Share

BAB 2 : The Night You Want To Forget

Yoon Haejin terbangun di tengah malam ketika sesuatu mengusik alam bawah sadarnya.

Ia terduduk di kasur luasnya, menatap lurus ke depan tanpa tujuan dan maksud apa-apa.

Ah, bermimpikah dirinya? Haejin menanyai dirinya sendiri yang masih belum sadar sepenuhnya. Tidak berniat untuk memikirkannya lebih jauh, ia mungkin akan memutuskan untuk kembali tidur.

Itu hanya menjadi keinginannya yang berlalu bak angin sekilas ketika ia mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Haejin terkejut, ia terpaku di kasurnya. Kesadarannya langsung naik ke level tertinggi, ia sangat sadar untuk mendengarkan kembali dan memastikan apakah suara itu nyata atau hanya halusinasinya.

Tapi ketika suara teriakan sang ibu terdengar jelas di telinganya, Haejin memutuskan untuk menganggap itu bukan mimpi belaka.

Haejin buru-buru turun dari ranjangnya, berlari secepat mungkin menghampiri asal dari suara teriakan ibunya yang terdengar dari lantai bawah. Haejin tidak memanggil, ia tidak bersuara. Kepanikan yang memuncak tiba-tiba itu menyekat lidahnya, ia hanya fokus untuk sampai ke tempat sang ibu secepat mungkin tapi ketika ia sampai di tangga—dirinya dicegah oleh ibunya.

“Ibu? Ada apa? Kenapa teriak?” Ibunya, Yoon Sona, tidak menjawab pertanyaan Haejin dan hanya mengajak Haejin untuk kembali naik ke lantai dua—tempat kamar keduanya berada.

Haejin mengira sedang ada perampokan dalam rumahnya dan mungkin saja ibunya sedang berusaha untuk menyelamatkan diri mereka. Tapi ketika mereka sampai di kamar Sona, wanita itu mendorong Haejin untuk segera masuk ke lemari besar miliknya.

“Ibu, ada apa ...?” Haejin masih menyimpan kecemasan, terlebih saat Sona sama sekali tidak membuka mulutnya. Wanita itu terus bungkam sembari mengubur tubuh Haejin dengan tumpukan pakaian, wajahnya paniknya terlihat samar-samar dalam remangnya ruangan.

“Ibu, katakan sesuatu!” Haejin sudah akan menangis, apalagi ketika ia tahu kalau ibunya tidak ikut bersembunyi dengannya. “Ibu membuatku ketakutan!”

Sona berhenti sejenak setelah pekerajaannya selesai. Ia menatap mata Haejin yang saat itu sangat ketakutan dan panik. Ia lantas mencengkeram tengkuk Haejin dengan lembut dan erat.

“Haejin, lihat aku. Jangan menimbulkan suara apa-apa,” ujar Sona, semakin membuat Haejin bingung dan panik.

“Tapi kenapa? Ada apa di luar?”

“Kau tidak perlu tahu. Bersembunyilah dengan baik di sini dan keluarlah saat bantuan datang. Aku akan membuat para tetangga bangun dan menyelamatkanmu.”

“Ibu ...!” Haejin menahan tangan Sona saat wanita itu akan menutup pintu lemarinya. Ia sangat kebingungan, tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi dan apa yang membuat Sona begitu panik menyelamatkan Haejin. “Jangan pergi.”

Haejin melihat raut Sona yang berusaha tegar sementara kepanikan dan takut itu tidak dapat dia sembunyikan. Itu terlihat jelas ketika mata cantiknya tampak berair, menahan cairan itu untuk tidak jatuh tapi tetap saja gagal dilakukannya..

Sona menangis, tanpa memperlihatkan raut kesedihan dan berusaha untuk tetap tegar. Kenyataan itu membuat hati Haejin semakin terluka. Ia takut, sangat panik ketika membayang sang ibu akan mengucapkan kalimat perpisahan sebelum pintu lemari itu benar-benar ditutupnya.

“Jangan keluar dari sini atau Ibu akan memukulmu. Mengerti?” ujar Sona dengan nada mengancam, membuat Haejin hanya bisa membungkam mulutnya dan menuruti ucapan sang ibu tanpa memberi perlawanan. Sebelum pintu ditutup sempurna, ia bisa melihat dengan jelas raut sedih Sona yang menatapnya sembari tersenyum pilu dan berkata, “Aku mencintaimu, Haejin.”

