Share

BAB 1 : Condolence Flower

Yoon Haejin. Tahun ini ia berusia 23 tahun dan sedang bersiap untuk mencari pekerjaan tetap untuknya ketika ia sudah dinyatakan lulus sebagai sarjana.

Saat ini dia berprofesi sebagai mahasiswi di salah satu universitas ternama di kotanya, Daechon. Kota kelahirannya yang menyimpan banyak kenangan masa kecilnya, sekaligus kota yang menyimpan kenangan akan luka terbesarnya.

Hari-hari Haejin selepas lulus dari sekolah menengah atasnya hanya diisi kesibukan. Ia sibuk bekerja siang dan malam, belum lagi ketika ia resmi menjadi mahasiswi. Dia seakan tidak diberi waktu untuk menikmati masa mudanya, tetapi kesibukan itu tidak cukup untuk menutup lubang menganga dalam hatinya yang masih belum bisa merelakan kematian sang ibu 3 tahun lalu.

Haejin masih mengingatnya  dengan sangat jelas. Waktu itu ia duduk di bangku kelas tiga, sebentar lagi akan menghadapi ujian kelulusannya. Ketika ia pulang dari les saat malam hari, perasaan lelah yang tak bisa ia tahan itu membuatnya tertidur cepat dan sangat lelap ... sampai ia tidak bisa mendengar suara gaduh yang memenuhi setiap sudut rumahnya malam itu.

Ketika suara semakin gaduh ditambah suara teriakan ibunya yang terus memanggilnya, Haejin bangun dan buru-buru turun ke lantai bawah.

Haejin sangat bingung, terlebih ibunya yang langsung menariknya ke lantai atas untuk bersembunyi. Haejin tidak punya kesempatan untuk bertanya atau mendengarkan penjelasan ibunya dan dia langsung dimasukkan paksa ke dalam lemari dan sang ibu menguncinya dari luar.

“Jangan keluar dari sini atau Ibu akan memukulmu. Mengerti?”

Sejak dulu, Haejin sangat takut dengan sesuatu yang akan menyakiti tubuhnya. Karena itu, dia akan amat patuh dengan apa pun perintah sang ibu jika ibunya sudah memberi peringatan: patuhi atau aku pukul.

Haejin tidak keluar sama sekali, dia hanya di sana dan melihat dari celah pintu lemari ketika teriakan kembali terdengar—dan matanya terbelalak lebar menyaksikan bagaimana ibunya terbunuh dengan sadis di depan matanya.

Ibunya meraung kesakitan, sesosok makhluk dengan mata menyala menarik lehernya dan menggigitnya sampai raungan itu perlahan reda dan ibunya mati lemas—kehabisan darah. Tak sampai di sana, makhluk yang menyerupai manusia biasa itu mengoyak tubuh ibu Haejin di beberapa tempat, seakan-akan tubuh yang pernah bernyawa itu adalah sampah yang tidak ada harganya.

Dan sampai malam itu berakhir pun, Haejin tetap mematuhi perintah ibunya. Tetapi kesan dari malam mencekam itu tidak pernah hilang, menghantui Haejin yang selalu berusaha untuk lari dari kenangan mengerikan itu.

“Huek ...!”

Haejin tersentak di kursinya dan langsung memegangi perut serta menutup mulutnya rapat. Jika ia mengingat bagaimana tubuh ibunya dihancurkan malam itu, isi perutnya seakan-akan seperti diaduk. Dia mual, matanya menggambarkan ketegangan.

“Hei, Haejin. Ada apa?” Seorang teman yang duduk di samping kursinya mengalihkan kepala, untuk melihat keadaan Haejin. Melihat sekilas wajah Haejin yang tegang membuatnya jadi beranjak menuju kursi Haejin.

Haejin menggigit bibir bawahnya. Seharusnya dia tidak tertidur di tengah pelajaran seperti ini. “Tidak. Aku hanya merasa sedikit mual,” jawab Haejin yang malah menimbulkan kecurigaan.

