"Gilingan banget Lo, Bro! Cewek jenius sekelas Agnes bisa Lo kibulin! Salut! Salut, gue! Sumpah dah!" tukas, teman Jameso, yang juga seorang pria sepertinya.
"Iya, dong. Gue gitu, lho! Jameso, dilawan! Yang lain mah, lewat!" ucapnya, sambil mengibas-ngibaskan sejumlah rupiah berwarna merah yang baru saja Agnes berikan kepadanya."Ha-ha-ha." Keduanya pun tertawa terbahak-bahak. Menertawakan Agnes yang menurut keduanya, pintar tapi bodoh.Jameso terus saja membeberkan sikap Agnes kepadanya selama ini. Yang menurutnya sangat naif. Sampai tidak sadar jika telah ditipu olehnya.Namun tanpa keduanya sadari, Agnes mendengar semua perkataan Jameso yang dari tadi terus saja menghinanya.Agnes seketika merasa syok. Seolah-olah tak percaya jika Jameso yang nota bene adalah pria yang sangat dirinya cintai, ternyata telah membohongi dirinya selama tiga tahun, kebersamaan mereka."Hei, Bro! Jangan bilang Lo, tidak mencintai Agnes!" celutuk, temannya ingin tahu."Memang tidak!" jawab Jameso, penuh dengan kelicikan."Apa? Wah ... parah Lo, Bro! Berani banget, Lo! Gila dah, Lo!" Temannya tak habis pikir, dengan jawaban Jameso."Gue hanya mencintai duitnya saja. Gue akui, Agnes sangat cantik. Tapi untuk apa? Jika gue tidak bisa menikmati tubuhnya? Jadi gue menikmati uangnya saja!" Jameso sangat bangga, dengan dirinya sendiri saat ini."Jadi Lo, memanipulasi Agnes dengan rasa cinta Lo, ke dia?""Tepat sekali! Ha-ha-ha. Gue membuainya dengan cinta palsu dan harapan kosong. Tapi semuanya, hanyalah akal-akalan gue saja! Asalkan gue bisa menikmati uangnya!" Jameso kembali membanggakan dirinya, karena telah menipu sang kekasih."Kejam Lo, Bro!" tukas, sahabatnya.Selama ini, Jameso menghabiskan uang Agnes di meja judi, dan dibeberapa aplikasi judi online.Bermain judi sudah menjadi kebiasaan Jameso sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah. Permainan kotor itu telah mendarah daging baginya, sejak dulu."Itu belum seberapa. Gue punya maksud lain dengannya." ucap Jameso, lagi."Maksud, lain?" Temannya, semakin penasaran.Lalu Jameso pun bercerita jika dia akan menjual Agnes kepada seorang germo yang sedang mencari wanita yang masih suci."Wah, gila Lo, Bro! Keterlaluan banget, jika Lo berani menjual Agnes!""Kenapa gue nggak berani? Agnes kan sangat polos. Selama ini, dia sangat patuh ke gue. Gue sangat yakin kali ini, Agnes juga akan menuruti semua, apa yang gue mau." Keduanya pun kembali tertawa dengan penuh kemenangan.Agnes yang mendengar semua itu, hanya bisa menangis. Hatinya sangat hancur. Dia tidak menyangka Jameso setega itu kepadanya.Setelah menenangkan dirinya sebentar. Agnes pun keluar dari tempat persembunyiannya dan mulai berjalan menghampiri pria itu.Jameso yang terlalu asyik bercerita dengan temannya. Tidak menyadari jika saat ini, Agnes sedang berjalan ke arahnya. Bahkan telah beberapa kali temannya memberi kode kepada Jameso untuk berhenti menjelek-jelekkan Agnes. Namun pria itu seakan tak peduli. Dia terus saja berbicara tanpa henti. Bagai mobil yang sedang melaju kencang di jalan tol dengan posisi rem blong, bebas tanpa hambatan.Namun, satu kalimat dari mulut Agnes. Menghentikan semua bualannya."Jameso ...." ucap Agnes, sambil menatap pria itu, dengan perasaan terluka."Hah? A ... Agnes!" ujarnya, merasa sangat kaget saat melihat sang kekasih sedang berdiri di depannya, saat ini. "Ka ... kamu belum pulang, Sayang?" Jameso mencoba meraih tangan Agnes dan mulai merayunya, seperti yang selama ini dirinya lakukan.Namun dengan cepat Agnes menepis tangan Jameso."Sudah cukup sandiwaramu, Jameso! Kita putus!" ucap Agnes, dari kesungguhan hatinya."Apa?" Jameso sangat kaget dengan perkataan Agnes itu.Apalagi di tempat itu, juga ada temannya yang ikut mendengarkan Agnes memutuskan hubungan dengannya.Jameso