Share

KEADAAN JILL ANNE

Sejenak William terdiam. Pandangannya terpaku melihat guyuran air hujan yang begitu deras.

"Aku yakin kau akan pulang! Kau tak memiliki apa-apa, Jill. Jadi, pilihanmu tetap kembali padaku."

Terlihat senyum William menyeringai dingin. Dengan sorot mata yang tajam. Menatap pada sebuah bingkai lukisan yang tergambar dirinya dan Jill Anne. Dia sangat yakin, jika Jill Anne tak bisa jauh darinya.

Tok tok tok!

Terdengar suara pintu yang diketuk pelan. Membuat William menoleh. Iris matanya,  mendapati sosok Beatrix yang terlihat sangat anggun penuh pesona. Membuat William terbelalak dengan penampilan terbaru wanita cantik itu.

"Kau, sepertinya terkejut, William?" desah Beatrix tersenyum hangat. Sembari jemari tanganya mempermainkan ujung rambutnya yang terikat ke atas. Berhiaskan bunga myrtle kesukaannya.

"Tak salah aku memilihmu, Sayang," sahut William yang begitu takjub dengan perubahan penampilan 'istrinya'.

"Apa, penampilanku sudah bisa membuat dirimu bangga?"

"Pasti, Beatrix. Dua hari lagi aku akan mengajak kau ke sebuah pesta. Undangan Jendral Benjamin Elmar. Atas pertunangan anak gadisnya dengan seorang bangsawan Skotlandia."

"Wahhh, kamu serius William?" Dari binar mata dan rona merah di kedua pipi Beatrix terlihat dia sangat menyukai ajakan itu.

"Aku seorang laki-laki yang tak pernah berbohong, Beatrix!"

Langkah Beatrix menghampiri sang 'suami' yang masih berdiri di depan jendela. Dari hembusan kasar napasnya. Beatrix bisa tahu, kalau William sebenarnya gelisah. Tak bisa dia tutupi, dengan keangkuhan yang terpancar dari sikapnya. Yang dingin dan seolah tak peduli.

"William Sayang," bisik Beatrix, menyandarkan kepalanya di lengan sang 'suami'.

"Hemmm ...."

"Kau pasti memikirkan Jill Anne. Iya 'kan?"

Dia tersungging sinis, seolah ingin menampik semua perkiraan yang ada di kepala Beatrix.

"Kau jangan suka main perkiraan, Beatrix."

"William, bisa kah kau mmeanggil aku dengan panggilan Floy saja?"

"Kenapa?"

"Itu nama kecilku. Dan, aku lebih suka kau memanggilnya dengan nama itu. Bisa 'kan?"

Tangannya mengusap lembut rambut Beatrix yang masih bersandar di lengannya.

"Aku mau mengantar kamu mencari Jill Anne, Sayang."

"Stop! Hentikan kau mengulang-ulang nama itu lagi. Paham Floy?" sentak William kasar.

Seketika Beatrix meregangkan kepalanya. Dia tak sangka bila William bisa sekasar ini. Tanpa banyak berkata-kata lagi. Beatrix berlari kecil meninggalkan kamar William. Dia menaiki anak tangga, dengan mengangkat rok lebarnya.

Sesampai di kamar. Wanita cantik itu, menghempaskan tubuhnya. Hingga membenam di antara bantal yang lembut dan empuk. 

Dari luar kamar. Ester hanya memperhatikan tuannya yang tengah menangis sesenggukkan.

"Baru sebatas itu saja, Nyonya Floy sudah menangis. Bagaimana dengan perlakuan Tuan pada Nyonya Jill Anne? Pastinya kau akan terkejut. Jangan kau kira hidup di kastil megah ini, hidupmu akan bahagia ... Nyonya Floy!" ucap Ester menyeringai senang.

Wanita berkulit hitam itu menjauh pergi, meninggalkan Beatrix yang terus menangis.

_oOo_

Langkahnya mengayun, berjalan lambat di pinggiran pantai, dengan tangan yang memegang tali kekang Mariana. Suara guntur bercampur petir terdengar menyalak dan menyambar. Cahaya yang berkilat, tak membuat takut Jill Anne sama sekali.

Dia membiarkan tubuhnya diguyur derasnya air hujan. Sesekali Jill Anne mendongak ke atas. Dengan mata yang terpejam. Seolah ingin melupakan semua peristiwa yang baru saja menyakiti dirinya.

Lalu dia merentangkan kedua tangan dengan lebar. Sembari berteriak kencang, "aaaaaarghhhh!" Seakan ingin melepas beban yang menghimpit dada.

Wanita berparas manis itu, terus menjerit histeris. Mungkin dengan begitu dia merasa lega. Bisa meluapkan kemarahan pada William dan wanita asing itu. Yang berpura-pura ramah, tapi menikam dirinya.

"Kenapa aku selalu merasa sendiri? Kenapa semua orang yang aku cintai, pada akhirnya menyakiti?" teriakmya.

Seraya pandangan Jill Anne tertuju pada pantai, yang ombaknya bergulung tinggi dan keras menghantam batu karang. Seolah ingin menghancurkan keangkuhan dan kesombongan, batu karang yang berjajar di beberapa pinggiran pantai.

