Masih ada tiga negara yang belum berhasil dikuasai Han. Yeong-Shan, Khanate dan Qi. Ming Shi memastikan ambisinya harus dapat terwujud. Ia harus menguasai ketiga negara itu.
Target pertamanya adalah Yeong-Shan.
Ia membicarakannya dalam rapat kerajaan. “Sudah tiba waktunya kita mengerahkan pasukan menaklukkan Yeong-Shan. Ada yang mempunyai usul mengenai ini?”
Jenderal Wei maju ke depan. “Lapor, Yang Mulia. Pasukan kita berada dalam stamina puncak. Bila kita menyerang Yeong-Shan, kemenangan sudah pasti berada di pihak kita.”
Tidak ada tanggapan dari menteri lainnya. Menganggap kebisuan mereka sebagai tanda persetujuan, Ming Shi bangkit berdiri, mengeluarkan titahnya.
“Kuperintahkan Menteri Sun memimpin 100.000 pasukan, untuk segera pergi menaklukkan Yeong-Shan!”
***
Yeong-Shan terletak jauh di ujung timur laut, bahkan masih lebih jauh dibandingkan batas terjauh Kekaisaran Han, Tukhestan. Karena jauhnya, sedikit sekali interaksi yang terjadi di antara Han dan Yeong-Shan, sehingga sangat sedikit yang diketahui bangsa Han tentang Yeong-Shan. Namun, ada satu perihal umum di mana tidak ada seorangpun rakyat Han yang tidak mengetahuinya; Yeong-Shan adalah negeri yang sangat mengagungkan wanita. Wanitalah yang memegang peranan utama di sana. Pemimpin negaranya, sang Ratu, adalah wanita. Calon pewaris tahta adalah puteri mahkota. Para menteri pengurus administrasi negara adalah wanita. Jenderal pemimpin perang berkelamin wanita. Pada intinya, struktur dominasi jenis kelamin Yeong-Shan sangat berlawanan dengan mayoritas negara di dunia.
Ratu penguasa Yeong-Shan bernama Ratu Seo-Yu. Ia seorang pemimpin yang sangat andal, karena berhasil menaikkan derajat negerinya yang dulu amat direndahkan bangsa lainnya oleh sebab menempatkan wanita dalam posisi tertinggi. Ia mampu membuktikan kepada dunia bahwa walaupun wanita yang memimpin Yeong-Shan, tidak menjamin Yeong-Shan lantas menjadi lemah dan mudah dilecehkan. Kemampuannya memimpin negara membuat banyak pemimpin dunia angkat topi padanya. Dan yang lebih membuat para penguasa semakin salut pada sang Ratu adalah, ia berhasil mencapai semua prestasi ini dalam usia yang sangat muda, 25 tahun.
Ratu Seo-Yu telah menikah. Dari perkawinannya, ia telah memiliki dua orang puteri dan seorang putera. Mereka semua masih sangat kecil, sedangkan ayah mereka telah meninggal dalam usia muda karena sakit. Ratu Seo-Yu memiliki seorang adik perempuan yang juga merupakan Perdana Menterinya, Puteri Ryu-Na. Bala tentaranya dipimpin oleh seorang Jenderal wanita kawakan yang bertubuh indah pula atletis, bernama Jenderal Min-Hwa. Mereka bertiga terampil, mahir, dan keserasian mereka dalam memimpin Yeong-Shan membuat mereka dikenal dengan sebutan “Trio Mawar Yeong-Shan.”
Sebagai seorang ratu yang berkompeten, Ratu Seo-Yu sudah lama tahu Han mengincar negerinya. Mereka telah mendengar Politik Ekspansi Delapan Penjuru berhasil memaksa tiga perempat dunia bertekuk lutut di bawah perintah Han, dan mereka pula tidak dapat menyangkal tidak merasa takut dengan ekspansi Han tersebut. Mereka menyiapkan penjagaan yang sangat ketat, dan merasa bingung karena Han masih saja tidak menyerang mereka.
“Memang itulah strategi militer Han yang terkenal; Menyerang Ketika Musuh Lengah,” PM Ryu-Na berujar. “Karena itu, kita tidak akan pernah lengah. Perketat penjagaan terus menerus. Juga tidak boleh ada sedikit saja konflik dalam negeri yang bisa dimanfaatkan Han untuk memprovokasi kita. Dengan demikian, tidak peduli betapa kerasnya Han berusaha, mereka tidak akan bisa menguasai kita.”