“Oh ... mual ...,” tutur teman perempuan Haejin yang bernama Jung Jihyun itu sembari memasang wajah curiga. “Kau sudah pergi ke dokter kandungan?”

“Apa yang kau katakan, Jung Jihyun!? Aku hanya bermimpi buruk dan itu membuatku jadi mual!” Tentu saja Haejin akan membalas pertanyaan wanita dengan rambut cokelat pendek itu dengan suara yang meninggi, dia pasti merasa kesal. “Ah, sudahlah. Aku mau cari angin segar!”

Haejin segera mengemas buku-bukunya dan memasukkannya ke tasnya. Ia menyampirkan tas itu ke bahu dan bergegas pergi dengan raut kesal. Hal itu segera ditahan oleh Jihyun yang kini menggenggam tangan Haejin. “Hei, kau marah padaku? Aku hanya bercanda!”

“Aku tidak marah padamu, Jihyun. Aku hanya sedang tidak dalam emosi yang bagus. Aku ingin meredakannya.”

“Tapi kau tidak akan meninggalkan kelas di tengah pelajaran, kan? Sebentar lagi dosen akan kembali.”

“Kau yakin dia akan kembali?” tanya Haejin, seakan mematahkan kepercayaan Jihyun yang perlahan-lahan melonggarkan genggamannya pada tangan Haejin. Wanita dengan rambut hitam lurusnya yang panjang itu tersenyum miring, kemudian pergi dengan berkata, “Sampai jumpa, Jihyun.”

Tidak sepenuhnya salah saat Haejin berkata ia akan mencari udara segar. Dia benar-benar pergi ke sebuah kafe untuk menenangkan pikiran ... sekaligus bertemu dengan seseorang.

“Selamat siang, Nona Yoon!”

Haejin mengalihkan pandangannya yang semula terpaku pada layar laptopnya menuju ke arah seorang lelaki yang sedang tersenyum ke arahnya.

“Selamat siang, Nona Yoon. Apa kabarmu?” Yang selanjutnya adalah sapaan singkat dari wanita yang datang bersama lelaki tadi.

“Selamat siang untuk Tuan Choi dan Nona Lee. Silakan duduk,” balas Haejin, mempersilakan dua orang di depannya untuk duduk dan bergabung dalam sebuah diskusi—mungkin.

Dua orang yang datang pada Haejin itu adalah Choi Hyeonjun dan Lee Nari, dua anggota dari detektif supernatural yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan rakyat kota.

Haejin bertemu dengan Hyeonjun dan Nari saat ia masih memakai seragam sekolah dulu, saat kasus kematian ibunya sedang menjadi trending topik di pusat kota. Alasan mereka saling kenal sebab ketertarikan divisi tempat Hyeonjun bekerja untuk mengulik kasus kematian ibu Haejin yang misterius.

Tujuan utama mereka tentu saja sama dengan apa yang Haejin inginkan, mereka ingin menangkap makhluk yang membunuh ibu Haejin dengan sangat keji malam itu.

“Apa kau sudah menemukan jejak dari keberadaan vampir itu?” Haejin bertanya, ingin ia segera mendengar kabar baik dari Hyeonjun dan Nari. Tetapi yang Haejin dapatkan adalah gelengan kepala lesu.

Sejak dulu, tujuan mereka tetap sama. Tapi karena yang mereka hadapi ini bukanlah sembarang makhluk, mereka jadi kesulitan untuk menemukan jejak dari keberadaan makhluk tersebut.

“Mereka benar-benar lihai menyembunyikan diri. Aku tidak benar-benar yakin kalau kita akan menemukan mereka suatu saat nanti,” ujar Hyeonjun, tampak sedikit putus asa akan perkembangan penyelidikan mereka yang belum membuahkan hasil sejak tiga tahun yang lalu.

“Kita hanya perlu menjelikan mata,” timpal Nari, menanggapi ucapan Hyeonjun. “Mereka memang menyembunyikan diri dengan berbaur bersama manusia biasa dan membuat keberadaan mereka samar, tapi bukan berarti kita tidak memiliki kesanggupan untuk menemukan mereka. Kita pasti menemukan mereka.”

“Kau yakin sekali bisa menemukan mereka? Memangnya kau punya keahlian untuk mendeteksi vampir?”

“Aku memang tidak bisa mendeteksi mereka,” jawab Nari, rautnya berubah menjadi lebih serius menanggapi ucapan Hyeonjun. “Tapi aku harus menemukan mereka bagaimanapun caranya.”

Hyeonjun menghela napas lalu mengalihkan pandangannya dari Nari menuju Haejin. “Kau tidak perlu cemas, Nona Yoon. Ada orang yang benar-benar akan membantumu sampai akhir,” tuturnya, menyindir Nari dengan tatapan sinis.

Nari menaikkan sebelah alisnya lalu memukul pelan tengkuk Hyeonjun, membuat empunya langsung merintih kesakitan. “Memangnya kau tidak akan membantu Nona Yoon sampai akhir!? Kalau begitu apa gunanya pedang pembunuh vampir yang katanya kau dapatkan dari leluhurmu itu!?”

Hyeonjun hanya terdiam, tidak ingin berdebat dengan Nari lebih lama. Sementara Haejin hanya menghela napas singkat sebelum kembali pada layar laptop yang diperhatikannya sejak tadi.

“Aku sempat membaca beberapa artikel di internet tentang vampir. Yah ... sebagian besar dari orang-orang berkata jika vampir itu tidak benar-benar ada, tapi ada juga yang beranggapan kalau mereka benar-benar ada,” ujar Haejin, menerangkan apa yang didapatnya selama melakukan riset tentang vampir.

“Lalu, kau masuk ke golongan yang mana, Nona?” tanya Hyeonjun.

“Aku tidak ingin percaya jika mereka ada,” jawab Haejin pada mulanya, “tetapi yang membunuh ibuku itu sudah pasti bukan manusia.”

“Iya, dia pasti bukan manusia,” timpal Nari sembari tersenyum memandangi permukaan teh dalam cangkirnya.

Hyeonjun dan Haejin tidak menanggapi lebih. Tetapi tak lama kemudian, Hyeonjun mendekatkan dirinya pada Haejin dan berkata, “Tapi ... apakah vampir itu datang benar-benar hanya untuk berburu?” tanya Hyeonjun pada Haejin dengan suara rendah.

Haejin terdiam lama sebab belum bisa menangkap maksud pertanyaan Hyeonjun. “Maksudmu?” tanya Haejin pada akhirnya.

“Ini selalu menjadi pertanyaanku selama ini, Nona. Jika vampir datang hanya untuk berburu, dia mungkin akan membunuh satu atau dua orang untuk menjadi makanannya. Tapi menurut penuturanmu sejak tiga tahun lalu, seluruh orang yang ada di rumahmu mati, kan? Dan mereka mati bukan karena kehabisan darah setelah dihisap, tapi kehabisan darah karena luka cabikan di tubuh mereka.”

Haejin berpikir, lama dan benar-benar berusah mencerna ucapan Hyeonjun. “Itu sepertinya wajar karena menurut data yang aku baca, ketika berburu, vampir cenderung memiliki hasrat membunuh yang tinggi. Seperti hewan buas yang sedang marah yang akan mencabik apa saja yang ada di depannya.”

“Data yang kita baca bisa saja tidak valid, Nona. Sebab yang menulisnya sudah pasti manusia juga.”

“Jadi, sebenarnya apa yang ingin kau katakan pada Nona Yoon, Hyeonjun?” tanya Nari yang sejak tadi lelah mendengarkan. Dia ingin Hyeonjun berbicara langsung ke intinya.

Hyeonjun tertawa kikuk sejenak, sebelum akhirnya kembali memasang wajah serius dan berkata, “Aku khawatir jika vampir itu tidak datang karena lapar, melainkan karena dia memang sengaja berkunjung ke rumahmu.”

