-45-
Suasana ramai di kafe daerah Rawamangun itu terasa mencekam bagi Fenita. Gadis berparas manis tersebut memainkan jemari di pangkuan, sementara sepasang matanya mengawasi gerak-gerik pria di hadapan yang menatapnya dengan tatapan menyelidik.
Fenita berulang kali menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. Dia berusaha untuk tetap tenang dan tidak melirik ke meja sebelah kanan, di mana Anto dan Beni mencuri-curi pandang ke arah dirinya dan Bagaskara.
Sementara itu di beberapa meja lainnya, anak buah Bagaskara mengawasi sekitar. Demikian pula dengan teman-teman Anto yang tersebar di meja-meja bagian sudut. Mereka semua berusaha saling mengintai agar gerakan lawan bisa terpantau.
"Kenapa kamu kabur?" tanya Bagaskara beberapa saat kemudian.
"Aku ... takut diintimidasi anak buahmu," jawab Fenita. "Mereka suka nongkrong di depan butik, bikin aku nggak fokus kerja. Makanya aku berhenti dan bersembunyi,
-46-Semenjak turun dari pesawat di Bandara HAS Hanandjoeddin, Tanjung Pandan, Belitung, bibir Theo tak henti-hentinya melengkungkan senyuman. Pria itu merasa sangat senang telah bisa menginjakkan kakinya kembali di tempat kelahiran, setelah dua tahun tidak pulang ke sini.Demikian pula dengan Nadine, perempuan berparas cantik itu juga sangat bahagia karena bisa berkunjung ke tempat asal sang suami. Keinginannya untuk lebih mengenal keluarga besar Theo sudah sangat membuncah, terutama karena rasa rindunya pada mertua dan adik-adik Theo.Anto dan Santi yang ikut bersama kedua sejoli tersebut, masih belum terbiasa dengan udara panas khas daerah pantai yang lebih menyengat dibandingkan dengan di Jakarta. Terutama Santi, perempuan berwajah oval itu tak pernah berhenti mengusap wajahnya yang berkeringat."Panas banget ihh," keluh Santi saat mereka sedang menunggu bagasi di tempat kedatangan bandara."Kamu yang salah
-47-Sesuai keinginan Nadine, pagi-pagi sekali Theo sudah mengantarkan istrinya tersebut ke pasar bersama Bu Ida, Tania dan tiga orang bibinya Theo. Setibanya di pasar Theo sempat menyeringai ketika Nadine menggulung celana legging hitamnya hingga bawah dengkul. Dia tahu bila Nadine pasti tengah menggerutu di dalam hati karena menyadari sudah tidak bisa kabur lagi dari tempat becek yang dipenuhi banyak orang.Ketika para perempuan memasuki pasar, Theo memilih untuk duduk-duduk di warung kopi terdekat sambil berbalas pesan dengan Farid, karyawan bengkel yang sementara ini menjadi penanggung jawab selama Anto tidak ada. Sesekali dia juga melakukan pembicaraan jarak jauh dengan keempat manajer di perusahaan milik ayah mertuanya.Untunglah perusahaan itu memiliki banyak karyawan senior, sehingga di saat para petingginya tengah berlibur maka manajer dan semua staf bisa menangani perusahaan dengan baik.Samuel pun telah menempatk
-48-Suasana ballroom hotel tempat diadakannya resepsi pernikahan Theo dan Nadine tampak dipenuhi banyak tamu undangan. Meskipun keduanya bukan selebriti ataupun orang terpandang di Belitung, tetapi bisa menyelenggarakan pesta mewah seperti itu sudah memancing rasa keingintahuan khalayak.Terutama rekan-rekan sekolah Theo dulu. Bahkan yang tidak diundang pun turut hadir dan memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai yang tampak sangat berbahagia di pelaminan.Akan tetapi, kehadiran seorang pria paruh baya sontak menjadi sorotan publik. Tentu saja banyak yang mengenal pria tersebut sebagai bos besar pertambangan. Pak Herman bergegas menghampiri bos-nya dan menyambut kedatangan pria tersebut dengan wajah semringah."Siapa dia?" tanya Nadine."Bos ayah, salah satu orang terkaya di sini. Namanya Toni," jawab Theo."Oh, pantes ayah sampai membungkukkan badan begitu.""Hu um, pak Toni m
-49-Suasana di dalam ruangan itu sangat hening. Cahaya satu-satunya hanya berasal dari lampu kecil yang berada di sudut kiri. Selebihnya tampak samar-samar.Kedua orang di atas tempat tidur tidak bergerak semenjak beberapa belas menit yang lalu. Nadine masih memeluk dan mengusap rambut sang suami, yang menyandarkan kepala di dadanya. Pria itu sesekali menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Seakan-akan tengah melakukan pelepasan beban pikiran."Sekarang terjawab sudah, kenapa wajahku tidak mirip dengan ayah dan ibu," lirih Theo. "Sejak dulu aku sudah merasa diperlakukan beda. Setiap aku meminta sesuatu, ayah akan segera mengabulkannya. Beda dengan Tania dan Evan yang harus merengek lama untuk mendapatkan keinginan mereka," lanjutnya."Menurutmu, kenapa bisa begitu?" tanya Nadine."Dulu aku pikir karena anak pertama dan kesayangan semua orang. Tapi ternyata salah. Bos ayah selalu ngirim uang tiap b
