Home / Urban / THE HEPTAGON - Perang di Dalam Bayangan / Bab 36 - Tim Kematian - Part 01

Share

Bab 36 - Tim Kematian - Part 01

Author: Aljum'ah R
last update Last Updated: 2025-09-25 21:20:40

Langit mulai berubah menjadi warna jingga saat senja menjelang. Angin dingin berembus melewati lapangan akademi, membawa keheningan yang terasa semakin berat. Di tengah area terbuka itu, Thomas berdiri berhadapan dengan Alex, Diego, dan Flynn tiga sosok yang dulu ia kenal sebagai teman seperjuangan, tetapi kini telah menjadi sesuatu yang lebih.

Thomas tidak segera berbicara. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik perubahan besar yang kini terpampang di hadapannya. Namun, yang ia lihat adalah sesuatu yang lebih kuat, lebih tajam mereka bukan lagi hanya sekadar rekan, mereka adalah saudara dalam peperangan.

Alexlah yang pertama melangkah maju, dengan ekspresi percaya diri yang tetap sama seperti dahulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Thomas. Bukan hanya rasa hormat, tetapi juga kebanggaan.

"Jadi, kau akhirnya kembali." Suara Alex terdengar mantap, tanpa keraguan sedikit pun.

Thomas mengangguk pelan. "Aku tidak pernah benar-benar pergi."

Diego menyeringai, meninju telapak tangannya sendiri. "Kami kira kau akan kembali dengan kepala yang lebih besar. Tapi kau justru kembali sebagai sesuatu yang lebih… berbahaya."

Flynn melipat tangannya di dada, menatap Thomas dengan seringai kecil. "Kami hampir tidak mengenalmu. Tapi kurasa kau juga tidak akan mengenali kami."

Thomas mengangkat alis. "Begitu?"

Alex melangkah lebih dekat. "Kami tidak diam saja selama setahun ini, Thomas. Kau bukan satu-satunya yang berkembang."

Thomas menatap mereka dalam diam, lalu menghela napas dalam. "Kalau begitu, tunjukkan padaku."

Diego tertawa. "Kau ingin diuji?"

Flynn melirik ke arah Alex sebelum berkata, "Atau kau ingin memastikan bahwa kami benar-benar bisa mengimbangi dirimu?"

Thomas menyeringai tipis. "Kalian tahu jawabannya."

Tanpa aba-aba, Diego melesat cepat. Pukulan kerasnya mengarah ke dada Thomas, tetapi dalam sekejap, Thomas memiringkan tubuhnya dan menghindar. Namun, sebelum ia sempat menyesuaikan posisi, Alex sudah muncul di sisi lain, belatinya meluncur cepat menuju bahu Thomas.

Dengan refleks luar biasa, Thomas memblokir dengan tangannya, tetapi itu memberi kesempatan bagi Flynn untuk menyusup ke belakangnya. Dalam sekejap, tangan Flynn menyentuh punggung Thomas, seolah menunjukkan bahwa jika ini adalah misi sebenarnya, Thomas sudah bisa dieliminasi.

Hening.

Thomas berdiri tegap, merasakan bagaimana saudara-saudaranya kini bukan lagi para bocah yang ia tinggalkan setahun lalu. Mereka telah tumbuh menjadi pejuang sejati.

Ia berbalik, menatap mereka dengan mata yang tidak lagi hanya sekadar menilai tetapi juga menghargai.

"Aku mengerti."

Diego tertawa, menepuk bahunya. "Kami akan terus mengimbangimu, Thomas. Apa pun yang terjadi."

Flynn menambahkan, "Jangan kira kau bisa terus meninggalkan kami. Kami juga punya cara sendiri untuk menjadi lebih kuat."

Alex mengulurkan tangan. "Kami bersumpah untuk tidak tertinggal, Thomas. Kita adalah saudara sedarah. Apa pun yang terjadi, kita akan terus maju bersama."

Thomas menatap tangan itu sejenak, lalu menjabatnya. Diego dan Flynn meletakkan tangan mereka di atasnya.

