**Bab 9: Suara dari Kegelapan**
Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempat tidur. Cahaya lembut dari kristal itu menenangkan, namun ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa sepenuhnya merasa aman. Tiba-tiba, suara berbisik mulai terdengar di telinganya. Suara itu lembut, hampir seperti angin yang berdesir, namun ada sesuatu yang aneh dan tak menyenangkan di dalamnya. Aria mencoba mengabaikan suara itu, berpikir bahwa mungkin dia hanya lelah dan mendengar hal-hal yang tidak ada. Namun, suara itu semakin keras, semakin jelas, dan akhirnya menjadi kata-kata yang bisa dia pahami. "Aria... Aria..." Suara itu memanggilnya dengan nada yang penuh pengaruh, seolah-olah mencoba menarik perhatiannya dengan cara yang paling halus namun memaksa. "Datanglah... datanglah ke tempat kami..." Aria merasa jantungnya berdetak kencang. Suara itu sepertinya datang dari dalam rumahnya sendiri, meskipun dia tahu itu tidak mungkin. Dengan gemetar, dia berusaha melacak sumber suara itu. Akhirnya, dia menyadari bahwa suara itu berasal dari arah cermin tua yang ada di sudut ruangan. Cermin yang dulu tampak biasa saja, kini memancarkan aura yang tidak nyaman. Permukaannya yang berdebu kini tampak berkilauan dengan cahaya aneh yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Aria merasakan dorongan kuat untuk mendekati cermin itu. Meskipun setiap insting di tubuhnya mengatakan untuk menjauh, dia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin mendominasi. Saat dia berdiri di depan cermin, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Refleksinya tampak tidak biasa—bayangannya di cermin tampak lebih pucat, lebih kurus, dan matanya terlihat kosong, seolah-olah jiwanya sudah diambil. Aria mencoba untuk tidak panik. Dia tahu bahwa ini adalah bagian dari permainan roh-roh yang berusaha memanipulasinya. Namun, semakin dia menatap cermin itu, semakin kuat pengaruhnya. Suara-suara di dalam cermin mulai menjadi lebih keras, lebih mendesak. Mereka memanggilnya untuk masuk, untuk menyerah pada kegelapan yang mengintai di balik permukaan cermin itu. Dalam keadaan setengah tersadar, Aria merasakan tangannya bergerak dengan sendirinya, menyentuh permukaan cermin yang dingin. Saat kulitnya menyentuh cermin, dia merasakan tarikan kuat, seolah-olah ada kekuatan yang berusaha menyeretnya masuk ke dalam. Aria berusaha melawan, tapi tarikan itu semakin kuat, dan dia merasa tubuhnya mulai terhisap ke dalam kegelapan. Namun, sebelum dia sepenuhnya terseret, kilauan cahaya dari batu kristal di meja menarik perhatiannya. Cahaya itu semakin kuat, seolah-olah bereaksi terhadap ancaman yang dia hadapi. Dengan sekuat tenaga, Aria meraih batu itu dan menggenggamnya erat. Begitu tangannya menyentuh kristal, sebuah ledakan cahaya terang memancar dari batu itu, memenuhi seluruh ruangan dengan cahaya yang menyilaukan. Kegelapan dari cermin itu segera surut, terdorong mundur oleh cahaya dari kristal. Suara-suara itu juga mereda, menggema menjauh sampai akhirnya hilang sepenuhnya. Aria terjatuh ke lantai, napasnya terengah-engah dan tubuhnya gemetar. Meskipun cahaya dari kristal telah menyelamatkannya, dia tahu bahwa ancaman itu belum sepenuhnya hilang. Cermin itu masih ada di sana, dan meskipun untuk saat ini tenang, dia tahu bahwa roh-roh itu masih menunggu kesempatan lain. Aria berjuang untuk mengumpulkan pikirannya. Batu kristal itu memang kuat, tetapi dia merasa bahwa kekuatannya mungkin hanya sementara. Dia harus menemukan cara untuk menutup gerbang itu sepenuhnya, sebelum roh-roh jahat itu menemukan cara untuk kembali. Dengan hati-hati, dia mengambil kristal itu dan menyimpannya di dalam kantung kecil yang bisa dia bawa ke mana-mana. Dia tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan kristal itu lepas dari tangannya, karena itu mungkin satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari kegelapan. Seiring waktu, matahari pagi mulai naik di atas cakrawala, memancarkan sinar hangat ke desa. Namun, meskipun pagi sudah tiba, kegelapan yang dirasakan Aria tidak sepenuhnya hilang. Dia tahu bahwa hari-hari yang akan datang akan semakin sulit, dan ancaman yang dia hadapi akan semakin besar. Dia hanya bisa berharap bahwa dia cukup kuat untuk menghadapi semua itu. Dengan ketakutan yang masih mengintai di dalam hatinya, Aria keluar dari rumahnya, memutuskan untuk mencari bantuan. Dia harus menemukan lebih banyak tentang warisan ini, tentang apa yang harus dia lakukan untuk menghentikan semua ini sebelum terlambat. Satu-satunya tempat yang bisa dia pikirkan untuk mendapatkan jawaban adalah rumah Nenek Nyai. Saat dia berjalan melewati jalan desa, orang-orang mulai bangun dan memulai hari mereka, tak menyadari bahaya besar yang sedang mengintai. Namun, di dalam hati Aria, dia tahu bahwa dia tidak bisa lari dari ini. Kegelapan yang datang bukanlah sesuatu yang bisa dihindari—itu adalah sesuatu yang harus dia hadapi, apa pun yang terjadi. Aria terus berjalan, dengan kristal di tangannya dan tekad di hatinya. Dia tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya, dan semakin cepat dia menemukan jawaban, semakin besar kemungkinan dia bisa menyelamatkan dirinya sendiri dan orang-orang yang dia cintai. ---**Bab 12 Cahaya di Tengah Kegelapan**Aria menatap halaman-halaman kuno itu dengan mata yang membulat karena keterkejutan. Pikiran tentang pengorbanan jiwa terasa seperti bayangan hitam yang menyelimuti harapannya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Pasti ada jalan lain, sebuah cara untuk menghentikan kegelapan ini tanpa harus kehilangan nyawa seseorang.Nenek Nyai menyadari keraguan dan ketakutan yang melintas di wajah Aria. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Aria, menyalurkan ketenangan yang dia miliki. "Jangan khawatir, Ariane. Pengorbanan adalah cara yang tercatat di sini, tapi kita tidak boleh terburu-buru memutuskan. Kita harus memahami seluruh konteksnya dan mencari alternatif sebelum membuat keputusan."Aria mengangguk, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimutinya. Dia menatap lebih dalam ke halaman buku yang terbuka di hadapannya, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membimbing mereka menuju solusi yang lebih baik. Di antara tulisan-tulisa
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 8: Warisan yang Terlupakan** Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan
**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa** Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir. Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian. Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaim