Share

2. PERJANJIAN PRA NIKAH

Masa sebelum prolog...

Sebuah lamborghini hitam baru saja terparkir di depan kafe di daerah kemang, Jakarta.

Seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan postur tubuh yang bisa dibilang sangat ideal terlihat keluar dari dalam mobil mewah itu.

Dia berjalan dengan gaya khasnya, santai, terkesan cuek tapi terlihat begitu mempesona. Satu hal yang kerap membuat begitu banyak pasang mata menatapnya terkesima, karena laki-laki itu memiliki tatapan mata tajam yang mampu melumpuhkan hati siapapun kaum hawa yang berani menatapnya balik.

Termasuk, hati seorang Gabriella Aulia Fahrani.

Seorang gadis cantik yang baru saja menyandang gelar sarjana hukum di USA.

Cantik, pintar dan berasal dari keluarga terpandang. Perfect!

Tapi sayang, dia terlalu angkuh, egois dan sangat perfectionis.

"Ada apa?" tanya Gibran cuek pada Gaby. Laki-laki itu duduk di salah satu bangku di mana Gaby tengah menunggu kedatangannya sejak tadi.

"Besok kita menikah, Gib!" ucap Gaby serius.

"Terus?" jawab Gibran acuh tak acuh. Tatapannya tertuju lurus menatap dalam bola mata Gaby yang hari ini berwarna biru dongker. Warna bola mata yang selalu berubah-ubah setiap harinya.

"Kok terus sih? Guekan udah bilang, gue nggak mau nikah sama lo karena lo udah bohongin gue!" Tegas Gaby yang terus berusaha menekan kuat titik kelemahannya agar tidak luluh akibat tatapan seorang Gibran.

Lagi dan lagi, Gaby terus mencoba mengingkari perasaannya sendiri terhadap Gibran.

Gaby hanya tidak ingin, pada akhirnya perasaan ini akan menghantarkannya pada jurang penyesalan yang mendalam. Susah payah dirinya bangkit dari keterpurukan pasca ditinggal sang Ayah, kini Gaby tak ingin kembali merasakan pedihnya ditinggal pergi lebih dulu oleh seseorang yang begitu dia cintai.

Gaby tahu, hidup dan mati seseorang memang hanya di tangan Tuhan, tapi dengan penyakit yang kini diderita oleh Gibran, tak menutup kemungkinan lelaki itu akan pergi lebih dulu menghadap sang khalik di kemudian hari.

Jadi, sebelum hari itu tiba, Gaby pastikan dia tak akan larut dalam perasaannya terhadap Gibran.

Gaby tak akan memulai sesuatu yang jelas-jelas dia sudah tau bagaimana akhirnya. Dan menjaga jarak adalah satu-satunya hal yang perlu Gaby lakukan untuk saat ini.

"Ya udah, lo tinggal batalin! Susah banget!" balas Gibran yang langsung melengos. Dia gerah mendengar ocehan Gaby yang kerap membuat emosinya memuncak. Perubahan sikap Gaby yang begitu signifikan memang membuat Gibran kaget, tapi seharusnya, ini bukan lagi hal aneh bagi Gibran. Bukankah, semua hubungan yang pernah dia jalin dengan wanita selama ini pasti kandas begitu si wanita tau bahwa Gibran memiliki penyakit serius sejak kecil?

Pada awalnya Gibran sempat menaruh harapan bahwa Gaby berbeda dari mantan-mantannya terdahulu. Gaby bersedia menerima kekurangannya. Tapi kenyataannya, semua itu hanya harapan semu bagi seorang Gibran.

"Gue nggak bisa! Om sama Tante gue bakal ngamuk sama gue! Semua inikan gara-gara lo? Jadi lo yang harusnya mikir, gimana caranya supaya pernikahan kita dibatalkan! Gue nggak sudi ya, punya suami penyakitan kayak lo!"

Brak!

Emosi Gibran kali ini sudah di ubun-ubun. Sampai dia tak mampu mengendalikannya dan terpaksa melampiaskannya di atas meja. Kalimat Gaby jelas menikam ulu hatinya. Menusuk dan merobek hingga ke relung hatinya yang terdalam. Kalimat itu terlalu menyakitkan bagi Gibran.

