"SIALAN!!!" Gibran menggebrak dashboard mobilnya.
Gibran benar-benar marah saat wanita bernama Mirella itu memintanya untuk pergi.
Tapi bukan Gibran namanya jika dia langsung menyerah begitu saja.
Gibran sempat melakukan negosiasi dengan ke dua preman penjaga pintu itu dan mengiming-imingi mereka uang, tapi hasilnya nihil. Preman-preman sialan itu tak tertarik pada uang Gibran. Hingga akhirnya Gibran pun terpaksa mundur teratur dan memilih cara yang lebih ekstreem yaitu dengan menerobos paksa untuk memasuki apartemen Ella, meski setelahnya dia justru harus mendapat hantaman bogem mentah di wajah dan bagian dadanya oleh para preman itu.
Sesampainya di mobil Gibran langsung meminum obatnya sebab dadanya yang terkena pukulan mulai terasa nyeri.
Malam itu saking frustasi setelah lama berpikir untuk mencari cara supaya dirinya bisa bertatap muka langsung dengan Mirella dan tak kunjung mendapat cara yang tepat, akhirnya Gibran pun tertidur di dalam mobilnya.
Acara di resepsi pernikahan serta adu jotos dengan ke dua preman itu cukup menguras energi laki-laki tampan itu.
Gibran hanya lelah.
*****
Shubuh tadi Gibran kaget saat mendapati dirinya telah tertidur di dalam mobilnya sendiri semalaman suntuk.
Lalu, Gibran teringat pada Gaby, sebab rencananya hari ini, dirinya dengan Gaby harus bertolak ke Maldives untuk melangsungkan honeymoon mereka yang sudah dirancang oleh pihak keluarga selama satu minggu ke depan.
Namun, Gibran sama sekali tak berminat dan dia harus mencari alasan supaya rencana itu gagal.
Padahal Gaby sangat ingin ke sana, dia bilang Maldives adalah tempat wisata favoritnya. Tapi bagi Gibran ada hal lain yang lebih penting ketimbang mengikuti kemauan Gaby.
Yaitu, bertemu dengan Mirella.
Untuk menyelediki lebih jauh, siapa sebenarnya wanita bernama Mirella itu.
Gibran benar-benar penasaran.
*****
"APA? BATAL?" pekik Gaby kaget saat Gibran baru saja mengatakan bahwa kepergian mereka hari ini ke Maldives untuk Honeymoon dibatalkan.
"Terus? Gue udah dandan secantik ini, packing dari semalam, sekarang lo dengan seenak jidatnya bilang kalau kita nggak jadi berangkat ke Maldives? Enak aja lo! Nggak bisa! Pokoknya, rencana ke Maldives nggak boleh batal!" bentak Gaby pada Gibran di dalam kamar hotel.
"Kalau emang lo mau berangkat, yaudah, berangkat aja sana sendiri," ucap Gibran cuek. Dia membuka kausnya dan merebahkan diri di atas ranjang dengan posisi santai sambil bertelanjang dada.
Hal itu jelas membuat Gaby salfok.
Gaby menelan salivanya sendiri, melihat tubuh Gibran yang begitu sempurna di matanya. Dada bidang dengan lekukan otot dan perut sixpack yang terlihat menggiurkan. Bahkan laki-laki itu sama sekali tidak seperti orang yang penyakitan.
Gaby sendiri heran, kenapa Gibran terlihat begitu biasa-biasa saja padahal setahu Gaby, penyakit yang di derita Gibran itu adalah penyakit yang sangat serius.
"Kenapa lo liatin gue kayak gitu? Ada yang aneh?" tanya Gibran saat diliriknya Gaby yang terus menatap intens dirinya.
Gaby yang saat itu tengah berdiri di depan cermin pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain secepat kilat. Dia salah tingkah. Meski setelahnya, sesuatu yang memancing rasa penasaran Gaby muncul hingga dia bertanya.
"Sebenernya, seberapa parah sih penyakit lo itu, Gib?" tanya Gaby menyampaikan maksudnya.
Dia mendekati Gibran ke tempat tidur dan duduk di sisi tempat tidur tepat di sebelah Gibran terbaring.
Gibran jadi menggeser tubuhnya sedikit ke tengah supaya intensitas kedekatan mereka bisa terjaga.
"Penting buat lo tau?" tanya Gibran dengan tatapan menyelidik sekaligus heran. Kenapa Gaby tiba-tiba menanyakan hal itu? Pikirnya dalam hati.