-50-Langit senja mulai meneduh. Angin berembus sepoi-sepoi menambah kesejukan udara. Dedaunan bergoyang tertiup angin, ada yang bertahan pada dahannya, ada pula yang lelah dan memilih untuk gugur ke bumi.Sepasang anak muda tengah duduk bersila di atas karpet plastik tebal yang digelar di rumput. Sementara dua orang dewasa lainnya duduk di undakan semen yang dibentuk mirip dengan kursi berkaki pendek.Dua anak muda lainnya duduk di belakang orang tua mereka sambil memegangi payung.Theo mengusap pusara yang bertuliskan nama Windarti, perempuan yang selama ini diingatnya sebagai Tante Winda, tetapi ternyata adalah ibu kandungnya. Meskipun Theo tidak pernah bertemu, tetapi dia tahu bahwa ibunya adalah perempuan yang baik dan keras hati, sifat yang diturunkan padanya.Untaian doa mengalun dari hati pria tersebut, berharap ibunya bisa melihat dirinya dari surga saat ini. Setitik bulir bening luruh dari sudut matanya
-51-Hari demi hari berlalu. Theo dan Nadine kembali disibukkan dengan kegiatan masing-masing yang sangat menyita waktu. Terkadang mereka hanya bertemu dan menyempatkan untuk mengobrol ketika sarapan pagi, karena keduanya kadang pulang terlalu larut dan langsung tertidur pulas.Namun, hari ini sangat berbeda. Theo pulang lebih awal sore itu dan langsung menghias rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja semenjak satu minggu yang lalu, tampak bingung melihat tuannya yang tengah menghias setiap pojok ruangan dengan aneka bunga segar yang harum.Perempuan berusia empat puluh lima tahun yang bernama Ani itu menyetrika sambil sesekali melirik ke arah Theo yang tampak sangat sibuk. Dalam hati dia menebak-nebak hal istimewa apa yang tengah disiapkan oleh tuannya itu."Bi, aku mau mandi dulu, nanti kalau ada yang nganterin makanan dan kue, terima aja, ya. Semuanya udah dibayar," ujar Theo sambil jalan ke belakang rumah, dan kembali lagi den
-52-Tangan Nadine bergetar hebat ketika melihat hasil alat tes kehamilan, yang baru saja digunakannya di toilet klinik praktek dokter. Bulir bening luruh dari matanya tanpa sempat ditahan lagi. Isak tangisnya terdengar hingga ke luar pintu, di mana Theo telah menunggu dengan cemas."Sayang, udah selesai?" tanya Theo sambil mengetuk pintu toilet.Saat pintu itu terbuka, pria tersebut menatap wajah sang istri yang masih menangis. Berjuta tanya muncul di dada ketika Nadine menghambur memeluk tubuh Theo dengan erat. "Gimana hasilnya?" tanya Theo, benar-benar penasaran.Nadine tidak menjawab, melainkan mengulurkan tangan dan memperlihatkan alat tes kehamilan itu ke arah Theo yang kebingungan."Ini, maksudnya apa? Aku nggak ngerti," ucap Theo sembari membolak-balikkan alat tersebut."Garis dua, Sayang," sahut Nadine."Artinya?""Positif. Aku ... hamil."Seper
-53-Keempat orang di ruang kerja Elsa itu tampak sangat tegang. Theo tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir sepanjang ruangan. Sementara Elsa dan Anto menelepon ke sana kemari, mencari informasi kemungkinan tempat Nadine dibawa. Sementara Santi nyaris tak berhenti menangis sambil menyandarkan tubuh ke sofa.Ketika sosok Pak Dibyo, pengacara perusahaan tiba bersama tiga orang asistennya, mereka langsung membahas tentang kejadian penculikan Nadine. Rekaman cctv di depan gedung kantor event organizer itu sayangnya tidak bisa menangkap nomor plat kendaraan tersebut. Demikian pula dengan sosok orang yang menarik Nadine masuk ke mobil. Yang tampak hanya sosok pemilik warung dan dua orang tenaga satuan pengamanan yang berteriak sambil berusaha mengejar mobil hitam itu. Namun, sayangnya mobil itu berhasil kabur."Om belum buat laporan ke polisi, karena ingin menyelidiki hal ini terlebih dahulu," ujar Pak Dibyo, sesaat setelah mereka selesai menon