seketika mengepalkan tangannya. Lalu berkata,"Hei, Agnes Amora! Lo pikir selama ini gue cinta sama Lo?" ketusnya, sambil menatap tajam ke arah gadis itu."Aku sama sekali tidak mencintaimu! Aku hanya mau uangmu! Ha-ha-ha!" Jameso tertawa penuh kemenangan."Aku akan laporkan kamu kepada polisi sebagai kasus penipuan dan penggelapan uang!" ancam, Agnes."Ha-ha-ha. Silakan laporkan! Memangnya kamu ada bukti?" Jameso yang seorang mahasiswa jurusan hukum pidana. Tahu betul seluk beluk pasal-pasal pidana. Tentu saja dia juga mengetahui sanksi yang akan diterimanya karena telah menipu Agnes, yang tidak memiliki bukti apa pun.Agnes seakan tersadar jika selama ini Jameso sangat lihai merayunya. Sehingga tak ada satu pun bukti jika lelaki itu telah menghabiskan banyak uangnya."Ha-ha-ha. Kamu kok diam saja, Sayang? Kamu kurang bukti, ya?" sindir, Jameso.Agnes menatap Jameso tak kalah tajam sambil terus meneteskan air matanya."Terima saja nasibmu! Baiklah, kita putus! Kamu yang lebih dulu memutuskan hubungan ini." ketus Jameso, lalu mengajak temannya menjauh dari are parkiran itu.Meninggalkan Agnes yang terus saja menangis."Apa yang harus kulakukan? Semua tabunganku telah lenyap diambil oleh Jameso." sedihnya, dalam hati.Agnes pun kemudian berjalan meninggalkan area parkiran itu. Dia melangkah dengan gontai. Tak tentu arah hendak ke mana. Uang di dompetnya tidak lebih dari seratus ribu rupiah, dan beberapa uang logam lima ratusan.Kepala Agnes tiba-tiba terasa berat. Dia pun hendak menyeberang jalan, dan mencoba untuk duduk di halte sambil menunggu bis yang akan membawanya pulang. Lalu tanpa disadari olehnya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan kencang. Tepat di depannya. Untung saja pengemudi mobil itu, mengerem mobilnya tepat waktu. Sehingga tidak sempat terjadi tabrakan.Akan tetapi, Agnes yang sangat kaget, tiba-tiba saja jatuh pingsan. Tubuh rampingnya seketika jatuh di jalanan aspal yang keras itu."Bagaimana, Mark?" tanya seorang pemuda gagah dan tampan. Berwajah blasteran dengan bola mata coklat terang. Sedang menanyakan kepada sang sopir, keadaan perempuan yang tiba-tiba muncul di depan mobil nya."Saya tidak sempat menabrak gadis itu, Tuan Muda. Tapi entah kenapa, dia tiba-tiba menghilang." jawab, sang sopir."Hilang bagaimana maksud kamu?" Edward yang khawatir, segera keluar dari dalam mobil dan memeriksanya langsung."Sial!" umpatnya. Saat melihat gadis itu telah jatuh pingsan tepat di depan mobilnya.Mata Agnes terbuka sedikit dan memperhatikan jika tubuhnya sedang direngkuh oleh pria berperawakan tinggi dan berbadan tegap. Sejenak tatapan mereka beradu. Agnes dapat melihat mata coklat milik pemuda itu yang sangat teduh. Sedang menunjukkan mimik wajah khawatir. Setelah itu, matanya tertutup dengan sempurna dan dia tidak ingat apa-apa lagi."Mark, Tolong buka pintu mobilnya!" perintah Edward, sesaat setelah tubuh gadis itu dirinya gendong.Mendengar perkataan sang tuan muda. Mark segera membuka pintu mobil untuk Edward.Setelah tubuhnya dan tubuh gadis itu telah masuk dengan sempurna di dalam mobil. Edward pun kembali memerintahkan sopirnya, untuk melajukan mobil menuju ke sebuah rumah sakit."Mark, lebih cepat sedikit!" ucapnya, panik."Siap, Tuan Muda." Sang sopir pun melajukan mobil lebih kencang, sesuai perintah atasannya.Sesampai di sebuah rumah sakit, Edward kembali menggendong gadis itu ala bridal style menuju ke dalam ruangan unit gawat darurat. "Dokter, tolong gadis ini, segera ditangani." ucapnya, lalu meletakkan tubuh Agnes, di salah satu tempat tidur yang berada di ruangan serba putih itu. Lalu dengan cepat beberapa suster dan juga dokter jaga mulai menangani Agnes yang sedang pingsan. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka lecet karena terjatuh di atas aspal.Edward pun mulai menceritakan kronologi kenapa gadis itu bisa jadi pingsan.Namun tiba-tiba ponselnya berdering beberapa kali.Dia pun melihat, jika yang meneleponnya adalah klien perusahaannya. Edward pun ingat jika siang ini, dia harus menghadiri meeting penting.Lalu Edward menjelaskan kepada dokter jaga di UGD saat ini. Jika dia akan pergi sebentar. "Dok, semua pengobatannya. Tolong masukkan ke dalam tagihan saya." ucapnya. Lalu melirik sebentar gadis yang sedang dibersihkan luka-lukanya, itu. Kemudian Edward bersama sang asiste
