudah hancur seperti ini, tidak ada yang bisa langsung percaya pada orang asing.

"Aku Aldric," ucapnya, berusaha membuat nada suaranya tetap tenang.

Perempuan itu tidak segera merespons. Napasnya masih berat, seakan menahan diri untuk tidak langsung melarikan diri atau menyerangnya.

"Kalau kamu mau membunuhku, kamu pasti sudah melakukannya," katanya akhirnya.

Aldric mengangguk. "Aku cuma cari tempat berlindung. Bukan musuhmu."

Perempuan itu mengendurkan sedikit genggamannya pada besi di tangannya, tapi masih tetap berjaga-jaga. "Namaku Lyra," katanya lirih.

Aldric mengamati Lyra lebih jelas sekarang. Bajunya kotor dan robek di beberapa bagian. Ada bekas luka di lengannya, tapi tampaknya bukan gigitan zombie. Rambutnya berantakan, dan matanya penuh kelelahan—seperti seseorang yang sudah lama tidak tidur dengan tenang.

"Kamu sendirian?" tanya Aldric.

Lyra menelan ludah, lalu mengangguk pelan. "Mereka semua sudah mati..." suaranya hampir tak terdengar.

Aldric diam. Dia tidak bertanya lebih jauh. Dia tahu bagaimana rasanya kehilangan orang-orang. Di dunia sekarang, semua orang pasti sudah kehilangan sesuatu—atau seseorang.

Dari luar toko, terdengar suara langkah kaki terseret.

Aldric langsung menoleh ke arah jendela yang sudah pecah. Dari balik kaca yang retak, dua zombie yang tadi dia lihat di jalanan mulai mendekat ke toko.

"Sial," gumamnya.

Lyra juga melihatnya. Dia mundur selangkah, wajahnya tegang. "Mereka pasti mendengar suara kita..."

Aldric merapat ke tembok, mengintip ke luar. Jumlah mereka bertambah. Dari dua, sekarang ada lima.

"Mereka akan masuk kalau kita tidak segera pergi," kata Aldric.

Lyra menggigit bibirnya. "Aku tahu jalan keluar belakang."

Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua bergerak ke belakang toko. Langkah mereka ringan, berusaha tidak membuat suara. Tapi sebelum mereka sampai ke pintu belakang, terdengar suara kaca yang pecah.

Zombie-zombie itu masuk.

Lyra menahan napas. Aldric meliriknya, memberi isyarat agar tetap diam.

Tapi kemudian, sesuatu jatuh dari rak di dekat mereka.

*"Brak!"*

Zombi-zombi itu langsung menoleh ke arah suara.

Mereka ketahuan.

Aldric langsung menarik tangan Lyra. "Lari!" bisiknya tegas.

Mereka berdua melesat ke arah pintu belakang. Di belakang mereka, suara langkah terseret semakin dekat. Geraman zombie memenuhi ruangan yang tadinya sepi.

Pintu belakang sudah di depan mata. Aldric meraih gagangnya dan mendorong sekuat tenaga.

Terkunci.

"Sial!" desisnya.

Lyra bergegas merogoh saku celananya. "Aku punya kuncinya!" Tangannya gemetar saat mencoba memasukkan kunci ke lubangnya.

Zombie pertama hampir sampai. Aldric tidak punya pilihan. Dia berbalik, mengangkat pisaunya.

Makhluk itu melangkah ke arahnya, mata kosongnya menatap Aldric seperti melihat makanan segar. Bajunya robek, darah kering menempel di seluruh tubuhnya.

Tanpa ragu, Aldric menusukkan pisaunya ke kepala makhluk itu. Ujung pisaunya menembus tengkorak, dan zombie itu langsung tumbang ke lantai dengan suara gedebuk keras.

Tapi itu baru satu. Yang lain masih datang.

"Ayo cepat!" teriak Lyra.

Klik!

Pintu terbuka.

Mereka langsung berlari keluar. Udara segar langsung menyambut mereka, meski bercampur dengan bau busuk dari mayat yang membusuk di sekitar gang belakang.

Lyra segera mengunci pintu kembali dari luar. "Setidaknya mereka tidak akan bisa mengejar kita untuk sementara waktu," katanya, masih terengah-engah.

Aldric mengamati sekeliling. Gang ini sempit, diapit dua gedung tua yang dindingnya sudah penuh lumut. Tempat ini aman—untuk sekarang.

