Share

BAB 3 : Kebencian Yang Terulang

Pemakaman ibu Haejin, Yoon Sona, dilakukan pagi hari setelah kematiannya. Tim autopsi mengatakan jika Sona meninggal sebab luka yang ia alami membuatnya kehilangan banyak darah. Melihat luka yang diterima pada bagian perut, kemungkinan besarnya adalah Sona mengalami tindak pembunuhan oleh seseorang. Tapi itu tak menjadi dugaan kuat sebab melihat kembali bentuk lukanya, itu bukan seperti tertusuk pisau tajam.

“Apa anda berpikir kalau ibu saya meninggal bukan karena dibunuh seseorang?” Haejin bertanya pada polisi yang menangani kasus kematian ibunya.

Polisi laki-laki itu bernama Kang Bongshin, polisi yang katanya terhebat se-kota dalam menangani kasus. Dia menjawab pertanyaan Haejin. “Saya tidak bisa memastikan itu tindak pembunuhan, tidak ada barang bukti senjata tajam yang ditemukan di sekitar tempat pembunuhan. Juga, tiga luka robek di perut yang sejajar rasanya seperti luka yang didapat dari cakaran hewan buas.”

“Jadi, hewan buas mana yang masuk ke rumahku dan membunuh ibuku? Apa polisi juga mendapat laporan tentang hewan buas yang berkeliaran?”

“Nona, kami akan memberi kabar kepada anda jika kami sudah menemukan hewan buasnya.”

“JIKA ITU HEWAN BUAS, KENAPA TIDAK ADA SATU PUN TUBUH IBUKU YANG DIMAKAN OLEHNYA!?” Haejin berteriak, menyuarakan emosi dan rasa tak puasnya dengan alasan logis yang berusaha polisi katakan padanya.

“Haejin, tenanglah ...,” ujar Rika, berusaha menenangkan Haejin.

“Siapa yang membunuh ibuku, Rika ...? Apa salah ibuku padanya?” Rika tak tahu harus mengatakan apa, sebab semua terjadi dengan tiba-tiba dan dia pun masih tak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi pada temannya.

Saat Haejin sedang ditenangkan, polisi yang bertugas bersama Bongshin berbisik, namun tanpa sadar Haejin dan Rika masih mampu mendengarnya.

“Pak Kang, apa kau berpikiran yang sama denganku?”

“Apa yang kau pikirkan, Junsang?”

“Hasil autopsi mengatakan ada bekas luka gigitan taring tajam di sekitar leher nyonya Yoon, apa ini ada hubungannya dengan iblis penghisap darah yang sedang ramainya dibicarakan?”

Haejin melirik kedua polisi yang sedang bercengkrama diam-diam itu, secara tak langsung memberi tahu jika ia mendengar semuanya. Bongshin langsung menyuruh bawahannya untuk diam, lalu dia kembali menghadap Haejin dan Rika.

“Saya akan memberi tahu jika ada perkembangan mengenai kasus kematian nyonya Yoon. Tapi untuk sekarang, saya pamit undur diri,” tukas Bongshin lalu memberikan penghormatan terakhir sebelum benar-benar pergi setelah mengutarakan bela sungkawanya.

Kini di ruangan itu hanya ada Rika dan Haejin. Para pelayat sudah datang sejak pagi dan sejak itu pula, Haejin belum makan apa-apa. “Aku akan membelikanmu makanan di dekat sini. Kau makan dulu, ya?” Haejin tidak menjawab, dia hanya diam termenung sembari bersandar pada dinding yang dingin.

Rika meninggalkannya, dan ruangan menjadi sepi. Bersama keheningan itu, Haejin biarkan air matanya menetes kembali. Dia jadi teringat tentang ucapan orang-orang tentang kematian ibunya yang tampak tak wajar. Seperti tidak dilakukan oleh manusia.

Disaat seperti ini, logikannya enggan bekerja dengan baik. Mungkin itu sebabnya, Haejin sempat berpikir jika yang dikatakan anak buah Bongshin itu benar. Jika ibunya tidak dibunuh manusia, mungkin yang membunuh memang bukan manusia.

Lumayan lama ia berdiam diri di sana, terdengar suara seseorang membuka pintu kamar duka itu. Haejin mengira itu adalah Rika, atau Beomyu yang sangat ia harapkan kehadirannya. Tapi itu adalah seorang yang asing, meski begitu, Haejin pernah melihatnya.

Rambut seputih salju, tubuh kurus yang tinggi dan kulit pucatnya. Haejin tidak melihat wajah, tapi ia bisa yakin  jika lelaki itu adalah lelaki yang kemarin berdiri sembari memandangi sekolahnya, entah untuk tujuan apa.