"Heh! Lo pikir gue juga sudi punya istri sombong kayak lo? Hah?" Gibran tertawa hambar. "Lo pikir lo itu sempurna banget apa jadi cewek? Sampe lo harus merendahkan gue setiap kali kita ketemu! Bisa nggak sih, lo itu nggak usah terus menerus mengingatkan gue sama kekurangan yang gue miliki? Kalau gue penyakitan, terus apa kabar diri lo yang bahkan udah barang bekas di pake berkali-kali sama mantan-mantan lo itu? Hah? Hari gini, nggak ada yang gratisan! Jablay aja dibayar!"

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Gibran.

Gibran berdecih. Dia meraba bekas tamparan itu dengan tangannya.

"Jaga mulut lo ya! Lo nggak tau apa-apa tentang gue!" Hardik Gaby dengan telunjuknya yang mengarah tepat di depan wajah Gibran. Mendadak emosinya memuncak. Dia benar-benar tidak terima atas tuduhan Gibran terhadapnya.

"Kalau lo nggak mau direndahkan, belajar lebih dulu untuk nggak merendahkan orang lain! Nggak semua kekurangan seseorang itu membuat dia terlihat lemah. Bisa jadi, melalui banyaknya kekurangan pada diri seseorang, dari situlah seseorang itu belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih sempurna dari orang yang menganggap dirinya tidak sempurna! Pahamkan maksud gue?" Jelas Gibran dengan kalimatnya yang penuh penekanan.

Tatapan Gaby masih tertuju pada Gibran. Meski setelahnya, wanita cantik itu menundukkan kepalanya dan kembali terduduk lunglai di atas kursi kafe.

Mungkinkah dia menyesal? Pikir Gibran membatin. Meski dia tak cukup yakin akan hal itu.

Siapa yang tidak mengenal Gabriella Aulia Fahrani?

Satu-satunya wanita paling populer semasa perkuliahan mereka dulu di Amerika.

Gaby itu wanita berdarah campuran Amerika dan Korea. Ayahnya Michael William adalah seorang lelaki berkebangsaan Amerika yang menikah dengan seorang perempuan bernama Jeon Nara yang berasal dari Seoul, Korea Selatan.

Setelah Michael wafat sementara Ibunda Gaby yang memang sudah lebih dulu berpulang bahkan saat usia Gaby masih sangat kecil, Gaby tinggal bersama Om dan Tantenya yang sekarang menetap di Indonesia.

Gibran dan Gaby dipertemukan di Amerika karena mereka adalah tetangga dekat karena kebetulan Michael adalah dokter spesialis yang menangani pengobatan Gibran semasa lelaki itu tinggal di Amerika bersama ke dua orang tuanya dulu.

Keluarga Gibran pada awalnya broken home. Ibunya membesarkan dirinya seorang diri. Sampai akhirnya, Gibran dipertemukan dengan ayah kandungnya dan mereka pun kembali berkumpul dalam sebuah keluarga yang sangat bahagia.

Gibran dan sang Ayah yang merupakan seorang pengusaha besar sempat tinggal di Amerika untuk beberapa waktu lamanya. Dan di sanalah dia mengenal Gaby pun keluarga Gaby sendiri. Hanya saja, Gaby tak pernah mengetahui perihal penyakit yang diderita oleh Gibran sejak perkenalan pertama mereka dahulu.

Gaby baru tahu hal itu di saat dia telah menyetujui perjodohannya dengan Gibran beberapa waktu yang lalu.

"Jadi, sekarang lo maunya gimana?" tanya Gibran dengan suaranya yang terdengar lebih pelan.

Gaby tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia masih terus diam dan menunduk. Hal itu membuat jiwa kelelakian Gibran terpanggil. Sejak dulu Gibran sebenarnya paling tidak tahan melihat seorang wanita menangis dihadapannya.

Gibran mengambil posisi duduk di sebelah Gaby. Bagaimana pun, almarhum Om Michael, ayah Gaby telah berjasa besar terhadap Gibran selama ini. Berkat Om Michael, Gibran bisa bertahan dari penyakitnya hingga sekarang. Dan kini, Gibran hanya perlu meminum obat secara teratur untuk menjaga stabilitas fisiknya agar tetap terjaga dan terkontrol dengan baik.

"Apapun keputusan lo, gue akan ikutin Gab. Kalau memang itu yang terbaik buat lo," ucap Gibran. Dia meremas kuat jemari Gaby.

Semenyebalkan apapun sikap Gaby terhadapnya, Gibran sudah menganggap Gaby seperti keluarganya sendiri, adiknya sendiri. Entahlah, Gibran sendiri masih belum paham betul apa sebenarnya yang dia rasakan pada Gaby selama ini. Perasaan di hatinya masih Abu-abu.

Padahal awalnya, Gibran berpikir bahwa dirinya mencintai Gaby. Namun sejak sikap Gaby berubah pasca wanita itu tahu mengenai penyakit yang Gibran derita, perasaan cinta yang pada awalnya sudah tumbuh di hati Gibran perlahan menyusut. Sejak hari itu, Gibran seolah merasa asing dengan Gaby.

Sejak dulu, sifat Gaby memang angkuh dan egois. Tapi dia tak pernah menunjukkan semua itu jika dirinya sudah bersama Gibran. Bahkan Gaby yang dulu dikenal Gibran adalah sosok Gaby yang manis dan ceria. Tidak seperti saat ini.

Gaby yang menyebalkan dengan segala perkataan pedas yang sukses membuat Gibran selalu dilanda emosi.

Gibran tahu betul kalau Gaby selama ini kesepian, tepatnya sejak kepergian ke dua orang tuanya. Padahal yang Gibran tahu, dulu itu, Gaby sangat dekat dengan almarhumah Ibunya, Tante Na Ra.

Namun sejak Tante Nara meninggal, sikap Gaby memang berubah drastis, yang tadinya periang jadi pendiam dan pemurung. Sampai akhirnya, Tuhan pun mengambil satu-satunya lelaki yang paling Gaby sayangi, yaitu Om Michael.

Kehidupan Gaby semakin terpuruk setelahnya.

Meski pada akhirnya, Gaby mampu berdiri kembali dengan tegaknya. Mampu kembali menatap dunia yang awalnya dia pikir kejam.

Dan sejak saat itu, Gaby menjadi seorang wanita yang sosoknya selalu sukses mencuri perhatian kaum adam di sekelilingnya.

Termasuk Gibran.

"Kalau begitu, kita buat kesepakatan bahwa pernikahan kita cuma sandiwara supaya nggak ada pihak keluarga yang kecewa. Dan selepas satu tahun nanti, gue akan gugat cerai lo lalu semuanya selesai, oke?" jelas Gaby. Dia menarik jemarinya dari tangan Gibran. Sebab debaran jantungnya membuat dia hampir gila. Gaby sadar, dia tidak seharusnya berada berlama-lama di dekat Gibran.

"Oke fine!" sahut Gibran yang langsung menjauh dan kembali menjaga jarak dengan Gaby.

"Dan satu hal yang terpenting, jangan pernah berharap gue bakal menunaikan kewajiban apapun sebagai istri ke lo!" Tegas Gaby lagi, sekedar waspada.

"Ya ya ya. Ada lagi?" Gibran memutar kepalanya malas.

"Besok setelah menikah perjanjiannya bakal gue kasih ke lo! Mau nggak mau, suka nggak suka, lo harus terima!" Ucap Gaby lagi masih dengan nada tegas dan kata perkata yang penuh penekanan.

Gibran mengesah, pasrah. "Oke fine. Next?"

"Udah, itu aja! Gue harus pergi sekarang!"

Tanpa menunggu jawaban Gibran, Gaby pergi saat itu juga. Meninggalkan Gibran yang sampai detik ini masih terus menatap punggung Gaby yang berjalan semakin menjauhinya.

Sebenernya, gue sayang sama lo, Gab. Seandainya, lo bisa menerima keadaan gue apa adanya. Mungkin kita bisa memulai kehidupan baru dengan bahagia... Ya, seandainya...

Bisik hati Gibran, membatin. Laki-laki itu hanya bisa menghela nafas berat demi mengurangi intensitas nyeri dihatinya karena ulah Gaby.