Lyra bersandar ke tembok, berusaha menenangkan napasnya. "Terima kasih..." katanya lirih.

Aldric menghela napas. "Sama-sama. Jadi, ke mana tujuanmu?"

Lyra mengangkat bahu. "Aku hanya mencoba bertahan hidup."

Aldric mengangguk pelan. Di dunia sekarang, itu adalah satu-satunya tujuan semua orang.

"Aku punya tempat perlindungan. Tidak besar, tapi aman," kata Aldric.

Lyra menatapnya ragu. "Kenapa kamu menawarkanku tempat itu?"

Aldric mengangkat bahu. "Karena aku juga butuh seseorang untuk berjaga kalau aku tertidur."

Lyra tersenyum tipis. Itu mungkin bukan alasan sebenarnya, tapi dia menghargainya.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Ayo kita pergi dari sini sebelum lebih banyak yang datang."

Aldric mengangguk. Bersama, mereka mulai berjalan menyusuri dunia yang sudah mati—berusaha mencari cara untuk tetap hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • THE DEAD WALK   kelahiran para monster

    Asap tipis masih menggantung di udara ruang reaktor. Tubuh mutasi pertama yang mereka lumpuhkan tergeletak diam, dagingnya perlahan mencair karena ketidakstabilan genetik pasca chip-nya rusak. Tapi di atas, langkah-langkah berat dan geraman yang tak asing menggema—dan kali ini, jumlahnya lebih dari satu.Kaela menelan ludah, tangannya menggenggam erat senjata yang kini tak lebih dari besi tua tanpa amunisi. “Berapa banyak, Elio?” bisiknya.Elio, yang memeriksa panel yang telah mati, menjawab lirih, “Jika mereka berhasil menyempurnakan duplikasi sel mutasi… bisa sepuluh. Atau seratus.”Rio yang masih duduk bersandar dengan darah mengalir di pelipisnya mendesis pelan. “Kita nggak punya cukup peluru buat satu pun…”Dari tangga spiral, suara geraman semakin keras. Elio bergerak cepat menuju panel cadangan energi. “Aku bisa aktifkan kembali genset cadangan, tapi hanya cukup untuk satu percobaan… entah kita nyalakan lift darurat, atau—”“Bom reaktor?” Kaela memotong cepat.Elio menatapnya.

  • THE DEAD WALK   Neraka di Laboratorium

    Geraman itu semakin dekat. Lantainya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang sangat besar tengah melangkah mendekat.Kaela menoleh cepat ke Elio dan Rio. “Tutup pintunya! Cepat!”Rio melompat ke panel kontrol, mencari tombol pengunci otomatis. Tapi monitor sudah dibajak. Hanya satu pesan besar yang terpampang:**“WE ARE WATCHING.”**Elio memutar badan dan mengarahkan senapan ke arah lorong. “Ada sesuatu yang salah. Ini bukan gerombolan zombie biasa.”Kaela menggeret koper kecil dari bawah meja—tempat penyimpanan serum uji. Tangannya gemetar saat dia memindahkan file dari server ke USB cadangan. “Aku butuh satu menit lagi.”Lalu, suara itu datang. Bukan hanya geraman, tapi seperti suara nafas besar… dan langkah berat… lalu—cakar mencakar logam.ZRAKK!Pintu baja berderit, bengkok dari luar. “SIAL!” teriak Rio. “Dia lagi dobrak dari luar!”Tepat ketika Elio siap menembak, makhluk itu menerobos masuk—bukan zombie biasa. Lebih besar, lebih cepat, dan lebih pintar.“Mutasi…” Kaela berguma

  • THE DEAD WALK   Pertaruhan di Udara

    Helikopter hitam mengudara, rotor berputar cepat membelah langit malam. Lampu-lampu navigasi berkedip di bawah tubuh logamnya yang kokoh. Dari kejauhan, Kaela bisa melihat cahaya merahnya—suar penyelamat yang sudah ditunggu sejak hari pertama misi dimulai.“Dekatkan ke arah timur laut! Mereka ada di sana!” Suara pilot terdengar dari radio. Di dalam mobil, Kaela mendengar helikopter mendekat lewat suara getaran udara yang berat. Rio mempercepat laju kendaraan, menabrak ranting dan batu, tak peduli dengan guncangan.“Kita nggak bisa berhenti di titik terbuka. Terlalu berisiko,” kata Elio yang kini duduk di kursi belakang dengan senapan siap tembak.“Titik koordinat evakuasi ada di balik bukit itu!” teriak Kaela sambil menunjuk ke arah kiri.Rio menginjak pedal rem dan membanting setir, mobil hampir terguling, tapi ia berhasil mengendalikan. Mereka berbelok menuju lereng kecil yang mengarah ke padang rumput terbuka—tempat helikopter mulai menurunkan tali penyelamat.Namun, dari kejauhan