"Nggak juga sih! Cuma gue bingung aja, lo terlihat lebih sehat berkali-kali lipat dari para penderita..."
"Cukup!" Gibran bangkit dan reflek membekap mulut Gaby. Dia hanya tidak ingin Gaby kembali mengingatkan dirinya tentang penyakit yang selama ini dideritanya. Waktu Gibran sudah cukup tersita untuk memikirkan penderitaannya sejak kecil setelah dia beberapa kali bertarung melawan rasa sakit untuk bisa bertahan hidup, demi Ibunya.
Dan saat ini, Gibran tak mau mendengar apapun perihal masalah penyakitnya itu.
"Sekali lagi gue minta sama lo ya Gab, pleaseee... Jangan bahas-bahas masalah penyakit gue lagi. Gue cape kalau setiap kali ketemu sama lo, pasti lagi dan lagi lo bahas masalah itu di depan gue. Satu hal yang perlu lo tahu, kalau memang sampai detik ini gue masih terus ketergantungan sama obat-obatan, bukan berarti penyakit yang gue derita itu parah. Gue udah sembuh dan semua itu berkat bokap lo, Om Michael!" Gibran melepas tangannya dari wajah Gaby yang terlihat kaget.
"Cuma memang ada beberapa pantangan yang harus gue ikuti dan gue hindari untuk berjaga-jaga takut-takut penyakit gue sewaktu-waktu bisa kembali kumat. Itulah alasannya sampai detik ini gue nggak bisa lepas dari obat-obatan itu," jelas Gibran panjang lebar. Tatapannya mengunci tatapan Gaby.
Awalnya Gibran berpikir Gaby akan marah, tapi anehnya, Gaby hanya diam saja. Tatapannya menatap dalam wajah Gibran.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Gaby saat ini, Gibran sendiri tidak tahu. Tapi dari tatapan matanya, Gibran justru merasa seperti Gaby sedang mengasihani dirinya, dan hal itu membuat Gibran menjadi kesal.
"Gue nggak butuh dikasihani, berhenti menatap gue kayak gitu!" ucap Gibran dingin.
Gaby membuang muka. Wajahnya tiba-tiba memanas begitu sadar akan jarak antara dirinya dengan Gibran yang begitu dekat. Hingga akhirnya, dia bangkit dan menjauh dari Gibran.
"Gue mau kita sama-sama ke Maldives hari ini," ucap Gaby kemudian.
Gibran mendesah seraya menarik nafas panjang.
"Nggak! Gue nggak bisa! Lo pergi aja sendiri, atau ajak siapa kek, gebetan lo kek!" katanya yang kembali merebahkan tubuh di ranjang.
Gaby melotot ke arah Gibran. "Lo gila ya? Kalau gue sampe ajak cowok lain terus ada wartawan yang lihat, bisa abis gue di maki-maki keluarga lo! Apa kabar nama baik gue?"
Gibran tertawa renyah. "Ya udah, terus mau lo apa jadinya? Yang jelas, gue nggak bisa berangkat ke sana. Gue ada urusan penting yang harus segera gue selesaikan!" jelas Gibran pada Gaby. Masih dengan gayanya yang santai dan cool.
"Urusan apa?" tanya Gaby yang jadi kepo, sebab dia tahu urusan penting yang dimaksud Gibran itu bukan urusan kantor, karena semua urusan kantor pasti sudah ditangani Edward, asisten Gibran.
"Perjanjian pernikahan no 3. Dilarang keras mencampuri urusan pribadi satu sama lain," jawab Gibran dengan seringai puas. Skak mat kan lo! Mampus! Makinya membatin.
Gaby menggeram kesal. Namun dia berusaha untuk terlihat santai.
Tarik nafas... Hembuskan! Sabar Gaby...
"Oke, gue akan pergi ke Maldives sendiri tanpa lo!" ucap Gaby pada akhirnya. Pasrah!
"Oh, silahkan Nona Gaby yang cantik dan sexy. Met Honeymoon sama pasir pantai Maldives ya?" Gibran tertawa lalu meraih guling dan memeluknya. Dengan santainya Gibran malah memejamkan mata dan hendak tidur. Mengacuhkan Gaby yang menatapnya dengan tatapan sinis dan rahang yang menggertak.
Gaby sangat kesal karena merasa diremehkan oleh Gibran.
Awas lo, Gib! Tunggu pembalasan gue! Bisik Gaby membatin!
