"Kenapa, Kak Zem?" tanya Sari, kepada seniornya itu. Karena melihat wajah khawatirnya.
"Wah ... maaf ya Sari. Sepertinya aku harus pergi. Temanku kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di sebuah rumah sakit." sahutnya, lalu bersiap-siap meninggalkan tempat itu."Oh, baik Kak Zem. Sampai jumpa lagi, kapan-kapan." ucap Sari, lalu keduanya pun berpisah.Zemi Rania, segera berjalan ke area parkiran menuju ke mobilnya. Untung saja jalanan Jakarta agak lengang siang itu. Sehingga tak berapa lama dirinya sampai di rumah sakit.Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, dia pun segera masuk ke dalam rumah sakit itu. Zemi segera mencari keberadaan Agnes di UGD rumah sakit. Ruangan itu terlihat cukup luas.Setelah bertanya kepada salah seorang perawat. Akhirnya Zemi mengetahui tempat di mana Agnes, sedang dirawat.Dari kejauhan Zemi bisa melihat, sahabatnya Arlyn sedang menyuapi Agnes yang terlihat lemah. Dia sangat bersyukur ternyata temannya telah sadar dan tidak pingsan lagi."Ya ampun ... Nes! Kamu kenapa? Kok bisa kecelakaan, sih? Siapa yang berani nabrak, Lo? Biar gue hajar tuh orang!" gerutu, Zemi. Dengan nada suara yang agak meninggi, sehingga beberapa orang yang juga merupakan keluarga pasien di ruangan itu, turut melirik ke arah mereka. Arlyn pun segera berkata,"Zemi! Suara, Lo!""Hah? Kenapa suara gue? Bukannya yang gue katakan benar semua, kan?" ucapnya semangat, masih belum mengerti dengan situasi yang ada.Sementara Arlyn terlihat geleng-geleng kepala melihat tingkah Zemi yang semaunya dan belum sadar jika suaranya yang menggelegar, besar itu, mengganggu orang yang juga sedang berada di dalam UGD."Volume suara Lo, Zem! Kecilin dikit! Ini rumah sakit. Bukan kost-kostan kita!" sergah Arlyn, sedikit kesal kepada sahabatnya."Apa? Eh ... iya, maaf." ucapnya, spontan. Sambil menunduk malu karena memang, saat ini beberapa orang sedang melirik ke arahnya. Zemi lalu mengecilkan suaranya. Dia pun segera bertanya kepada Agnes kronologi kenapa dia bisa masuk ke rumah sakit.Dengan berlinang air mata, Agnes mulai menceritakan kisah cintanya bersama Jameso yang kandas dengan sangat tragis.Ada rasa perih di ulu hati Zemi, saat mendengar kisah Agnes. Dia jadi ingat, jika baru saja beberapa waktu yang lalu dirinya juga memutuskan Andra, yang dia pikir adalah pria terakhir di hidupnya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Pria itu tak lebih dari seorang pecundang. Yang menginginkan dua wanita sekaligus.Disaat Zemi sedang menenangkan Agnes yang sedang bersedih hati. Dia juga bisa melihat, jika Arlyn sedang menangis sesenggukan."Arlyn ... what happen with you? Kamu kok ikutan menangis juga?" tanya Zemi, bingung. Agnes ikut menatap penasaran ke arahnya."Gue ... gue, sama Anand baru saja putus!" lirihnya, sedih. "Apa?" kaget Agnes dan Zemi, serentak.Keduanya tak menyangka, kisah cinta Arlyn yang tergolong sangat romantis diantara kisah cinta mereka. Malah ikut-ikutan kandas juga."Ta-pi, kok