Share

8. AKU MENCINTAIMU, IB!

"SIALAN!!!" Gibran menggebrak dashboard mobilnya.

Gibran benar-benar marah saat wanita bernama Mirella itu memintanya untuk pergi.

Tapi bukan Gibran namanya jika dia langsung menyerah begitu saja.

Gibran sempat melakukan negosiasi dengan ke dua preman penjaga pintu itu dan mengiming-imingi mereka uang, tapi hasilnya nihil. Preman-preman sialan itu tak tertarik pada uang Gibran. Hingga akhirnya Gibran pun terpaksa mundur teratur dan memilih cara yang lebih ekstreem yaitu dengan menerobos paksa untuk memasuki apartemen Ella, meski setelahnya dia justru harus mendapat hantaman bogem mentah di wajah dan bagian dadanya oleh para preman itu.

Sesampainya di mobil Gibran langsung meminum obatnya sebab dadanya yang terkena pukulan mulai terasa nyeri.

Malam itu saking frustasi setelah lama berpikir untuk mencari cara supaya dirinya bisa bertatap muka langsung dengan Mirella dan tak kunjung mendapat cara yang tepat, akhirnya Gibran pun tertidur di dalam mobilnya.

Acara di resepsi pernikahan serta adu jotos dengan ke dua preman itu cukup menguras energi laki-laki tampan itu.

Gibran hanya lelah.

*****

Shubuh tadi Gibran kaget saat mendapati dirinya telah tertidur di dalam mobilnya sendiri semalaman suntuk.

Lalu, Gibran teringat pada Gaby, sebab rencananya hari ini, dirinya dengan Gaby harus bertolak ke Maldives untuk melangsungkan honeymoon mereka yang sudah dirancang oleh pihak keluarga selama satu minggu ke depan.

Namun, Gibran sama sekali tak berminat dan dia harus mencari alasan supaya rencana itu gagal.

Padahal Gaby sangat ingin ke sana, dia bilang Maldives adalah tempat wisata favoritnya. Tapi bagi Gibran ada hal lain yang lebih penting ketimbang mengikuti kemauan Gaby.

Yaitu, bertemu dengan Mirella.

Untuk menyelediki lebih jauh, siapa sebenarnya wanita bernama Mirella itu.

Gibran benar-benar penasaran.

*****

"APA? BATAL?" pekik Gaby kaget saat Gibran baru saja mengatakan bahwa kepergian mereka hari ini ke Maldives untuk Honeymoon dibatalkan.

"Terus? Gue udah dandan secantik ini, packing dari semalam, sekarang lo dengan seenak jidatnya bilang kalau kita nggak jadi berangkat ke Maldives? Enak aja lo! Nggak bisa! Pokoknya, rencana ke Maldives nggak boleh batal!" bentak Gaby pada Gibran di dalam kamar hotel.

"Kalau emang lo mau berangkat, yaudah, berangkat aja sana sendiri," ucap Gibran cuek. Dia membuka kausnya dan merebahkan diri di atas ranjang dengan posisi santai sambil bertelanjang dada.

Hal itu jelas membuat Gaby salfok.

Gaby menelan salivanya sendiri, melihat tubuh Gibran yang begitu sempurna di matanya. Dada bidang dengan lekukan otot dan perut sixpack yang terlihat menggiurkan. Bahkan laki-laki itu sama sekali tidak seperti orang yang penyakitan.

Gaby sendiri heran, kenapa Gibran terlihat begitu biasa-biasa saja padahal setahu Gaby, penyakit yang di derita Gibran itu adalah penyakit yang sangat serius.

"Kenapa lo liatin gue kayak gitu? Ada yang aneh?" tanya Gibran saat diliriknya Gaby yang terus menatap intens dirinya.

Gaby yang saat itu tengah berdiri di depan cermin pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain secepat kilat. Dia salah tingkah. Meski setelahnya, sesuatu yang memancing rasa penasaran Gaby muncul hingga dia bertanya.