Jadi, ketika pada akhirnya Ming Shi mengeluarkan titah untuk menyerang Yeong-Shan, militer Yeong-Shan mampu dengan cepat mengetahuinya. Mereka menyiapkan sejumlah besar kapal perang dengan angkatan bersenjata terbaik di Teluk Dong-Nal, siap menyambut Han.
***
Tiba waktunya bagi armada laut Han menjalankan tugasnya. Karena Yeong-Shan merupakan negara kepulauan yang seluruh pantainya dikelilingi lautan luas, termasuk Han harus menyebrangi samudera untuk bisa mencapai Yeong-Shan.
Sebagian besar anggota pasukan berasal dari Tukhestan, karena negara bagian itulah yang letaknya paling dekat dengan Yeong-Shan, serta paling memahami bangsa tersebut. Ini merupakan sebuah sensasi tersendiri bagi He Xian. Ia belum pernah bertemu dengan satu saja bangsa Tukhestan sebelumnya, apalagi bekerja sama dengan mereka. Ia begitu terkesima melihat orang-orang dengan perawakan yang sangat berbeda dengan bangsanya.
Ini sangat mengagumkan. Mereka semua tinggi-tinggi, berkulit terang, serta memiliki rambut dan bola mata dengan warna-warna menarik. Mereka memiliki kemampuan intelektualitas yang hebat, dan sudut pandang sangat berbeda dengan kita dalam memandang kehidupan. Seharusnya mereka adalah bangsa tangguh yang sulit dikalahkan. Tapi Han berhasil menaklukkan mereka Menyadari kenyataan ini, He Xian tercenung. Betapapun ia membenci pemikiran Ming Shi, ia harus mengakui kebrillianan kaisar muda itu dalam berpolitik.
Adapun panglima tertinggi dari pasukan Tukhestan adalah Sasha Vsevolodovich, yang juga merupakan Raja vassal Tukhestan. Raja Sasha berusia awal tiga puluhan, kekar dan tinggi besar, amat terampil di bidang militer kelautan, pula seorang yang periang dan berjiwa bebas. Karakternya yang kurang lebih sama dengan He Xian menjadikan mereka berdua cepat akrab.
“Baginda, apakah Anda telah mendapat strategi andal untuk mengalahkan Yeong-Shan?” He Xian bertanya. Saat itu hari telah menjelang senja, mentari jingga kemerahan siap tenggelam memasuki samudera luas. Kedua panglima tersebut tengah berdiri di atas dok utara kapal, memandang langit luas yang kini dihiasi semburat merah kebiruan.
Sasha menghela nafas panjang. “Han sudah sebesar ini, terlalu kuat untuk dilawan siapapun. Walaupun Yeong-Shan bersekutu dengan Khanate dan Qi tetap saja mereka tidak akan bisa menang melawan kita. Kemenangan kali ini sangat jelas berpihak pada Han, tak perlu strategi apapun lagi.”
“Aku setuju,” balas He Xian, ikut menghela nafas.
“Jadi, lebih baik kita menghitung berapa waktu yang diperlukan Han untuk menguasai dunia? Itu lebih menarik untuk dibahas!” Kemudian Sasha mengedip. “Kami tengah mengadakan taruhan mengenai hal itu. Kau mau ikut, Bung?”
He Xian mengangkat bahu. “Ah aneh-aneh saja! Tidak ah, aku tidak tertarik ikut. Toh, uangnya baru akan kuperoleh setahun lagi!”
“Oh, jadi Tuan Sun bertaruh setahun.” Sasha mengeluarkan selembar kertas dari kantong pakaiannya, kemudian menulis; Sun He Xian - 1 tahun.
“Hei, aku tidak ikut taruhan!” He Xian berusaha meraih kertas itu, namun Sasha lebih cepat. Ia memasukkannya kembali ke dalam kantung.
“Kusarankan kau ikut, Tuan Sun! Hadiahnya sangat menggiurkan, terutama bagi kita kaum pria!” Sasha tertawa.
He Xian tersenyum kecut. Sekaligus merasa gembira. Ia sangat senang dengan perilaku Sasha yang amat santai, yang mampu membuat hatinya merasa tenang walaupun sebentar lagi mereka akan menghadapi perang. Soalnya, walau ia yakin mereka pasti menang, tetap saja ia merasa tegang. Dalam perang, segala sesuatu itu tidak pasti.