Haejin memusatkan mata, perasaan merinding menjalari punggungnya. Ia menelan ludah dengan usaha keras dan berkata, “Maksudmu, ada sesuatu yang membuatnya sengaja datang ke rumahku dan membunuh ibuku?”

“Iya. Kau tidak tinggal di tempat yang sepi sehingga membuat vampir itu dengan mudahnya datang ke rumahmu karena mengira kehadirannya tidak akan membuat keributan. Dia tahu kau tinggal di sana dan dia datang ke rumahmu. Kalau menurut perkiraanku, mungkin membunuh ibumu juga termasuk dari tujuannya,” terang Hyeonjun dengan raut serius, tetapi perasaan antusias itu tidak bisa ditahannya dengan baik. “Wah, kisahmu akan menjadi seperti kisah dalam novel, Nona. Seperti tokoh utama wanita yang diincar oleh bangsa immortal yang kemudian dia akan bertemu makhluk immortal lain dan memulai kisah cinta yang—”

Hyeonjun segera berhenti berkata ketika ia merasa ada seseorang yang menatapnya dengan sangat tajam. Ketika ia menoleh, itu Nari yang menegur Hyeonjun dengan tatapannya atas ucapan sembrono laki-laki itu.

Hyeonjun dan Nari melihat Haejin yang mengepalkan tangannya secara refleks. Membicarakan tentang kematian ibunya yang masih belum bisa ia terima selalu membuat emosinya teraduk tak karuan. Terlebih ketika mendengar ucapan Hyeonjun yang bahkan masih berupa kemungkinan itu, rasanya Haejin seperti kembali menyaksikan kematian itu di depan matanya.

“Tapi ... kenapa harus ibuku ...?” Matanya tampak memerah, menahan emosi yang meluap-luap. Hal itu membuat Nari menyenggol lengan atas Hyeonjun dengan keras, memperingatkan si lelaki yang sudah membuat Haejin kembali mengingat perasaan yang setengah mati ingin wanita itu lupakan.

Hyeonjun segera bergegas menenangkan Haejin. “Ta-tapi itu masih kemungkinan, Nona. Kita akan tahu motif aslinya jika kita berhasil menemukan pembunuh ibumu itu.”

Haejin perlahan kembali tenang. “Iya, kau benar. Masih terlalu dini untukku larut dalam emosi. Aku harus menemukan pembunuh itu untuk tahu motif asli dari kejahatannya!”

“Atau jika yang dikatakan Hyeonjun itu benar, mungkin akan ada vampir lain yang mendatangimu, Nona.” Ucapan Lee Nari membuat Hyeonjun dan Haejin serempak menoleh padanya dengan tatapan bertanya.

“Apa maksudmu, Nona Nari?”

Nari meletakkan cangkirnya sebelum ia dapat meminum isinya. Ia menatap Haejin dengan serius. “Jika vampir itu datang untuk mengincarmu, dia pasti akan menemuimu lagi tak lama lagi setelah tahu kau masih hidup. Dan jika kau berurusan dengan makhluk immortal seperti mereka, pasti ada satu pihak yang akan menemuimu untuk menjelaskan apa masalahmu dengan makhluk seperti itu. Aku yakin jika pihak itu tentunya seorang immortal juga.”

Penjelasan Nari langsung mendapat sanggahan dari Hyeonjun.

“Kau yakin sekali sejak tadi! Apa jangan-jangan kau salah satu dari vampir itu dan bergabung ke Lembaga Detektif Supernatural hanya sebagai mata-mata!?” Tentu saja ucapan Hyeonjun itu langsung mendapat pukulan dari Nari sebagai responsnya.

“Bocah konyol!”