Jill Anne tak kuasa lagi menahan tangis yang langsung pecah. Bersamaan dengan guyuran air hujan. Yang seakan menutupi kelemahannya saat ini. Dia benar-benar terlihat hancur. Bagai ombak yang terhempas pesisir pantai dan menjadi buih.

Tubuhnya berjalan gontai dan lemas. Dia terduduk di pinggiran pantai dengan tatap mata yang kosong. Kedua tangannya terus memukul pasir yang tak bersalah.

Angin pun semakin berhembus kencang, seakan sengaja mempermainkan rambutnya. Namun kali ini, Jill Anne merasa ada yang aneh pada alam sekitarnya saat ini. Saat pandangan matanya tertuju ke  tengah laut. Seketika Jill Anne terbelalak, dengan mulut terbuka lebar. 

Dari kejauhan Jill Anne melihat putaran angin hitam berkumpul di satu titik. Hingga membentuk sebuah pusaran yang bergerak kencang berwarna kehitaman. Yang semakin lama semakin membesar.

Melihat sesuatu yang berbahaya di hadapannya. Jill Anne segera bangkit. Lalu dia segera menaiki kudanya, yang terlihat gelisah. Beberapa Mariana meringkik ketakutan. 

"Ayo Mariana, kita tinggalkan tempat ini!" seru Jill Anne.

Hentakan kedua kaki Jill Anne pada perut Mariana. Membuat  kuda itu terus melaju dengan kecepatan tinggi. Tanpa berhenti sama sekali.

Hingga sebuah kilatan cahaya yang sangat benderang menyilaukan Jill Anne. Membuat dia terkesiap. Begitu juga  kudanya yang tiba-tiba berhenti.

"Kenapa kau berhenti Mariana? Kita harus terus jalan!" teriak Jill Anne di telinga Mariana.

Sampai sebuah ledakan terdengar kencang. Tak jauh dari mereka berhenti. Ledakan itu membuat Mariana meringkik keras, dengan kedua kaki terangkat tinggi ke atas.

Kraaaaakkkk!

Sebuah pohon di depan mereka tumbang. Terkena sambaran petir. Masih tercium bau yang hangus terbakar, melesak di rongga hidung Jill Anne.

"Tenang, Mariana. Tenang ...!"

Jill Anne sibuk menenangkan kudanya. Namun, rupanya Mariana terlanjur ketakutan. Dia terus meronta dengan meringkik. Membuat Jill Anne mulai kesulitan mengendalikannya.

"Mariana, tenanglah," bisik Jill Anne dengan terus mengusap punggungnya.

Kembali terdengar suara petir yang menyalak kencang. Membuat kuda itu, semakin tak terkendali. Dia terus mengangkat kedua kaki depannya. 

Dan ....

Sebuah hentakkan sangat keras, membuat Jill Anne terpelanting dan terjatuh ke pasir pantai.

"Aaaaaarghhh!"

Mariana pun berlari kencang meninggalkan tubuh Jill Anne yang tak lagi bergerak. Seolah dia tak peduli dengan keadaan tuannya. 

Tubuh Jill Anne benar-benar tersungkur. Derasnya hujan tetap tak membuat dia terbangun. Tubuhnya benar-benar mati, tak ada gerakan sama sekali.

Satu jam berlalu ....

Jill Anne mulai merasakan tubuhnya terasa sakit. Dia berusaha untuk bergerak pelan. Sedikit demi sedikit merangkak untuk mencapai ke tempat yang lebih tinggi.

Mata, hidung, dan mulutnya penuh pasir. Masih dengan terlentang. Jill Anne berusaha membersihkan wajahnya. Beberapa butiran pasir masih melekat. Sampai membuat Jill Anne terbatuk-batuk.

"Aaaarghhh! Sakit sekali." Suara Jill Anne benar-benar lemah.

Dadanya terlihat naik turun dengan cepat. Dia masih terus berusaha untuk bisa bangun. Namun sayang, tubuhnya benar-benar tak bisa diajak kerjasama. Hingga Wanita berparas manis itu kembali terlentang.

"A-pa, aku benar-benar akan mati?"

Tubuh Jill Anne yang terus menerus di guyur hujan deras, akhirnya kembali pingsan. Dia benar-benar tak berdaya. Detak jantungnya pun semakin melemah.

Tak ada seorang pun yang melintas atau berada di sekitar tempat itu. Kastil Edward Lily memang jauh dari pemukiman warga desa. Harus menempuh dua jam perjalanan dengan kereta kuda.

Gelegar petir pun tak mampu membangunkan Jill Anne yang tak sadarkan diri. Tubuhnya mulai membiru. Bibir dan dagu terlihat bergetar lemah. Napasnya masih terlihat naik turun, walau tak secepat semula.

Kali ini, Jill Anne benar-benar terkulai lemah. Hanya menunggu hitungan waktu. Sampai ada seseorang yang akan menolong. Atau, sebaliknya. 

 ***

Follow IG Raifiza_Lina. F* Raifiza Lina

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status