bisa ... Lyn?" tanya Agnes, penasaran.Arlyn pun mulai menceritakan perbuatan Anand kepadanya. Disela-sela bercerita, air mata Arlyn menetes deras keluar dari matanya."Kamu yang sabar ya, Lyn. Setidaknya kamu sudah tahu bagaimana sifat sebenarnya dari Si Anand, itu!" tukas Zemi, menenangkan sahabatnya.Lalu, Agnes dan Arlyn juga memperhatikan mata Zemi yang agak sembab. Agnes pun memberanikan diri untuk bertanya,"Zem, kamu juga kenapa?" Sang sahabat tiba-tiba kaget, ditanya seperti itu oleh Agnes. Arlyn juga turut memperhatikan ekspresi kesedihan yang sengaja ditutupi olehnya."A ... aku nggak apa-apa, kok." jawab Zemi, sekenanya.Memang diantara mereka bertiga. Biasanya, dia lah yang paling jago menutupi tentang masalah pribadinya. Namun karena kesedihan yang mendalam karena putus dari Andra. Membuat Zemi menangis saat menyetir mobil menuju ke rumah sakit. Alhasil, kedua temannya yang sangat pintar melebihi detektif itu, mengetahui juga kegundahan hatinya."Kamu jujur dong, Zem. Kamu kenapa? Aku sama Agnes sudah mengatakan yang sebenarnya. Sekarang giliranmu." desak, Arlyn.Zemi terdiam sejenak. Air matanya, tiba-tiba menetes di pipinya. Setelah menguatkan hatinya, dia pun mulai bercerita tentang kisah cintanya dengan Andra, yang juga telah kandas."Apa? Jadi Andra berselingkuh dengan Sari, adik tingkatan kita?" tanya Arlyn, tak percaya."Iya, Sari juga ikut-ikutan memutuskan hubungannya dengan Andra." ujarnya, sedih."Wah, sialan tuh Si Andra! Dasar pria brengsek! Pengecut! Songong! Tak tahu malu dan sok ganteng!" Arlyn terus mengumpat. Lancar bagai air mengalir.Agnes dan Zemi saling lihat-lihatan. Tak menyangka sahabat mereka yang terkesan kalem itu, bisa marah juga. Arlyn jadi sadar sendiri. Saat melihat kedua sahabatnya menatap ke arahnya."Ih ... kalian kenapa, sih? Ngelihatin aku sampai segitunya?" cecar Arlyn, tak suka. "Lyn, sumpah! Gue nggak nyangka Lo jago nge-rap juga rupanya." ucap Zemi."Iya, Lyn. Suara Lo sangat merdu. Sampai-sampai luka lecet di kulit gue, bisa sembuh seketika." sambung, Agnes.Lalu keduanya pun menertawakan Arlyn."Ha-ha-ha-ha.""Idih ... puas Lo berdua! Gue itu nge-rap ngewakilin isi hati kalian, tahu! Kalian sebenarnya pingin mengumpat juga, kan? Hayo ... ngaku saja kalian berdua!" "Nggak, kok! Siapa bilang?" tutur Agnes."Nggak salah lagi, maksudnya!" timpal Zemi."Ha-ha-ha." Lalu ketiganya pun tertawa lepas.Namun Agnes buru-buru memberi isyarat agar mereka mengecilkan suara, karena masih berada di dalam rumah sakit. "Zem! Bawa gue ke luar dari tempat ini dengan segera. Please ..." ucap Agnes, kepada temannya. Dia juga tak lupa jujur kepada kedua temannya, jika semua uang di dalam tabungan dan dompetnya, sudah di bawa lari oleh kekasihnya, Jameso."Sialan tuh, Jameso! Dasar cowok matre! Mokondo! Taunya morotin doang!" Arlyn mulai nge-rap, lagi."Sudah-sudah! Lo nge-rap nya nanti lagi, Lyn. Lo beresin semua barang-barang Agnes. Gue mau ke kasir dulu, mau bayar-bayar." ucap Zemi, lalu berjalan