Setelah membayar pesanan milik Gaby, Gibran pun berniat hengkang dari kafe itu, sebab dia masih harus menangani beberapa urusan di kantornya.

Dan di saat yang bersamaan, tepatnya ketika Gibran hendak keluar dari Kafe, ada seorang wanita lain yang terlihat berjalan menuju ke arah pintu kafe di mana Gibran sedang melangkah keluar.

Mereka berpapasan di pintu kafe.

Lalu, sesuatu terjadi.

Gelang tangan milik wanita itu tersangkut di pakaian Gibran. Dan hal itu jelas membuat pergelangan tangan wanita itu tertarik kembali ke belakang. Tubuh wanita itu terpelanting, akibat high heelsnya yang kelewat tinggi.

Hampir saja dia jatuh, jika Gibran tidak buru-buru membungkukkan badan untuk menahan pinggang wanita itu. Dan wanita itu pun dengan sigap berpegangan pada bahu dan lengan Gibran agar dirinya tidak jatuh.

Hingga posisi wajah mereka kini saling bersitatap satu sama lain dengan jarak yang begitu dekat dalam posisi tubuh Gibran yang setengah membungkuk sementara si wanita terlentang menghadap Gibran yang sengaja menyangga pinggul si wanita dengan tungkai lutut laki-laki itu dan ke dua tangan Gibran yang kokoh mencengkram seraya melingkar kuat di balik punggung si wanita.

Dan saat itu, waktu seolah berhenti berputar.

Segala aktifitas manusia di sekeliling mereka pun terhenti di tempat masing-masing.

Bahkan buliran debu jalanan terlihat berjalan begitu lambat dengan efek slow motion.

Sama halnya dengan ke dua sejoli di pintu masuk itu.

Mereka yang masih terus larut dalam tatapan mata masing-masing. Seolah saling berbicara meski mulut mereka tak saling bersuara. Seolah meresapi perasaan yang terpatri di benak mereka begitu saja dalam suasana sunyi yang mereka ciptakan sendiri.

Dan saat tatapan Gibran beralih pada tengkuk bagian samping leher wanita itu, dia melihat sesuatu yang aneh.

Sebuah tanda berbentuk bulat yang hanya akan terlihat jelas dalam jarak dekat. Seperti bekas luka bakar sundutan puntung api rokok yang dibenamkan begitu dalam di sana.

Sampai pada saatnya, Gibran mengingat sesuatu. Hingga kemudian dia bergumam pelan.

"Mimi?" Ucap Gibran yang masih terlihat tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan katakan.

Tepat satu detik setelah mendengar panggilan yang keluar dari mulut Gibran, wanita itu langsung membenarkan posisinya dan menjauhkan diri dari Gibran yang masih terbengong sendirian di pintu itu.

"Excuse me, thank you for your help," ucap si wanita itu seraya berlalu dari hadapan Gibran.

Gibran berbalik dan kembali menatap si wanita yang kini berjalan gontai ke dalam kafe sambil sesekali merapikan rambut ikal panjangnya yang sengaja dibuat menutupi bagian lehernya.

Wanita yang begitu cantik, anggun dan sangat mempesona.

Wanita itu berjalan dan duduk di salah satu bangku kafe di mana seorang laki-laki berumur sudah duduk di sana terlebih dahulu. Laki-laki yang lebih pantas dibilang sebagai ayah wanita itu ketimbang sebagai pasangan.

Meski dari cara mereka saling bersapa terlihat jelas bahwa mereka bukan seorang ayah dan anak.

Sebab dari cara laki-laki tua itu memandang si wanita terlihat begitu bernafsu bahkan tangan laki-laki itu kini dengan begitu santai bertengger di atas paha si wanita hampir menyentuh bagian yang seharusnya tidak dia sentuh.

Gibran masih di sana.

Dia masih terus memperhatikan sosok wanita itu.

Terkadang, ada moment-moment pertemuan di mana seseorang yang terlihat asing tapi terasa dekat.

Dekat di hati.

Entah kenapa, Gibran begitu yakin dengan perasaannya kali ini, bahwa wanita itu adalah MIMI.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status