“Permisi ...,” ucap Haejin, menyela kegiatan lelaki itu yang tampak tulus memberi penghormatan terakhir pada mendiang ibunya. “apa kau mengenal ibuku?” tanya Haejin kemudian, namun lelaki itu tidak menjawabnya.

Haejin berdiri sesaat setelah lelaki itu berdiri, ia menghampirinya dan diberikan sebuah buket bunga. Lelaki itu tak menatap Haejin, membuatnya curiga. Dia hanya diam sembari menyerahkan bunga yang langsung Haejin buang dengan kasar.

Haejin secara brutal, menarik kerah kemeja putihnya. “Kau sejak kemarin tampak mengawasiku, apa kau tahu sesuatu tentang kematian ibuku?” tanya Haejin. Tapi lagi, lelaki itu hanya terdiam. “Kau pasti tahu sesuatu. Atau jangan-jangan ..., kau yang membunuh ibuku? Apa kau iblis penghisap darah seperti yang orang-orang katakan?”

“Bukan.”

Mendengar julukan 'iblis penghisap darah' dituduhkan padanya, lelaki itu langsung menjawab. Padahal sebelumnya Haejin kira dia tidak bisa bicara. Hal itu membuat Haejin mendecih dengan senyum getirnya. “Aku tahu jika kau tahu sesuatu tentang kematian ibuku.”

Lelaki itu memungut buket bunga bawannya yang sudah sedikit rusak akibat hempasan Haejin, dia kembali menyodorkan bunga itu agar Haejin mau menerimanya dengan baik-baik.

“Saya datang untuk menyampaikan rasa bela sungkawa tuan saya dengan bunga itu,” ujar si lelaki, masih tanpa keberanian untuk menatap mata Haejin. Setelah memberikan bunganya, dia perlahan undur diri. Namun dia sempat berhenti di ambang pintu, hanya untuk mengatakan sesuatu yang tak tuannya titipkan. “Saya minta maaf, karena tidak bisa menjaga nyonya Yoon dengan baik.”

Tubuh Haejin seketika membatu. Hatinya menghangat dan itu membuatnya terkejut. Dia tiba-tiba saja jatuh terduduk, sesaat setelah lelaki itu meninggalkan ruangan. Haejin melihat karangan bunga duka yang diberikan padanya, lalu melihat sebuah nama yang diduga adalah pengirim bunga yang sebenarnya.

Ilucca Lucretia Reev.

 

***

 

Suara pintu terbuka mengalihkan atensinya. Lelaki berambut hitam dengan kedua mata tertutup itu mengangkat kepalanya yang semula bersandar pada kursi.

“Zakiel?” panggilnya dengan nada lembut, sembari mengulurkan tangannya agar disentuh siapa saja yang masuk ke ruangan itu.

Lelaki berambut putih yang baru saja memasuki ruangan, berjalan mendekatinya, lalu membalas uluran tangannya. “Ini aku, Yang Mulia ...,” ucapnya lelaki yang dipanggil Zakiel. Dia lalu menjauh guna menghadap tuannya dengan posisi yang pantas.

“Sudah memberikan bunganya dan menyampaikan bela sungkawaku?” tanya lelaki itu pada Zakiel. Zakiel mengangguk, entah bisa dilihat atau tidak anggukannya oleh sang tuan.

“Sepertinya mereka ingin mengulang kesalahpahaman yang sama dengan ribuan tahun lalu, Yang Mulia.”

“Maksudmu?”

“Mereka membunuh nyonya Yoon dan membuat kematiannya seolah-olah dilakukan oleh seorang vampir yang meninggalkan bekas luka gigitan di lehernya.”

Lelaki itu, Ilucca Lucretia, menautkan jari-jemarinya menjadi satu, lalu menopangkan dagu di atasnya. “Mereka ingin manusia mengira jika vampir ada dan sedang bergerak memangsa manusia, ya?” tukasnya, menerka, meski dia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi lagi.

“Manusia pasti akan menyewa orang berkemampuan untuk membuktikan keberadaan vampir. Terlebih lagi, ada beberapa vampir liar penghisap darah manusia yang belum kita tangkap.”

Ilucca terdiam, mata sayu yang tak bisa menangkap cahaya miliknya seolah memandang ke luar jendela.“Hari ini cuacanya cerah sekali, ya, Zakiel?” pertanyaan yang keluar dari topik pembicaraan itu tiba-tiba diucapkan. Yah ... Zakiel tidak terkejut lagi.

