"Tuan ... Tuan!"
Terdengar suara Benton yang terus berteriak mencari sosok William. Membuat Ester dan Esmo berlari tergopoh-gopoh berlari menghampirinya.
"Kamu ini gila ya?" sentak Esmo berang.
"I-ituuuu ...!"
"Itu apa?"
Benton terus menunjuk ke arah belakang. Di mana tempat kandang kuda berada. Membuat kedua wanita itu saling beradu pandang.
"Sebenarnya apa yang kamu lihat?"
"Mariana ... Mariana kembali pulang."
Sontak raut wajah Ester dan Esmo sumringah. Mereka sangat senang mendengar kabar itu. Lalu bersiap-siap akan menjemput tuannya.
"Berhenti! Dengarkan aku dulu bicara!" Kini dia yang menyentak kedua wanita itu.
"Ada apa lagi?"
"Tak ada Nyonya bersama Mariana," ucap Benton lirih.
Tiba-tiba mereka mendengar derap langkah yang keras, menuju arah mereka bertiga. Seketika mereka menoleh dan melihat sosok William sudah berdiri di belakang ketiganya.
"Siapa yang datang?"
Benton segera menghampiri William.
"Mariana, Tuan. Dia datang hanya seorang tanpa Nyonya."
Raut wajah William yang semula kaku dan dingin, mulai mencair. Berubah memerah. Dari sorot matanya terpencar kekhawatiran.
"Apa tali kekangnya terputus?"
"Tidak, Tuan. Semua lengkap, bahkan Mariana tak ada luka sama sekali."
Mendengar kalimat yang terlontar dari Benton. Napasnya terdengar menderu kasar. Sangat terlihat jika William panik. Tak ada seorang pun yang bisa menyangkal hal ini.
"Sekarang juga siapkan kudaku!" teriak William berjalan cepat menuju arah pintu keluar yang berada di samping kastil.
Mendapat perintah dari tuannya. Segera Benton berlari dengan cepat. Hanya dalam sekian detik, kuda berwarna hitam yang terlihat sangat tangguh, telah siap.
"Huuuppp!"
Hanya sekali loncatan yang cukup tinggi. William sudah berada di atas punggung kuda. Walau hujan masih mengguyur deras. Tak menyurutkan niat William mencari sosok sang istri.
Kuda pun melaju dengan kencang. Pandangan mata Esmo dan Ester terus mengekor pada kepergian sang tuan. Mereka berdua berharap Jill Anne akan baik-baik saja.
"Apa yang kalian lihat?"
Tiba-tiba, Beatrix sudah berada di belakang mereka dengan pandangan heran.
"Kenapa kalian diam? Jangan buat aku bertanya sampai dua kali ya!"
"Ehhhh ... itu Nyonya Floy. Tuan sedang mencari Nyonya Jill Anne," sahut Ester.
Esmo pun segera meninggalkan Ester bersama dengan Beatrix.
"Hemmm, aku sudah menyuruh untuk mencarinya. Tapi, dia malah menolak. Sekarang malah pergi. Dasar, gitu udah bikin aku nangis."
Beatrix kembali menuju kamar. Terlihat sekali dia masih sangat kesal, dengan sikap William yang kasar padanya.
Ester yang melihat tingkah Beatrix. Hanya bisa geleng-geleng.
"Baru sehari," bisiknya lirih.
_oOo_
Derap tapak kuda terdengar kencang beriringan dengan air hujan yang mengguyur. Yang sekian lama, tak juga berhenti. William melihat ke arah laut. Pusaran angin puting beliung seakan ingin memporak porandakan semua isi laut.
"Aku harus lebih cepat dari badai itu. Tapi, di mana aku harus mencarinya?"
William membelokkan arah kudanya. Menyusuri pantai dari ujung ke ujung. Hingga dua kali dia melintas. Dengan harapan bisa menemukan sosok Jill Anne.
"Tak mungkin dia bunuh diri. Sangat tak mungkin!"
Namun, hingga detik ini pun. Sosok sang istri tak juga dia temukan.
"Jiiill ...!"
"Jiiill ...!"
Sampai William kehabisan suara. Serasa dia putus asa. Akan tetapi dalam benak hatinya. Dia tak terima jika sampai Jill, tak ditemukan.
"Aaaaarghh! Kamu di mana Jill?" teriaknya terus tak henti.
Hingga angin bertiup semakin kencang. Sepintas dia melihat pusaran puting beliung, masih bergerak di tengah laut. Sesaat hati William bergetar hebat. Seakan berkecamuk antara penyesalan dan ego seorang lelaki.
Tanpa sengaja, manik matanya tertuju pada kain yang berkibar tertiup angin. Buru-buru dia menghentakkan kedua kakinya, di kedua sisi perut kuda. Yang langsung melesat kencang.
"Hiiiiaaaahhh!"
Sampai akhirnya, pandangan mata William menangkap seseorang yang terlentang.
"Jill ... jill!"
Dia langsung melompat dari kuda. Lalu berlari kencang menuju sang istri yang dingin membeku.
"Tidak ... tidak! Kau jangan pergi tinggalkan aku. Kau tak boleh pergi, Jill!"
Dia langsung menggendong dan memeluk erat Jill Anne. Lalu naik ke atas kuda. Yang langsung melesat dengan kecepatan tinggi. Dari kejauhan menara kastil miliknya telah terlihat. William semakin menghentakkan kaki, agar kudanya bergerak lebih cepat.
Saat kuda mulai memasuki halaman kastil. Beberapa pelayan sudah berdiri berjajar di pintu masuk depan dan samping.
"Ester ... Ester!" teriak William panik.
Dia menggendong tubuh Jill Anne dan segera membawa ke lantai dua.
"Siapkan air hangat. Sup hangat dan madu hangat. Sekarang juga!" teriak Ester pada beberapa pelayan.
Lalu dia berlari menuju lantai dua. Bergegas Ester mengambil handuk dan pakaian kering untuk tuannya.
"Ester, di mana kau?"
"Biar saya yang merawat, Nyonya, Tuan. Kita butuh dokter, Tuan William."
"Baiklah."
Bergegas William menuruni beberapa anak tangga.
"Robert!"
Salah seorang pelayan laki-laki menghampiri William.
"Iya, Tuan. Apa yang perlu saya lakukan?"
"Panggil Dokter Aston Dariel sekarang juga! Paksa kalau dia tak mau!" tegas William.
"Ba-baik, Tuan."
Segera dia menuju kamar pribadinya. Yang berada bersebelahan dengan kamar Jill Anne. Esmo menghampiri dirinya. Setelah mempersiapkan pakaian kering dan bersih.
"Tuan ada sup hangat, di meja."
"Siapkan gelas anggurku, Esmo."
"Baik, Tuan."
Raut wajah yang masih kusut. William menghangatkan tubuhnya dengan menghabiskan dua gelas anggur terbaik buatan Prancis. Setelah sedikit merasa tenang. William keluar menuju kamar Jill Anne.
"Bagaimana kondisi Jill?" William berdiri di sebelah Esmo yang terus menggenggam telapaktangan tuannya.
"Badannya mulai hangat, Tuan."
"Ohhhh ...."
"Apa Tuan tak ingin memegang tangan Nyonya? Mungkin dengan snetuhan Tuan, Nyonya akan terbangun."
"Seyakin kamu?"
"Saya selalu meyakini apa pun yang baik dan benar, Tuan."
William memandang raut wajah Jill yang memucat. Bibirnya yang membiru, mulai sedikit memerah.
Tanpa banyak bicara. William duduk di sebelah Jill. Pandangannya terus menatap tajam pada sang istri. Dia membelai lembut wajahnya. Kemudian mengecup hangat bibir Jill, cukup lama.
Tanpa mereka sadari. Beatrix telah berdiri di ambang pintu. Sikap dan perhatian William pada Jill, yang begitu lembut dan manis. Membuat hatinya berdebar kencang. Entah marah atau cemburu yang melesak di dada.
Tak kuasa melihat perhatian yang diberikan William pada Jill. Semakin membuat dadanya terasa nyeri dan perih. Tak pernah Beatrix sangka semua akan seperti ini. Ternyata cemburu itu menyakitkan. Tak heran sampai Jill melakukan hal konyol seperti ulahnya tadi.
'Mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Kalau sampai William memacari wanita lain lagi. Aku tak akan pernah bisa terima!'
Beatrix pun berjalan meninggalkan kamar Jill. Dia menuruni beberapa anak tangga tanpa melihat ke arah depan. Pandangannya tertuju ke bawah.
Sampai sebuah benturan cukup keras membuat dirinya hampir terjatuh.
Bruuuukkk!
"Aaaahhhh!" teriak Beatrix.
Seorang lelaki muda, berwajah kharismatik dengan sigap menangkap dirinya. Hingga manik mata mereka saling beradu tanpa sapatah kata.
"Ohhh, maaf," ujar Beatrix lembut.
"Saya yang harusnya minta maaf pada Nona."
Tanpa banyak berbasa basi. Beatrix langsung mengulurkan tangannya.
"Beatrix Floy!"
Lelaki muda itu, menyambut uluran tangan Beatrix dengan sedikit membungkuk.
"Dokter Aston Dariel."
"Seorang Dokter?" ulang Beatrix seperti menggoda.
***
Lelaki muda itu, menyambut uluran tangan Beatrix dengan sedikit membungkuk."Dokter Aston Dariel.""Seorang Dokter?" ulang Beatrix menggoda.Dengan pandangan tertunduk, lelaki itu mengangguk. Sesekali Aston Dariel mencuri pandang ke arah Beatrix. Dia pun tahu jika Beatrix terus mengamati dirinya. Sampai pandangan mata mereka saling berserobok. Saling beradu antara iris mata yang liar. Lalu keduanya saling melempar senyum. Sangat terlihat jelas, sang dokter terpikat oleh Beatrix yang menawan dan sangat menggairahkan."Silakan kalau mau ke atas, Dok!" Suara Beatrix cukup mengejutkan dokter muda itu."Tapi, anda tak ada yang terluka Nona?""Tak ada sama sekali," jawab Beatrix dengan wajah yang ramah.Robert langsung mengajak dokter muda itu mengikutinya naik ke lantai dua. Menuju kamar Jill Anne."Hemmmm, sosok yang penuh kharisma. Apalagi dokter muda. Sayang, pesonamu masih kalah jauh dari William. William memang benar-bena
Bergegas Beatrix pergi meninggalkan kamar. Dia berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamarnya sendiri."Akan ada saatnya, kau merasakan sakit ini! Lihat saja kau wanita sialan!" gerutu Jill Anne.Esmo menghampiri tuannya yang sedang dalam luapan amarah dan cemburu. Jill Anne melirik ke arahnya. Dengan tarikan napas yang tersengal-sengal."Apa, aku salah Esmo?""Nyonya tidak salah sama sekali. Jika itu sebuah kebenaran dalam perasaan Nyonya, tumpahkan semua. Jangan menyisakan sebuah kepedihan hanya untuk menjaga sebuah nama baik.""Begitukah Esmo? Tapi, hatiku masih terlalu sakit dengan sikap William padaku. Apa yang membuat dia sampai memperlakukan aku seperti ni Esmo? Apaaaaa ...?" Suara Jill Anne sampai bergetar.Wanita berkulit hitam legam itu tertunduk. Tak ada tanggapan atau kata yang mampu terucap dari bibirnya."Di mana dia sekarang?""Tuan William?""Iya!""Seperti biasa Tuan sedang berada di ruangannya
Di lantai tiga, kamar Beatrix Floy. Wanita cantik itu berjalan mondar mandir. Sesekali hembusan napasnya tewrdengar keras. Tampak kekesalan di raut wajahnya."Benar-benar sialan, Jill Anne. Seenaknya saja dia menghina aku seperti itu. Aku tak peduli lagi sebutan siapa pun pada diriku yang berada di kastil ini. Yang terpenting aku bisa menikmati kemewahan layaknya para bangsawan itu!""Nyonya!"Tiba-tiba Ester sudah berdiri di ambang pintu."Ada apa, Ester?""Nyonya Jill Anne ingin bertemu dengan Nyonya Floy."Mendengar hal itu, Beatrix tersungging sinis."Untuk apa dia ingin bertemu denganku, Ester? Untuk terus menghina diriku?"Pelayan itu hanya bisa diam tanpa menjawab. Sampai sebuah suara lembut nan tegas terdengar."Aku tidak berniat menghina kamu, Floy."Suara itu membuat Beatrix menoleh ka arah luar pintu. Sosok Jill Anne yang anggun menawan sudah berdiri di sana. Sedang menunggunya untuk keluar.Wala
Keesokan pagi.Ester berlari tergopoh-gopoh menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dia berlari dengan mengangkat rok, agar geraknya lebih cepat. Saat sampai di depan kamar Jill Anne. Dia terlihat ragu saat hendak mengetuk pintu."Ada apa kamu di sana Ester?"Tiba-tiba, Beatrix Floy sudah berdiri di ujung tangga. Dia melihat ke arah Ester penuh tanya."Apa yang akan kamu lakukan?"Wanita berkulit hitam itu, terlihat resah dan cemas. Dahinya berkerut keras. Serta kedua jemari tangannya saling bertaut dan tak berhenti bergerak."Ada masalah apa Ester? Kamu sampai ketakutan seperti ini?" tanya Beatrix Floy seraya bergerak menuruni anak tangga dan menghampiri dirinya. Rambutnya tergerai sebatas punggung. Masih memakai pakaian tidur berwarna putih gading."Ehhh ... Nyonya Floy. Esmo akan di bawa ke kota atas tuduhan mencuri di kastil ini. Aku sangat yakin dia tak akan melakukannya.""Esmo? Mencuri apa?"Ester hanya menggeleng.
