Beranda / Thriller / THE DEAD WALK / Neraka di Laboratorium

Share

Neraka di Laboratorium

Penulis: Agung Nugraha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-08 23:49:42

Geraman itu semakin dekat. Lantainya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang sangat besar tengah melangkah mendekat.

Kaela menoleh cepat ke Elio dan Rio. “Tutup pintunya! Cepat!”

Rio melompat ke panel kontrol, mencari tombol pengunci otomatis. Tapi monitor sudah dibajak. Hanya satu pesan besar yang terpampang:

**“WE ARE WATCHING.”**

Elio memutar badan dan mengarahkan senapan ke arah lorong. “Ada sesuatu yang salah. Ini bukan gerombolan zombie biasa.”

Kaela menggeret koper kecil dari bawah meja—tempat penyimpanan serum uji. Tangannya gemetar saat dia memindahkan file dari server ke USB cadangan. “Aku butuh satu menit lagi.”

Lalu, suara itu datang. Bukan hanya geraman, tapi seperti suara nafas besar… dan langkah berat… lalu—cakar mencakar logam.

ZRAKK!

Pintu baja berderit, bengkok dari luar. “SIAL!” teriak Rio. “Dia lagi dobrak dari luar!”

Tepat ketika Elio siap menembak, makhluk itu menerobos masuk—bukan zombie biasa. Lebih besar, lebih cepat, dan lebih pintar.

“Mutasi…” Kaela berguma
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • THE DEAD WALK   Neraka di Laboratorium

    Geraman itu semakin dekat. Lantainya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang sangat besar tengah melangkah mendekat.Kaela menoleh cepat ke Elio dan Rio. “Tutup pintunya! Cepat!”Rio melompat ke panel kontrol, mencari tombol pengunci otomatis. Tapi monitor sudah dibajak. Hanya satu pesan besar yang terpampang:**“WE ARE WATCHING.”**Elio memutar badan dan mengarahkan senapan ke arah lorong. “Ada sesuatu yang salah. Ini bukan gerombolan zombie biasa.”Kaela menggeret koper kecil dari bawah meja—tempat penyimpanan serum uji. Tangannya gemetar saat dia memindahkan file dari server ke USB cadangan. “Aku butuh satu menit lagi.”Lalu, suara itu datang. Bukan hanya geraman, tapi seperti suara nafas besar… dan langkah berat… lalu—cakar mencakar logam.ZRAKK!Pintu baja berderit, bengkok dari luar. “SIAL!” teriak Rio. “Dia lagi dobrak dari luar!”Tepat ketika Elio siap menembak, makhluk itu menerobos masuk—bukan zombie biasa. Lebih besar, lebih cepat, dan lebih pintar.“Mutasi…” Kaela berguma

  • THE DEAD WALK   Pertaruhan di Udara

    Helikopter hitam mengudara, rotor berputar cepat membelah langit malam. Lampu-lampu navigasi berkedip di bawah tubuh logamnya yang kokoh. Dari kejauhan, Kaela bisa melihat cahaya merahnya—suar penyelamat yang sudah ditunggu sejak hari pertama misi dimulai.“Dekatkan ke arah timur laut! Mereka ada di sana!” Suara pilot terdengar dari radio. Di dalam mobil, Kaela mendengar helikopter mendekat lewat suara getaran udara yang berat. Rio mempercepat laju kendaraan, menabrak ranting dan batu, tak peduli dengan guncangan.“Kita nggak bisa berhenti di titik terbuka. Terlalu berisiko,” kata Elio yang kini duduk di kursi belakang dengan senapan siap tembak.“Titik koordinat evakuasi ada di balik bukit itu!” teriak Kaela sambil menunjuk ke arah kiri.Rio menginjak pedal rem dan membanting setir, mobil hampir terguling, tapi ia berhasil mengendalikan. Mereka berbelok menuju lereng kecil yang mengarah ke padang rumput terbuka—tempat helikopter mulai menurunkan tali penyelamat.Namun, dari kejauhan

  • THE DEAD WALK   pelarian tengah malam

    Bunyi deru kendaraan berat semakin mendekat. Tak ada waktu untuk ragu. Kaela, Rio, Elio, dan yang lainnya mulai bergerak cepat, mengemas dokumen, menghapus jejak digital, dan menyiapkan kendaraan untuk kabur.“Rio, pastikan semua hard drive di server dimusnahkan. Jangan sampai satu bit pun jatuh ke tangan mereka,” perintah Kaela sambil meraih senapan dan headset komunikasinya.Rio sudah paham, tak perlu dijelaskan dua kali. Sementara Elio dan dua orang lainnya mulai mengalihkan perhatian dengan memasang jebakan-jebakan kecil di jalur masuk utama.Di luar, drone pengintai mulai berputar di atas markas. Sinar merahnya menyorot dari atas langit seperti mata tajam yang tak pernah tidur. Satu per satu suara-suara aneh mulai terdengar—bukan zombie, melainkan sepatu bot tentara menyusuri aspal dan tanah. Mereka sudah sangat dekat.Kaela menarik napas panjang. “Kita harus keluar lewat lorong timur. Terowongan lama yang Elio temuin kemarin.”Elio mengangguk. “Udah gue bersihin. Tapi sempit. Ki

  • THE DEAD WALK   Luka yang Belum Sembuh

    Markas musuh sudah dikuasai. Beberapa dari mereka menyerah, sisanya melarikan diri. Tapi bukan itu yang membuat Kaela duduk terpaku di sudut ruangan, memandangi tubuh lelaki yang baru saja ia tembak mati.Bukan karena ia menyesal—Kaela tahu pria itu pantas mati. Tapi kalimat terakhirnya seperti menusuk langsung ke masa lalunya.“Kau mirip ibumu…”Rio mendekat perlahan. “Kaela, lo nggak apa-apa?”Kaela menggeleng pelan. “Dia tahu ibuku, Rio. Dia bahkan tahu aku.”Rio duduk di sebelahnya. Tangannya menyentuh lengan Kaela dengan lembut. “Lo yakin itu bukan omong kosong terakhir sebelum mati?”Kaela menghela napas. “Nada suaranya beda. Bukan cuma ancaman. Kayak... dia tahu sesuatu yang selama ini aku nggak tahu.”Tiba-tiba Elio masuk tergesa-gesa. “Kael, lo harus lihat ini.”Mereka mengikuti Elio ke salah satu ruangan di dalam markas itu. Di dalamnya, penuh dengan dokumen, peta, dan foto-foto yang tertempel di papan. Ada juga satu folder yang membuat Kaela langsung mematung saat melihat l

  • THE DEAD WALK   Dendam yang Terbakar

    Malam itu, langit memerah karena api dari kendaraan musuh yang terbakar. Asap mengepul tinggi, seperti penanda bahwa pertempuran itu telah terjadi… dan seseorang telah tumbang. Tapi yang jatuh bukan hanya tubuh, melainkan juga ketenangan hati Kaela.Di pos medis darurat, Elio merawat luka-lukanya sendiri sambil melirik ke arah sudut tenda—di mana Kaela duduk diam, wajahnya tak berekspresi, bajunya masih bernoda darah Gavin.“Dia menyelamatkanku,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Rio masuk dengan langkah berat. “Kami berhasil mengusir mereka. Tapi mereka akan kembali. Mereka tahu kita kuat sekarang... dan mereka tak suka kalah.”Kaela tak menjawab. Matanya tertuju pada tanah. Ia tak menangis. Tapi justru itulah yang menakutkan bagi mereka yang mengenalnya.“Gue... butuh waktu sendiri,” katanya singkat.Rio mengangguk, tahu tak ada gunanya memaksa. Ia menepuk bahu Elio lalu keluar.Kaela berdiri, berjalan ke luar tenda. Udara malam menusuk kulit, tapi pikirannya jauh lebih dingin.

  • THE DEAD WALK   api di tengah malam

    Pagi-pagi buta, kabut tebal masih menyelimuti perbukitan. Tapi di balik kabut itu, kesibukan telah dimulai. Gavin berdiri di tengah lapangan tanah yang dijadikan titik pusat perencanaan, tangannya menunjuk beberapa titik di peta tanah yang sudah mulai pudar warnanya.“Kita tanam paku besi dan kawat berduri di jalur ini. Lalu pasang jebakan api di sisi barat.” Arden menambahkan, “Dan di bagian utara, aku bisa bikin semacam jebakan jeblos. Cukup buat nahan kendaraan kecil.”Gavin mengangguk. “Bagus. Tapi kita butuh pengalihan. Kalau mereka punya sniper, kita perlu penembak palsu di atas bukit.”Kaela yang sedari tadi mendengarkan, akhirnya bicara. “Aku bisa jadi pengalihan.”Semua langsung menoleh padanya.“Kamu gila?” kata Rio yang sudah cukup pulih untuk berdiri.Kaela menatapnya serius. “Mereka nyari aku. Mereka pikir aku pemimpinnya. Kalau aku muncul di tempat yang salah... mereka akan fokus ke sana.”Elio menggeleng. “Kaela, kamu—”“Enggak,” potong Kaela. “Ini bukan soal aku lagi.