ke luar dari UGD menuju ke kasir rumah sakit. Dering ponselnya berbunyi dari tadi, membuat Zemi sangat terganggu. Terlebih lagi, yang meneleponnya saat ini adalah Andra. "Ngapain lagi sih, dia menelepon gue? Bikin kesel aja, deh!" gerutunya, sendiri. Lalu Zemi pun segera memblokir nomor pria itu, di ponselnya.Karena asyik dengan ponselnya, Zemi menjadi tidak fokus berjalan. Tiba-tiba dia menabrak benda besar dan tegak di depannya."Aduh!" Serunya, meringis kesakitan. Karena tubuhnya terpental jatuh ke lantai."Maaf, Nona." Ucap suara bariton seorang pria, yang ada di depannya. Lalu mengulurkan tangannya ingin membantu Zemi berdiri."Kalau jalan pakai mata dong!" ketusnya, lalu mencoba untuk berdiri sendiri dan tidak menerima bantuan pria tinggi dan tampan itu."Maaf Nona, saya buru-buru. Ini kartu nama saya. Jika ada sesuatu terjadi kepada Anda. Anda bisa menghubungi saya di nomor yang tertera di sana." serunya, lalu segera berlari menjauh dari tempat itu.Zemi segera membaca kartu nama pria itu,"Rahez Finley. Nama yang indah." gumamnya, pelan."Cih! Gue nggak butuh laki-laki, lagi!" serunya. Lalu Zemi segera membuang kartu nama pria itu di dalam tong sampah yang berada di dekatnya.Sesampai di kasir, Zemi ingin segera melunasi tagihan rumah sakit sahabatnya. Namun sang kasir berkata,"Maaf, Mbak. Tagihan untuk pasien bernama Agnes Amora telah dilunasi semuanya." tuturnya."Apa?" Kaget, Zemi."Mbak nggak salah orang kan? Nama teman saya, Agnes Amora.""Tidak, Mbak. Saya nggak salah. Memang pasien bernama, Agnes Amora.""Okay. Baiklah kalau begitu." Zemi pun kembali melangkah menuju ke ruangan UGD.Sesampai di sana. Dia pun segera memberitahukan kepada Agnes. Jika semua biaya rumah sakit telah dilunasi."Hah? Tapi siapa yang melunasinya, Zem?" tanya Agnes, ikut bingung juga."Kata kasir tadi, namanya, Tuan Edward Wilson. Apakah Lo kenal orang itu?" sergah Zemi, kepada temannya.Agnes berpikir sebentar. Dia samar-samar ingat, jika ada ses
Kembali ke rumah sakit,Rahez baru saja tiba di ruang VVIP tempat sang Oma sedang dirawat.Diruangan itu, Ada dua orang wanita yang paling dirinya sayangi di dunia ini, sedang fokus menatap layar lebar di depannya. Sebuah iPad milik Asisten Frans, menjadi daya tarik keduanya. Sampai-sampai keduanya tidak mengetahui jika Rahez sudah berada di tempat itu.Namun sang asisten menyadari jika atasannya telah sampai di ruangan itu."Tuan Muda?" kaget, Frans. Dia buru-buru keluar dari ruangan mewah itu, dengan alasan mau mengurus obat-obatan untuk Oma Rika."Rahez ... cucu Oma? Kamu sudah lama datang?" tanya Oma Rika, senang melihat cucunya sudah berada di situ."Aku baru saja, sampai, Oma," ucap, Rahez. Lalu mendekati ranjang di mana sang nenek sedang terbaring lemah."Rahez, kamu kalau sudah tiba dari tadi, kok nggak menyapa Oma dan Mami? Kamu ini, kebiasaan banget, deh!" gerutu Mami Gita, kepada putranya."Maaf ... Mi, Oma. Lagian dari tadi Oma dan Mami fokus ke iPad. Memangnya lagi liha