Setelah itu, pintu tertutup rapat dan Sona bergegas untuk lari keluar kamar. Tapi ketika ia belum melewati pintu itu, kehadiran sosok bermata merah yang tiba-tiba muncul sembari membawa kekuatan diluar logikanya membuat Sona jatuh karena amat terkejut.

Haejin mendengar suara ibunya yang ketakutan, tetapi ia hanya bisa membungkam mulutnya dan mematuhi perintah seperti yang ibunya katakan. Kendati ketakutannya tak dapat dibendung, kendati air matanya tak bisa lagi ditampung.

Sona dengan kakinya yang gemetar, menggenggam stik golf peninggalan suaminya itu dengan erat sembari memupuk keberanian yang tampak mustahil.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Sona sembari menatap lelaki tinggi di depannya dengan mata penuh ketakutan. “Kenapa kau menyerang rumahku?”

Haejin memberanikan diri untuk mengintip melalui celah pintu lemari. Celah itu sangat sempit dan tipis, sehingga ia tidak bisa dengan jelas menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin akan tetap seperti itu jika saja ibunya tetap berdiri di depan pintu dan terus terlihat seperti bicara sendiri itu. Tapi semua semakin jelas ketika Haejin melihat sebuah tangan yang terulur ke depan, mencekik leher Sona.

“Ib—” Haejin kembali menekan suaranya, membungkam sendiri mulutnya dengan kedua tangannya kuat-kuat. Dia tidak boleh menimbulkan suara apa pun sesuai dengan yang ibunya perintahkan, tetapi rasanya jadi semakin menyesakkan karena dia seakan-akan hanya diam dan menyaksikan ibunya pergi mendekati kematian.

Haejin tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis. Sembari matanya masih terpusat untuk melihat apa yang terjadi, netra itu seketika membulat lebar kala ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri—sesosok makhluk dengan mata merah menggigit leher Sona sampai wanita itu menjerit kesakitan.

Haejin terkejut luar biasa, ketakutan itu seperti air terjun yang mengalir begitu saja. Meski mustahil, ia masih berusaha untuk tetap senyap di tempat persembunyiannya kendati hatinya seperti tercabik-cabik mendengar suara ibunya berteriak meminta tolong berulang kali.

Sampai pada akhirnya, suara teriakan itu perlahan redam dan melemah hingga tak terdengar sama sekali. Haejin melihat tangan yang semula menggenggam stik golf itu kini terkulai lemas tak bertenaga, Haejin semakin rapat membungkam mulutnya sampai tak sadar membuat bibirnya tergigit dan berdarah.

Tapi seakan tak diberi waktu untuk memikirkan dirinya, Haejin kembali dibuat tercengang dengan apa yang lelaki bermata merah itu lakukan dengan jasad ibunya. Dia menggunakan kukunya yang tajam untuk mencabik bekas gigitannya, dan bukan itu saja—dia bahkan mencabik perut Sona sehingga banyak darah yang keluar dari sana.

Haejin benar-benar tidak mampu lagi menopang dirinya untuk menyaksikan lebih lama. Ketakutan yang mendalam akan sosok bengis dan sadis itu membuat jiwanya amat terguncang, sampai akhirnya semua menghitam dan dirinya tenggelam dalam kegelapan.

***

Pemakaman ibu Haejin, Yoon Sona, dilakukan satu hari setelah kematiannya. Tim autopsi mengatakan jika Sona meninggal sebab luka yang ia alami membuatnya kehilangan banyak darah. Melihat luka yang diterima pada bagian perut dan leher, kemungkinan besarnya adalah Sona mengalami tindak pembunuhan oleh seseorang. Tapi itu tak menjadi dugaan kuat sebab melihat kembali bentuk lukanya, itu bukan seperti tertusuk pisau tajam.

Haejin masih bungkam sejak malam di mana kejadian itu terjadi. Matanya terus menatap kosong dan melamun seperti orang linglung yang tidak tahu apa tujuan hidupnya. Semua orang menatapnya penuh iba, termasuk dengan teman-temannya.

Cho Beomju dan Jung Jihyun menatap nanar pada Haejin yang duduk bersandar pada tembok, lemas dan masih terlihat syok. Mereka berpikir itu hal yang wajar jika Haejin masih merasa syok dan belum bisa menerima keadaan, karenanya mereka biarkan Haejin duduk dan menenangkan dirinya.

“Apa Anda berpikir kalau Nyonya Yoon meninggal bukan karena dibunuh seseorang?” Beomju bertanya pada polisi yang menangani kasus kematian Yoon Sona.

Menjadi teman dekat Haejin rupanya membuat Beomju memiliki rasa peduli yang kuat terhadap Haejin. Hampir semua yang mengurus kasus kematian Sona adalah dirinya, tentu saja setelah ia meminta izin dari Haejin. Dia merasa bertanggung jawab untuk membantu Haejin, sebab dirinya tahu jika gadis itu yang tak punya kerabat sama sekali. Haejin benar-benar hanya hidup bersama ibunya saja, dan kini dia sendirian.

Polisi laki-laki yang ditanyai Beomju itu bernama Kang Bongshik, polisi yang katanya terhebat se-kota dalam menangani kasus. Dia menjawab pertanyaan Beomju dengan, “Itu hanya praduga, Nak. Aku tidak bisa memastikan itu tindak pembunuhan, tidak ada barang bukti senjata tajam yang ditemukan di sekitar tempat pembunuhan. Juga, tiga luka robek di perut dan leher yang sejajar rasanya seperti luka yang didapat dari cakaran hewan buas.”

“Jadi, hewan buas mana yang masuk ke rumahnya dan membunuh ibu Haejin? Apa polisi juga mendapat laporan tentang hewan buas yang berkeliaran?”

“Nak, kami akan memberi kabar kepadamu jika kami sudah menemukan hewan buasnya.”

“Tapi jika itu hewan buas, kenapa tidak ada sama sekali anggota tubuhnya yang kurang?” Beomju bergumam, rautnya tampak seperti ia belum bisa menerima satu pun alasan paling logis yang diberikan oleh para polisi. “Ini bukan kasus pencurian disertai pembunuhan, bukan juga kasus serangan hewan buas. Tetapi jika ini kasus pembunuhan—sedikit sekali bukti yang ditemukan.”

“Kau benar. Mungkin jika memang ini kasus pembunuhan, pelaku merupakan orang yang pintar dan berpengalaman,” ujar Bongshik, dirinya ikut melirik dan memberi Haejin tatapan bersimpati. “Pelaku tidak meninggalkan bukti apa pun bahkan sidik jarinya pun tidak ada. Seperti ada trik semacam sihir yang melakukannya, pelaku pembunuhan yang terasa seperti—”

“Bukan manusia.”

Beomju dan Bongshik serempak menoleh ke sumber suara, mereka menatap Haejin dengan ekspresi penuh tanya.

“A-apa kau ingin mengatakan sesuatu, Nak?” tanya Bongshik, antara percaya dan tidak jika yang baru saja berkata itu adalah Haejin yang terus diam bahkan ketika para polisi sudah menyerah untuk meminta keterangannya.

Tanpa menghilangkan raut kehilangan yang mendalam, Haejin menatap Bongshik kemudian berkata, “Yang membunuh ibuku itu ... bukan manusia.”

Tentu saja pernyataan itu membuat Beomju dan juga Bongshik terpaku di tempat, tidak mengerti. Tetapi sebagai polisi yang bekerja untuk menangani kasus kematian Yoon Sona, Bongshik kesampingkan dulu rasa bingungnya demi mendapatkan pernyataan penting dari satu-satunya orang yang hidup dalam tragedi penyerangan kemarin malam.

“Bisa kau jelaskan padaku dengan lebih rinci? Aku ingin mendengarkan pernyataanmu yang paling jelas mengenai kasus ini,” ujar Bongshik, membuka buku catatan kecilnya dan bersiap mencatat pernyatan Haejin.

Haejin mulai berkata. “Aku tidak bisa jelas melihatnya karena malam itu Ibu menyuruhku untuk sembunyi dan jangan bersuara. Aku sembunyi di dalam lemari kamar Ibu dan melihat semua dari celah yang ada.”

“Kau melihat pelakunya!?” Pernyataan Haejin barusan membuat Bongshik langsung bersemangat, tentu saja jika Haejin melihat wajah pelakunya—akan sangat mudah bagi mereka untuk menemukannya.

“Aku tidak melihat wajahnya, tempatnya sangat gelap,” jawab Haejin, mematahkan harapan Bongshik. “Tapi yang aku tahu, matanya berwarna merah ... dan menyala dalam kegelapan.”

Bongshik dan Beomju serempak melirik Haejin ketika gadis itu mengatakan tentang poin terakhir. Mereka menunggu Haejin melanjutkan kata-katanya.

“Tubuhnya tinggi seperti lelaki dewasa biasa, tapi yang sangat aneh darinya adalah mata merah yang menyala itu. Dia menggigit leher ibuku.”

