Senja belum lagi usai ketika Thomas melangkah keluar dari aula besar yang biasa menjadi pusat pelatihan fisik di Akademi The Heptagon. Di tangannya, tergantung sebuah tas selempang sederhana tak ada embel-embel pangkat atau tanda kelulusan yang mencolok. Hanya ransel hitam lusuh, saksi bisu perjalanan lima tahun penuh keringat, darah, dan air mata. Sore itu, langit Akademi Heptagon tampak berwarna jingga kemerahan, seolah ikut merayakan kelulusan "The Revenants" angkatan ke-17 yang baru saja resmi dilantik.Thomas berdiri di tepi landasan, menatap jauh ke arah cakrawala tempat matahari terbenam. Satu minggu. Hanya tujuh hari waktu yang singkat, namun terasa sangat berharga. Ia menanti kapal terbang pengangkut para lulusan yang akan membawanya kembali ke dunia luar. Tidak semua memilih untuk pulang; sebagian agen baru memutuskan tetap di pulau untuk langsung menyesuaikan diri dengan divisi masing-masing. Tapi bagi Thomas, keputusan itu bulat: Ia harus pulang ke London.Masa Cuti & Kepu
Kelahiran Angkatan BaruLangit malam di Akademi Heptagon terasa lebih luas dari biasanya. Setelah misi terakhir yang membawa mereka ke ambang kematian, hanya 28 siswa dari 40 yang berangkat kembali ke aula utama, menandakan mereka telah lulus ujian akhir. Mereka bukan lagi siswa mereka adalah anggota resmi The Heptagon.Di dalam aula utama, suasana terasa begitu khidmat namun dipenuhi semangat. Cahaya lampu besar menerangi ruangan luas yang penuh dengan sejarah, tempat di mana hanya sedikit orang yang berhasil berdiri setelah lima tahun neraka pelatihan. Di depan mereka, berdiri sosok yang dihormati oleh semua Mr. Patriot, salah satu figur tertinggi dalam organisasi, seorang pria dengan mata tajam yang membawa aura kepemimpinan yang kuat.Di sampingnya, George Simbian berdiri dengan tangan terlipat, menatap dengan bangga kepada para siswa yang selamat. Seperti biasa, ekspresinya dingin, tetapi ada kilatan kebanggaan di matanya.Sebuah Penghormatan untuk yang BertahanMr. Patriot melan
Tahap Ketiga Tahap terakhir bukanlah tes fisik. Thomas dibawa ke dalam ruangan gelap, hanya ada sebuah layar besar di depannya. Seorang psikolog militer duduk di seberangnya. Di layar, berbagai simulasi mulai diputar. Gambaran korban perang, anak-anak yang tertinggal, tawanan yang memohon belas kasihan. "Reaksimu akan menentukan segalanya," kata psikolog itu. Namun, Thomas tetap duduk diam. Matanya tidak menunjukkan emosi. Simulasi berubah. Kini yang ditampilkan adalah orang-orang yang ia kenal Alex, Diego, Flynn dalam situasi mengerikan. Beberapa petinggi yang menyaksikan dari balik kaca mulai bertanya-tanya: Apakah ia masih manusia? Namun, George tetap diam, mengamati. Layar akhirnya mati. Psikolog itu menulis sesuatu di catatannya, lalu berbicara dengan nada tenang. "Kau tidak menunjukkan empati dalam situasi yang dirancang untuk memecahkan seseorang. Kau tidak menunjukkan reaksi seperti manusia pada umumnya. Apa kau masih merasa bahwa kau bagian dari mereka?" Thomas mena
Langit mulai berubah menjadi warna jingga saat senja menjelang. Angin dingin berembus melewati lapangan akademi, membawa keheningan yang terasa semakin berat. Di tengah area terbuka itu, Thomas berdiri berhadapan dengan Alex, Diego, dan Flynn tiga sosok yang dulu ia kenal sebagai teman seperjuangan, tetapi kini telah menjadi sesuatu yang lebih. Thomas tidak segera berbicara. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik perubahan besar yang kini terpampang di hadapannya. Namun, yang ia lihat adalah sesuatu yang lebih kuat, lebih tajam mereka bukan lagi hanya sekadar rekan, mereka adalah saudara dalam peperangan. Alexlah yang pertama melangkah maju, dengan ekspresi percaya diri yang tetap sama seperti dahulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Thomas. Bukan hanya rasa hormat, tetapi juga kebanggaan. "Jadi, kau akhirnya kembali." Suara Alex terdengar mantap, tanpa keraguan sedikit pun. Thomas mengangguk pelan. "Aku tidak pe
Ia menghindari pukulan lurus dengan gerakan slipping, memiringkan kepala hanya beberapa inci dari tinju George.Hook kanan datang cepat, tetapi Thomas mengangkat sikunya untuk menangkis, merasakan benturan yang nyaris mematahkan tulangnya.Saat tendangan putar melesat, Thomas melompat mundur, menggunakan momentum George untuk memperhitungkan serangan balasan.Dan di situlah momen itu datang.Saat sikutan George mengarah ke lehernya, Thomas menurunkan tubuhnya, merendah, lalu meluncurkan uppercut langsung ke ulu hati George.DUG!Untuk pertama kalinya, George terdorong mundur.Thomas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang ia pelajari dari pertarungan ke-99, ia menyerang balik.Elbow strike ke rahang.Tendangan rendah ke lutut.Sebuah pukulan straight ke arah dada.Namun, George bukan lawan yang mudah. Saat serangan ketiga hampir mengenai, George tiba-tiba berbalik, menggunakan energi Thomas sendiri untuk menjatuhkannya dengan teknik grappling.Thomas terhuyung, teta
Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.Pilihannya hanya satu "Lariiiii."Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. J