Home / Thriller / THE DEAD WALK / Hari dimana dunia berhenti

Share

THE DEAD WALK
THE DEAD WALK
Author: Agung Nugraha

Hari dimana dunia berhenti

Author: Agung Nugraha
last update Last Updated: 2025-03-03 07:14:09

Langit mendung, seolah tahu bahwa dunia sudah tidak sama lagi. Jalanan kosong, tak ada suara klakson, tak ada suara orang-orang mengobrol, hanya angin yang berbisik di antara bangunan yang mulai ditinggalkan.

Aldric berjalan perlahan di tengah kota yang sekarang lebih mirip kuburan raksasa. Mobil-mobil terbengkalai di jalanan, sebagian masih menyisakan bekas darah yang sudah mengering. Mayat-mayat tergeletak di trotoar, sebagian hancur, sebagian lagi masih utuh, seakan tertidur selamanya.

Dulu, dia tidak pernah membayangkan hidup di dunia seperti ini. Dunia tempat manusia lebih takut pada sesamanya daripada pada kematian itu sendiri.

Ia merapatkan jaketnya dan meraih pisau berburu yang terselip di ikat pinggangnya. Setiap langkahnya harus hati-hati. Salah sedikit, nyawanya bisa melayang.

Tiba-tiba, ada suara dari belakang sebuah mobil yang terguling.

*"Kraak... kraak..."*

Suara langkah terseok-seok di atas aspal.

Aldric menahan napas. Tangannya mengeratkan genggaman pada pisaunya.

Dan di sanalah dia—sosok itu muncul dari balik mobil, tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan matanya kosong. Mulutnya berlumuran darah kering, dengan rahang yang bergerak-gerak seperti mengunyah sesuatu yang tidak ada.

Zombie.

Aldric mundur selangkah. Dia pernah melihat hal ini sebelumnya. Cara bergeraknya, ekspresi kosongnya—makhluk itu tidak punya kesadaran. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya: makan.

Zombie itu mengeluarkan suara geraman serak, lalu mulai berjalan tertatih ke arahnya.

Aldric menarik napas dalam. Dia tahu satu hal—untuk membunuh mereka, dia harus menusuk kepalanya.

Saat zombie itu semakin dekat, Aldric mengangkat pisaunya.

Zombie itu semakin dekat, langkahnya terseret, tapi tatapannya terkunci pada Aldric. Bau busuk menguar dari tubuhnya, perpaduan antara daging membusuk dan darah kering.

Aldric menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya dia menghadapi makhluk seperti ini, tapi tetap saja, jantungnya berdebar kencang. Dia mengangkat pisaunya, bersiap untuk menyerang.

*"GRAAAHHH!"*

Makhluk itu menggeram, lalu melompat ke arahnya lebih cepat dari yang dia perkirakan. Aldric terkejut, tapi refleksnya bekerja. Dia menghindar ke samping, membuat zombie itu jatuh tersungkur ke aspal.

Tanpa membuang waktu, Aldric mengayunkan pisaunya dan menghujamkannya tepat ke tengkorak makhluk itu. Mata zombie itu membelalak sesaat sebelum akhirnya diam. Tubuhnya berhenti bergerak.

Aldric menarik napas panjang, lalu mencabut pisaunya yang kini berlumuran darah hitam pekat. Dia mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan.

"Satu lagi jatuh..." gumamnya.

Dia menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada lagi yang mendekat. Biasanya, suara seperti tadi bisa menarik lebih banyak zombie. Dan benar saja—dari ujung jalan, dua sosok lain mulai berjalan tertatih ke arahnya.

"Sial," desis Aldric.

Dia harus pergi dari sini.

Mengalihkan perhatiannya dari mayat zombie yang baru saja dia bunuh, Aldric berlari menyelinap di antara mobil-mobil yang terbengkalai. Dia tidak boleh bertarung di tempat terbuka seperti ini. Terlalu berisiko.

Matanya mencari-cari tempat perlindungan. Di seberang jalan, ada sebuah toko swalayan yang tampaknya sudah lama ditinggalkan. Pintu kacanya pecah, rak-raknya kosong, tapi setidaknya ada tempat untuk bersembunyi.

Aldric segera berlari ke sana.

Saat dia masuk, bau apek langsung menyergap hidungnya. Dia mengintip ke luar jendela, memastikan zombie tadi tidak mengikutinya. Dua makhluk itu masih berjalan di jalanan, tampaknya tidak melihatnya masuk ke sini.