"Sebenernya, seberapa parah sih penyakit lo itu, Gib?" tanya Gaby menyampaikan maksudnya.

Dia mendekati Gibran ke tempat tidur dan duduk di sisi tempat tidur tepat di sebelah Gibran terbaring.

Gibran jadi menggeser tubuhnya sedikit ke tengah supaya intensitas kedekatan mereka bisa terjaga.

"Penting buat lo tau?" tanya Gibran dengan tatapan menyelidik sekaligus heran. Kenapa Gaby tiba-tiba menanyakan hal itu? Pikirnya dalam hati.

"Nggak juga sih! Cuma gue bingung aja, lo terlihat lebih sehat berkali-kali lipat dari para penderita..."

"Cukup!" Gibran bangkit dan reflek membekap mulut Gaby. Dia hanya tidak ingin Gaby kembali mengingatkan dirinya tentang penyakit yang selama ini dideritanya. Waktu Gibran sudah cukup tersita untuk memikirkan penderitaannya sejak kecil setelah dia beberapa kali bertarung melawan rasa sakit untuk bisa bertahan hidup, demi Ibunya.

Dan saat ini, Gibran tak mau mendengar apapun perihal masalah penyakitnya itu.

"Sekali lagi gue minta sama lo ya Gab, pleaseee... Jangan bahas-bahas masalah penyakit gue lagi. Gue cape kalau setiap kali ketemu sama lo, pasti lagi dan lagi lo bahas masalah itu di depan gue. Satu hal yang perlu lo tahu, kalau memang sampai detik ini gue masih terus ketergantungan sama obat-obatan, bukan berarti penyakit yang gue derita itu parah. Gue udah sembuh dan semua itu berkat bokap lo, Om Michael!" Gibran melepas tangannya dari wajah Gaby yang terlihat kaget.

"Cuma memang ada beberapa pantangan yang harus gue ikuti dan gue hindari untuk berjaga-jaga takut-takut penyakit gue sewaktu-waktu bisa kembali kumat. Itulah alasannya sampai detik ini gue nggak bisa lepas dari obat-obatan itu," jelas Gibran panjang lebar. Tatapannya mengunci tatapan Gaby.

Awalnya Gibran berpikir Gaby akan marah, tapi anehnya, Gaby hanya diam saja. Tatapannya menatap dalam wajah Gibran.

Entah apa yang ada di dalam pikiran Gaby saat ini, Gibran sendiri tidak tahu. Tapi dari tatapan matanya, Gibran justru merasa seperti Gaby sedang mengasihani dirinya, dan hal itu membuat Gibran menjadi kesal.

"Gue nggak butuh dikasihani, berhenti menatap gue kayak gitu!" ucap Gibran dingin.

Gaby membuang muka. Wajahnya tiba-tiba memanas begitu sadar akan jarak antara dirinya dengan Gibran yang begitu dekat. Hingga akhirnya, dia bangkit dan menjauh dari Gibran.

"Gue mau kita sama-sama ke Maldives hari ini," ucap Gaby kemudian.

Gibran mendesah seraya menarik nafas panjang.

"Nggak! Gue nggak bisa! Lo pergi aja sendiri, atau ajak siapa kek, gebetan lo kek!" katanya yang kembali merebahkan tubuh di ranjang.

Gaby melotot ke arah Gibran. "Lo gila ya? Kalau gue sampe ajak cowok lain terus ada wartawan yang lihat, bisa abis gue di maki-maki keluarga lo! Apa kabar nama baik gue?"

Gibran tertawa renyah. "Ya udah, terus mau lo apa jadinya? Yang jelas, gue nggak bisa berangkat ke sana. Gue ada urusan penting yang harus segera gue selesaikan!" jelas Gibran pada Gaby. Masih dengan gayanya yang santai dan cool.