Para siswa lain di sekitar mereka hanya bisa menyaksikan dengan penuh kebingungan. Tidak ada yang memahami sepenuhnya apa yang terjadi di antara keempat sosok itu. Namun, satu hal jelas: Mereka bukan lagi sekadar tim biasa. Mereka adalah sesuatu yang lebih.

Seorang instruktur yang mengamati dari kejauhan melirik ke arah George Simbian yang berdiri di sisi lapangan dengan ekspresi sulit ditebak.

"Apa yang kau lihat?" tanya instruktur itu.

George menyilangkan tangannya, matanya tetap tertuju pada keempat pemuda yang kini berdiri bersama. "Aku melihat sesuatu yang lebih berbahaya dari pasukan mana pun yang pernah kita latih di sini."

Instruktur itu menelan ludah. "Apakah itu baik atau buruk?"

George tersenyum tipis. "Itu bergantung pada siapa yang berdiri di sisi mereka ketika perang yang sebenarnya dimulai."

Di bawah langit yang mulai gelap, empat sosok itu berdiri bersama, bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Kini, Thomas tidak hanya kembali sebagai predator ia kembali sebagai pemimpin dari saudara-saudaranya yang telah menjadi sama berbahayanya dengan dirinya.

Menguji Hasil Latihan

Langit mendung menggantung di atas Akademi Heptagon saat Thomas berdiri di tengah arena latihan. Cahaya lampu sorot menerangi wajahnya yang tanpa ekspresi, menciptakan bayangan tajam di bawah dagunya. Di sekelilingnya, para instruktur dan petinggi Heptagon mengamati dengan tatapan penuh ekspektasi.

George Simbian berdiri di sisi lapangan, tangan bersedekap, matanya mengamati murid terbaiknya. Ini bukan sekadar tes biasa ini adalah ujian untuk memastikan bahwa Thomas benar-benar siap untuk perang yang lebih besar.

Di sekeliling arena, puluhan siswa menyaksikan dalam diam. Mereka semua tahu siapa Thomas, tetapi mereka tidak tahu seberapa jauh ia telah berkembang.

Seorang petinggi Heptagon berbicara lantang, suaranya menggema di seluruh area. "Ujian ini memiliki tiga tahap. Ketahanan, pertempuran, dan ketajaman psikologis. Jika kau gagal dalam satu saja, maka kami akan menilai bahwa kau belum siap."

Thomas tidak merespons. Ia hanya berdiri di sana, matanya kosong, siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Tahap Pertama

Tanpa aba-aba, sirene meraung. Ujian pertama dimulai.

Lari sejauh 50 km tanpa istirahat dengan beban 50 kg di punggungnya.

Para siswa di sekitar arena menahan napas. Tes ini dirancang untuk membuat manusia menyerah, bahkan sebelum mereka mencapai setengah perjalanan.

Thomas melesat ke depan, napasnya tetap stabil. Langkahnya tidak pernah melambat.

Di belakangnya, para sensor dan drone pemantau merekam setiap gerakan. Detak jantungnya tetap konstan, kecepatan langkahnya tidak berubah.

Setengah jalan, ia mulai melampaui batas manusia biasa. Keringat mengalir, tetapi ekspresinya tetap dingin, seperti mesin yang hanya mengikuti perintah.

Ketika ia mencapai garis akhir, waktunya tidak masuk akal. Rekor akademi sebelumnya adalah 5 jam. Thomas menyelesaikannya dalam 3 jam 45 menit.

Para instruktur bertukar pandangan, beberapa dari mereka terkejut, beberapa dari mereka khawatir.

George hanya tersenyum tipis. "Masih ada dua tahap lagi."

Tahap Kedua

Saat Thomas berdiri di tengah arena, lima siswa terbaik akademi memasuki lapangan. Mereka bukan sembarang orang. Mereka adalah petarung paling terlatih yang dimiliki Heptagon.

Seorang instruktur berbicara. "Aturan pertarungan ini sederhana: bertahan selama lima menit atau kalahkan semua lawan."

Mereka tidak menunggu. Dalam sekejap, lima lawan melesat ke arahnya dari berbagai arah.