Aldric menghela napas. Setidaknya untuk sekarang, dia aman.

Dia berjalan ke belakang rak-rak kosong, berharap menemukan sesuatu yang berguna. Tapi kebanyakan sudah dijarah. Satu-satunya yang tersisa hanyalah beberapa bungkus makanan ringan yang sudah kedaluwarsa.

Saat dia hendak berbalik, sesuatu bergerak di ujung lorong.

Aldric langsung waspada, mengangkat pisaunya.

"D-Diam di tempat!" serunya.

Dari balik rak yang roboh, muncul seorang perempuan. Rambutnya kusut, wajahnya kotor, dan dia terlihat ketakutan. Tangannya gemetar saat mengangkat sebatang besi, bersiap untuk menyerang.

"K-Kamu siapa?!" perempuan itu bertanya dengan suara bergetar.

Aldric menatapnya. Dia tidak menyangka masih ada orang lain di sini.

"Aku bukan musuh," jawab Aldric, menurunkan pisaunya sedikit.

Perempuan itu tetap waspada, tapi matanya menunjukkan sesuatu yang sudah jarang Aldric lihat di dunia ini—harapan.

Di tengah dunia yang sudah mati, apakah masih ada orang yang bisa dipercaya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • THE DEAD WALK   kelahiran para monster

    Asap tipis masih menggantung di udara ruang reaktor. Tubuh mutasi pertama yang mereka lumpuhkan tergeletak diam, dagingnya perlahan mencair karena ketidakstabilan genetik pasca chip-nya rusak. Tapi di atas, langkah-langkah berat dan geraman yang tak asing menggema—dan kali ini, jumlahnya lebih dari satu.Kaela menelan ludah, tangannya menggenggam erat senjata yang kini tak lebih dari besi tua tanpa amunisi. “Berapa banyak, Elio?” bisiknya.Elio, yang memeriksa panel yang telah mati, menjawab lirih, “Jika mereka berhasil menyempurnakan duplikasi sel mutasi… bisa sepuluh. Atau seratus.”Rio yang masih duduk bersandar dengan darah mengalir di pelipisnya mendesis pelan. “Kita nggak punya cukup peluru buat satu pun…”Dari tangga spiral, suara geraman semakin keras. Elio bergerak cepat menuju panel cadangan energi. “Aku bisa aktifkan kembali genset cadangan, tapi hanya cukup untuk satu percobaan… entah kita nyalakan lift darurat, atau—”“Bom reaktor?” Kaela memotong cepat.Elio menatapnya.

  • THE DEAD WALK   Neraka di Laboratorium

    Geraman itu semakin dekat. Lantainya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang sangat besar tengah melangkah mendekat.Kaela menoleh cepat ke Elio dan Rio. “Tutup pintunya! Cepat!”Rio melompat ke panel kontrol, mencari tombol pengunci otomatis. Tapi monitor sudah dibajak. Hanya satu pesan besar yang terpampang:**“WE ARE WATCHING.”**Elio memutar badan dan mengarahkan senapan ke arah lorong. “Ada sesuatu yang salah. Ini bukan gerombolan zombie biasa.”Kaela menggeret koper kecil dari bawah meja—tempat penyimpanan serum uji. Tangannya gemetar saat dia memindahkan file dari server ke USB cadangan. “Aku butuh satu menit lagi.”Lalu, suara itu datang. Bukan hanya geraman, tapi seperti suara nafas besar… dan langkah berat… lalu—cakar mencakar logam.ZRAKK!Pintu baja berderit, bengkok dari luar. “SIAL!” teriak Rio. “Dia lagi dobrak dari luar!”Tepat ketika Elio siap menembak, makhluk itu menerobos masuk—bukan zombie biasa. Lebih besar, lebih cepat, dan lebih pintar.“Mutasi…” Kaela berguma

  • THE DEAD WALK   Pertaruhan di Udara

    Helikopter hitam mengudara, rotor berputar cepat membelah langit malam. Lampu-lampu navigasi berkedip di bawah tubuh logamnya yang kokoh. Dari kejauhan, Kaela bisa melihat cahaya merahnya—suar penyelamat yang sudah ditunggu sejak hari pertama misi dimulai.“Dekatkan ke arah timur laut! Mereka ada di sana!” Suara pilot terdengar dari radio. Di dalam mobil, Kaela mendengar helikopter mendekat lewat suara getaran udara yang berat. Rio mempercepat laju kendaraan, menabrak ranting dan batu, tak peduli dengan guncangan.“Kita nggak bisa berhenti di titik terbuka. Terlalu berisiko,” kata Elio yang kini duduk di kursi belakang dengan senapan siap tembak.“Titik koordinat evakuasi ada di balik bukit itu!” teriak Kaela sambil menunjuk ke arah kiri.Rio menginjak pedal rem dan membanting setir, mobil hampir terguling, tapi ia berhasil mengendalikan. Mereka berbelok menuju lereng kecil yang mengarah ke padang rumput terbuka—tempat helikopter mulai menurunkan tali penyelamat.Namun, dari kejauhan