"Kenapa, Kak Zem?" tanya Sari, kepada seniornya itu. Karena melihat wajah khawatirnya."Wah ... maaf ya Sari. Sepertinya aku harus pergi. Temanku kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di sebuah rumah sakit." sahutnya, lalu bersiap-siap meninggalkan tempat itu."Oh, baik Kak Zem. Sampai jumpa lagi, kapan-kapan." ucap Sari, lalu keduanya pun berpisah.Zemi Rania, segera berjalan ke area parkiran menuju ke mobilnya. Untung saja jalanan Jakarta agak lengang siang itu. Sehingga tak berapa lama dirinya sampai di rumah sakit.Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, dia pun segera masuk ke dalam rumah sakit itu. Zemi segera mencari keberadaan Agnes di UGD rumah sakit. Ruangan itu terlihat cukup luas.Setelah bertanya kepada salah seorang perawat. Akhirnya Zemi mengetahui tempat di mana Agnes, sedang dirawat.Dari kejauhan Zemi bisa melihat, sahabatnya Arlyn sedang menyuapi Agnes yang terlihat lemah. Dia sangat bersyukur ternyata temannya telah sadar dan tidak pingsan lagi."Ya ampun .
Zemi segera membaca kartu nama pria itu,"Rahez Finley. Nama yang indah." gumamnya, pelan."Cih! Gue nggak butuh laki-laki, lagi!" serunya. Lalu Zemi segera membuang kartu nama pria itu di dalam tong sampah yang berada di dekatnya.Sesampai di kasir, Zemi ingin segera melunasi tagihan rumah sakit sahabatnya. Namun sang kasir berkata,"Maaf, Mbak. Tagihan untuk pasien bernama Agnes Amora telah dilunasi semuanya." tuturnya."Apa?" Kaget, Zemi."Mbak nggak salah orang kan? Nama teman saya, Agnes Amora.""Tidak, Mbak. Saya nggak salah. Memang pasien bernama, Agnes Amora.""Okay. Baiklah kalau begitu." Zemi pun kembali melangkah menuju ke ruangan UGD.Sesampai di sana. Dia pun segera memberitahukan kepada Agnes. Jika semua biaya rumah sakit telah dilunasi."Hah? Tapi siapa yang melunasinya, Zem?" tanya Agnes, ikut bingung juga."Kata kasir tadi, namanya, Tuan Edward Wilson. Apakah Lo kenal orang itu?" sergah Zemi, kepada temannya.Agnes berpikir sebentar. Dia samar-samar ingat, jika ada ses
Kembali ke rumah sakit,Rahez baru saja tiba di ruang VVIP tempat sang Oma sedang dirawat.Diruangan itu, Ada dua orang wanita yang paling dirinya sayangi di dunia ini, sedang fokus menatap layar lebar di depannya. Sebuah iPad milik Asisten Frans, menjadi daya tarik keduanya. Sampai-sampai keduanya tidak mengetahui jika Rahez sudah berada di tempat itu.Namun sang asisten menyadari jika atasannya telah sampai di ruangan itu."Tuan Muda?" kaget, Frans. Dia buru-buru keluar dari ruangan mewah itu, dengan alasan mau mengurus obat-obatan untuk Oma Rika."Rahez ... cucu Oma? Kamu sudah lama datang?" tanya Oma Rika, senang melihat cucunya sudah berada di situ."Aku baru saja, sampai, Oma," ucap, Rahez. Lalu mendekati ranjang di mana sang nenek sedang terbaring lemah."Rahez, kamu kalau sudah tiba dari tadi, kok nggak menyapa Oma dan Mami? Kamu ini, kebiasaan banget, deh!" gerutu Mami Gita, kepada putranya."Maaf ... Mi, Oma. Lagian dari tadi Oma dan Mami fokus ke iPad. Memangnya lagi liha