  • THE DEAD WALK   kamp perbukitan

    Langit pagi mulai memutih saat truk tua itu perlahan menanjak menuju sebuah lereng berbatu. Udara dingin menggigit, tapi aroma pinus dan kabut pagi memberi sedikit ketenangan bagi mereka yang ada di dalam truk.Dari kejauhan, terlihat pagar logam berkarat menjulang di tengah hutan—kamp perbukitan. Di balik pagar itu, beberapa bangunan kecil berdiri dengan cat yang mulai mengelupas, tapi terlihat cukup kokoh untuk tempat berlindung.“Kita sampai,” gumam Arden, suaranya serak karena semalaman tanpa tidur.Kaela menatap ke depan, lalu memutar tubuhnya menghadap semua orang di belakang. “Dengar. Tempat ini bukan surga. Tapi lebih baik dari peluru atau gigitan.”Pintu pagar berderit saat terbuka. Seorang pria berjanggut tebal dengan jaket militer lusuh berdiri di sana, senapannya siap di tangan.“Siapa kalian?”“Penyintas,” jawab Arden singkat. “Kami bukan pembawa masalah. Kami cuma butuh tempat aman.”Pria itu menatap mereka satu per satu, lalu matanya menangkap wajah Rio. Ia mengernyit.

  • THE DEAD WALK   pelarian terakhir

    Langit di atas pabrik mulai memucat. Warna merah muda dan oranye membelah langit, memberi tanda pagi mulai menyingsing. Tapi tak ada yang sempat menikmati keindahan itu. Di halaman pabrik, pertempuran belum selesai.Kaela menunduk di balik drum besi besar bersama Elio dan Arden. Napas mereka berat, tubuh tertutup debu dan bercak darah. Beberapa mayat penjaga berserakan, tapi suara langkah baru mulai mendekat dari sisi utara.“Mereka bawa anjing pelacak sekarang,” desis Elio sambil menajamkan mata ke kejauhan. “Kita harus keluar sebelum...”“Aro!” seru Kaela.Sosok kecil berlari dari dalam pabrik, wajahnya kotor, namun senyum lebar mengembang. Di belakangnya, sekitar dua puluh orang yang baru saja mereka selamatkan.“Kami berhasil keluar dari saluran air!” ujar Rio sambil menarik napas dalam-dalam.“Bagus. Sekarang, semua harus menuju bukit di belakang pagar barat. Ada truk tua yang aku dan Elio sembunyikan waktu awal observasi. Kuncinya ada di bawah kursi pengemudi,” jelas Arden cepat

  • THE DEAD WALK   taktik 3 arah

    Kaela merayap di tanah berlumpur, napasnya tertahan. Di depannya, saluran air tua menyembul dari balik semak—hampir tak terlihat jika tidak tahu letaknya. Besi-besi berkarat membingkai mulutnya, tapi masih cukup lebar untuk tubuh manusia.Ia menoleh ke belakang, memastikan Rio bersembunyi di balik pohon besar seperti rencana. Bocah itu memberi anggukan cepat sebelum berjongkok rendah. Kaela lalu meluncur masuk ke terowongan, tubuhnya menghilang dalam kegelapan.Sementara itu, di sisi berlawanan, Arden dan Elio mulai bergerak. Mereka merayap di balik semak, mendekati pagar depan. Di tangan Arden, ada botol berisi bensin dan sumbu kain—bom molotov darurat. Elio menyiapkan busur panah rakitannya, dengan ujung besi yang diikat dengan kawat.“Begitu aku lempar molotov, kita pisah arah,” bisik Arden.Elio mengangguk. “Tiga... dua... satu...”Botol melayang di udara dan menghantam salah satu menara pengawas. Api membakar kayu dan jerami di dasar menara, menimbulkan ledakan kecil yang menyita

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status