Tendangan pertama datang dari kiri. Thomas menghindar dengan kecepatan luar biasa. Tinju berikutnya meluncur ke perutnya, tetapi sebelum lawan bisa menyentuhnya, Thomas sudah bergerak, menangkap lengan lawannya dan menghantamkan siku ke rahangnya.

Satu jatuh.

Dua lawan berikutnya mencoba menekan dari depan dan belakang secara bersamaan. Thomas melompat ke belakang, menghindari pukulan, lalu berputar dengan tendangan memutar ke sisi kepala salah satu lawan.

Dua jatuh.

Lawan keempat mencoba menyerangnya dari belakang dengan pisau tumpul, tetapi Thomas berputar cepat, menekuk tubuhnya, menangkap pergelangan tangan lawannya, lalu menguncinya ke tanah.

Tiga jatuh.

Yang tersisa adalah siswa terbaik akademi seorang petarung berbadan besar dengan pengalaman bertempur yang lebih dari cukup untuk menghadapi Thomas.

Ia tersenyum. "Aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa melangkah, Thomas."

Pertarungan sebenarnya dimulai.

Mereka bertukar serangan dalam kecepatan yang luar biasa. Tinju, tendangan, dan serangan balik terjadi dalam hitungan detik. Mereka bukan hanya bertarung, mereka membaca setiap gerakan satu sama lain.

Namun, dalam sekejap, Thomas menemukan celah. Ia menghindari satu pukulan, berputar ke samping, dan menghantamkan lututnya tepat ke perut lawannya.

Lima jatuh.

Waktu yang dibutuhkan? Kurang dari 2 menit.

Para petinggi Heptagon kembali bertukar pandangan. Mereka telah menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar manusia.

------------------>Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • THE HEPTAGON - Perang di Dalam Bayangan   Bab 36 - Tim Kematian - Part 01

    Langit mulai berubah menjadi warna jingga saat senja menjelang. Angin dingin berembus melewati lapangan akademi, membawa keheningan yang terasa semakin berat. Di tengah area terbuka itu, Thomas berdiri berhadapan dengan Alex, Diego, dan Flynn tiga sosok yang dulu ia kenal sebagai teman seperjuangan, tetapi kini telah menjadi sesuatu yang lebih. Thomas tidak segera berbicara. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik perubahan besar yang kini terpampang di hadapannya. Namun, yang ia lihat adalah sesuatu yang lebih kuat, lebih tajam mereka bukan lagi hanya sekadar rekan, mereka adalah saudara dalam peperangan. Alexlah yang pertama melangkah maju, dengan ekspresi percaya diri yang tetap sama seperti dahulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Thomas. Bukan hanya rasa hormat, tetapi juga kebanggaan. "Jadi, kau akhirnya kembali." Suara Alex terdengar mantap, tanpa keraguan sedikit pun. Thomas mengangguk pelan. "Aku tidak pe

  • THE HEPTAGON - Perang di Dalam Bayangan   Bab 35 - Transformasi Thomas - Part 04

    Ia menghindari pukulan lurus dengan gerakan slipping, memiringkan kepala hanya beberapa inci dari tinju George.Hook kanan datang cepat, tetapi Thomas mengangkat sikunya untuk menangkis, merasakan benturan yang nyaris mematahkan tulangnya.Saat tendangan putar melesat, Thomas melompat mundur, menggunakan momentum George untuk memperhitungkan serangan balasan.Dan di situlah momen itu datang.Saat sikutan George mengarah ke lehernya, Thomas menurunkan tubuhnya, merendah, lalu meluncurkan uppercut langsung ke ulu hati George.DUG!Untuk pertama kalinya, George terdorong mundur.Thomas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang ia pelajari dari pertarungan ke-99, ia menyerang balik.Elbow strike ke rahang.Tendangan rendah ke lutut.Sebuah pukulan straight ke arah dada.Namun, George bukan lawan yang mudah. Saat serangan ketiga hampir mengenai, George tiba-tiba berbalik, menggunakan energi Thomas sendiri untuk menjatuhkannya dengan teknik grappling.Thomas terhuyung, teta