  • THE DEAD WALK   pelarian tengah malam

    Bunyi deru kendaraan berat semakin mendekat. Tak ada waktu untuk ragu. Kaela, Rio, Elio, dan yang lainnya mulai bergerak cepat, mengemas dokumen, menghapus jejak digital, dan menyiapkan kendaraan untuk kabur.“Rio, pastikan semua hard drive di server dimusnahkan. Jangan sampai satu bit pun jatuh ke tangan mereka,” perintah Kaela sambil meraih senapan dan headset komunikasinya.Rio sudah paham, tak perlu dijelaskan dua kali. Sementara Elio dan dua orang lainnya mulai mengalihkan perhatian dengan memasang jebakan-jebakan kecil di jalur masuk utama.Di luar, drone pengintai mulai berputar di atas markas. Sinar merahnya menyorot dari atas langit seperti mata tajam yang tak pernah tidur. Satu per satu suara-suara aneh mulai terdengar—bukan zombie, melainkan sepatu bot tentara menyusuri aspal dan tanah. Mereka sudah sangat dekat.Kaela menarik napas panjang. “Kita harus keluar lewat lorong timur. Terowongan lama yang Elio temuin kemarin.”Elio mengangguk. “Udah gue bersihin. Tapi sempit. Ki

  • THE DEAD WALK   Luka yang Belum Sembuh

    Markas musuh sudah dikuasai. Beberapa dari mereka menyerah, sisanya melarikan diri. Tapi bukan itu yang membuat Kaela duduk terpaku di sudut ruangan, memandangi tubuh lelaki yang baru saja ia tembak mati.Bukan karena ia menyesal—Kaela tahu pria itu pantas mati. Tapi kalimat terakhirnya seperti menusuk langsung ke masa lalunya.“Kau mirip ibumu…”Rio mendekat perlahan. “Kaela, lo nggak apa-apa?”Kaela menggeleng pelan. “Dia tahu ibuku, Rio. Dia bahkan tahu aku.”Rio duduk di sebelahnya. Tangannya menyentuh lengan Kaela dengan lembut. “Lo yakin itu bukan omong kosong terakhir sebelum mati?”Kaela menghela napas. “Nada suaranya beda. Bukan cuma ancaman. Kayak... dia tahu sesuatu yang selama ini aku nggak tahu.”Tiba-tiba Elio masuk tergesa-gesa. “Kael, lo harus lihat ini.”Mereka mengikuti Elio ke salah satu ruangan di dalam markas itu. Di dalamnya, penuh dengan dokumen, peta, dan foto-foto yang tertempel di papan. Ada juga satu folder yang membuat Kaela langsung mematung saat melihat l

  • THE DEAD WALK   Dendam yang Terbakar

    Malam itu, langit memerah karena api dari kendaraan musuh yang terbakar. Asap mengepul tinggi, seperti penanda bahwa pertempuran itu telah terjadi… dan seseorang telah tumbang. Tapi yang jatuh bukan hanya tubuh, melainkan juga ketenangan hati Kaela.Di pos medis darurat, Elio merawat luka-lukanya sendiri sambil melirik ke arah sudut tenda—di mana Kaela duduk diam, wajahnya tak berekspresi, bajunya masih bernoda darah Gavin.“Dia menyelamatkanku,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Rio masuk dengan langkah berat. “Kami berhasil mengusir mereka. Tapi mereka akan kembali. Mereka tahu kita kuat sekarang... dan mereka tak suka kalah.”Kaela tak menjawab. Matanya tertuju pada tanah. Ia tak menangis. Tapi justru itulah yang menakutkan bagi mereka yang mengenalnya.“Gue... butuh waktu sendiri,” katanya singkat.Rio mengangguk, tahu tak ada gunanya memaksa. Ia menepuk bahu Elio lalu keluar.Kaela berdiri, berjalan ke luar tenda. Udara malam menusuk kulit, tapi pikirannya jauh lebih dingin.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status