Namun Edward harus menelan rasa kecewa setelah mengetahui jika gadis itu telah dijemput oleh keluarganya."Sial banget, gue!" umpatnya, pelan. Tidak ada informasi yang berarti tentang gadis itu. Edward hanya mengetahui namanya, Agnes Amora. Gadis berbibir seksi, yang telah mampu membuatnya penasaran setengah mati.Edward lalu ke luar dari rumah sakit itu dengan langkah gontai. Diikuti Mark, sang asisten."Bagaimana, Bos? Apakah kita pulang sekarang?" tanya Mark kepada atasannya, yang terlihat sedang galau."Yap! Kita pulang. Emangnya Lo mau berkemah di sini?" ketus, Edward."Puas Lo, gue kehilangan jejaknya?" ucap Edward, lalu berjalan masuk ke dalam mobil dan membating pintunya dengan keras."Yaelah, Bos Edward. Si Agnes Amora yang hilang di telan bumi. Malah gue yang kena semprot! Elah ... gini amat hidup gue!" tuturnya, lalu ikut masuk ke dalam mobil.Sepanjang perjalanan pulang ke kediamannya. Edward memilih diam dan memejamkan matanya. Entah kenapa bayangan gadis itu, semakin n
"Sabtu depan? Memangnya kita mau ke mana Bunda?" tanya Edward, penasaran."Temani Bunda, arisan." "Apa? Arisan? Ketemu ibu-ibu dong? Yang bener aja deh, Bund. Aku kan anak lajang. Bukan ibu-ibu, seperti Bunda. Nggak mau, ah! Bunda pasti tahu kan, jika hari Sabtu jadwalku untuk bermain golf." Edward mencoba untuk mengelak.Karena dia tahu betul maksud sang ibu. Yang ingin menjodohkannya dengan anak, dari ibu-ibu arisan itu."Ayolah, Ed. Kali ini saja. Setelah itu. Kita ziarah ke makam Ayah. Sudah lama kita tidak mengunjungi Beliau." ucap sang ibu, penuh harap.Mendengar jika mereka akan berziarah ke makam ayahnya. Hati Edward sedikit teriris sakit. Dia ingat betul disaat-saat terakhir ayahnya hidup. Edward tidak ada di samping Beliau. Sepertinya, dia harus mengalah kali ini kepada sang ibunda.Lalu dengan bijak Edward pun berkata,"Baiklah, Bund. Sabtu depan aku akan mengosongkan jadwalku. Aku akan temani Bunda ke mana pun Bunda perginya. Hanya saja, Bunda juga perlu tahu. Sampai kap
"Gile, para buaya darat pada ngumpul!" geram Arlyn."Ngapain sih, mereka ke sini? Kurang kerjaan banget, deh! Apa belum puas nyakitin hati kita!" Agnes juga ikut, menggerutu."Kalian tenang saja. Gue sudah bilangin Pak sekuriti untuk tidak mengizinkan mereka masuk ke area dalam kost." Zemi mencoba menjelaskan, kepada kedua sahabatnya."Kayaknya, sudah tidak aman lagi kita tinggal di sini. Tapi ... cari kost-kostan dengan harga terjangkau dan letaknya strategis di Jakarta, ini. Sangat susah." keluh, Arlyn, dan dibalas anggukan oleh Agnes."Terus kita harus bagaimana, dong?" sela, Arlyn panik."Bagaimana kalau setiap hari mereka nyamperin kita ke sini? Nggak asyik banget kan?""Iya sih, Lyn. Tapi kita mau pindah ke mana coba?" tukas Agnes, masih saja memikirkan isi dompetnya yang kosong.Setelah lama berdiam diri dan mendengarkan keluh kesah kedua sahabatnya. Zemi pun mulai angkat bicara kembali,"Kalian mau dengar kabar baiknya, nggak?""Mau dong, Zem! Bagaimana sih, Lo!" Ketus, Arlyn.
"Idih ... galak Lo, Lyn!" sela, Zemi."Biarin! Galak-galak juga milik sendiri!" sahut, Arlyn."Nyolot Lo, Arlyn!" Zemi tak mau kalah."Nyolot-nyolot juga milik sendiri!" Arlyn kembali menyahut. Perdebatan pun mulai terjadi diantara keduanya. Kepala Agnes tiba-tiba pusing mendengar ocehan kedua temannya itu."Zemi, Arlyn, stop! Hari sudah malam! Mending kita tidur. Besok kita pasti akan sibuk banget." nasehat Agnes, kepada keduanya."Gue belum ngantuk." tukas Zemi."Sama, gue juga. Makanya kami nge-rap. Ya kan, Zem? Dari pada suntuk." celutuk Arlyn."Ih, ogah! Mending gue tidur!" tutur Zemi, lagi."Ya udah, yuk. Kita tidur!" Arlyn juga menyahut."Nah, gitu dong. Kita pada tidur. Besok deh kalian lanjutkan lagi nge-rap-nya." saran Agnes."Idih, ogah nge-rap mulu! Yang ada pala gue makin pusing." tukas Arlyn.Ternyata keduanya sengaja berdebat hal tak penting. Untuk menghalau kegundahan hatinya. Apalagi hari ini mereka sama-sama apes diputusin oleh orang tersayang.Lalu ketiganya pun mu