Bahkan perjalanannya saja sudah membuat pasukan Han teramat lelah. Apalagi anggota pasukan seperti He Xian beserta Letnan Xiang dan Sersan Zhen yang berangkat dari Han. Perjalanan dari Han ke Tukhestan saja sudah memakan waktu seminggu. Ditambah perjalanan dari Tukhestan ke Yeong-Shan yang memakan waktu kurang lebih tiga hari. Manalagi mereka tidak bisa beristirahat barang sejenak pun setelah sampai, karena Teluk Dong-Nal yang menjadi pelabuhan teraman bagi kapal-kapal dari Tukhestan telah dipenuhi armada laut Yeong-Shan. Takjub juga He Xian melihat kemegahan armada laut Yeong-Shan yang tidak diduganya. Di pihak lain, pasukan Yeong-Shan juga sangat terkejut mendapati armada laut mereka kalah jumlah sangat jauh dari Han. Ditambah lagi reputasi Han menguasai tiga perempat dunia telah sebelumnya menjatuhkan semangat tempur pasukan Yeong-Shan. Betapapun, Jenderal Min-Hwa tidak lantas putus asa. Ia berdiri di dok terdepan kapal, berseru pen
Pagi-pagi sekali, peperangan telah dimulai. Matahari masih belum sepenuhnya bangkit di ufuk timur. Namun kedua pihak, Han dan Yeong-Shan, telah menyiapkan angkatan militer yang serba canggih dan kini siap berhadapan satu sama lain. Ratusan ribu prajurit berjejer menunggu aba-aba, dan begitu tambur dibunyikan, mereka pun segera berlari menyerang. Pertempuran terjadi begitu dashyatnya selama seminggu lamanya. Karena bagaimanapun Yeong-Shan telah kalah, baik secara jumlah, maupun kualitas prajurit serta teknologi senjata. Han menggilas mereka semua dan menekannya sampai ke ibukota Jeong-Neon. Pasukan Han segera berhasil memasuki ibukota Jeong-Neon. Mereka berlari dengan sangat cepat, dan tepat ke arah Istana Hwa-Soon. Hanya dalam waktu kurang lebih lima belas menit, Istana Hwa-Soon telah berada dalam kepungan erat Pasukan Han.*** Seo-Yu memandang Ryu-Na. “Masih belum ada kabar dari
Tidak ada seorangpun yang lebih terkejut dibanding He Xian sendiri. Tak disangkanya, ia begitu berani menjatuhkan gulungan berisikan titah kaisar itu. Dan ia tahu dengan jelas, nasib apa yang dinantinya setelahnya kini. Tapi, ia sudah bertekad. Ini keputusannya, ia tidak boleh ragu lagi. Ia mengambil gulungan tersebut, menepuk-nepuknya. “Saya rasa ada yang salah dengan isi gulungan ini. Saya akan terlebih dahulu menanyakannya kepada Yang Mulia Kaisar mengenai hal ini. Baiklah sementara ini begitu saja keputusannya.” Kembali tercipta kesunyian. Semua orang di halaman luas tersebut kontan terbelalak. Min-Hwa kini menatap He Xian lekat-lekat. Ada sebersit sinar kagum terpancar dari bola matanya. Bibirnya melengkung ke atas. Ia tersenyum. Namun tak lama, terdengar suara yang sangat janggal memecah kesunyian. Suara derap kaki kuda yang begitu cepat. Seisi lapangan menoleh, dan mendapat
“Hukum mati seluruh pasukan Han!!! “Tunggu sebentar, Yang Mulia!” Seisi lapangan segera mengalihkan pandangan melihat yang barusan berteriak tersebut. Jenderal Park Min-Hwa. “Harap Yang Mulia tidak secara membabi buta mencabut nyawa seseorang. Saya lancang meminta, Yang Mulia mempertimbangkan secara matang baru memutuskan, mana yang pantas dihukum mati, dan mana yang tidak.” Suara Hao Shi keras menggelegar. “Mengampuni mereka?! Tidak mungkin! Aku tak bisa mengampuni siapapun yang bersedia, dan dengan senang hati mengikuti keinginan setan Ming Shi! Apalagi ketika mereka telah melakukan sesuatu yang begitu kejam” “Namun Yang Mulia, perlu Anda ingat. Ada juga pejabat Han yang tidak sungguh-sungguh bersedia mengikuti kemauan kaisarnya, mereka berlaku demikian hanya untuk kelangsungan hidup mereka. Dan, banyak juga pejabat Han yan
He Xian terhenyak. Pertanyaan ini benar-benar di luar dugaannya. “Tetapi Yang Mulia, keluarga dan kerabat saya masih di Ming... maksud saya...” “Itu gampang diatur. Aku akan mengabarkan pada Ming Shi bahwa aku menyanderamu sebagai tawanan. Kuberitahukan padamu, dan pada seluruh orang di ruangan ini.” Ia mengedarkan pandangannya ke arah pejabat Han lainnya. “Tujuanku bukanlah untuk saling menyerang dan menaklukkan seperti yang adikku lakukan selama ini. Aku hanya ingin membantu kalian untuk melepaskan diri menjadi masing-masing negara merdeka. Hanya sesederhana itu. Karena aku yakin, kalian semua, terutama yang merupakan bangsa taklukkan Han, merasakan sakit hati yang amat sangat melihat kenyataan negeri kalian dijajah, dan di beberapa sikon, bahkan diperlakukan semena-mena. Begitu bukan? Ya, tentu saja, karena aku sendiri sangat mengerti akan hal itu. Aku sendiri pernah menjadi korban atas ketamakan adikku itu. &n
Sungguh suatu kesalahan besar bagi Yan Xu bila ia mengira akan bahagia setelah menikah dengan Ming Shi. Dan ia sangat menyesal karena ia baru mengetahui kenyataan itu setelah mereka menikah. Dulu sang puteri selalu berpikir, seorang suami pastilah akan sangat menyayangi dan memperhatikan isterinya. Walau sebanyak apapun gundik yang dimilikinya, tetap saja sang suami tetap akan mencurahkan perhatian terbanyaknya ke isteri sahnya. Apalagi bayangan Yan Xu tentang Ming Shi pada mulanya adalah, pria itu bersedia menyelamatkannya, rela menghukum mati perdana menteri setianya hanya demi seorang puteri negeri bagian yang tentunya kurang berarti. Pikirnya, pastilah sang kaisar muda yang tampan dan mempesona ini begitu peduli dan memperhatikan wanita. Namun kenyataan berkata sangat pahit. Ming Shi benar-benar tidak menghargai wanita. Karena ia tidak pernah menghargai pernikahan dengan permaisurinya itu.
Sangat terpukul atas perlakuan Ming Shi terhadapnya, Yan Xu jatuh sakit. Selama dua hari ia menolak makanan dan obat-obatan yang didatangkan kepadanya. Para dayang dan kasim yang merawatnya sangat cemas. “Kami akan memanggil Yang Mulia Kaisar,” ujar mereka panik. Yan Xu menjawab parau. “Aku tidak mau melihat dia lagi, selamanya...” “Tetapi beliau harus tahu keadaan Anda!” “Jangan-jangan dia malah mengharapku mati, biar bisa bersama perempuan itu.” “Yang Mulia, Anda jangan berkata begitu. Mungkin saat itu beliau sedang khilaf. Hamba dengar, beliau memang tengah menghadapi masalah dengan pemerintahan...” Yan Xu membalikkan tubuhnya, terisak. Para dayang tertunduk lesu. Segala bujuk rayu mereka sia-sia belaka. Tetapi pada malam hari, sebuah kejutan yang tidak ak
Yan Xu berangkat ke Khanate saat pagi buta, kira-kira pukul 3 pagi, dengan menaiki kuda putih miliknya, disertai Fu-ling. Ming Shi turut mengantarnya, tetapi tidak terjadi percakapan yang berarti di antara mereka berdua. Malah boleh dibilang, mereka tidak bertegur sapa barang sedikitpun. Suasana saat itu sangatlah sunyi, dingin, dan menusuk. Kedua wanita itu akan melewati padang datar yang amat gersang dan berangin kencang menempuh perjalanan menuju Sainsbataar, Ibukota Khanate. Pakaian yang mereka kenakan sangatlah tipis dan tidak membantu sama sekali. Ming Shi memang telah mengatur supaya Yan Xu tampak seolah benar melarikan diri, makapula mereka tidak berani mengantar dari Chong Zhou dan hanya berhenti sampai belakang istana saja. Sungguh strategi yang sempurna, betapapun ini hanya menambah kesan buruk Yan Xu terhadap suaminya itu. Karena perjalanan itu memang sangat melelahkan, apalagi bagi Yan Xu yang sud