Pernyataan Haejin lagi-lagi berhasil membuat dua orang yang mendengarnya mendelik tak percaya.

“Me-menggigit?”

“Iya. Luka cakaran yang ada di leher itu adalah luka yang dibuatnya untuk menutup bekas gigitannya. Jika kau perhatikan lagi dengan lebih baik, kau akan melihat bekas gigi—”

“Nak, apa kau sadar jika pernyataanmu itu mulai tidak masuk akal?”

Haejin mengangkat kepala, menatap Bongshik yang baru saja berkata demikian dan menyela ucapannya.

“Tidak masuk akal ...?” ulang Haejin.

“Iya .... Bagaimana bisa ada seorang manusia dengan mata merah menyala dan melakukan serangan terhadap ibumu seperti hewan buas? Dari awal pernyataanmu saja itu sudah terdengar aneh.”

“Ta-tapi aku melihatnya sendiri, Pak. Bukankah kau bisa menangkap orang itu dengan pernyataan yang aku keluarkan?”

Bongshik terdengar menghela napas dan ia merotasi matanya ke arah lain. Suasana jadi tidak nyaman, setidaknya Beomju yang hanya mendengarkan itu bisa merasakannya.

“Nak, kami ini menangkap penjahat, bukan siluman. Apa kau tidak salah lihat? Bisa saja yang kau lihat itu hewan buas yang masuk ke rumahmu dan karena ketakutan, kau jadi salah li—”

“JIKA ITU HEWAN BUAS, KENAPA TIDAK ADA SATU PUN TUBUH IBUKU YANG DIMAKAN OLEHNYA!?” Haejin berteriak, menyuarakan emosi dan rasa tak puasnya dengan ucapan Bongshik. Ia mencengkeram kerah seragam lelaki itu, membuat pemiliknya memberikan tatapan geram.

“Haejin, tenanglah ...,” ujar Beomju, berusaha menenangkan Haejin dan melepas tangan itu dari Bongshik.

“Siapa yang membunuh ibuku, Beomju ...? Apa salah ibuku padanya? Dan makhluk apa dia sebenarnya?” Beomju tak tahu harus mengatakan apa, sebab semua terjadi dengan tiba-tiba dan dia pun masih tak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi pada temannya.

Bongshik melirik Haejin dengan angkuh, sementara gadis itu juga membalas tatapannya dengan berani. Ketegangan keduanya mereda setelah Bongshik mendapat panggilan untuk segera kembali ke kantornya.

Bongshik membenahi seragamnya yang sempat berantakan akibat ulah Haejin lalu berkata, “Aku akan memberi tahu jika ada perkembangan mengenai kasus kematian nyonya Yoon. Tapi untuk sekarang, aku perlu pamit undur diri,” ujar Bongshik lalu memberikan penghormatan terakhir sebelum benar-benar pergi setelah mengutarakan belasungkawanya.

Kini di ruangan itu hanya ada Beomju dan Haejin. Para pelayat sudah datang sejak pagi dan sejak itu pula, Haejin belum makan apa-apa. “Aku akan membelikanmu makanan di dekat sini. Kau makan dulu, ya?” Haejin tidak menjawab, dia hanya diam termenung sembari kembali bersandar pada dinding yang dingin.

Beomju meninggalkannya, dan ruangan menjadi sepi. Bersama keheningan itu, Haejin biarkan air matanya menetes kembali. Dia jadi teringat tentang ucapan orang-orang tentang kematian ibunya yang tampak tak wajar. Seperti tidak dilakukan oleh manusia.

Lumayan lama ia berdiam diri di sana, dan beberapa saat setelahnya terdengar suara seseorang membuka pintu kamar duka itu. Haejin mengira itu adalah Beomju, tapi itu adalah seorang yang asing. Haejin sama sekali tidak mengenalnya dan itu membuatnya langsung memasang mata.

Rambut seputih salju, tubuh kurus yang tinggi dan kulit pucatnya.

“Permisi ...,” ucap Haejin, menyela kegiatan lelaki itu yang tampak tulus memberi penghormatan terakhir pada mendiang ibunya. “Apa kau mengenal ibuku?” tanya Haejin kemudian, tetapi lelaki itu tidak menjawabnya.

Haejin berdiri sesaat setelah lelaki itu menyelesaikan penghormatannya, ia menghampiri Haejin dan memberikan sebuah buket bunga tanda belasungkawa. Lelaki itu tak menatap Haejin, membuatnya curiga. Dia hanya diam sembari menyerahkan bunga yang hanya Haejin tatap dengan tidak berselera.