"Urusan apa?" tanya Gaby yang jadi kepo, sebab dia tahu urusan penting yang dimaksud Gibran itu bukan urusan kantor, karena semua urusan kantor pasti sudah ditangani Edward, asisten Gibran.

"Perjanjian pernikahan no 3. Dilarang keras mencampuri urusan pribadi satu sama lain," jawab Gibran dengan seringai puas. Skak mat kan lo! Mampus! Makinya membatin.

Gaby menggeram kesal. Namun dia berusaha untuk terlihat santai.

Tarik nafas... Hembuskan! Sabar Gaby...

"Oke, gue akan pergi ke Maldives sendiri tanpa lo!" ucap Gaby pada akhirnya. Pasrah!

"Oh, silahkan Nona Gaby yang cantik dan sexy. Met Honeymoon sama pasir pantai Maldives ya?" Gibran tertawa lalu meraih guling dan memeluknya. Dengan santainya Gibran malah memejamkan mata dan hendak tidur. Mengacuhkan Gaby yang menatapnya dengan tatapan sinis dan rahang yang menggertak.

Gaby sangat kesal karena merasa diremehkan oleh Gibran.

Awas lo, Gib! Tunggu pembalasan gue! Bisik Gaby membatin!

Gaby hendak beranjak untuk segera pergi dari kamar hotel itu, tapi sebuah ide jahil muncul di benaknya.

Dia mengambil seember air di dalam kamar mandi dan mengguyur tubuh Gibran yang saat itu mulai terbuai dalam mimpi indah.

Lelaki itu kelabakan dan terbangun dengan wajah kaget luar biasa.

"Mampus! Rasain lo! Emang enak gue siram!" Gaby tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi marah Gibran.

Setengah berlari, Gaby keluar dari kamar hotel itu.

Tak apalah jika dia harus berangkat sendirian ke Maldives hari ini.

Gaby tahu bahwa dirinya butuh refreshing.

*****

Seorang wanita tergugu di dalam kamar mandi dengan linangan air matanya yang menggenang.

Dia membiarkan air yang mengucur dari kran shower di dalam kamar mandi mengalir membasahi tubuhnya yang masih berbusana lengkap.

Berita yang beredar di media mengenai pernikahan mewah seorang anak konglomerat kaya sekaligus politikus terkenal bernama Hardin Putra Surawijaya telah menjadi penyebab dirinya berakhir di dalam kamar mandi dengan keadaan seperti ini.

Sebuah pisau cutter tergenggam kuat di tangan kanannya.

Pisau yang semula hendak dia gunakan untuk menyayat urat nadi di tangan kirinya, meski hal itu tak kunjung dia lakukan juga.

Wanita itu terus menangis dengan tangisan pilu yang terdengar menyayat hati.

Bagaimana mungkin, laki-laki yang selama ini begitu dia cintai kini justru menikah dengan wanita lain?

Menjadi milik wanita lain?

Kenapa takdir tak pernah berpihak padanya?

Kenapa takdir begitu kejam padanya?

"Aku mencintaimu, Ib. Bahkan aku selalu berharap suatu hari nanti aku bisa menjadi satu-satunya wanita yang berada di sisimu. Membuatmu bahagia... Tapi, sekarang semua harapanku sudah benar-benar hancur berkeping. Kandas tak bersisa! Lalu, apa gunanya lagi aku hidup? Bahkan tubuhku saja kini sudah bukan lagi milikku!"

Wanita itu mulai berbicara sendiri masih dengan derai air matanya yang terus mengalir deras meski samar dibalik tetesan air dari kran shower di atas kepalanya.

Siluet kejadian berpuluh tahun lalu seolah berputar kembali dalam ingatannya.

Hari-hari indah di mana dirinya dan seorang bocah kecil tampan kerap menghabiskan waktu bersama.

"Aku mencintaimu, Ib... Aku mencintaimu..."

Bisiknya lirih dalam tangis.

*****

Gimana? Gimana?

Makin penasaran?

Kuy di vote dan koment ya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status