  • THE DEAD WALK   pelarian tengah malam

    Bunyi deru kendaraan berat semakin mendekat. Tak ada waktu untuk ragu. Kaela, Rio, Elio, dan yang lainnya mulai bergerak cepat, mengemas dokumen, menghapus jejak digital, dan menyiapkan kendaraan untuk kabur.“Rio, pastikan semua hard drive di server dimusnahkan. Jangan sampai satu bit pun jatuh ke tangan mereka,” perintah Kaela sambil meraih senapan dan headset komunikasinya.Rio sudah paham, tak perlu dijelaskan dua kali. Sementara Elio dan dua orang lainnya mulai mengalihkan perhatian dengan memasang jebakan-jebakan kecil di jalur masuk utama.Di luar, drone pengintai mulai berputar di atas markas. Sinar merahnya menyorot dari atas langit seperti mata tajam yang tak pernah tidur. Satu per satu suara-suara aneh mulai terdengar—bukan zombie, melainkan sepatu bot tentara menyusuri aspal dan tanah. Mereka sudah sangat dekat.Kaela menarik napas panjang. “Kita harus keluar lewat lorong timur. Terowongan lama yang Elio temuin kemarin.”Elio mengangguk. “Udah gue bersihin. Tapi sempit. Ki

  • THE DEAD WALK   Luka yang Belum Sembuh

    Markas musuh sudah dikuasai. Beberapa dari mereka menyerah, sisanya melarikan diri. Tapi bukan itu yang membuat Kaela duduk terpaku di sudut ruangan, memandangi tubuh lelaki yang baru saja ia tembak mati.Bukan karena ia menyesal—Kaela tahu pria itu pantas mati. Tapi kalimat terakhirnya seperti menusuk langsung ke masa lalunya.“Kau mirip ibumu…”Rio mendekat perlahan. “Kaela, lo nggak apa-apa?”Kaela menggeleng pelan. “Dia tahu ibuku, Rio. Dia bahkan tahu aku.”Rio duduk di sebelahnya. Tangannya menyentuh lengan Kaela dengan lembut. “Lo yakin itu bukan omong kosong terakhir sebelum mati?”Kaela menghela napas. “Nada suaranya beda. Bukan cuma ancaman. Kayak... dia tahu sesuatu yang selama ini aku nggak tahu.”Tiba-tiba Elio masuk tergesa-gesa. “Kael, lo harus lihat ini.”Mereka mengikuti Elio ke salah satu ruangan di dalam markas itu. Di dalamnya, penuh dengan dokumen, peta, dan foto-foto yang tertempel di papan. Ada juga satu folder yang membuat Kaela langsung mematung saat melihat l

  • THE DEAD WALK   Dendam yang Terbakar

    Malam itu, langit memerah karena api dari kendaraan musuh yang terbakar. Asap mengepul tinggi, seperti penanda bahwa pertempuran itu telah terjadi… dan seseorang telah tumbang. Tapi yang jatuh bukan hanya tubuh, melainkan juga ketenangan hati Kaela.Di pos medis darurat, Elio merawat luka-lukanya sendiri sambil melirik ke arah sudut tenda—di mana Kaela duduk diam, wajahnya tak berekspresi, bajunya masih bernoda darah Gavin.“Dia menyelamatkanku,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Rio masuk dengan langkah berat. “Kami berhasil mengusir mereka. Tapi mereka akan kembali. Mereka tahu kita kuat sekarang... dan mereka tak suka kalah.”Kaela tak menjawab. Matanya tertuju pada tanah. Ia tak menangis. Tapi justru itulah yang menakutkan bagi mereka yang mengenalnya.“Gue... butuh waktu sendiri,” katanya singkat.Rio mengangguk, tahu tak ada gunanya memaksa. Ia menepuk bahu Elio lalu keluar.Kaela berdiri, berjalan ke luar tenda. Udara malam menusuk kulit, tapi pikirannya jauh lebih dingin.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status