Satu malam berlalu ....Terlihat Jill Anne sedang duduk di depan meja rias. Dia mematut wajah dfan rambutnya. Tiba-tiba terdengar suara bariton yang menyuruh Ester untuk keluar."Ester keluarlah kamu!""Ba-baik Tuan." Ester langsung meletakkan gaun pesta yang dibawa olehnya di atas kasur. Langkahnya terburu-buru pergi.Bersamaan dengan itu, Jill Anne menoleh ke arah pintu kamar. Lalu melanjutkan kembali merias wajah dan rambutnya. Derap langkah William terdengar mendekatinya. Dia berdiri tepat di belakang sang istri."Kau terlihat cantik.""Tak usah kau merayuku William."Sosok lelaki tinggi jangkung itu sedikit membungkuk. Mendekatkan wajahnya pada telinga Jill Anne. "Bau kau wangi sekali, Sayang.""Berhenti kau berbicara dari dekat seperti itu padaku!"Namun William mengabaikannya. Dia mengusap lembut leher sang istri dan mengecupnya. Sontak membuat Jill Anne berbalik. Lalu mendorong William."Apa-apaan kau ini
Mendengar kalimat yang menyakitkan dari Jill Anne. Membuat dia semakin keras menghentakkan kepuasannya atas tubuh sang istri. Yang tak memberikan respon atas kehangatan yang dia berikan."Hentikan William!" teriak Jill Anne dengan terisak.Namun teriakan Jill Anne tak dihiraukannya. Setelah puas menikmati tubuh istrinya. William berlalu begitu saja. Hingga dia menghentikan langkahnya di ambang pintu."Apa kau akan pergi ke pesta Jenderal Benjamin Elmar?"Tak ada jawaban yang terlontar dari bibir Jill Anne."Kalau kau tak menjawab. Aku anggap kau tak mau pergi. Jadi, aku akan mengajak Beatrix."Jill Anne masih meringkuk di atas kasur. Menyelimuti dirinya sendiri dan mengabaikan semua perkataan William.Tanpa hati William pun pergi meninggalkan kamar Jill Anne. Dia menaiki beberapa anak tangga menuju lantai tiga.Tok tok tok!"Beatrix!"Tak lama dia menunggu terdengar suara pintu berderit. Seraut wajah cantik muncul
William!" teriak seorang wanita seumuran Jill, kurang lebih 37 tahun.Mereka berdua berhenti. William dan Beatrix menoleh ke arahnya. Seorang wanita yang cukup cantik dan sangat berkelas. Dia berjalan mendekati mereka dengan tatapan tertuju pada Beatrix Floy."Di mana Jill?""Dia tidak ikut. Kau bisa lihat sendiri 'kan Elena.""Lalu, wanita ini?"Segera Beatrix Floy mengulurkan tangan. "Beatrix Floy, anda cukup memanggil saya Floy!"Elena pun menyambut uluran tangan Beatrix. Namun dari gurat di wajahnya, sangat terlihat jelas banyak pertanyaan yang tertuju pada wanita cantik di hadapnnya."Si-siapa dia William?"William hanya tersenyum dingin. Dia menarik lengan Beatrix untuk mengikutinya."Kenapa kau tak jawab pertanyaan wanita tadi?""Dia teman dekat Jill Anne. Paling besok dia sudah tahu tentang kita.""Ohhh!" Bibir Beatrix membulat sensual.Lalu William berbisik, "Kau bisa tinggalkan
"Panggil aku Nyonya Floy saja, Lady Laurice.""Apakah Nyonya istri Tuan William?"Sesaat keduanya terdiam. Beatrix tak menjawab, begitu juga dengan William."Kalian kok malah diam?"William langsung mengajak Laurice untuk mengambil beberapa makanan. Sampai Elena menghampiri mereka."Lady Laurice?""Nyonya Elena. Senangnya bisa bertemu di sini."Mereka berdua berpelukan hangat. Mengabaikan Beatrix yang berdiri di sebelah William. Dia pun berbisik, "Aku ingin pulang!""Acara belum selesai, Beatrix.""Tapi di sini kamu abaikan aku. Bahkan tak mau mengakui aku sebagai 'istri' kamu!""Aku tak ingin kamu dicemooh. Makanya aku tak memperkenalkan dirimu sebagai istri.""Hemmm ...!"Beatrix dengan kesal sedikit menjauh. Namun tatap matanya terus mengarah pada William yang begitu intens mengajak bicara Laurice. Wanita berambut merah. Sepanas senyumannya yang begitu menggoda William.