Gaby hendak beranjak untuk segera pergi dari kamar hotel itu, tapi sebuah ide jahil muncul di benaknya.
Dia mengambil seember air di dalam kamar mandi dan mengguyur tubuh Gibran yang saat itu mulai terbuai dalam mimpi indah.
Lelaki itu kelabakan dan terbangun dengan wajah kaget luar biasa.
"Mampus! Rasain lo! Emang enak gue siram!" Gaby tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi marah Gibran.
Setengah berlari, Gaby keluar dari kamar hotel itu.
Tak apalah jika dia harus berangkat sendirian ke Maldives hari ini.
Gaby tahu bahwa dirinya butuh refreshing.
*****
Seorang wanita tergugu di dalam kamar mandi dengan linangan air matanya yang menggenang.
Dia membiarkan air yang mengucur dari kran shower di dalam kamar mandi mengalir membasahi tubuhnya yang masih berbusana lengkap.
Berita yang beredar di media mengenai pernikahan mewah seorang anak konglomerat kaya sekaligus politikus terkenal bernama Hardin Putra Surawijaya telah menjadi penyebab dirinya berakhir di dalam kamar mandi dengan keadaan seperti ini.
Sebuah pisau cutter tergenggam kuat di tangan kanannya.
Pisau yang semula hendak dia gunakan untuk menyayat urat nadi di tangan kirinya, meski hal itu tak kunjung dia lakukan juga.
Wanita itu terus menangis dengan tangisan pilu yang terdengar menyayat hati.
Bagaimana mungkin, laki-laki yang selama ini begitu dia cintai kini justru menikah dengan wanita lain?
Menjadi milik wanita lain?
Kenapa takdir tak pernah berpihak padanya?
Kenapa takdir begitu kejam padanya?
"Aku mencintaimu, Ib. Bahkan aku selalu berharap suatu hari nanti aku bisa menjadi satu-satunya wanita yang berada di sisimu. Membuatmu bahagia... Tapi, sekarang semua harapanku sudah benar-benar hancur berkeping. Kandas tak bersisa! Lalu, apa gunanya lagi aku hidup? Bahkan tubuhku saja kini sudah bukan lagi milikku!"
Wanita itu mulai berbicara sendiri masih dengan derai air matanya yang terus mengalir deras meski samar dibalik tetesan air dari kran shower di atas kepalanya.
Siluet kejadian berpuluh tahun lalu seolah berputar kembali dalam ingatannya.
Hari-hari indah di mana dirinya dan seorang bocah kecil tampan kerap menghabiskan waktu bersama.
"Aku mencintaimu, Ib... Aku mencintaimu..."
Bisiknya lirih dalam tangis.
*****
Gimana? Gimana?
Makin penasaran?
Kuy di vote dan koment ya...
Hari ini adalah hari ulang tahun Jasmine yang ke enam.Dan seperti janjinya pada Jasmine sebelumnya, bahwa Gaby akan memberikan Jasmine seorang adik laki-laki.Itulah sebabnya, usai acara perayaan ulang tahun Jasmine yang diadakan dikediaman pribadi Gibran dan Gaby di Jakarta, malam harinya keluarga kecil nan berbahagia itu berangkat menuju sebuah panti asuhan yang lokasinya berada di pusat kota.Sebuah panti asuhan yang memang cukup terkenal bernama Panti Asuhan Pelangi. Anak-anak yatim piatu di panti asuhan pelangi yang tidak beruntung karena tak mendapatkan kesempatan di adopsi oleh sebuah keluarga akan dibina dan dididik hingga anak tersebut memiliki keahlian dan mampu hidup serba mandiri. Nanti, jika mereka sudah besar, pihak panti akan membebaskan mereka untuk menentukan pilihan hidup mereka masing-masing.Total anak yatim piatu ples anak jalanan yang berada di bawah naungan panti asuhan pelangi menc
"Indah banget ya, Gib," ujar Gaby dengan tangannya yang terus dia lipat dan semakin rapat mendekap tubuhnya sendiri. Matanya tertuju pada charles bridge, deretan jembatan romantis yang sangat terkenal di Praha.Saat itu mereka sedang berada di balkon kamar hotel mereka sambil menikmati waktu senja berakhir.Langit yang tampak gelap temaram menjadi latar prague castle dan Sungai Vlatava yang tampak seperti lukisan di dalam dongeng. Keindahan yang menghipnotis banyak pasang mata yang tampak puas memanjakan mata mereka. Charles Bridge memang indah dan layak dikunjungi saat sepi atau ramai terlebih lagi di malam hari. Pasti akan sangat romantis dan menyenangkan. Pikir Gaby membatin.Romantisme perjalanan honeymoonnya kali bersama Gibran pasca mereka kembali resmi menjadi sepasang suami istri terasa begitu berbeda dengan apa yang mereka alami saat honeymoon di Seoul waktu itu.Gaby dan Gibran puas berkeliling Eropa menikmati hari-hari bulan madu mereka yang ma
Sebuah mobil sport hitam tampak melaju kencang, meliuk-liuk di sepanjang jalanan ibukota yang ramai lancar.Gibran mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan penuh ketika dia meyakini bahwa suara yang didengarnya di telepon tadi adalah suara Gaby, mantan istrinya.Itu artinya, model cantik bernama Gabriella itu kemungkinan adalah Gaby.Detik itu juga Gibran langsung meminta Edward untuk menggantikannya pergi keluar kota. Hal itu jelas membuat Edwar mencak-mencak.Sesampainya di kantor, Gibran melangkah panjang menuju ruangannya, lelaki itu tertegun sesaat ketika sepasang netranya kini beradu dengan sepasang netra boneka milik seorang wanita cantik yang sangat-sangat cantik di dalam ruangan itu.Wanita itu mengenakan pakaian sopan berupa dress hitam sebatas lutut yang dipadupadankan dengan blazzer merah menyala."Mamah, mana Papah? Katanya kita mau ketemu Papah?" Tanya seor
Tiga Tahun Kemudian...Hari ini, Gibran dan Edward baru saja mengadakan rapat penting dengan klien asal luar negeri. Rapat ditutup setelah keduanya sepakat untuk menjalin hubungan kerjasama dalam kurun waktu lima tahun ke depan.Gibran baru saja keluar dari ruangan rapat hendak memasuki ruang kerjanya ketika seseorang tiba-tiba menghadang langkahnya di kantor."Pak, ini nama-nama model yang masuk daftar kriteria untuk iklan produk terbaru kita, salah satu di antara mereka adalah model asal luar negeri,"Gibran menerima berkas itu dari sekretarisnya dan masuk ke dalam ruangannya setelah mengucapkan terima kasih.Dia melempar berkas di tangannya ke atas meja kerjanya, mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya dan menjatuhkan tubuh di sofa panjang yang terletak di pojok ruangan. Lelaki itu tampak memejamkan mata."Jiah
Setelah mengganti pakaian dan merapikan penampilannya di salah satu pom bensin yang dia lewati dalam perjalanan kembali menuju rumah sakit, Gibran tidak bisa fokus menyetir.Tangan lelaki itu terus gemetaran.Pikirannya bercabang dan penuh.Tatapannya berkabut akibat air mata yang membendung di kelopak matanya.Bayangan terakhir saat dirinya berhasil melenyapkan nyawa seseorang kian membuatnya frustasi. Di satu sisi dia merasa bersalah, namun di sisi lain dia juga tak akan membiarkan Mirella terus menerus mengganggu ketentraman hidup rumah tangganya bersama Gaby.Lantas, apakah yang dilakukannya ini benar?Apakah ini adil untuk Mirella?Apakah ini adil untuk Gaby?Mungkinkah dirinya mampu melewati hari-harinya di depan setelah apa yang dia lakukan malam tadi di atas bukit itu?Setelah dirinya membunuh Mirella...
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya kendaraan Gibran pun berhenti di sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk manusia.Sebuah tempat yang sepi, gelap dan dingin.Dulu sekali, Gibran pernah menyambangi lokasi ini bersama kawan-kawan satu kantornya untuk sekedar refreshing di tengah nuansa alam liar dengan berkemah dan mendaki.Jika dulu dirinya mendaki dengan peralatan lengkap, bedanya, kini dia mendaki tanpa membawa apapun selain senter di tangan dan pakaian yang melekat di tubuhnya.Lelaki itu terus menggenggam tangan Mirella di sepanjang jalan setapak nan licin yang mereka lalui."Mau apa kita ke sini, Ib? Aku takut," ucap Mirella di tengah perjalanan saat Medan yang harus mereka daki kian curam."Aku sudah bilangkan, kamu harus bersembunyi. Aku tidak mau polisi-polisi itu menangkapmu," ujar Gibran yang susah payah melangkah.Rintik gerimis yang masih setia mengguyur membuat tubuh keduanya sama-sama lepek."