“Kenapa kau terus memukulku, Nari ...?” tanya Hyeonjun sambil mengeluh. “Aku ‘kan hanya heran karena kau mengatakan kemungkinan dengan raut seyakin itu. Padahal siapa tau hanya ada satu vampir di Korea mengingat keberadaan mereka sangat langka dan tipis. Satu vampir itu tentu saja adalah vampir yang sama yang membunuh Nyonya Yoon Sona.”

“Aku yakin pasti akan ada vampir lain yang menemui Nona Yoon,” balas Nari, rautnya kembali serius kendati ia sama sekali tidak menatap mata Hyeonjun. “Karena itu, kita harus mengawasi Nona Yoon selalu sebab mereka bisa kapan saja datang kembali untuk menyakiti Nona Yoon jika kemungkinan yang kau katakan itu adalah hal yang sebenarnya terjadi.

***

Hari semakin sore, matahari perlahan bergulir ke tempatnya untuk tertidur.

Langit senja dengan warna jingga selalu menjadi hal yang indah untuk dinikmati mata, setidaknya bagi seorang anak yang sedang melepas rindu dengan ibunda.

Yoon Haejin sejatinya tahu jika kehidupan manusia diawali kelahiran dan selalu berakhir dengan kematian. Dia tidak bisa memungkiri jika ibunya adalah makhluk yang bisa mati, pun sama kasusnya dengan dirinya yang tidak abadi.

Tetapi jika berbicara mengenai cara seorang manusia mati, apakah menurutmu Haejin akan melupakan begitu saja bagaimana sang ibu dengan kejamnya dihabisi?

Bahkan seekor singa pun tak layak untuk mati dengan cara yang seperti itu.

Haejin bertahan hidup selama ini demi alasan yang tak bisa ia jamin kejelasannya. Dia bertahan dan menyimpan semua kenangan buruk itu sendirian, bahkan ketika dunia sudah menyerah dan berbalik arah memunggunginya.

Hanya Haejin yang tahu bagaimana sakitnya, sesaknya, dan menyesalnya dirinya yang menyaksikan sang ibu mati dan tanpa bisa sedikit pun ia selamatkan.

Sampai akhir, Haejin tetap memilih untuk menjadi anak yang patuh dengan tidak keluar dari lemari itu apa pun yang terjadi. Tapi ... apa itu adalah keputusan yang tepat untuk diambilnya?

Ketika dia sembunyi dengan aman di ruang sempit itu, ia mendengar ibunya menjerit meminta tolong. Ketika ia bisa sedikit saja melihat keluar tempat persembunyiannya, ia menyaksikan ibunya dihabisi dengan begitu keji.

Haejin tetap hidup, tapi dia sendirian.

Seluruh orang yang tinggal di rumah masa kecilnya termasuk sang ibu tewas dalam sekejap, dalam hitungan detik yang tak memberikan mereka kesempatan untuk teriak.

Sesudah begitu pun, dia masih harus menghadapi kenyataan kalau tidak ada yang percaya akan ceritanya. Mereka semua bilang jika Haejin hanya meracau karena sangat panik, sementara bukti sudah dilenyapkan dengan amat apik.

“Huft ....” Haejin membuang napas dengan berat, berusaha menegarkan diri sebelum beranjak dari tempatnya berada.

Ia berbalik badan, kemudian berhenti setelah kakinya hampir melangkah pergi.

Lagi-lagi Haejin melihatnya.

Ini bukan kali pertama dan Haejin amat jelas mengingatnya. Presensi laki-laki tinggi dengan kacamata hitam yang selalu membawa buket bunga, duduk beberapa meter di belakang Haejin biasa menikmati pemandangan sore di pinggiran sebuah bendungan.

Haejin mengerutkan keningnya, merasa keheranan. Biasanya ia akan langsung pergi tanpa berpikir lebih lanjut, tapi kali ini entah kenapa ia ingin sekali bertanya.

Ia mendekati lelaki dengan mantel cokelat muda itu dan berdiri di depannya. Cukup lama Haejin berdiri di sana, tetapi lelaki yang duduk sembari menggoyangkan kakinya dengan riang itu. Dia seakan bersenandung dalam diamnya seraya membiarkan goyangan kakinya mengikuti irama itu. Haejin akhirnya beranikan diri untuk bersuara.