“Saya datang untuk memberikan bunga belasungkawa ini, Nona.”

Haejin sempat terdiam sembari menatapnya, tak lama kemudian gadis itu tertawa remeh. “Kalau kau tidak berkata, aku bisa berpikir kau sedang mengajakku berkencan, Tuan. Lain kali, kirim karangan bunga saja, jangan seperti ini.”

Haejin menerima bunga itu, lalu berniat untuk meletakkannya di depan foto sang ibu tetapi ia urung sebab memikirkan sesuatu.

“Apa kau teman ibuku, Tuan?” tanya Haejin, memandangi bunga-bunga yang ada di tangannya itu dengan tatapan tak berarti.

“Bukan.”

“Lalu kau mengenal ibuku?”

“Iya ....”

“Apa aku boleh tahu siapa namamu?”

Haejin mengalihkan tatapannya ke lelaki asing itu ketika pertanyaannya tak kunjung dijawab. Ia memperhatikan dengan lekat sampai yang ditanya akhirnya bicara. “Saya hanya datang untuk memberikan bunga itu pada Anda, Nona.”

Mata gadis itu tidak ia alihkan, perasaan curiga yang tak ia inginkan itu akhirnya muncul perlahan ke permukaan.

“Siapa yang menyuruhmu? Kenapa dia tidak datang ke sini langsung?” tanya Haejin, tampaknya lelaki di hadapannya kesulitan untuk menjawab. Tingkahnya semakin membuat Haejin merasa curiga sampai akhirnya itu tersuarakan lewat kata-katanya. “Ah ... yang menyuruhmu tidak datang karena akan terasa aneh jika datang ke pemakaman korbannya, kan?”

“Nona ...?” Lelaki itu bereaksi dengan terkejut mendengar ucapan Haejin. “Tuan saya bukanlah pembunuh dari nyonya Yoon.”

Haejin tidak menunggu lawan bicaranya memberi penjelasan. Ia melempar bunganya dengan kasar ke lantai lalu mencengkeram kerah kemeja yang dipakai lelaki asing itu.

“Aku mengenal semua teman ibuku tetapi ada satu kenalan yang tidak aku tahu. Katakan, apa tuanmu itu memiliki masalah dengan ibuku sampai harus membunuhnya dengan keji seperti ini?” Amarah Haejin kembali membuncah, dia tidak bisa menahannya. Air matanya kembali berlinang dan matanya sarat akan kebencian. “MAKHLUK ANEH YANG MEMBUNUH IBUKU ITU PASTI SURUHAN TUANMU, KAN!?”

Di saat seperti itu, Beomju yang baru saja memasuki ruangan mau tak mau harus membuang barang bawaannya dan menghampiri Haejin yang mengamuk seperti sedang kesurupan itu.

“Haejin, apa yang kau lakukan!?” Beomju bertanya, tetapi suaranya tenggelam oleh teriakan Haejin yang terus berkata seakan-akan orang asing di depan mereka ini adalah pembunuh dari Yoon Sona.

Sampai akhirnya Beomju mendapat sedikit celah dan langsung ditariknya Haejin untuk menjauh. Gadis itu menangis dengan histeris dan Beomju menenangkannya dengan pelukan erat.

Haejin kira lelaki asing tadi akan langsung pergi setelah diperlakukan kasar olehnya, tapi tanpa Haejin duga, dia malah memungut buket bunga bawannya yang sudah sedikit rusak akibat hempasan Haejin, ia kembali menyodorkan bunga itu agar Haejin mau menerimanya dengan baik-baik.

“Saya datang untuk menyampaikan rasa belasungkawa tuan saya dengan bunga ini,” ujar si lelaki, masih tanpa keberanian untuk menatap mata Haejin. Setelah memberikan bunganya, dia perlahan undur diri. Tetapi dia sempat berhenti di ambang pintu, hanya untuk mengatakan sesuatu yang tak tuannya titipkan. “Saya minta maaf, karena tidak bisa menjaga nyonya Yoon dengan baik.”

Tubuh Haejin seketika membatu. Hatinya menghangat dan itu membuatnya terkejut. Dia tiba-tiba saja jatuh terduduk, sesaat setelah lelaki itu meninggalkan ruangan. Haejin melihat buket bunga duka yang diberikan padanya, lalu melihat sebuah nama yang diduga adalah pengirim bunga yang sebenarnya.

Ilucca Lucretia Reev.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status