“Apa anda berpikir kalau ibu saya meninggal bukan karena dibunuh seseorang?” Haejin bertanya pada polisi yang menangani kasus kematian ibunya.
Polisi laki-laki itu bernama Kang Bongshin, polisi yang katanya terhebat se-kota dalam menangani kasus. Dia menjawab pertanyaan Haejin. “Saya tidak bisa memastikan itu tindak pembunuhan, tidak ada barang bukti senjata tajam yang ditemukan di sekitar tempat pembunuhan. Juga, tiga luka robek di perut yang sejajar rasanya seperti luka yang didapat dari cakaran hewan buas.”
“Jadi, hewan buas mana yang masuk ke rumahku dan membunuh ibuku? Apa polisi juga mendapat laporan tentang hewan buas yang berkeliaran?”
“Nona, kami akan memberi kabar kepada anda jika kami sudah menemukan hewan buasnya.”
“JIKA ITU HEWAN BUAS, KENAPA TIDAK ADA SATU PUN TUBUH IBUKU YANG DIMAKAN OLEHNYA!?” Haejin berteriak, menyuarakan emosi dan rasa tak puasnya dengan alasan logis yang berusaha polisi katakan padanya.
“Haejin, tenanglah ...,” ujar Rika, berusaha menenangkan Haejin.
“Siapa yang membunuh ibuku, Rika ...? Apa salah ibuku padanya?” Rika tak tahu harus mengatakan apa, sebab semua terjadi dengan tiba-tiba dan dia pun masih tak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi pada temannya.
Saat Haejin sedang ditenangkan, polisi yang bertugas bersama Bongshin berbisik, namun tanpa sadar Haejin dan Rika masih mampu mendengarnya.
“Pak Kang, apa kau berpikiran yang sama denganku?”
“Apa yang kau pikirkan, Junsang?”
“Hasil autopsi mengatakan ada bekas luka gigitan taring tajam di sekitar leher nyonya Yoon, apa ini ada hubungannya dengan iblis penghisap darah yang sedang ramainya dibicarakan?”
Haejin melirik kedua polisi yang sedang bercengkrama diam-diam itu, secara tak langsung memberi tahu jika ia mendengar semuanya. Bongshin langsung menyuruh bawahannya untuk diam, lalu dia kembali menghadap Haejin dan Rika.
“Saya akan memberi tahu jika ada perkembangan mengenai kasus kematian nyonya Yoon. Tapi untuk sekarang, saya pamit undur diri,” tukas Bongshin lalu memberikan penghormatan terakhir sebelum benar-benar pergi setelah mengutarakan bela sungkawanya.
Kini di ruangan itu hanya ada Rika dan Haejin. Para pelayat sudah datang sejak pagi dan sejak itu pula, Haejin belum makan apa-apa. “Aku akan membelikanmu makanan di dekat sini. Kau makan dulu, ya?” Haejin tidak menjawab, dia hanya diam termenung sembari bersandar pada dinding yang dingin.
Rika meninggalkannya, dan ruangan menjadi sepi. Bersama keheningan itu, Haejin biarkan air matanya menetes kembali. Dia jadi teringat tentang ucapan orang-orang tentang kematian ibunya yang tampak tak wajar. Seperti tidak dilakukan oleh manusia.
Disaat seperti ini, logikannya enggan bekerja dengan baik. Mungkin itu sebabnya, Haejin sempat berpikir jika yang dikatakan anak buah Bongshin itu benar. Jika ibunya tidak dibunuh manusia, mungkin yang membunuh memang bukan manusia.
Lumayan lama ia berdiam diri di sana, terdengar suara seseorang membuka pintu kamar duka itu. Haejin mengira itu adalah Rika, atau Beomyu yang sangat ia harapkan kehadirannya. Tapi itu adalah seorang yang asing, meski begitu, Haejin pernah melihatnya.
Rambut seputih salju, tubuh kurus yang tinggi dan kulit pucatnya. Haejin tidak melihat wajah, tapi ia bisa yakin jika lelaki itu adalah lelaki yang kemarin berdiri sembari memandangi sekolahnya, entah untuk tujuan apa.
“Permisi ...,” ucap Haejin, menyela kegiatan lelaki itu yang tampak tulus memberi penghormatan terakhir pada mendiang ibunya. “apa kau mengenal ibuku?” tanya Haejin kemudian, namun lelaki itu tidak menjawabnya.
Haejin berdiri sesaat setelah lelaki itu berdiri, ia menghampirinya dan diberikan sebuah buket bunga. Lelaki itu tak menatap Haejin, membuatnya curiga. Dia hanya diam sembari menyerahkan bunga yang langsung Haejin buang dengan kasar.Haejin secara brutal, menarik kerah kemeja putihnya. “Kau sejak kemarin tampak mengawasiku, apa kau tahu sesuatu tentang kematian ibuku?” tanya Haejin. Tapi lagi, lelaki itu hanya terdiam. “Kau pasti tahu sesuatu. Atau jangan-jangan ..., kau yang membunuh ibuku? Apa kau iblis penghisap darah seperti yang orang-orang katakan?”
“Bukan.”
Mendengar julukan 'iblis penghisap darah' dituduhkan padanya, lelaki itu langsung menjawab. Padahal sebelumnya Haejin kira dia tidak bisa bicara. Hal itu membuat Haejin mendecih dengan senyum getirnya. “Aku tahu jika kau tahu sesuatu tentang kematian ibuku.”
Lelaki itu memungut buket bunga bawannya yang sudah sedikit rusak akibat hempasan Haejin, dia kembali menyodorkan bunga itu agar Haejin mau menerimanya dengan baik-baik.
“Saya datang untuk menyampaikan rasa bela sungkawa tuan saya dengan bunga itu,” ujar si lelaki, masih tanpa keberanian untuk menatap mata Haejin. Setelah memberikan bunganya, dia perlahan undur diri. Namun dia sempat berhenti di ambang pintu, hanya untuk mengatakan sesuatu yang tak tuannya titipkan. “Saya minta maaf, karena tidak bisa menjaga nyonya Yoon dengan baik.”
Tubuh Haejin seketika membatu. Hatinya menghangat dan itu membuatnya terkejut. Dia tiba-tiba saja jatuh terduduk, sesaat setelah lelaki itu meninggalkan ruangan. Haejin melihat karangan bunga duka yang diberikan padanya, lalu melihat sebuah nama yang diduga adalah pengirim bunga yang sebenarnya.
Ilucca Lucretia Reev.
*** Suara pintu terbuka mengalihkan atensinya. Lelaki berambut hitam dengan kedua mata tertutup itu mengangkat kepalanya yang semula bersandar pada kursi.“Zakiel?” panggilnya dengan nada lembut, sembari mengulurkan tangannya agar disentuh siapa saja yang masuk ke ruangan itu.
Lelaki berambut putih yang baru saja memasuki ruangan, berjalan mendekatinya, lalu membalas uluran tangannya. “Ini aku, Yang Mulia ...,” ucapnya lelaki yang dipanggil Zakiel. Dia lalu menjauh guna menghadap tuannya dengan posisi yang pantas.
“Sudah memberikan bunganya dan menyampaikan bela sungkawaku?” tanya lelaki itu pada Zakiel. Zakiel mengangguk, entah bisa dilihat atau tidak anggukannya oleh sang tuan.
“Sepertinya mereka ingin mengulang kesalahpahaman yang sama dengan ribuan tahun lalu, Yang Mulia.”
“Maksudmu?”
“Mereka membunuh nyonya Yoon dan membuat kematiannya seolah-olah dilakukan oleh seorang vampir yang meninggalkan bekas luka gigitan di lehernya.”
Lelaki itu, Ilucca Lucretia, menautkan jari-jemarinya menjadi satu, lalu menopangkan dagu di atasnya. “Mereka ingin manusia mengira jika vampir ada dan sedang bergerak memangsa manusia, ya?” tukasnya, menerka, meski dia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi lagi.
“Manusia pasti akan menyewa orang berkemampuan untuk membuktikan keberadaan vampir. Terlebih lagi, ada beberapa vampir liar penghisap darah manusia yang belum kita tangkap.”
Ilucca terdiam, mata sayu yang tak bisa menangkap cahaya miliknya seolah memandang ke luar jendela.“Hari ini cuacanya cerah sekali, ya, Zakiel?” pertanyaan yang keluar dari topik pembicaraan itu tiba-tiba diucapkan. Yah ... Zakiel tidak terkejut lagi.
Terlebih dengan sikap Ilucca yang lembut dan tak ingin menyikapi segala hal dengan emosi. Bahkan ketika ia tahu keturunan Verstellar dibunuh oleh kaum incubus, dia tak menunjukkan emosinya dan tetap bersikap tenang sembari menjatuhkan kepalanya ke atas meja. “Raviette pasti sangat sedih, padahal hari ini cuaca sedang cerah sekali,” tukas Ilucca seraya garis bibirnya melengkung ke bawah.
“Maafkan aku, Yang Mulia. Aku seharusnya juga mengawasi nyonya Yoon dan menjaganya.”
“Tidak masalah, Zakiel. Kau bergerak atas perintahku, jika ada yang harus disalahkan, maka itu adalah aku.”
“Yang Mulia ....”
“Selain itu ....” Ilucca menyela, menghentikan Zakiel jika saja dia ingin menyalahkan dirinya. Lelaki dengan mata hitam pekat itu tersenyum lebar dan tulus pada Zakiel. “Terima kasih sudah menjaga Raviette dan nyonya Aubrey, Zakiel. Seterusnya, tolong tetap jaga Raviette, ya?”
Zakiel terdiam. Seharusnya dia sudah hafal dengan sikap Ilucca. Tapi dia masih saja sering terkejut ketika dihadapkan langsung, Ilucca sangat baik hati, jauh berbanding terbalik dengan sikap dingin dan tak kenal ampun para makhluk immortal yang sering diceritakan.
“Baik, Yang Mulia.”
Setelah itu, Ilucca bangkit dan berjalan mendekati jendela. “Tapi untuk malam ini, aku yang ingin menjaganya langsung.” Mendengar ucapan Ilucca membuat Zakiel langsung merasa panik. Ilucca sangat jarang pergi ke luar dan bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia, itu karena dia bisa mendapat serangan kapan saja dari pihak musuh.
“Yang Mulia, di luar sana bukanlah tempat yang aman untukmu.”
“Jangan terlalu cemas, Zakiel. Aku hanya pergi untuk memastikan keturunan terakhir Verstellar berada dalam keadaan yang aman. Apalagi setelah menyerang ibunya, aku merasa yakin jika dia adalah target berikutnya.”
“Yang Mulia—”
“Zakiel ....” ucapan Ilucca sempat terputus, sebab dirinya saat ini juga sedang disibukan dengan mendengar nyanyian burung-burung di luar kastilnya. Tapi mendengar kekhawatiran Zakiel terus-terusan, membuatnya sedikit kecewa. “Apa memang tidak ada yang bisa dilakukan vampir buta sepertiku?”
Zakiel terkejut. Bukan maksudnya untuk membuat Ilucca tersinggung dengan kata-katanya.
“Sudah ribuan tahun sejak hancurnya hubungan Lucretia dan Verstellar, itu membuat kita mau tak mau harus menjauh darinya dan kaum manusia. Menemui Raviette bagiku hanya sebagai pemererat hubungan, aku harus memperbaiki hubungan dengannya jika ingin menang di pertarungan.”
“Tapi, kau bisa saja mendapat serangan dari musuh, Yang Mulia.”
“Aku tahu ....” Ilucca tersenyum, seakan bisa membuat suasana sekitar menjadi lebih baik. “aku hanya buta, bukan tuli ataupun tak bisa berjalan. Aku bisa melindungi diriku, bahkan kau sekali pun.”
Mungkin ini saatnya mengakhiri pertemuannya dengan Zakiel. Ilucca berjalan menuju pintu, tanpa bantuan apapun dan hanya mengandalkan indera lainnya yang masih bisa digunakan. Tapi saat ia akan keluar, ia sempatkan diri untuk mengatakan sesuatu, yang membuat Zakiel menyesal telah berkata seperti itu pada Ilucca sebelumnya.
“Lagipula, Zakiel .... Meski hanya memiliki satu kaki, seorang pemimpin harus tetap berdiri tegak dan melindungi anak buah di belakangnya. Itu karena ..., dia seorang pemimpin.”
Ilucca tersenyum tipis, kemudian menghilang di balik pintu besar itu. Sementara Zakiel menunduk dalam, merasa amat menyesal mengingat dirinyalah yang tanpa sengaja memaksa Ilucca untuk mengatakan kalimat menyesakkan itu.
“Yang Mulia, jika seorang pemimpin dengan satu kaki itu adalah kau, maka aku akan menjadi kakimu yang satu lagi. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian, aku akan bersamamu sampai keresahan yang kau miliki selama ribuan tahun itu menghilang.”
-Bersambung-Seperti memang tak ada waktu untuknya terus berduka, gadis itu memilih untuk terus berjalan.Satu hari setelah pemakaman selesai, Haejin masuk sekolah seperti biasa. Dia bertemu temannya dan belajar seperti biasa, dia juga langsung pergi bekerja setelah sepulang sekolah. Seperti biasa ....Mungkin, hanya senyumnya saja yang akan menghilang setelah kepergian ibunya, dan itu pasti tidak akan berlangsung lama. Sama seperti ketika ia kehilangan ayahnya, dia pasti bisa kembali tersenyum setelah melihat orang-orang yang ia cintai.Ah, sayangnya, yang pergi darinya itu adalah sosok yang amat ia cintai. Dia sendirian, tidak akan dikuatkan oleh kata-kata ajaib ibunya lagi. Bahkan pelukan hangat yang sangat ia butuhkan, tak kunjung datang untuk meringankan sesaknya.“Jangan ..., jangan menangis Haejin ....” Haejin Yoon mengusap air mata yang hampir melintasi pipinya, lalu mendongak, menatap langit sore Kota Taekbaek. Selaras kemudian, senyum
Malam itu sekitar pukul sebelas, Beomyu kembali ke kediaman ayahnya. Mungkin karena sudah malam, semua orang tak menyambutnya yang pergi sejak siang.Ketika Beomyu mengatakan ia tidak kabur hanya untuk menemui Haejin, dia memang berkata yang sebenarnya. Karena itu, rasanya lega sekali setelah kembali dan mengetahui Haejin baik-baik saja.Beomyu pergi menuju dapur, mungkin yang ia butuhkan saat ini adalah segelas air putih untuk menetralkan tubuhnya yang sedikit lelah. Tanpa berbasa-basi, ia segera membasahi tenggorokannya dengan air dan berniat untuk kembali ke kamar untuk istirahat.Tapi ketika melewati ruang makan, Beomyu berhenti saat sebuah suara memanggilnya dalam kegelapan.“Sudah pulang, Tuan Muda Beomyu?”Beomyu sempat terperanjat, dia tak menyangka jika ada seseorang yang duduk di sisi tergelap ruang makan itu, kursi yang berada di sisi paling ujung meja makan dan berseberangan dengannya berdiri saat ini. Beom
“Selamat pagi, Nona Yoon. Aku Choi Hyeonjun, salah satu dari detektif supernatural yang kebetulan tertarik dengan kasus kematian ibumu.”Haejin terdiam, cukup lama. Gurat bingung tampak kentara di wajahnya, dan lama pula lelaki bernama Hyeonjun itu terdiam sebab Haejin tak kunjung memberi respons atas apa yang baru saja ia ucapkan.Bertahan dalam kecanggungan, Hyeonjun akhirnya tersadar dan bergerak memberi Haejin sebuah kartu. Itu adalah kartu identitasnya sebagai seorang detektif, seperti yang dia katakan. Haejin membaca isi kartu identitas itu dengan konsentrasi penuh.“Detektif supernatural?” ucapnya, dengan nada bingung dan bertanya. “Aku baru mendengar yang seperti ini,” lanjut Haejin.“Ah, biar kujelaskan sedikit. Detektif supernatural adalah orang-orang yang bekerja untuk menangani kasus-kasus yang mungkin sudah tidak bisa ditangani lagi oleh para polisi. Biasanya, orang-orang yang meminta bantuan detektif supernatural adal
Ilucca bertopang dagu, dia menghadap Haejin seakan sedang menatap wajah gadis itu. Sementara Haejin, tampak ia masih diselimuti kebingungan akan ucapan yang dilontarkan Ilucca beberapa detik lalu.“Sudah kubilang, berhenti mengatakan hal-hal aneh!” tukas Haejin pada akhirnya. Dia yang merasa cukup meluangkan waktu untuk meladeni Ilucca, berpikir mungkin sudah saatnya kembali bekerja. Tapi saat dia akan bangkit dari kursi, Ilucca secepat kilat menahan tangannya.Haejin terkejut, sekaligus kembali mendaratkan bokongnya ke kursi dengan cukup keras. Tapi rasa nyeri itu sengaja ia abaikan, sebab melihat wajah Ilucca yang serius membuatnya berpikir akan ada hal berguna yang lelaki itu lontarkan.“Kau mau pergi dan membiarkan lelaki tampan ini duduk sendirian?” Mungkin tidak seharusnya Haejin mengharap sesuatu yang berharga keluar dari mulut lelaki itu. Dari tingkah dan ucapannya saja, sudah terlihat jika dia adalah pribadi yang senang mengerjai orang
HeejinHaejin pulang dengan diantar oleh Zakiel, dan saat ini gadis itu sudah berada di tempat kerjanya sejak setengah jam yang lalu.Haejin biasanya akan mulai bekerja sepulang sekolah sampai larut malam menjelang, tapi karena urusannya dengan Ilucca, dia jadi meminta sedikit waktu dan terlambat kerja.Kedai ramyeon dan Jajangmyeon tempatnya bekerja merupakan kedai yang lumayan terkenal di daerah sekitarnya. Kalau sudah seperti ini, Haejin akan mengabaikan segala hal dan fokus saja pada pekerjaannya melayani pelanggan dan menjadi kaki tangan koki di sana.“Nona Yoon, tolong berikan ini pada pelanggan di sebelah sana.” Haejin mengangguk, lalu dengan sigap menerima pesanan itu dan mengantarnya pada pemesan. Dia menuju meja paling ujung, dekat sudut ruangan yang biasanya tak banyak pelanggan suka untuk duduk di sana.Di sanalah, Haejin menghampiri pelanggannya yang tampak fokus membaca sesuatu dari sebuah buku
“Aaaaaaaakh!”Haejin menjerit kesakitan, kala taring tajam makhluk itu menembus kulit dan dagingnya. Terasa darahnya seakan mengalir cepat meninggalkan raganya, membuatnya tubuhnya perlahan terasa lemas. Ia menangis, menahan sakit dan tak ada yang menolongnya. Tapi meski demikian, masih ada saja pergerakan kecil untuk memberontak, seperti memukul agar gigitan itu terlepas, meski mustahil.Kini Haejin hanya bisa pasrah, tubuhnya melemas dan ia menatap ke langit. Di atas sana, bulan bersinar dengan terang. Indah sekali.Apa sesuatu yang menjadi hal terakhir yang dilihat, akan terasa lebih indah dari biasanya?Haejin tersenyum, merasa jika hidup malangnya adalah sebuah lakon lucu yang bisa ia tertawakan. Bagaimana bisa, Tuhan menulis kisah hidupnya dengan sangat menyedihkan?“Ah ..., ibu ....” ujar Haejin dengan lemah. Samar-samar ia mengingat wajah sang ibu, dan kesadaran yang memudar membuatnya berilusi jika senyum
Seperti yang sudah dikatakan, setelah merasa cukup untuk mengawasi Haejin dengan matanya sendiri, Ilucca akan menyerahkan tugas selanjutnya untuk dilaksanakan Zakiel. Lelaki itu sudah bersiap di sana, bahkan satu jam sebelum Ilucca meninggalkan rumah Haejin.Kini Zakiel bertugas untuk mengantar Haejin menuju sekolah, meski gadis itu sempat menolaknya dengan alasan ini adalah tindakan yang berlebihan. “Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Tuan Zakiel. Aku bisa pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, seperti biasanya.” Haejin membuka percakapan pertama dengan Zakiel di hari itu, sebab ia merasa sudah melalui perjalanan dengan hening dan itu membuatnya merasa agak canggung.“Izinkan aku mengatakan sesuatu, Nona. Pertama, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Tuan', Nona. Panggil saja aku dengan namaku.”“Ah ..., bolehkah?” tanya Haejin, sedikit melirik wajah serius Zakiel yang sedang menyetir mobil, “kupikir karena kau adalah makhluk ya
“Jadi, apa alasanmu memberikan tatapan terkejut seperti malam tadi, Nona?”Eimiris kembali tersentak kala perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan mengejutkan dari Hyeonjun. Dia hanya terdiam, tak bisa menjawab. Sementara netranya menyelam dalam ke mata lelaki itu, mendapati bayangannya adalah satu-satunya hal yang ada di sana.Haejin juga menunggu jawaban Eimiris, namun wanita itu terlihat terlalu gugup untuk menjawab. Haruskah Haejin membantu?“Ah, Nona Eimiris, bisakah kau mengantarku ke tempat tuanmu berada saat ini?”Pada akhirnya, Haejin memutuskan untuk membantu wanita itu keluar dari tekanan yang membuatnya gugup, bukan membantunya mengatasi kegugupan itu. Perhatian Eimiris bergulir ke Haejin, dan dia segera berfokus pada tujuan awalnya datang ke sini, yaitu menjemput Haejin untuk pulang.“Kau tidak ingin kembali dulu ke rumah, Nona Yoon?” Haejin menjawabnya dengan gelengan.“Aku ingin menemui tuanmu