Namun Edward harus menelan rasa kecewa setelah mengetahui jika gadis itu telah dijemput oleh keluarganya."Sial banget, gue!" umpatnya, pelan. Tidak ada informasi yang berarti tentang gadis itu. Edward hanya mengetahui namanya, Agnes Amora. Gadis berbibir seksi, yang telah mampu membuatnya penasaran setengah mati.Edward lalu ke luar dari rumah sakit itu dengan langkah gontai. Diikuti Mark, sang asisten."Bagaimana, Bos? Apakah kita pulang sekarang?" tanya Mark kepada atasannya, yang terlihat sedang galau."Yap! Kita pulang. Emangnya Lo mau berkemah di sini?" ketus, Edward."Puas Lo, gue kehilangan jejaknya?" ucap Edward, lalu berjalan masuk ke dalam mobil dan membating pintunya dengan keras."Yaelah, Bos Edward. Si Agnes Amora yang hilang di telan bumi. Malah gue yang kena semprot! Elah ... gini amat hidup gue!" tuturnya, lalu ikut masuk ke dalam mobil.Sepanjang perjalanan pulang ke kediamannya. Edward memilih diam dan memejamkan matanya. Entah kenapa bayangan gadis itu, semakin n
"Sabtu depan? Memangnya kita mau ke mana Bunda?" tanya Edward, penasaran."Temani Bunda, arisan." "Apa? Arisan? Ketemu ibu-ibu dong? Yang bener aja deh, Bund. Aku kan anak lajang. Bukan ibu-ibu, seperti Bunda. Nggak mau, ah! Bunda pasti tahu kan, jika hari Sabtu jadwalku untuk bermain golf." Edward mencoba untuk mengelak.Karena dia tahu betul maksud sang ibu. Yang ingin menjodohkannya dengan anak, dari ibu-ibu arisan itu."Ayolah, Ed. Kali ini saja. Setelah itu. Kita ziarah ke makam Ayah. Sudah lama kita tidak mengunjungi Beliau." ucap sang ibu, penuh harap.Mendengar jika mereka akan berziarah ke makam ayahnya. Hati Edward sedikit teriris sakit. Dia ingat betul disaat-saat terakhir ayahnya hidup. Edward tidak ada di samping Beliau. Sepertinya, dia harus mengalah kali ini kepada sang ibunda.Lalu dengan bijak Edward pun berkata,"Baiklah, Bund. Sabtu depan aku akan mengosongkan jadwalku. Aku akan temani Bunda ke mana pun Bunda perginya. Hanya saja, Bunda juga perlu tahu. Sampai kap
"Gile, para buaya darat pada ngumpul!" geram Arlyn."Ngapain sih, mereka ke sini? Kurang kerjaan banget, deh! Apa belum puas nyakitin hati kita!" Agnes juga ikut, menggerutu."Kalian tenang saja. Gue sudah bilangin Pak sekuriti untuk tidak mengizinkan mereka masuk ke area dalam kost." Zemi mencoba menjelaskan, kepada kedua sahabatnya."Kayaknya, sudah tidak aman lagi kita tinggal di sini. Tapi ... cari kost-kostan dengan harga terjangkau dan letaknya strategis di Jakarta, ini. Sangat susah." keluh, Arlyn, dan dibalas anggukan oleh Agnes."Terus kita harus bagaimana, dong?" sela, Arlyn panik."Bagaimana kalau setiap hari mereka nyamperin kita ke sini? Nggak asyik banget kan?""Iya sih, Lyn. Tapi kita mau pindah ke mana coba?" tukas Agnes, masih saja memikirkan isi dompetnya yang kosong.Setelah lama berdiam diri dan mendengarkan keluh kesah kedua sahabatnya. Zemi pun mulai angkat bicara kembali,"Kalian mau dengar kabar baiknya, nggak?""Mau dong, Zem! Bagaimana sih, Lo!" Ketus, Arlyn.