“Sedang menunggu seseorang?”

Suaranya berusaha dibuat lembut, tetapi Haejin tidak tahu jika itu akan mengejutkan si lelaki. Ia semakin heran.

“Hei, kenapa kau terkejut? Aku di sini sejak tadi.”

Lelaki itu lantas berdiri. “Benarkah? Aku tidak sadar.”

“Apa kau punya urusan di tempat ini? Aku sering melihatmu.”

“Ah, aku pikir itu selalu.” Haejin lagi-lagi mengerutkan keningnya, bingung akan perkataan lelaki di hadapannya. Lelaki itu kembali bersuara. “Apa langit sore sangat indah? Kau sepertinya sangat menikmatinya untuk menenangkan diri.”

“Dari mana kau tahu?”

“Aku hanya menebak.”

Haejin menatap lelaki itu dengan kening yang semakin mengerut. Dia malas curiga tetapi perasaannya terus mengatakan jika ada hal aneh yang lelaki itu sembunyikan.

Sampai akhirnya ia tak tahan lagi, dan menyuarakan kecurigaannya itu dalam satu tarikan napas. “Apa kau mengikutiku?”

Pertanyaan Haejin membuat lelaki itu terkejut sesaat, tetapi tak lama ia malah tersenyum yang membuat Haejin makin curiga.

“Jadi benar, ya ...? Kau mengikutiku?”

“Dari mana kau tahu?”

“Yah, aku sudah melihat keberadaanmu sejak pertama kali aku sering datang ke tempat ini sampai sekarang. Kau terus duduk di tempat ini dan membawa buket bunga. Ada apa? Apa kau stalker? Kau penggemarku?”

Mendengar perkataan panjang Haejin, lelaki yang masih tak melepas kacamatanya itu tertawa. Haejin makin mengerutkan keningnya.

“Kenapa kau tertawa?” tanya wanita itu dengan raut waspada.

Sehabis tertawa, lelaki itu lantas berkata, “Aku bukan penggemarmu,” kemudian ia memberikan bunga yang dibawanya pada Haejin, “tapi jika kau mengira aku selalu datang untuk memberimu bunga, kau mungkin benar.”

Haejin tentu saja tidak bisa menerimanya dengan mudah. Ia menatap bunga dan lelaki itu secara bergantian dengan alis bertaut.

“Apa maksudmu dengan memberikan bunga ini padaku?” tanya Haejin dengan nada ketus, sama sekali tidak terdengar ramah. “Jelaskan padaku apa maksudmu!”

Kalimat terakhir terdengar seperti perintah desakan. Lelaki itu membuang napas, seakan-akan pada akhirnya dia harus berkata juga setelah diam untuk sekian lama.

“Aku ingin mengatakan hal yang belum sempat aku katakan secara langsung sejak tiga tahun lalu,” ujar lelaki itu, “aku turut berduka cita ....”

Mendengar itu, tentu saja Haejin langsung makin mengerutkan dahinya. “Apa maksudmu?”

“Waktu itu aku tidak bisa datang langsung ke acara pemakaman ibumu, karenanya aku mengirimkan seseorang untuk mengucapkan belasungkawa. Tapi kau menolak semuanya karena masih syok. Aku paham dan aku memutuskan untuk menunggumu siap, aku menunggu sampai saat ini tiba.” Penuturan yang lelaki itu ucapkan seakan membangkitkan beberapa ingatan yang hampir terkubur dalam memori Haejin. Ingatan di hari pemakaman sang ibu, ketika ada seseorang yang datang sebagai perwakilan untuk memberinya bunga dan ucapan belasungkawa.

Dan ingatan itu semakin diperkuat saat si lelaki asing kembali berkata. “Jadi untuk kali ini, apa kau akan menerima ucapan belasungkawa dariku ... Nona Yoon Haejin?”

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status