Terlebih dengan sikap Ilucca yang lembut dan tak ingin menyikapi segala hal dengan emosi. Bahkan ketika ia tahu keturunan Verstellar dibunuh oleh kaum incubus, dia tak menunjukkan emosinya dan tetap bersikap tenang sembari menjatuhkan kepalanya ke atas meja. “Raviette pasti  sangat sedih, padahal hari ini cuaca sedang cerah sekali,” tukas Ilucca seraya garis bibirnya melengkung ke bawah.

“Maafkan aku, Yang Mulia. Aku seharusnya juga mengawasi nyonya Yoon dan menjaganya.”

“Tidak masalah, Zakiel. Kau bergerak atas perintahku, jika ada yang harus disalahkan, maka itu adalah aku.”

“Yang Mulia ....”

“Selain itu ....” Ilucca menyela, menghentikan Zakiel jika saja dia ingin menyalahkan dirinya. Lelaki dengan mata hitam pekat itu tersenyum lebar dan tulus pada Zakiel. “Terima kasih sudah menjaga Raviette dan nyonya Aubrey, Zakiel. Seterusnya, tolong tetap jaga Raviette, ya?”

Zakiel terdiam. Seharusnya dia sudah hafal dengan sikap Ilucca. Tapi dia masih saja sering terkejut ketika dihadapkan langsung, Ilucca sangat baik hati, jauh berbanding terbalik dengan sikap dingin dan tak kenal ampun para makhluk immortal yang sering diceritakan.

“Baik, Yang Mulia.”

Setelah itu, Ilucca bangkit dan berjalan mendekati jendela. “Tapi untuk malam ini, aku yang ingin menjaganya langsung.” Mendengar ucapan Ilucca membuat Zakiel langsung merasa panik. Ilucca sangat jarang pergi ke luar dan bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia, itu karena dia bisa mendapat serangan kapan saja dari pihak musuh.

“Yang Mulia, di luar sana bukanlah tempat yang aman untukmu.”

“Jangan terlalu cemas, Zakiel. Aku hanya pergi untuk memastikan keturunan terakhir Verstellar berada dalam keadaan yang aman. Apalagi setelah menyerang ibunya, aku merasa yakin jika dia adalah target berikutnya.”

“Yang Mulia—”

“Zakiel ....” ucapan Ilucca sempat terputus,  sebab dirinya saat ini juga sedang disibukan dengan mendengar nyanyian burung-burung di luar kastilnya. Tapi mendengar kekhawatiran Zakiel terus-terusan, membuatnya sedikit kecewa. “Apa memang tidak ada yang bisa dilakukan vampir buta sepertiku?”

Zakiel terkejut. Bukan maksudnya untuk membuat Ilucca tersinggung dengan kata-katanya.

“Sudah ribuan tahun sejak hancurnya hubungan Lucretia dan Verstellar, itu membuat kita mau tak mau harus menjauh darinya dan kaum manusia. Menemui Raviette bagiku hanya sebagai pemererat hubungan, aku harus memperbaiki hubungan dengannya jika ingin menang di pertarungan.”

“Tapi, kau bisa saja mendapat serangan dari musuh, Yang Mulia.”

“Aku tahu ....” Ilucca tersenyum, seakan bisa membuat suasana sekitar menjadi lebih baik. “aku hanya buta, bukan tuli ataupun tak bisa berjalan. Aku bisa melindungi diriku, bahkan kau sekali pun.”

Mungkin ini saatnya mengakhiri pertemuannya dengan Zakiel. Ilucca berjalan menuju pintu, tanpa bantuan apapun dan hanya mengandalkan indera lainnya yang masih bisa digunakan. Tapi saat ia akan keluar, ia sempatkan diri untuk mengatakan sesuatu, yang membuat Zakiel menyesal telah berkata seperti itu pada Ilucca sebelumnya.

“Lagipula, Zakiel .... Meski hanya memiliki satu kaki, seorang pemimpin harus tetap berdiri tegak dan melindungi anak buah di belakangnya. Itu karena ..., dia seorang pemimpin.”

Ilucca tersenyum tipis, kemudian menghilang di balik pintu besar itu. Sementara Zakiel menunduk dalam, merasa amat menyesal mengingat dirinyalah yang tanpa sengaja memaksa Ilucca untuk mengatakan kalimat menyesakkan itu.

“Yang Mulia, jika seorang pemimpin dengan satu kaki itu adalah kau, maka aku akan menjadi kakimu yang satu lagi. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian, aku akan bersamamu sampai keresahan yang kau miliki selama ribuan tahun itu menghilang.”

 

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status