"Idih ... galak Lo, Lyn!" sela, Zemi."Biarin! Galak-galak juga milik sendiri!" sahut, Arlyn."Nyolot Lo, Arlyn!" Zemi tak mau kalah."Nyolot-nyolot juga milik sendiri!" Arlyn kembali menyahut. Perdebatan pun mulai terjadi diantara keduanya. Kepala Agnes tiba-tiba pusing mendengar ocehan kedua temannya itu."Zemi, Arlyn, stop! Hari sudah malam! Mending kita tidur. Besok kita pasti akan sibuk banget." nasehat Agnes, kepada keduanya."Gue belum ngantuk." tukas Zemi."Sama, gue juga. Makanya kami nge-rap. Ya kan, Zem? Dari pada suntuk." celutuk Arlyn."Ih, ogah! Mending gue tidur!" tutur Zemi, lagi."Ya udah, yuk. Kita tidur!" Arlyn juga menyahut."Nah, gitu dong. Kita pada tidur. Besok deh kalian lanjutkan lagi nge-rap-nya." saran Agnes."Idih, ogah nge-rap mulu! Yang ada pala gue makin pusing." tukas Arlyn.Ternyata keduanya sengaja berdebat hal tak penting. Untuk menghalau kegundahan hatinya. Apalagi hari ini mereka sama-sama apes diputusin oleh orang tersayang.Lalu ketiganya pun mu
"Thanks banget, guys. Gue gak bisa berkata apa pun kepada kalian saat ini. Gue janji, nanti kalau gue sudah dapat duit. Gue akan ganti ke kalian masing-masing," ucap Agnes, kepada kedua sahabatnya."Yaelah, Nes. Kita tulus bantuin Lo. Lo nggak usah mikirin apa-apa dulu," tukas Zemi."Ya, Nes. Satu orang kesusahan diantara kita, yang lain pasti akan membantu," Arlyn juga ikut menimpali.Dengan spontan, Agnes lalu merangkul kedua sahabatnya, dan menangis dalam pelukan mereka.Arlyn yang tidak biasa dipeluk-peluk begitu, segera berkata,"Ih ... ngapain Lo, Nes! Risih, tahu! Ngapain sih peluk-peluk? Gue masih normal, ya!" seru Arlyn lalu segera melepas pelukan Agnes dari tubuhnya."Memang deh, Lo! Aneh saja pikirannya. Ini pelukan persahabatan, tahu! Bukan karena hal lain," sergah Zemi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. "Aku sangat bahagia saat ini. Makanya aku memeluk kalian," ucap Agnes sambil tersipu."Ya udah, yuk. Kita tidur lagi. Besok kan kita mau pindahan. Ya, Zem?" tanya Arly
Ketiga gadis cantik itu, mulai merapikan apartemen tersebut. Mulai dari ruang tamu, ruang tv, dapur dengan mini bar dan juga satu kamar yang cukup luas yang dapat ditempati oleh tiga orang.Mereka mulai menyusun dan merapikan barang-barang pribadi mereka di dalam kamar. Ternyata sebelumnya Zemi telah membeli ranjang untuknya dan untuk kedua temannya. Masing-masing berukuran tiga kaki. Cukup untuk ditiduri satu orang dalam satu ranjang.Tak tanggung-tanggung Zemi membeli spring bed nomor satu. Sehingga sungguh sangat enak tempat tidur itu, untuk ditiduri."Zem, baiknya dirimu kepada kita!" celutuk Arlyn lalu mencoba membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk itu."Iya, dong. Zemi Rania, gitu lho!" pujinya kepada dirinya sendiri."Zem, lo tinggal hitung dengan benar ya, berapa utang kita berdua, ke Lo." tukas Agnes yang masih saja khawatir dengan isi dompetnya."Yaelah, kalian ini! Semua fasilitas gratis untuk kalian, guys!" ucap Zemi kepada keduanya."Apa?" kaget keduanya."Iya, semua f