  • THE HEPTAGON - Perang di Dalam Bayangan   Bab 34 - Transformasi Thomas - Part 03

    Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.Pilihannya hanya satu "Lariiiii."Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. J

  • THE HEPTAGON - Perang di Dalam Bayangan   Bab 33 - Transformasi Thomas - Part II

    Ia menggoreskan bilahnya ke telapak tangannya sendiri. Darah segar menetes ke dalam gelas kosong di tengah mereka.Tanpa ragu, Flynn mengambil pisau itu dan mengikuti, menyayat telapak tangannya sendiri sebelum meneteskan darahnya ke dalam gelas. "Setiap misi, setiap pertempuran, setiap kejatuhan… kita tetap satu."Alex, dengan tatapan penuh tekad, mengulangi ritual yang sama. "Kita tidak akan pernah berdiri sendirian. Kita adalah satu jiwa dalam empat tubuh."Akhirnya, Thomas mengambil pisau itu, merasakan dinginnya baja di kulitnya sebelum menyayat telapak tangannya sendiri. Darahnya bercampur dengan darah saudara-saudaranya, mengukuhkan sumpah yang lebih kuat dari sekadar kata-kata.Ia mengambil gelas itu, memutarnya pelan sebelum meneguknya. Darah hangat mengalir di tenggorokannya, bukan sebagai simbol kelemahan, tetapi sebagai bukti tak terbantahkan bahwa mereka telah memilih jalan yang sama. Tanpa ragu, gelas itu berpindah ke Alex, lalu ke Diego, dan terakhir ke Flynn. Mereka me

  • THE HEPTAGON - Perang di Dalam Bayangan   Bab 32- Transformasi Thomas - Part I

    Setelah berminggu-minggu menjalani latihan intensif di akademi, Thomas mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih waspada. Namun, dalam setiap latihan, ia juga mulai menyadari batasannya. Meskipun telah melalui berbagai skenario pertempuran, Thomas tahu bahwa ia masih jauh dari kata siap untuk menghadapi ancaman Black Dawn yang sesungguhnya.Sebuah komunikasi rahasia terjadi di salah satu markas Heptagon. Mr. Ice, salah satu The Council, telah berbicara dengan George Simbian secara langsung."Anak itu punya potensi," kata Mr. Ice dengan suara dingin khasnya. "Tapi dia belum siap. Jika dia ingin bertahan dalam perang berikutnya, dia harus menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa."George menyilangkan tangan. "Kau ingin aku melatihnya secara khusus?""Ya. Tapi aku tidak ingin kau menawarkan diri. Jika Thomas benar-benar siap, dia akan datang kepadamu sendiri."George mengangguk paham. "Baik. Jika dia cukup cerdas untuk menyadari kelemahannya,

  • THE HEPTAGON - Perang di Dalam Bayangan   Bab 31 - Bayangan dan Ancaman- Part II

    Thomas tersenyum, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam ucapan mereka. Ia memang berubah. Setelah melihat kematian, menyaksikan bagaimana Heptagon mengendalikan dunia kriminal, dan mengalami langsung pertarungan brutal, ia tidak bisa kembali menjadi siswa biasa yang hanya menjalani pelatihan tanpa memahami konsekuensinya.Keesokan harinya, Thomas kembali ke rutinitas akademi tetapi dengan nuansa yang berbeda. Di lapangan latihan, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat. Sebagian besar siswa lain melihatnya dengan rasa hormat, beberapa dengan iri, dan yang lain dengan waspada.Tidak seperti biasanya, Saat sesi Latihan kali ini, George Simbian adalah instruktur hari itu menggantikan Antonov, dan dia telah menanti terlebih dahulu dilapangan. "Hayooo….berkumpul lebih cepat, PARA BAJINGAN, kalian fikir kita sedang-piknik". Mendengar teriakan George. para siswa panik, berlari dan segera cepat membentuk barisan. Diego mendengar suara yang tidak asing baginya, spontan menepuk jidatn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status